22 Juli 1989
SEX & SENSOR
Lingkaran setan dalam film indonesia
Lingkaran setan dalam film indonesia
AKIBAT penarikan peredaran film Pembalasan Ratu Laut Selatan dan Akibat Terlalu Genit bukan main. Tjut Djalil tiba-tiba jadi orang penting.
Seks dan sadisme muncul sebagai musuh terbesar film Indonesia. Kedua film yang bersangkutan dicari-cari. Sementara itu, Badan Sensor Film (BSF) sebagai lembaga yang paling berwenang dalam meloloskan sebuah film dikecam habis-habisan. Sehari setelah penarikan itu, Menteri Penerangan Harmoko melantik anggota BSF periode 1989-1991, lebih cepat sebelas hari dari masa kepengurusan yang diketuai Thomas Soegito. Lolosnya PRLS produksi Soraya Intercine Film yang disutradarai Tjut Djalil memang mengundang gunjingan. Film itu tidak saja dianggap mengeksploitir perilaku seks secara berlebihan tapi juga mengumbar berbagai adegan brutal. Kecerdasan penonton seperti dihina. Seorang penulis surat pembaca di harian Kompas menyebutnya sebagai kebebasan seks yang "amburadul". Astaghfirullah. Imbauan agar PRLS diperiksa kembali kontan disuarakan oleh sejumlah tokoh masyarakat. Mulai dari wartawan, pengamat film, ulama, hingga wakil rakyat di DPR. Ketika berlangsung dengar pendapat antara Komisi I dan Menpen Harmoko, Kamis dua pekan lalu, beberapa anggota DPR RI juga menyoroti PRLS secara kritis. Malah, dengan nada keras, Ali Tamin, S.H. menganjurkan supaya BSF diajukan ke pengadilan. "Ini sangat penting guna menjaga tertibnya dunia perfilman nasional," kata anggota Komisi I ini seperti yang ditulis di harian Sinar Pagi. Hal senada juga dikatakan pengamat film Dr. Salim Said. "Pembuat film dan produsernya harus diperiksa. Kalau terbukti salah, ya ditindak," katanya tegas. Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa pemecatan dari organisasi atau pencabutan izin produksi. Ia mengibaratkan dengan apa yang terjadi di bidang pers. "Kalau punya SIUPP, silakan terbit. Dan kalau dianggap salah, dibredel," tambah Salim. "Seharusnya dalam dunia film juga begitu."
Menurut Salim, yang dipersoalkan dalam PRLS sebenarnya bukan soal film seksnya. "Tapi, kejorokannya yang digugat," kata anggota Dewan Film Nasional itu. Harus diakui, pengertian jorok bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Dulu, adegan ciuman dilarang, sekarang sudah biasa. Tapi, itu pun masih harus mempertimbangkan kondisi masyarakat dan tuntutan cerita. Di sinilah peran BSF. Ada dugaan lain yang bernada minor. Kelonggaran yang diberikan BSF itu erat hubungannya dengan masalah uang. Sudah menjadi rahasia umum - seperti yang diceritakan seorang sutradara - bahwa siapa yang bisa membayar mahal kepada BSF, filmnya akan selamat. Sulitnya, tidak ada data tertulis untuk membuktikan kebenaran cerita itu. Maka, ketika pelantikan pengurus baru dipercepat sebelas hari, tudingan ke alamat BSF yang bermarkas tak jauh dari Sarinah di Jalan Thamrin itu makin menjadi-jadi. Namun, menurut Menteri Penerangan, tidak ada alasan khusus yang mendorong dipercepatnya upacara pelantikan. "Waktu yang tersedia beberapa hari menjelang masa efektifnya BSF dapat dipergunakan untuk melakukan orientasi," katanya, ketika melantik pengurus BSF yang baru.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa BSF yang anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, wakil instansi, dan para ahli berbagai disiplin ilmu hendaknya mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kriteria penyensoran yang mengacu pada kepentingan masyarakat. Soal lolosnya PRLS? "Itu termasuk kesalahan mekanisme kerjanya. Maka, kepada pengurus yang baru saya minta agar mengubah cara penyensoran yang selama ini dipakai. Tidak lagi tiga orang dalam tiap kelompok, tapi lima orang," kata Menteri Harmoko kepada Heddy Susanto dari TEMPO. Seribu tudingan "miring" yang ditujukan ke BSF juga tak membikin keder pengurus lama. "BSF selalu berusaha agar isi dan tema setiap film tidak bertentangan dengan Pancasila. Untuk itu BSF punya buku pintar," kata Thomas Soegito, yang masa tugasnya berakhir Sabtu pekan ini. Tugas kerja badan ini pada dasarnya tidak terlepas dari para anggotanya yang berjumlah 39 orang - kini 45 orang. Mereka duduk di lembaga itu sebagai wakil departemen, lembaga nondepartemen, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat. Lembaga nondepartemen, misalnya, ada Mabes ABRI, Bakin, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, BP7. Dari organisasi masyarakat, antara lain MUI, KWI, PGRI, PWI, KNPI, Kowani, Angkatan 45, Pramuka. Secara umum kriteria film yang diproduksi tidak boleh mencerminkan sikap anti Tuhan dan merusakkan kerukunan umat beragama serta tidak bertentangan dengan kebijaksanaan politik dalam dan luar negeri. Seandainya terselip adegan porno, sadisme, atau horor yang berlebihan, wajib dibuang. Toh, masih ada saja film-film yang mengundang kecaman pedas sehingga BSF harus bekerja ekstrakeras.
