Tampilkan postingan dengan label PURWAKARTA-SUBANG-CIANJUR-SUKABUMI-PELABUHAN RATU-KARAWANG-CIREBON-CIMAHI-PANGANDARAN-SUMEDANG-CILACAP BIOSCOOP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PURWAKARTA-SUBANG-CIANJUR-SUKABUMI-PELABUHAN RATU-KARAWANG-CIREBON-CIMAHI-PANGANDARAN-SUMEDANG-CILACAP BIOSCOOP. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Juli 2020

PURWAKARTA-SUBANG-CIANJUR-SUKABUMI-PELABUHAN RATU-KARAWANG-CIREBON-CIMAHI-PANGANDARAN-SUMEDANG-CILACAP BIOSCOOP

PURWAKARTA

PURWAKARTA PLAZA


PURWAKARTA RAYA




SUBANG

BIOSKOP ANGKASA
 
  
 
Bioskop Angkasa yang berlokasi di Jalan Raya Cipaku. Merupakan salah satu bioksop pertama yang ada di Kabupaten Subang, baru setelahnya muncul bioskop-bioskop lainnya seperti bioskop Shinta dan Chandra. Bioskop Angkasa sendiri berdiri sejak tahun 1980 an. Walaupun awal berdirinya hanya menggunakan bambu-bambu dan bes atau bangku semen yang membentuk seperti tribun. Bioskop Angkasa merupakan bioskop idola warga Kecamatan Cibogo dan sekitarnya kala itu.Bioskop Angkasa mulai dibangun dengan bahan bangunan beton di awal tahun 1990 an. Bioskop Angkasa sangat terkenal, bahkan ketika memutar film para pengunjung yang menonton bisa mencapai 150-200 orang. Judul-judul film yang disukai penonoton tahun 1980-1990an para pengunjung bioksop sangat menyukai aktor Barry Prima. Mulai film perang dan juga kolosalnya. Berbeda dengan film India yang kurang diminati saat itu.
 
BIOSKOP MINI SHINTA
Milik Abbas di Sukamandi


BIOSKOP CHANDRA


Ada bioskop yang pernah berjaya. Chandra namanya. Terletak di tengah kota. Dekat kemana-kemana. Masa puncak jayanya Chandra kalau tak salah sebelum Orde Baru tumbang. Nyaris setiap setelah Jumat'an, hari Sabtu dan Ahad siang selaku penuh. Hari-hari biasa pun juga cukup penuh dengan harga tiket yang tak terlalu mahal. Dari situlah kami mengenal istilah midnight show, matinee show, atau yang lainnya. . Apalagi kalau film yang akan diputar itu pemeran utamanya adalah Jet Lee atau Jacky Chan. Sudah pasti berjubel di loket pembelian. Calo tiket pun tak kalah gesit. Sudah pasti harganya agak mahal daripada beli di loket resmi . Selain bioskop Chandra, juga ada bioskop Sinta. Letaknya di depan kantor BRI Cabang sekarang atau yang kini ditempati Warung Upnormal. Mungkin Sinta lebih jauh umurnya dibanding Chandra. Nonton di Sinta hanya sekali saja, ketika diwajibkan oleh sekolah untuk beramai ramai melihat film Cut Nyak Dien yang dibintangi oleh Christine Hakim . Kini, dua-duanya sudah tak ada. Hanya kenangan saja . Ketika membaca buku "Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa" yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran, saya menemukan fakta sejarah bahwa pada masa kolonial, di Subang terdapat dua bioskop. Pertama, Societeit Soebang yang bertempat di Subang, dan kedua adalah Bioscoop yang berlokasi di Sukamandi. Societeit dipunyai oleh Bestuur, dan Bioscoop Soekamandi dipunyai oleh Adm. Vezelonderneming . Masuk akal kalau dua bioskop itu pernah ada di Subang. Hal pertama bahwa kedua tempat itu merupakan salah dua tempat operasi perkebunan P & T Land di Subang. Dan yang kedua bisa dipastikan bahwa kedua bioskop itu hanya diperuntukkan bagi administratur kolonial saja


CIANJUR - CIPANAS

Bioskop Century

Bioskop Cipanas Theater

Bioskop CIPANAS Theater.
Bioskop SINAR Theater, Jl. Dewi Sartika, sering memutar film , komedi, drama, Romantis, hingga kolosal.
Bioskop Plaza, Jl. HOS Cokroaminoto, sering memutar film Mandarin.
Bioskop PUSAKA, Jl HOS Cokroaminoto, sering memutar film Hollywood.
Bioskop DUNIA BARU,
Bioskop CENTURY


SUKABUMI

BIOSKOP INDRA


Lokasinya kini diapit Kantor Pos dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Jalan Jend. Ahmad Yani, Kota sukabumi. Di masa jayanya, film Indonesia dan Bollywood diputar secara bergantian di bioskop ini.

