PUTU WIJAYA |
Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang Putu.
Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.
Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.
Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.
Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.
Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu.
Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang Putu.
Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.
Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.
Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.
Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.
Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu.
PUTU DAN TEATER
Putu Wijaya yang penampilan khasnya selalu memakai pet dilahirkan di
Puri Anom, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944. Jika menilik usia,
barangkali nama Putu Wijaya mulai pudar digerus waktu, atau bahkan bagi
generasi paling kiwari namanya samar-samar melintas dalam lereng
ingatan.
Putu Wijaya pertama kali mengumumkan tulisannya saat ia masih SMP. Tulisannya yang berupa cerita pendek berjudul Etsa dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Waktu SMA, ia sempat main drama dengan naskah Badak karangan Anton Chekov yang disutradarai oleh Kirjomulyo.
Setelah menyelesaikan SMA di Singaraja, Putu Wijaya melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Selain belajar di UGM, ia juga belajar selama tiga tahun di Akademi Seni Drama dan Film, juga satu tahun sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia.
Putu Wijaya pertama kali mengumumkan tulisannya saat ia masih SMP. Tulisannya yang berupa cerita pendek berjudul Etsa dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Waktu SMA, ia sempat main drama dengan naskah Badak karangan Anton Chekov yang disutradarai oleh Kirjomulyo.
Setelah menyelesaikan SMA di Singaraja, Putu Wijaya melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Selain belajar di UGM, ia juga belajar selama tiga tahun di Akademi Seni Drama dan Film, juga satu tahun sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia.
Minatnya pada drama terus berlanjut. Saat kuliah di Yogyakarta ia menulis, memainkan, dan menyutradarai drama bersama kelompok yang didirikannya. Selain itu, ia juga bergabung selama dua tahun dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra. Setelah pindah ke Jakarta, ia bergabung dengan Teater Kecil yang didirikan oleh Arifin C. Noer, dan sempat sekali pentas bersama Teater Populer yang diampu oleh Teguh Karya. Lalu pada tahun 1971, ia mendirikan Teater Mandiri.
Dalam berkarya,
Teater Mandiri terkenal dengan dua acuan atau pijakan, yakni “Bertolak
Dari Yang Ada” yang bermakna “tak ada yang dapat menghentikan proses
[kreatif], semua kelemahan diberdayakan menjadi kekuatan”, dan “Teror
Mental” yang diartikan sebagai “kegoncangan pada jiwa yang membangkitkan
seseorang (pemain atau penonton) berpikir kembali sehingga waspada, dan
bangkit kesadaran baru”.
Dalam Jalan Pikiran Teater Mandiri: Bertolak Dari Yang Ada,
seperti dikutip Jose Rizal Manua, Putu Wijaya menerangkan bahwa banyak
orang teater mengeluhkan sarana, kesempatan, serta pelbagai kesulitan
lain yang dijumpai ketika hendak menghidupkan teater.
Keluhan-keluhan itu, imbuhnya, disebabkan karena mimpi yang hendak dijelmakan dengan teater sedemikian hebatnya. Atau karena ‘mengeluh’ tiba-tiba menjadi tujuan. Menurutnya, tak sedikit orang yang hanya ingin ‘kelihatan’ berteater, padahal sebenarnya tidak, dan ia menamakan gejala itu sebagai gejala busuk di dalam teater.
Namun, ia menambahkan, kebusukan-kebusukan dalam teater adalah bagian
dari kehidupan teater yang sehat. Kehadiran orang-orang yang ia sebut
sebagai para pengacau, tukang mimpi, dan para pemalas keadaan yang serba
kurang itu diperlukan untuk membedakan dan menampakkan kelompok lain
yang benar-benar ingin bekerja meskipun dijerat oleh pelbagai kesulitan.
“Kreativitas adalah sikap jiwa yang tidak dimulai dengan segala tuntutan, tetapi merupakan gabungan dari keterampilan, akal, muslihat, imajinasi, sesuatu usaha yang sedemikian besar tenaganya, yang begitu kaya, sehingga tidak mungkin dibendung oleh apapun, apalagi hanya oleh kekurangan sarana,” tulis Jose Rizal Manua dalam Teater Mandiri Putu Wijaya, Siasat, dan Teror Mental, mengutip perkataan Putu Wijaya.