Seks dan sadisme muncul sebagai musuh terbesar film Indonesia. Kedua film yang bersangkutan dicari-cari. Sementara itu, Badan Sensor Film (BSF) sebagai lembaga yang paling berwenang dalam meloloskan sebuah film dikecam habis-habisan. Sehari setelah penarikan itu, Menteri Penerangan Harmoko melantik anggota BSF periode 1989-1991, lebih cepat sebelas hari dari masa kepengurusan yang diketuai Thomas Soegito. Lolosnya PRLS produksi Soraya Intercine Film yang disutradarai Tjut Djalil memang mengundang gunjingan. Film itu tidak saja dianggap mengeksploitir perilaku seks secara berlebihan tapi juga mengumbar berbagai adegan brutal. Kecerdasan penonton seperti dihina. Seorang penulis surat pembaca di harian Kompas menyebutnya sebagai kebebasan seks yang "amburadul". Astaghfirullah. Imbauan agar PRLS diperiksa kembali kontan disuarakan oleh sejumlah tokoh masyarakat. Mulai dari wartawan, pengamat film, ulama, hingga wakil rakyat di DPR. Ketika berlangsung dengar pendapat antara Komisi I dan Menpen Harmoko, Kamis dua pekan lalu, beberapa anggota DPR RI juga menyoroti PRLS secara kritis. Malah, dengan nada keras, Ali Tamin, S.H. menganjurkan supaya BSF diajukan ke pengadilan. "Ini sangat penting guna menjaga tertibnya dunia perfilman nasional," kata anggota Komisi I ini seperti yang ditulis di harian Sinar Pagi. Hal senada juga dikatakan pengamat film Dr. Salim Said. "Pembuat film dan produsernya harus diperiksa. Kalau terbukti salah, ya ditindak," katanya tegas. Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa pemecatan dari organisasi atau pencabutan izin produksi. Ia mengibaratkan dengan apa yang terjadi di bidang pers. "Kalau punya SIUPP, silakan terbit. Dan kalau dianggap salah, dibredel," tambah Salim. "Seharusnya dalam dunia film juga begitu."