CAPITOL THEATRE


Bioskop ini juga berlokasi di Jend. Jalan Ahmad Yani. Bioskop yang awalnya bernama Bioskop Mayawati, punya kekhasan memiliki tempat duduk di balcony. Capitol memutar semua jenis film baik Hollywood, Indonesia, dan Mandarin.

SHOOPING THEATRE
Tak hanya nonton film, di Shopping Theatre pengunjung juga bisa berbelanja, dan anak-anak bisa bermain Ding-Dong dulu. Shopping Theatre terletak di Jalan Jend. Ahmad Yani. Jika dilihat kini posisinya bersebrangan dengan Supermall. Film-film yang diputar di bioskop ini sama halnya seperti Capitol Theatre. Uniknya penonton duduk di kursi terbuat dari kayu.

ROYAL THEATRE


Bioskop dengan ruangan luas ini, dibagi tiga kelas dengan tempat duduk kayu. Saat memesan karcis Kelas 1, calon penonton biasanya akan diberi pilihan apakah ingin duduk di bawah atau balkon. Kondisi kekinian, bioskop ini telah berganti menjadi Royal Tech.

BIOSKOP NUSANTARA




PELABUHAN RATU




KARAWANG


Asep Supriatna (49) pengurus gedung Nusantara, sekaligus gudang film milik keluarga Muhsin, bercerita mengenai masa-masa kejayaan bioskop Muhsin di kawasan Jawa Barat tersebut.Di Karawang Muhsin karib dikenal Moksen. Pada tahun 1970 hingga 1980an, Moksen dan keluarganya dikenal mendirikan sejumlah bioskop di Karawang misalnya Bioskop Nusantara, Samudra, Seroja, Johar Studio 1234 hingga Karawang Theatre. Tak cuma Karawang, jaringan bioskop keluarga Moksen juga menjamah wilayah Rengasdengklok hingga Cilamaya.

Meski berjaya hingga dijuluki sebagai raja bioskop Karawang, kejayaan jaringan bioskop keluarga Moksen mulai meredup seiring dengan perubahan zaman yang dipenuhi berbagai teknologi canggih.Satu per satu bioskop milik keluarga Moksen tutup akibat omzet penonton yang terus menurun. Yang terakhir tutup adalah Karawang Theatre. Bioskop yang didirikan 31 Maret 1988 itu memutar film terakhirnya pada 6 Februari 2019. Film terakhir yang ditonton adalah Tembang Lingsir dan Terlalu Tampan. Penonton terakhir bioskop itu mencapai 371 orang.

Sembari bercerita mengenai nostalgia kejayaan jaringan bioskop keluarga Moksen, Asep turut serta menunjukkan berbagai alat yang dahulu kerap digunakan untuk memutar film di bioskop diantaranya sejumlah proyektor dan puluhan ribu roll film.Menurunnya pendapatan dari bisnis bioskop tersebut membuat satu per satu bioskop yang dahulu menayangkan berbagai film populer itu mulai tutup dan beralih fungsi. Salah satunya adalah Bioskop Karawang Theatre yang merupakan bioskop legendaris di Karawang.

Menurut Asep, tak sedikit gedung-gedung bioskop tersebut yang kini beralih fungsi menjadi toko buku hingga tempat fitnes. Adapun Gedung Karawang Theatre masih dipertahankan. Di dalamnya masih tersimpan 700 bangku penonton di 2 studio.Saat ini, sejumlah aset bioskop Keluarga Moksen tersimpan rapi di gudang mereka, Jalan Tujuh Pahlawan Revolusi Karawang.

Namun kemungkinan Moksen Husin akan memusnahkan ribuan film tersebut.Moksen mengatakan tutupnya bioskop-bioskop miliknya itu salah satunya terkait dengan teknologi.