“Cerita hanya membuat kacau. Sebuah Lautan Cerita adalah sebuah Lautan Kekacauan,” kata Khatam-Sud dalam Haroun and the Sea of Stories karangan Salman Rushdie, seperti dikutip Goenawan Mohamad dalam kumpulan esai bertajuk Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2005).
Beruntung, imbuh Goenawan Mohamad, Putu Wijaya belum pernah bertemu dengan Khatam-Sud. Dalam tulisan yang sebetulnya sebagai pengantar pada kumpulan cerpen Putu Wijaya berjudul Blok (1994) itu Goenawan Mohamad menyatakan bahwa sastrawan asal Tabanan ini tak henti-henti dan tak putus-putusnya menangguk dongeng dari Lautan Kekacauan. Menurutnya, cara Putu Wijaya bertutur mengeringkan semua anasir dramatik dalam gerakan verbalnya, juga memakai ritme yang lurus dan jarak antar kalimat yang ringkas. “Kita pun seakan-akan berhadapan dengan wajah seorang pencerita yang seperti blo’on, tanpa pretensi dan tak bersalah, kita serasa tidak mengalami pertentangan-pertentangan […] Semua itu memang bisa saja dilihat sebagai sebuah kepandaian bercerita, tetapi tidak hanya itu. Putu Wijaya memang bisa memikat kita karena kita terpaksa ingin menguntitnya terus, tak tahu ke mana tiba-tiba ia akan berkelok,” tulisnya.
Masih dalam buku yang sama. H.B. Jassin berkomentar bahwa kata-kata Putu Wijaya berhasil meneror pengertian-pengertian yang sudah mapan. Pengertian-pengertian itu, imbuhnya, bukan barang mati dan mempunyai pelbagai pengalaman yang bersifat masa silam, masa kini, dan masa depan. Jassin mengambil contoh cerpen Babu yang menceritakan para pembantu rumah tangga. Dalam tuturannya pada cerpen ini, tambah Jassin, Putu Wijaya mendesakkan pengertian baru tentang jongos atau babu yang sudah lama hadir dalam keseharian. “Karjo dan Prisilia sudah bukan pembantu lagi. Zaman pembantu sudah digeser oleh fungsi asisten rumah tangga. Kelak kita tidak memelihara pembantu atau asisten lagi di dalam rumah, tapi seorang karyawan, seorang partner. Bahkan teman hidup. Suami kita atau istri kita,” tulis Putu Wijaya dalam cerpen tersebut. Putu Wijaya sendiri berpendapat bahwa cerita pendek bukanlah cerita yang dipendekkan. Bukan pula pendek cerita dari sebuah kisah panjang. Menurutnya, cerita pendek adalah jalan tersendiri untuk mendekati sebuah pokok masalah yang tak perlu lebih kecil, lebih sempit, lebih ringkas, atau lebih sederhana dari apa yang hendak dicapai oleh sekumpulan sajak, sebuah novelet atau sebuah roman. “[Dalam cerita pendek] ada peristiwa, suasana, konflik, masalah, kelompok manusia yang saling berbenturan, maupun manusia sendiri yang memerlukan sebuah lubang bedah tertentu,” imbuhnya. Berangkat dari sinilah, barangkali, mantan wartawan majalah Ekspres, Tempo, dan Zaman ini terus menerus menulis sejumlah cerita pendek yang baginya adalah ibarat mimpi baik dan buruk, tafsir ramalan, serta teror mental kepada manusia. Jika Khattam-Sud berkata bahwa cerita adalah Lautan Kekacauan, maka sekali lagi, seperti ditulis Goenawan Mohamad dalam pengantar kumpulan cerpen Blok (1984), “Kita beruntung bahwa Putu Wijaya belum bertemu dengan Khattam-Sud.”