Menurut Salim, yang dipersoalkan dalam PRLS sebenarnya bukan soal film seksnya. "Tapi, kejorokannya yang digugat," kata anggota Dewan Film Nasional itu. Harus diakui, pengertian jorok bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Dulu, adegan ciuman dilarang, sekarang sudah biasa. Tapi, itu pun masih harus mempertimbangkan kondisi masyarakat dan tuntutan cerita. Di sinilah peran BSF. Ada dugaan lain yang bernada minor. Kelonggaran yang diberikan BSF itu erat hubungannya dengan masalah uang. Sudah menjadi rahasia umum - seperti yang diceritakan seorang sutradara - bahwa siapa yang bisa membayar mahal kepada BSF, filmnya akan selamat. Sulitnya, tidak ada data tertulis untuk membuktikan kebenaran cerita itu. Maka, ketika pelantikan pengurus baru dipercepat sebelas hari, tudingan ke alamat BSF yang bermarkas tak jauh dari Sarinah di Jalan Thamrin itu makin menjadi-jadi. Namun, menurut Menteri Penerangan, tidak ada alasan khusus yang mendorong dipercepatnya upacara pelantikan. "Waktu yang tersedia beberapa hari menjelang masa efektifnya BSF dapat dipergunakan untuk melakukan orientasi," katanya, ketika melantik pengurus BSF yang baru.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa BSF yang anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, wakil instansi, dan para ahli berbagai disiplin ilmu hendaknya mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kriteria penyensoran yang mengacu pada kepentingan masyarakat. Soal lolosnya PRLS? "Itu termasuk kesalahan mekanisme kerjanya. Maka, kepada pengurus yang baru saya minta agar mengubah cara penyensoran yang selama ini dipakai. Tidak lagi tiga orang dalam tiap kelompok, tapi lima orang," kata Menteri Harmoko kepada Heddy Susanto dari TEMPO. Seribu tudingan "miring" yang ditujukan ke BSF juga tak membikin keder pengurus lama. "BSF selalu berusaha agar isi dan tema setiap film tidak bertentangan dengan Pancasila. Untuk itu BSF punya buku pintar," kata Thomas Soegito, yang masa tugasnya berakhir Sabtu pekan ini. Tugas kerja badan ini pada dasarnya tidak terlepas dari para anggotanya yang berjumlah 39 orang - kini 45 orang. Mereka duduk di lembaga itu sebagai wakil departemen, lembaga nondepartemen, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat. Lembaga nondepartemen, misalnya, ada Mabes ABRI, Bakin, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, BP7. Dari organisasi masyarakat, antara lain MUI, KWI, PGRI, PWI, KNPI, Kowani, Angkatan 45, Pramuka. Secara umum kriteria film yang diproduksi tidak boleh mencerminkan sikap anti Tuhan dan merusakkan kerukunan umat beragama serta tidak bertentangan dengan kebijaksanaan politik dalam dan luar negeri. Seandainya terselip adegan porno, sadisme, atau horor yang berlebihan, wajib dibuang. Toh, masih ada saja film-film yang mengundang kecaman pedas sehingga BSF harus bekerja ekstrakeras.
Dua tahun lalu sewaktu film Ketika Musim Semi Tiba (KMST) diloloskan, BSF juga dibantai habis-habisan. Film yang dibintangi Meriam Bellina itu dinilai banyak menyajikan adegan erotis. Namun, Thomas Soegito dengan lihai berkelit. "BSF punya misi moral dalam membantu perfilman nasional, hingga sedapat mungkin meluluskan 100%," ucapnya (TEMPO, 6 Juni 1987). Tentang bumbu seks, katanya, "Bumbu boleh saja, tapi jangan terlau main jalan." Belakangan, setelah dua bulan bertengger di sejumlah bioskop, film laris tahun 1987 itu ditarik dan diperiksa ulang oleh BSF. Uniknya, pada saat yang sama, film-film sejenis lainnya, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bundar Bulat, Nyi Blorong, meledak di pasaran. Dan aman-aman saja alias luput dari perhatian publik. Tak heran kalau produser KMST, Ferry Angriawan, mencak-mencak karena merasa dikerjain. Kehadiran film bertema seks di Indonesia sebenarnya sudah cukup tua. Tentu dengan kadar yang berbeda-beda.
Pada awalnya adalah film Antara Bumi dan Langit yang disutradarai Dokter Huyung pada 29 tahun silam. Empat bulan sebelum film tersebut diedarkan, muncul protes dari Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan lantaran ada poster bergambar orang sedang berciuman. Tapi, sepuluh tahun kemudian, Turino Djunaidi sukses menampilkan Djakarta-Hongkong-Macao, sebuah film bertema action dengan selingan adegan ciuman di sana-sini. Proses selanjutnya berlangsung cepat. Lahirnya kebijaksanaan impor film di tahun 1967 makin merangsang kehadiran film-film Indonesia yang berbau pornografi. Film-film Orang-Orang Liar, Hidup, Cinta dan Airmata, lalu Bernapas Dalam Lumpur (BDL) adalah wajah perfilman kita dua dasawarsa yang lalu. BDL dengan bintang utama Suzzanna yang diproduksi tahun 1970 mencatat rekor sebagai film terlaris yang ditonton hampir 130 ribu orang. Suatu jumlah yang fantastis pada zaman itu. Sejak itu pula nama Suzzanna melesat bagi meteor dan banyak yang menjadikannya sebagai bintang simbol seks. Honornya mencapai Rp 1 juta. Belakangan, Paula Rumokoy yang tampil lewat Dan Bunga Bunga Berguguran ikut menyemarakkan suasana. Lalu menyusul Tuty Suprapto dengan Tante & Sex. Setelah itu Yatti Octavia dalam Intan Perawan Kubu. Era 1970-1980 boleh dibilang masa kebangkitan film yang mengekspose adegan dari ranjang ke ranjang.