CIREBON
BIOSKOP ANGKASA


Kota Cirebon saat ini menjadi penguasa hiburan, khususnya gedung pertunjukan film atau bioskop di wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Sedikitnya ada empat bioskop yang beroperasi di Cirebon.

Bukan hanya sekarang, rupanya sejak 1970-an Cirebon menjadi salah satu tempat favorit untuk menonton bioskop. Zaman itu, Cirebon memiliki tujuh bioskop legendaris.

Bioskop itu terdiri Abadi-Murni, Seroja atau Paradise, Galaksi, Star Theater, Cirebon Theater, Mandala Theater, dan Sridara atau yang lebih dikenal dengan sebutan 'misbar', akronim dari gerimis bubar. Ya, studio Mandala Theater itu tak memiliki atap.

Kini gedung bioskop legendaris tersebut sudah beralih fungsi. Ada yang jadi kantor perbankan, pertokoan, dan lahan kosong.

Kasie Kesenian Dinas Kepemudaan Olahraga Kebudayaan dan Pariwsata (DKOKP) Kota Cirebon Dede Wahidin mengungkapkan bioskop Paradise dan Abadi-Murni merupakan terfavorit dari tujuh bioskop legendaris yang ada di Cirebon. Dede menceritakan kenangan manisnya saat menonton di dua bioskop favorit tersebut. Kala itu, menurut Dede, film asli Indonesia merajai bioskop.

"Ya tahun 1970 atau sampai 80-an paling banyak film-film Indonesia. Dulu Rhoma Irama paling banyak ditonton, termasuk saya suka menonton itu,"

harga tiket menonton bioskop hanya Rp 200 hingga Rp 300. Ia menyebut salah satu faktor runtuhnya kejayaan tujuh bioskop legendaris itu karena hadirnya Cirebon Mall yang menggandeng Cineplex 21.

"Sekarang sudah jadi pertokoan, ada juga yang jadi gedung pertemuan. Setelah ada Cirebon Mall, kemudian bioskop lama itu hilang. Karena muncul 21," ujarnya.

"Setelah itu, muncul beberapa mal lagi. Hingga sekarang ada XXI, 21, CGV," ucap Dede menambahkan.

Senada disampaikan penikmat film aktif sejak tahun 70-an yang juga Dosen Komunikasi IAIN Sykeh Nurjati Cirebon, Saefulah Badar. Selain munculnya Cineplex 21 di Cirebon, beberapa faktor lain yang membuat runtuhnya kejayaan bioskop legendaris di Cirebon gegara kemunculan DVD dan VCD serta tayangan televisi swasta.

"Pertama hilang itu Abadi Murni, karena lokasinya berhadapan langsung dengan Cirebon Mall atau Hero. Kemudian diikuti dengan yang lainnya," tutur Badar.

Menurut Badar, tujuh bioskop legendaris tersebut merupakan hiburan satu-satunya di Cirebon. Ia mengaku kerap mengantre demi menonton film yang dibintangi Rhoma Irama dan film Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro). Antrean selalu terjadi saat momen liburan dan akhir pekan.

"Semua bioskop ramai. Dulu itu film barat nggak ada, adanya India. Ya favoritnya film Rhoma Irama, pasti antre," kata pria berambut putih ini.

Salah satu bioskop favorit Badar yaitu Misbar atau Sridara. Sewaktu masa seragam putih abu-abu, Badar mengaku rutin menonton di Sribadara. Sebab, ia menjelaskan, harga tiketnya lebih murah dibandingkan dengan yang lain.

"Di Misbar itu ada istilah 'mateni show', pemutaran filmnya dua kali tapi cukup bayar Rp 100, harga untuk menonton satu film. Pemutarannya dimulai dari pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB, setiap hari Sabtu," ujar Badar.


CIMAHI

Cimahi - Sedikitnya tujuh bioskop di Kota Cimahi gulung tikar sejak tahun 1937. Bioskop-bioskop ini tak bisa bertahan, karena tergerus modernisasi, seperti munculnya film dalam kepingan VCD pada tahun 2000-an.

Salah satunya adalah bioskop Rio atau Rio Theatre. Studio besutan pengusaha bioskop Elita Concern, F.A.A Buse ini menjadi yang pertama dibangun di Cimahi, tepatnya pada tahun 1937. 