“Kreativitas adalah sikap jiwa yang tidak dimulai dengan segala tuntutan, tetapi merupakan gabungan dari keterampilan, akal, muslihat, imajinasi, sesuatu usaha yang sedemikian besar tenaganya, yang begitu kaya, sehingga tidak mungkin dibendung oleh apapun, apalagi hanya oleh kekurangan sarana,” tulis Jose Rizal Manua dalam Teater Mandiri Putu Wijaya, Siasat, dan Teror Mental, mengutip perkataan Putu Wijaya.
Menulis Lautan Kekacauan
“Cerita hanya membuat kacau. Sebuah Lautan Cerita adalah sebuah Lautan Kekacauan,” kata Khatam-Sud dalam Haroun and the Sea of Stories karangan Salman Rushdie, seperti dikutip Goenawan Mohamad dalam kumpulan esai bertajuk Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2005).
Beruntung, imbuh Goenawan Mohamad, Putu Wijaya belum pernah bertemu dengan Khatam-Sud. Dalam tulisan yang sebetulnya sebagai pengantar pada kumpulan cerpen Putu Wijaya berjudul Blok (1994) itu Goenawan Mohamad menyatakan bahwa sastrawan asal Tabanan ini tak henti-henti dan tak putus-putusnya menangguk dongeng dari Lautan Kekacauan. Menurutnya, cara Putu Wijaya bertutur mengeringkan semua anasir dramatik dalam gerakan verbalnya, juga memakai ritme yang lurus dan jarak antar kalimat yang ringkas. “Kita pun seakan-akan berhadapan dengan wajah seorang pencerita yang seperti blo’on, tanpa pretensi dan tak bersalah, kita serasa tidak mengalami pertentangan-pertentangan […] Semua itu memang bisa saja dilihat sebagai sebuah kepandaian bercerita, tetapi tidak hanya itu. Putu Wijaya memang bisa memikat kita karena kita terpaksa ingin menguntitnya terus, tak tahu ke mana tiba-tiba ia akan berkelok,” tulisnya.
Masih dalam buku yang sama. H.B. Jassin berkomentar bahwa kata-kata Putu Wijaya berhasil meneror pengertian-pengertian yang sudah mapan. Pengertian-pengertian itu, imbuhnya, bukan barang mati dan mempunyai pelbagai pengalaman yang bersifat masa silam, masa kini, dan masa depan. Jassin mengambil contoh cerpen Babu yang menceritakan para pembantu rumah tangga. Dalam tuturannya pada cerpen ini, tambah Jassin, Putu Wijaya mendesakkan pengertian baru tentang jongos atau babu yang sudah lama hadir dalam keseharian. “Karjo dan Prisilia sudah bukan pembantu lagi. Zaman pembantu sudah digeser oleh fungsi asisten rumah tangga. Kelak kita tidak memelihara pembantu atau asisten lagi di dalam rumah, tapi seorang karyawan, seorang partner. Bahkan teman hidup. Suami kita atau istri kita,” tulis Putu Wijaya dalam cerpen tersebut. Putu Wijaya sendiri berpendapat bahwa cerita pendek bukanlah cerita yang dipendekkan. Bukan pula pendek cerita dari sebuah kisah panjang. Menurutnya, cerita pendek adalah jalan tersendiri untuk mendekati sebuah pokok masalah yang tak perlu lebih kecil, lebih sempit, lebih ringkas, atau lebih sederhana dari apa yang hendak dicapai oleh sekumpulan sajak, sebuah novelet atau sebuah roman. “[Dalam cerita pendek] ada peristiwa, suasana, konflik, masalah, kelompok manusia yang saling berbenturan, maupun manusia sendiri yang memerlukan sebuah lubang bedah tertentu,” imbuhnya. Berangkat dari sinilah, barangkali, mantan wartawan majalah Ekspres, Tempo, dan Zaman ini terus menerus menulis sejumlah cerita pendek yang baginya adalah ibarat mimpi baik dan buruk, tafsir ramalan, serta teror mental kepada manusia. Jika Khattam-Sud berkata bahwa cerita adalah Lautan Kekacauan, maka sekali lagi, seperti ditulis Goenawan Mohamad dalam pengantar kumpulan cerpen Blok (1984), “Kita beruntung bahwa Putu Wijaya belum bertemu dengan Khattam-Sud.”