Pada awalnya adalah film Antara Bumi dan Langit yang disutradarai Dokter Huyung pada 29 tahun silam. Empat bulan sebelum film tersebut diedarkan, muncul protes dari Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan lantaran ada poster bergambar orang sedang berciuman. Tapi, sepuluh tahun kemudian, Turino Djunaidi sukses menampilkan Djakarta-Hongkong-Macao, sebuah film bertema action dengan selingan adegan ciuman di sana-sini. Proses selanjutnya berlangsung cepat. Lahirnya kebijaksanaan impor film di tahun 1967 makin merangsang kehadiran film-film Indonesia yang berbau pornografi. Film-film Orang-Orang Liar, Hidup, Cinta dan Airmata, lalu Bernapas Dalam Lumpur (BDL) adalah wajah perfilman kita dua dasawarsa yang lalu. BDL dengan bintang utama Suzzanna yang diproduksi tahun 1970 mencatat rekor sebagai film terlaris yang ditonton hampir 130 ribu orang. Suatu jumlah yang fantastis pada zaman itu. Sejak itu pula nama Suzzanna melesat bagi meteor dan banyak yang menjadikannya sebagai bintang simbol seks. Honornya mencapai Rp 1 juta. Belakangan, Paula Rumokoy yang tampil lewat Dan Bunga Bunga Berguguran ikut menyemarakkan suasana. Lalu menyusul Tuty Suprapto dengan Tante & Sex. Setelah itu Yatti Octavia dalam Intan Perawan Kubu. Era 1970-1980 boleh dibilang masa kebangkitan film yang mengekspose adegan dari ranjang ke ranjang.
Film jenis lain, seperti Tuan Tanah Kedawung, Si Buta dari Gua Hantu atau Si Gondrong dengan silat sebagai menu utama, kalah pamor. Begitu pula yang bertema musik seperti Dunia belum Kiamat. Tapi, film seks ketika itu tidak sampai terjebak pada kemesuman. Bahkan, film lain yang memasang judul vulgar semacam Ranjang Siang Ranjang Malam, Supirku Sayang atau Pahitnya Cinta Manisnya Dosa melabrak tanpa halangan apa pun. Buktinya, tak ada protes yang mengharuskan BSF mengadakan peninjauan kembali. Tampilnya film-film Indonesia yang penuh adegan panas akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari makin berkembangnya teknologi informasi di masyarakat. Contohnya, lewat parabola, acara-acara di luar negeri mudah diikuti. Tanpa sensor lagi. Kehadiran video gelap juga menjadi faktor pemacu. Gejala inilah yang disadap para produser yang sudah membuktikan bahwa film dengan latar belakang seks dan kekerasan jadi senjata sakti di pasaran. Maka berlomba-lombalah mereka menghadirkannya sebagai bagian dari sebuah bisnis. Sulit disangkal, bumbu seks dalam sebuah film jadi faktor pelaris. Ini alasan klasik yang sudah dikumandangkan sejak Wim Umboh menggarap Bunga-Bunga Berguguran di tahun 1970-an. "Masuknya seks hanyalah untuk menarik penonton agar suka datang melihat film-film kita," katanya. Bahkan, Asrul Sani ketika itu dengan gamblang mengatakan, "Saya yakin kelak film Indonesia akan berkembang ke arah mempersembahkan seks secara wajar. " Dua puluh tahun kemudian hal yang sama dibeberkan oleh Gope T. Samtani. "Untuk daya tarik, seks menjadi penting sebagai bumbu," kata produser PT Rapi Films. Ia memberikan batasan toleransi sekitar 10% . "Porsi sekecil itu paling untuk iklan masih bisa diterima," tambahnya. Dengan resep ini, Rapi yang memproduksi film dengan biaya Rp 150 hingga Rp 200 juta bisa memetik keuntungan minimal 20% perfilm. "Sekarang ini film legenda dan mistik memang sedang disukai, terutama di daerah," kata Gope lagi. Segmen pasarnya pun sudah jelas yakni menengah ke bawah. Film jenis ini dalam setiap penyelenggaraan FFI porsinya rata-rata mencapai 60 persen. Setidak-tidaknya ini membuktikan betapa besarnya jangkauan pasarnya. Tapi, ia menolak anggapan bahwa film yang laku harus dengan embel-embel seks dan sadisme.