RIO THEATER



Awalnya, Rio dijadikan tempat hiburan bagi para tentara Belanda dan kaum elite di Cimahi. Bioskop ini telah tutup pada medio 2000-an.

Selain itu ada Bioskop Harapan. Bioskop ini dibangun tahun 1960, lokasinya persis di seberang Rio. Kini tempat itu telah berubah menjadi pusat niaga Ramayana.
 
Sebelum jadi Ramayana, tahun 1983, sempat ada bioskop Cimahi Mekar atau Cimek (pengganti Bioskop Harapan). Kemudian bioskop Misbar di Babakan, sekarang bangunan ini ditutupi seng tinggi dan terpasang spanduk dijual di depannya. Tampak rerumputan tinggi tumbuh liar di halamannya.

"Ada juga bioskop Rex, tempatnya di Kodim. Sekarang jadi Gedung Siliwangi, dulu itu dibangun oleh Belanda pada tahun 1940-1950," ucapnya.

Lalu ada juga, Bioskop Angkasa yang berada di Leuwigajah. Konon, di tempat ini bila hujan turun, para penonton bubar karena terguyur air hujan. "Sekarang juga sudah tidak ada, karena terpotong oleh Tol Purbaleunyi," 

Terakhir, adalah Bioskop Cimahi 21 di Gedung yang menjadi Transmart saat ini.

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Cimahi Budi Raharja mengatakan, gulung tikarnya bioskop tersebut karena tergerus modernisasi.

"Sekitar tahun 2000-an muncul demam VCD, diperparah dengan munculnya kaset VCD bajakan. Jadinya banyak pengusaha bioskop yang kesulitan," kata Budi saat ditemui di ruang kerjanya.

Selain itu, banyak warga Kota Cimahi yang menonton ke Bandung. "Karena dulu juga kan kasetnya masih konvensional, jadi roll film itu dibawa. Di Cimahi seringnya filmnya telat, jadi dua minggu sudah tayang di Bandung, di Cimahi baru tayang kemudian," 

BIOSKOP CIMAHI MUDUN (CIDUN)
Bioskop ini juga terkenal sebagai Misbar atau ‘gerimis bubar’ karena bangunannya terbuka tanpa atap. 


REX CIMAHI



CIAMIS


 BIOSKOP KENANGAN

Bioskop Kenanga adalah salah satu tempat hiburan rakyat, yang paling banyak diminati masyarakat Banjar, Ciamis selatan, dan Cilacap barat. Film yang diputar di bioskop ini fim barat, film nasional dan India. Bioskop Kenanga dengan arsitektur Art Deco (Belanda) yang dibangun di era tahun 1930, sebagai tempat hiburan kaum kolonial Belanda, bangsawan dan orang asing seperti China pengusaha berkelas. Orang kecil yang disebut Inlander, tak bisa masuk ke tempat itu.

Bangunan yang termegah saat itu, diawal kemerdekaan RI berubah menjadi pabrik tenun tapi tidak lama. Bangunan itu dirubah menjadi biskop (GEDUNG FILM) bernama Rialto, menjadi tempat hiburan yang sangat digemari masyarakat Banjar yang mengubah citra Banjar menjadi “Kota tak pernah tidur”. Pasalnya, tak jauh dari gedung Biskop ada pasar Banjar dan stamplet bus, agak ke selatan ada stasiun kereta api, dan hotel Sukapura (sekarang menjadi gedung BNI) selain itu di sekitar stasiun bermunculan losmen-losmen dan warung makan.

Setelah meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 bioskop itu menjadi tempat tahan politik G 30 S/PKI sampai tahun 1967. Kembali lagi menjadi bioskop tapi namanya diganti menjadi bioskop Patroman, dan di awal tahun 1970 bioskop itu berganti nama lagi menjadi Bioskop Kenanga. Kepemilikan gedung bioskop merupakan aset Pemda Provinsi sampai sekarang.

Di massa jayanya gedung bioskop Kenanga, pernah memutar film barat yang kesohor seperti Benhur, Cleopatra, James Bond 007, dan film nasional pejuang, Jendral Kancil, Mat Codet. Tiga Dara dll, juga film India yang terkenal dengan bintang filmnya Amitabh Bachchan. Penontonnya  berdatangan dari Cijulang, Parigi, Pangandaran, Kalipucang, Padaherang, Lakbok, Banjarsari, Pamarican, Cisaga, dan Rancah itu dari wilayah Kabupaten Ciamis. Dan dari Kabupaten Cilacap, Majenang, Dayeuhluhur, Wanareja, Sidareja datang hanya untuk menonton film.