Nama:
I Gusti Ngurah Putu Wijaya
Lahir:
Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944
Istri:
Dewi Pramunawati
Anak:
I Gusti Ngurah Taksu Wijaya
Ayah/Ibu:
Gusti Ngurah Raka/Mekel Erwati
Agama:
Hindu
Pendidikan:
- SR, Tabanan (1956)
- SMP Negeri, Tabanan (1959)
- SMA-A, Singaraja (1962)
- Fakultas Hukum UGM (1969)
- ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta
- LPPM, Jakarta (1981)
- International Writing Programme, Iowa, AS (1974)
Karir:
- Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang)
- Penulis skenario film, antara lain Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980), Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985), Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati, Telegram
- Penulis skenario sinetron, antara lain Keluarga Rahmat, Pas, None, Warung Tegal, Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995), Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam, Cerpen Metropolitan, Plot, Klop, Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan), Nostalgia, Api Cinta Antonio Blanco, Tiada Kata Berpisah, Intrik, Pantang Menyerah, Sejuta Makna dalam Kata, Nona-Noni.
Kegiatan Lain:
- Wartawan majalah Ekspres (1969)
- Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980)
- Wartawan majalah Tempo (1971-1979)
- Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985)
- Dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS (1985-1988)
Karya Drama:
Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974),
NYOMAN CINTA MERAH PUTIH | 1989 | JUDY SOEBROTO | Actor | |
ZIG ZAG | 1991 | PUTU WIJAYA | Director | |
TELEGRAM | 2001 | SLAMET RAHARDJO | Author | |
PLONG | 1991 | PUTU WIJAYA | Director | |
CAS CIS CUS | 1989 | PUTU WIJAYA | Director | |
VERGINE DI BALI, LA | 1972 | GUIDO ZURLI | Actor | |
RELIEF | 1992 | PUTU WIJAYA | Director. |
Karya dan karir
Teater
Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang)
Penulis skenario film Antara lain : Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980) Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985) Ramadhan dan Ramona Dokter Karmila Bayang-Bayang Kelabu Anak-Anak Bangsa Wolter Monginsidi Sepasang Merpati Telegram
Penulis skenario sinetron Antara lain : Keluarga Rahmat Pas None Warung Tegal Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995) Jari-Jari Cinta Balada Dangdut Dendam Cerpen Metropolitan Plot Klop Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan) Nostalgia Api Cinta Antonio Blanco Tiada Kata Berpisah Intrik Pantang Menyerah Sejuta Makna dalam Kata Nona-Noni
Karya drama Dalam Cahaya Bulan (1966) Lautan Bernyanyi (1967) Bila Malam Bertambah Malam (1970) Invalid (1974) Tak Sampai Tiga Bulan (1974) Anu (1974) Aduh (1975) Dag-Dig-Dug (1976) Gerr (1986) Edan Hum-Pim-Pah Dor Blong Ayo Awas Los Aum Zat Tai Front Aib Wah Hah Jpret Aeng Aut Dar-Dir-Dor
Karya novel Bila Malam Bertambah Malam (1971) Telegram (1972) Stasiun (1977) Pabrik (1976) Keok (1978) Aduh Dag-dig-dug Edan Gres Lho (1982) Nyali Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995) Kroco (Pustaka Firdaus, 1995) Dar Der Dor (Grasindo, 1996) Aus (Grasindo, 1996) Sobat (1981) Tiba-Tiba Malam (1977) Pol (1987) Terror (1991) Merdeka (1994) Perang (1992) Lima (1992) Nol (1992) Dang Dut (1992) Cas-Cis-Cus (1995)
Karya cerpen Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978) Es (1980) Gres (1982) Klop Bor Protes (1994) Darah (1995) Yel (1995) Blok (1994) Zig Zag (1996) Tidak (1999) Karya Novelet: MS (1977) Tak Cukup Sedih (1977) Ratu (1977) Sah (1977)
Karya esai Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.