Sebaliknya, Nyak Abbas Acub setuju dengan pendapat bahwa film seks dan sadisme pasti digandrungi. "Umumnya laku. Film Suzzanna, tidak ada yang tidak laku," kata sutradara Inem Pelayan Sexy ini. Sebab, memang sudah terjadi pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat. "Akan berkembang terus karena setiap kurun waktu akan ada nilai-nilainya sendiri," katanya lebih lanjut. Menurut teorinya, kondisi film Indonesia sendiri. "Kita sekarang ini dijejali dengan film impor. Sehingga, agar survive, film nasional cari jalan. Ibarat Ellyas Pical diadu dengan Mike Tyson. Jelas, bukan lawannya. Tapi Mike Tyson malah didukung. Jadi, tidak salah kalau Ellyas Pical main kayu, cari batu," kata sutradara penuh humor itu. Jadi, dalam bisnis film yang serba tidak pasti, banyak faktor yang saling mempengaruhi laku tidaknya sebuah film. Sialnya, film yang laku belum berarti keuntungan besar masuk ke kantong produser karena hasil peredaran jatuh ke tangan "booker" atau distributor. Dan peran"booke" ini tidak bisa diremehkan. "Kadang-kadang kami dibisiki produser bahwa maunya 'booker' itu begini," cerita Mat Noer Tindaon, sutradara Akibat Pergaulan Bebas yang pernah dihebohkan tahun 1977. Untuk menggambarkan betapa besarnya kekuasaan produser, bisa diceritakan oleh Djun Saptohadi. Ketika ia menggarap film Sembilan Wali produksi Soraya Intercine Film pada 1985, Djuntak berdaya dengan titipan produser. Adegan panas yang seharusnya tampil selintas, atas permintaan produser, diubah menjadi tontonan buah dada. "Tak pelak lagi, gara-gara itu saya dicerca di mana-mana," kata Ketua I Kelompok Sutradara KFT ini. "Situasi semacam ini dihadapi 80 persen sutradara yang ada," tambahnya.
Munculnya lembaga distributor atau "booker" tidak urung ikut ambil andil dalam soal kualitas. Karena merasa tahu jenis film yang laku, bintang yang digemari, tema cerita yang disenangi penonton, para "booker" sering bertindak sebagai penentu. Target produksi bukanlah piala Citra. Yang penting bisa dijual, laku, dan menguntungkan. Sebelum berproduksi, seorang produser biasanya konsultasi dulu dengan "booker". Setelah ada kesepakatan, dana pun mengalir dari "booker". Sistem ijon semacam inilah yang melahirkan film-film yang banyak mendapat cercaan. Namun, produser atau "booker" tak bisa disalahkan begitu saja. "Lahirnya film kacangan merupakan pertemuan produser bermental dagang dengan sutradara tanpa kemampuan dan cita-cita," kata Nasri Chepy, sutradara film Catatan Si Boy yang meledak itu. Ia juga tidak menutup mata adanya praktek jual nama sutradara. Maksudnya, sutradara hanya dibeli namanya, sedang praktek di lapangan dilakukan orang lain. Lalu apa resep sebuah film yang baik? "Sebenarnya, yang penting adalah membuat film yang kena di hati masyarakat," kata Raam Punjabi dari Parkit Film. Sebagai pengusaha sah saja kalau berorientasi pada keuntungan. "Film bukan hanya untuk tuntunan tapi juga barang dagangan," tambah produser yang doyan membuat film-film mahal ini. Ia mengatakan bahwa yang dibuat dengan modal besar belum tentu laku di pasaran. Film Peluru dan Wanita, misalnya, dengan sedikit bumbu seks dan dibikin dengan biaya Rp 2,5 milyar, tidak begitu bergema.