Penggemar bioskop yang berdatang dari luar kota menyempatkan waktu, sampai menginap di hotel dan losmen-losmen. Sambil berbelanja pakaian, bahkan menonton sandiwara dengan bintang panggung waktu itu Simata Roda dari Semarang dan bintang keroncong dari Yogyakarta. Karena selain hiburan bioskop, sandiwara, ada pasar malam yang menampilkan orkes keroncong dengan bintang tenar masa itu. Kenapa bioskop di Banjar saat itu sangat laku, lebih bagus film-film yang diputar sama dengan di Tasikmalaya yang juga diserbu penonton dari Ciamis. Film yang diputar di Banjar baru masuk ke bioskop Pusaka di Ciamis.

Itu cerita Bioskop Kenanga tempo doeloe, bagaimana nasib Bioskop Kenanga yang pernah tersohor itu sekarang. Gedung bioskop itu sekarang menjadi rumah hantu, tak terurus rusak berat ditumbuhi ilalang. Hanya tinggal menunggu waktu akan roboh sendirinya, yang dikhawatirkan menimpa orang. Karena berada di kawasan perdagangan yang ramai di kota Banjar dan di sekitarnya bermunculan pedagang kaki lima yang ramai sampai malam.

Seperti di musim kemarau ini, bila terjadi kebakaran di areal Bioskop Kenanga bisa menghanguskan Kota Banjar, nampaknya Pemerintah Kota Banjar dan masyarakat di sekitar terutama para PKL kurang peduli menjaga keamanan dan kebersihan.


BIOSKOP PUSAKA
Bioskop Pusaka atau Swadaya sebagai pusat hiburan yang diandalkan pemuda era 60-an hingga 90-an. Bioskop tersebut memiliki kesan tersendiri. Mamat (59), warga Ciamis, menceritakan saat usianya 7 tahun atau pada 1967, dua bioskop legendaris tersebut sudah berdiri lama menyapa warga.





PANGANDARAN

Bioskop Nanjung


SUMEDANG

BIOSKOP PASIFIC


“Waktu itu, masyarakat suka menyebut akan menonton gambar hidup Gedung Boesee. Karena memang yang membangunnya seorang bangsawan Belanda bernama Tuan Boesee,”

Pada masa penjajahan Jepang, Bioskop Pasific sempat mengalami perubahan nama menjadi Gedung Sakura. Lalu berganti menjadi Bioskop Tjahaya, Bioskop Kutamaya dan akhirnya kembali lagi mengunakan nama aslinya Bioskop Pasifik.

Memiliki nilai histroris, mestinya Bioskop Pasific dilestarikan dan dipelihara orisinalitasnya. Sayang, kini gedung itu, menurut Herman, kehilangan jati dirinya.  Bioskop Fasific sekarang menjadi sebuah pasar raya dengan ornamen full colour.

Padahal, kata dia,  dalam Undang-undang Nomor 5/Tahun 2004 tentang Benda Cagar Budaya, ditegaskan perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya.

Perlu diketahui, Gedung Bioskop "Pasific" yang sebelumnya bernama Bioskop "Kutamaya" waktu itu memang hadir dan ada di Kota Kecil, yaitu Kota Kabhupatian Sumedang, yang nota benenya kota kecil yang tidak banyak dihuni oleh para ambtenar Belanda (Walanda). Namun saking besar pengaruh dan dampak sistem komando / perintah pusat (Batavia) atau (Wet op de ruimtelijke ordening / Wro) , maka si anember (pelaksana pembangunan Gedung) lokal wilayah Kabupaten Sumedang mengikuti serta mentaati perintah pusat, terlebih zaman dahulu konon katanya perijinan membangun harus mematuhi aturan pemerintahan penjajah. Oleh karena itulah Gedung Bioskop Pasific di design pada bagian muka bagunannya seperti muka dan puncak kapal Pelayaran yang dipadukan dengan bentuk maupun gaya lokal, yaitu bangunan yang ada di bagian belakang muka kapal pelayaran itu.

Pengaruh dan gaya arsitek Belanda (Eropa) tersebut memang terus melekat dan kuat sampai kepada masa pasca kemerdekaan RI tahun 1945 – 1965.