Penghargaan yang telah diterima Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogyakarta) Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali Pemenang penulisan novel IKAPI Pemenang penulisan drama BPTNI Pemenang penulisan drama Safari Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977) Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992) Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ Pemenang penulisan esei DKJ Dua kali pemenang penulisan novel Femina Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina Pemenang penulisan cerpen Kartini Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel) Pemenang sinetron komedi FSI (1995) SEA Write Award 1980 di Bangkok Pemenang penulisan esei Kompas Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991) Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992) Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)
Pendidikan:- SR, Tabanan (1956) - SMP Negeri, Tabanan (1959) - SMA-A, Singaraja (1962) - Fakultas Hukum UGM (1969) - ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta - LPPM, Jakarta (1981) - International Writing Programme, Iowa, AS (1974) Karir:- Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang) - Penulis skenario film, antara lain Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980), Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985), Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati, Telegram - Penulis skenario sinetron, antara lain Keluarga Rahmat, Pas, None, Warung Tegal, Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995), Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam, Cerpen Metropolitan, Plot, Klop, Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan), Nostalgia, Api Cinta Antonio Blanco, Tiada Kata Berpisah, Intrik, Pantang Menyerah, Sejuta Makna dalam Kata, Nona-Noni.Kegiatan Lain:- Wartawan majalah Ekspres (1969) - Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980) - Wartawan majalah Tempo (1971-1979) - Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985) - Dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS (1985-1988) Karya Drama:Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan, Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah, Jpret, Aeng, Aut, dan Dar-Dir-DorKarya Novel:Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun (1977), Pabrik (1976), Keok (1978), Aduh, Dag-dig-dug, Edan (semuanya diterbitkan Pustaka Jaya tahun, 1972-1977), Gres, Lho (1982), Nyali (semuanya diterbitkan Balai Pustaka, 1982-1983), Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995), Kroco (Pustaka Firdaus, 1995), Dar Der Dor (Grasindo, 1996), Aus (Grasindo, 1996), Sobat (1981), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol (1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol (1992), Dang Dut (1992), Cas-Cis-Cus (1995)Karya Cerpen:Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), dan Tidak (1999)Karya Novelet:MS (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Ratu (1977), dan Sah (1977)Karya Esai:Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.Penghargaan:- Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogya) - Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali - Pemenang penulisan novel IKAPI- Pemenang penulisan drama BPTNI - Pemenang penulisan drama Safari - Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977) - Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992) - Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ - Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ- Pemenang penulisan esei DKJ - Dua kali pemenang penulisan novel Femina - Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina - Pemenang penulisan cerpen Kartini - Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)- Pemenang sinetron komedi FSI (1995) - SEA Write Award 1980 di Bangkok - Pemenang penulisan esei Kompas - Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)- Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992)- Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)Alamat Kantor:Jalan Mimosa I/1, Sunter Mas, Jakarta 14350 Telepon (021) 6506604 Faksimile (021) 6506828Alamat Rumah:Kompleks Astya Puri 2 No. A9, Jalan Kerta Mukti, Cerendeu, Jakarta SelatanTelepon/Faksimile (021) 7444678Email: wijayaputu@hotmail.comSumber:Dari berbagai sumber
Penulis skenario film Antara lain : Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980) Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985) Ramadhan dan Ramona Dokter Karmila Bayang-Bayang Kelabu Anak-Anak Bangsa Wolter Monginsidi Sepasang Merpati Telegram
Penulis skenario sinetron Antara lain : Keluarga Rahmat Pas None Warung Tegal Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995) Jari-Jari Cinta Balada Dangdut Dendam Cerpen Metropolitan Plot Klop Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan) Nostalgia Api Cinta Antonio Blanco Tiada Kata Berpisah Intrik Pantang Menyerah Sejuta Makna dalam Kata Nona-Noni
Karya drama Dalam Cahaya Bulan (1966) Lautan Bernyanyi (1967) Bila Malam Bertambah Malam (1970) Invalid (1974) Tak Sampai Tiga Bulan (1974) Anu (1974) Aduh (1975) Dag-Dig-Dug (1976) Gerr (1986) Edan Hum-Pim-Pah Dor Blong Ayo Awas Los Aum Zat Tai Front Aib Wah Hah Jpret Aeng Aut Dar-Dir-Dor
Karya novel Bila Malam Bertambah Malam (1971) Telegram (1972) Stasiun (1977) Pabrik (1976) Keok (1978) Aduh Dag-dig-dug Edan Gres Lho (1982) Nyali Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995) Kroco (Pustaka Firdaus, 1995) Dar Der Dor (Grasindo, 1996) Aus (Grasindo, 1996) Sobat (1981) Tiba-Tiba Malam (1977) Pol (1987) Terror (1991) Merdeka (1994) Perang (1992) Lima (1992) Nol (1992) Dang Dut (1992) Cas-Cis-Cus (1995)
Karya cerpen Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978) Es (1980) Gres (1982) Klop Bor Protes (1994) Darah (1995) Yel (1995) Blok (1994) Zig Zag (1996) Tidak (1999) Karya Novelet: MS (1977) Tak Cukup Sedih (1977) Ratu (1977) Sah (1977)
Karya esai Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.