Lain halnya dengan Catatan Si Boy dan Saur Sepuh yang mendapat sambutan hangat sehingga boleh dijuluki film laris tahun 1988. Keduanya dibuat secara berseri. Dan tahun ini Namaku Joe dan Kabayan Saba Kota laku keras. Tak hanya di bioskop papan bawah Kabayan berjaya. Di bioskop kelas satupun mereka selalu dipenuhi pengunjung. Ini membuktikan tak semua film dengan tema "biasa" tak bisa dijual. Jauh sebelumnya, film-film warop Prambors seperti Maju Kena Mundur Kena, Gantian Dong, dan Kesempatan Dalam Kesempitan juga merajai pasaran. Begitu pula Pengorbanannya Rhoma Irama. Rata-rata menyedot di atas 1.000.000 penonton. Sementara itu, film-film yang masuk nominasi FFI, yang dari segi kualitas bisa diandalkan, malah kedodoran. Paling tinggi hanya menjaring 500 ribu orang, kecuali Pemberontakan G30S-PKI dan Sunan Kalijaga yang di atas 1.000.000.
Singkat kata, film-film terlaris dalam sepuluh tahun terakhir ini kalau tidak Warkop Prambors, Rhoma Irama, yang bertemakan takhyul atau seks. Ketika dalam FFI 1984 diumumkan tidak ada film terbaik, orang pun tersentak. Apalagi setelah Juri tidak memberikan Citra untuk cerita asli. Apa yang terjadi dengan film Indonesia? Sudah begitu parahkah situasinya? Dari segi cerita sebenarnya tidak terlalu buruk, hanya mandek begitu kata D. Djajakusuma almarhum sutradara Harimau Campa. "Cerita asli kurang digali karena produser memang maunya demikian." Maka, bermuculanlah film-film yang dibuat dengan semangat seks dan kekerasan yang idenya berkiblat ke film asing. Celakanya, BSF kurang tajam mengasah pisau guntingnya sehingga film semacam Pembalasan Ratu Laut Selatan lolos dengan mulus. Padahal, dampak film yang menyajikan adegan sanggama dan sadisme sudah sering terdengar. Dari sejumlah kasus perkosaan yang terjadi di sejumlah daerah beberapa waktu lalu dalam persidangan terungkap bahwa pelakunya yang rata-rata masih remaja terpengaruh oleh film yang ditonton. Kelonggaran itu pula yang dipertanyakan oleh seorang ibu yang tinggal di Denpasar, Bali, belum lama ini. Ia melampiaskan unek-uneknya dengan menulis surat pembaca di sebuah surat kabar karena anaknya yang masih duduk di taman kanak-kanak disodori film Malu-Malu Mau dengan bintang Warkop. Adegan seks mungkin tidak ada. Yang dipertanyakan, tepatkah film semacam itu untuk konsumsi anak-anak. Sebenarnya, di setiap daerah sudah ada Bapfida (Badan Pengawas Perfilman Daerah) yang tugasnya meneliti film-film yang akan diputar di bioskop. Lembaga ini tidak berhak menyensor. "Tapi, kalau ada yang tidak sesuai dengan kultur daerah kami kembalikan," kata M. Supratomo, Sekretaris Bapfida Yogyakarta. Film PRLS, misalnya, langsung ditolak. Hal yang sama antara lain juga dilakukan oleh Bapfida Jawa Tengah dan Bapfida Suatera Utara. Toh, masih ada yang kecolongan. "Terus terang saja kami ketrucut," kata Soediono, Ketua Bapfida Jawa Timur. Film PRLS sempat lima hari diputar di Surabaya sebelum turun perintah pencabutan. Di kota ini, PRLS tidak menimbulkan reaksi tajam karena penontonnya sepi.
PRLS telah menjadi "tumbal" yang membuat kita semua mengamati lagi film nasional. Lebih dari itu menyengat orang film sendiri untuk berpikir. Seks dan sadisme bukan satu-satunya masalah. Itu baru sebagian dari masalah yang mestinya muncul ke permukaan. Banyak persoalan lain yang belum terbeber. Kebodohan sebagian orang film sendiri dalam medlanya, sebagaimana disinyalir oleh Teguh Karya, juga merupakan lingkaran setan, kemacetan film nasional. Meskipun menurut Eros Djarot, sebenarnya, "Tidak ada lingkaran setan, yang ada hanya setan yang melingkar-lingkar." Yusroni Henridewanto,Tommi T., Muchsin Lubis, Jelil Hakim, Jalil Hakim, I Made Suarjana
Sebaliknya, Nyak Abbas Acub setuju dengan pendapat bahwa film seks dan sadisme pasti digandrungi. "Umumnya laku. Film Suzzanna, tidak ada yang tidak laku," kata sutradara Inem Pelayan Sexy ini. Sebab, memang sudah terjadi pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat. "Akan berkembang terus karena setiap kurun waktu akan ada nilai-nilainya sendiri," katanya lebih lanjut. Menurut teorinya, kondisi film Indonesia sendiri. "Kita sekarang ini dijejali dengan film impor. Sehingga, agar survive, film nasional cari jalan. Ibarat Ellyas Pical diadu dengan Mike Tyson. Jelas, bukan lawannya. Tapi Mike Tyson malah didukung. Jadi, tidak salah kalau Ellyas Pical main kayu, cari batu," kata sutradara penuh humor itu. Jadi, dalam bisnis film yang serba tidak pasti, banyak faktor yang saling mempengaruhi laku tidaknya sebuah film. Sialnya, film yang laku belum berarti keuntungan besar masuk ke kantong produser karena hasil peredaran jatuh ke tangan "booker" atau distributor. Dan peran"booke" ini tidak bisa diremehkan. "Kadang-kadang kami dibisiki produser bahwa maunya 'booker' itu begini," cerita Mat Noer Tindaon, sutradara Akibat Pergaulan Bebas yang pernah dihebohkan tahun 1977. Untuk menggambarkan betapa besarnya kekuasaan produser, bisa diceritakan oleh Djun Saptohadi. Ketika ia menggarap film Sembilan Wali produksi Soraya Intercine Film pada 1985, Djuntak berdaya dengan titipan produser. Adegan panas yang seharusnya tampil selintas, atas permintaan produser, diubah menjadi tontonan buah dada. "Tak pelak lagi, gara-gara itu saya dicerca di mana-mana," kata Ketua I Kelompok Sutradara KFT ini. "Situasi semacam ini dihadapi 80 persen sutradara yang ada," tambahnya.
Munculnya lembaga distributor atau "booker" tidak urung ikut ambil andil dalam soal kualitas. Karena merasa tahu jenis film yang laku, bintang yang digemari, tema cerita yang disenangi penonton, para "booker" sering bertindak sebagai penentu. Target produksi bukanlah piala Citra. Yang penting bisa dijual, laku, dan menguntungkan. Sebelum berproduksi, seorang produser biasanya konsultasi dulu dengan "booker". Setelah ada kesepakatan, dana pun mengalir dari "booker". Sistem ijon semacam inilah yang melahirkan film-film yang banyak mendapat cercaan. Namun, produser atau "booker" tak bisa disalahkan begitu saja. "Lahirnya film kacangan merupakan pertemuan produser bermental dagang dengan sutradara tanpa kemampuan dan cita-cita," kata Nasri Chepy, sutradara film Catatan Si Boy yang meledak itu. Ia juga tidak menutup mata adanya praktek jual nama sutradara. Maksudnya, sutradara hanya dibeli namanya, sedang praktek di lapangan dilakukan orang lain. Lalu apa resep sebuah film yang baik? "Sebenarnya, yang penting adalah membuat film yang kena di hati masyarakat," kata Raam Punjabi dari Parkit Film. Sebagai pengusaha sah saja kalau berorientasi pada keuntungan. "Film bukan hanya untuk tuntunan tapi juga barang dagangan," tambah produser yang doyan membuat film-film mahal ini. Ia mengatakan bahwa yang dibuat dengan modal besar belum tentu laku di pasaran. Film Peluru dan Wanita, misalnya, dengan sedikit bumbu seks dan dibikin dengan biaya Rp 2,5 milyar, tidak begitu bergema.