Penghargaan yang telah diterima Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogyakarta) Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali Pemenang penulisan novel IKAPI Pemenang penulisan drama BPTNI Pemenang penulisan drama Safari Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977) Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992) Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ Pemenang penulisan esei DKJ Dua kali pemenang penulisan novel Femina Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina Pemenang penulisan cerpen Kartini Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel) Pemenang sinetron komedi FSI (1995) SEA Write Award 1980 di Bangkok Pemenang penulisan esei Kompas Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991) Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992) Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)
Pendidikan:- SR, Tabanan (1956) - SMP Negeri, Tabanan (1959) - SMA-A, Singaraja (1962) - Fakultas Hukum UGM (1969) - ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta - LPPM, Jakarta (1981) - International Writing Programme, Iowa, AS (1974) Karir:- Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang) - Penulis skenario film, antara lain Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980), Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985), Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati, Telegram - Penulis skenario sinetron, antara lain Keluarga Rahmat, Pas, None, Warung Tegal, Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995), Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam, Cerpen Metropolitan, Plot, Klop, Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan), Nostalgia, Api Cinta Antonio Blanco, Tiada Kata Berpisah, Intrik, Pantang Menyerah, Sejuta Makna dalam Kata, Nona-Noni.Kegiatan Lain:- Wartawan majalah Ekspres (1969) - Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980) - Wartawan majalah Tempo (1971-1979) - Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985) - Dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS (1985-1988) Karya Drama:Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan, Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah, Jpret, Aeng, Aut, dan Dar-Dir-DorKarya Novel:Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun (1977), Pabrik (1976), Keok (1978), Aduh, Dag-dig-dug, Edan (semuanya diterbitkan Pustaka Jaya tahun, 1972-1977), Gres, Lho (1982), Nyali (semuanya diterbitkan Balai Pustaka, 1982-1983), Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995), Kroco (Pustaka Firdaus, 1995), Dar Der Dor (Grasindo, 1996), Aus (Grasindo, 1996), Sobat (1981), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol (1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol (1992), Dang Dut (1992), Cas-Cis-Cus (1995)Karya Cerpen:Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), dan Tidak (1999)Karya Novelet:MS (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Ratu (1977), dan Sah (1977)Karya Esai:Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.Penghargaan:- Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogya) - Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali - Pemenang penulisan novel IKAPI- Pemenang penulisan drama BPTNI - Pemenang penulisan drama Safari - Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977) - Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992) - Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ - Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ- Pemenang penulisan esei DKJ - Dua kali pemenang penulisan novel Femina - Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina - Pemenang penulisan cerpen Kartini - Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)- Pemenang sinetron komedi FSI (1995) - SEA Write Award 1980 di Bangkok - Pemenang penulisan esei Kompas - Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)- Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992)- Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)Alamat Kantor:Jalan Mimosa I/1, Sunter Mas, Jakarta 14350 Telepon (021) 6506604 Faksimile (021) 6506828Alamat Rumah:Kompleks Astya Puri 2 No. A9, Jalan Kerta Mukti, Cerendeu, Jakarta SelatanTelepon/Faksimile (021) 7444678Email: wijayaputu@hotmail.comSumber:Dari berbagai sumber