Lain halnya dengan Catatan Si Boy dan Saur Sepuh yang mendapat sambutan hangat sehingga boleh dijuluki film laris tahun 1988. Keduanya dibuat secara berseri. Dan tahun ini Namaku Joe dan Kabayan Saba Kota laku keras. Tak hanya di bioskop papan bawah Kabayan berjaya. Di bioskop kelas satupun mereka selalu dipenuhi pengunjung. Ini membuktikan tak semua film dengan tema "biasa" tak bisa dijual. Jauh sebelumnya, film-film warop Prambors seperti Maju Kena Mundur Kena, Gantian Dong, dan Kesempatan Dalam Kesempitan juga merajai pasaran. Begitu pula Pengorbanannya Rhoma Irama. Rata-rata menyedot di atas 1.000.000 penonton. Sementara itu, film-film yang masuk nominasi FFI, yang dari segi kualitas bisa diandalkan, malah kedodoran. Paling tinggi hanya menjaring 500 ribu orang, kecuali Pemberontakan G30S-PKI dan Sunan Kalijaga yang di atas 1.000.000.
Singkat kata, film-film terlaris dalam sepuluh tahun terakhir ini kalau tidak Warkop Prambors, Rhoma Irama, yang bertemakan takhyul atau seks. Ketika dalam FFI 1984 diumumkan tidak ada film terbaik, orang pun tersentak. Apalagi setelah Juri tidak memberikan Citra untuk cerita asli. Apa yang terjadi dengan film Indonesia? Sudah begitu parahkah situasinya? Dari segi cerita sebenarnya tidak terlalu buruk, hanya mandek begitu kata D. Djajakusuma almarhum sutradara Harimau Campa. "Cerita asli kurang digali karena produser memang maunya demikian." Maka, bermuculanlah film-film yang dibuat dengan semangat seks dan kekerasan yang idenya berkiblat ke film asing. Celakanya, BSF kurang tajam mengasah pisau guntingnya sehingga film semacam Pembalasan Ratu Laut Selatan lolos dengan mulus. Padahal, dampak film yang menyajikan adegan sanggama dan sadisme sudah sering terdengar. Dari sejumlah kasus perkosaan yang terjadi di sejumlah daerah beberapa waktu lalu dalam persidangan terungkap bahwa pelakunya yang rata-rata masih remaja terpengaruh oleh film yang ditonton. Kelonggaran itu pula yang dipertanyakan oleh seorang ibu yang tinggal di Denpasar, Bali, belum lama ini. Ia melampiaskan unek-uneknya dengan menulis surat pembaca di sebuah surat kabar karena anaknya yang masih duduk di taman kanak-kanak disodori film Malu-Malu Mau dengan bintang Warkop. Adegan seks mungkin tidak ada. Yang dipertanyakan, tepatkah film semacam itu untuk konsumsi anak-anak. Sebenarnya, di setiap daerah sudah ada Bapfida (Badan Pengawas Perfilman Daerah) yang tugasnya meneliti film-film yang akan diputar di bioskop. Lembaga ini tidak berhak menyensor. "Tapi, kalau ada yang tidak sesuai dengan kultur daerah kami kembalikan," kata M. Supratomo, Sekretaris Bapfida Yogyakarta. Film PRLS, misalnya, langsung ditolak. Hal yang sama antara lain juga dilakukan oleh Bapfida Jawa Tengah dan Bapfida Suatera Utara. Toh, masih ada yang kecolongan. "Terus terang saja kami ketrucut," kata Soediono, Ketua Bapfida Jawa Timur. Film PRLS sempat lima hari diputar di Surabaya sebelum turun perintah pencabutan. Di kota ini, PRLS tidak menimbulkan reaksi tajam karena penontonnya sepi.
PRLS telah menjadi "tumbal" yang membuat kita semua mengamati lagi film nasional. Lebih dari itu menyengat orang film sendiri untuk berpikir. Seks dan sadisme bukan satu-satunya masalah. Itu baru sebagian dari masalah yang mestinya muncul ke permukaan. Banyak persoalan lain yang belum terbeber. Kebodohan sebagian orang film sendiri dalam medlanya, sebagaimana disinyalir oleh Teguh Karya, juga merupakan lingkaran setan, kemacetan film nasional. Meskipun menurut Eros Djarot, sebenarnya, "Tidak ada lingkaran setan, yang ada hanya setan yang melingkar-lingkar." Yusroni Henridewanto,Tommi T., Muchsin Lubis, Jelil Hakim, Jalil Hakim, I Made Suarjana