Dan Memang Gedung Bioskop Pasific itu indah di saat lingkungan dan visual kawasannya tidak “ribet dan kumuh” dapatkah dengan cara dan kekumuhan tersebut “Bangunan ex Pasific” itu bisa indah lebih indah, apalagi bisa berkharisma yang mencerminkan keapikan, ketelatenan dan kebagusan kinerja pengelola kota?

Dalam Sejarahnya
Bioskop Pasifik adalah salahsatu bioskop yang pernah berdiri di Kabupaten Sumedang, selain Bioskop Diana. Berbeda dari Bioskop Diana, Bioskop Pasifik termasuk bioskop tua. Menurut beberapa sumber, bioskop ini dibangun sejak tahun 1020-an oleh bangsawan Belanda bernama Boesee dan diresmikan oleh Pangeran Soeria Soemantri.

Dalam perkembangannya, bioskop ini pernah berganti nama beberapa kali. Setelah dibangun dengan nama Bioskop Pasifik, kemudian berganti nama menjadi Bioskop Sakura pada masa penjajahan Jepang, lalu berubah menjadi Bioskop Tjahaja,  Bioskop Kutamaya, dan berganti lagi Bioskop Pasifik. Belakangan, setelah tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemutaran film, bangunan  tua ini dinamakan Pasifik Hariring.

Pada tahun 1923-an, ada peristiwa sejarah menyangkut bioskop ini.  

Sama dengan di daerah lain, di Sumedang juga pernah terjadi gejolak politik lokal, yakni antara Sarekat Rakyat yang berdiri lebih dulu dan Sarekat Hijau yang berdiri belakangan. Sarekat Rayat, dalam perkembangannya memiliki tingkat militansi yang cukup tinggi dan mengembangkan sikap kasar dan radikal terutama kepada Pemerintah, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, dan Sarekat Hijau.  Sarekat Rayat yang dipimpin Ujang Kaih dan diklaim  binaan PKI tersebut pada akhirnya menjadi ancaman bagi pemerintah dan kaum bangsawan Sumedang.

Khawatir Sarekat Rakyat makin kuat, seorang Patih Sumedang pada tahun 1923-an kemudian terang-terangan mendukung pendirian Sarekat Hijau sebagai perkumpulan para petani yang bertujuan untuk saling membantu dalam urusan kematian. Saat itu, Patih Sumedang mewajibkan penduduknya menjadi anggota Sarekat Hijau. Kepala desa diberi wewenang untuk menghukum penduduknya yang menolak masuk ke dalam perkumpulan ini.  Dengan arahan Patih Sumedang tersebut, Sarekat Hijau berkembang sangat pesat. Anggotanya mencapai puluhan ribu dan menyebar hingga ke wilayah lain di luar Sumedang.  Kendati kuat, Sarekat Hijau berbeda dari Sarekat Rakyat. Sarekat Hijau disebutkan selalu bersikap kooperatif kepada pemerintah sehingga keberadaannya tidak dipandang sebagai suatu ancaman.

Suatu ketika, pengurus dan para anggota Sarekat Rakyat mengajukan izin menggunakan Bioskop Pasifik untuk keperluan rapat intern organisasi. Akan tetapi, permohonan tersebut ditolak pengurus bioskop karena mereka tidak simpati terhadap radikalisme yang dikembangkan Sarekat Rakyat. Tidak terima dengan penolakan itu, pengurus Sarekat Rakyat melarang para anggotanya untuk menonton film yang diputar di bioskop itu. Sarekat Rakyat pun menghalang-halangi masyarakat yang hendak menonton film dengan melempari dan membuat keributan di sekitar Bioskop Pasifik.

Pengelola bioskop tak kalah akal. Supaya tidak sepi dari penonton,  pengelolanya kemudian memberikan potongan harga tiket pertunjukan terutama bagi masyarakat Sumedang yang menjadi anggota Sarekat Hijau. Promosi tersebut rupanya berhasil dengan baik karena setiap pemutaran film selalu dipenuhi oleh penonton yang sebagian besar berstatus sebagai anggota Sarekat Hijau.

Suatu ketika, karena ingin menonton film juga dengan potongan harga karcis, sejumlah anggota Sarekat Rayat datang ke bioskop untuk menonton. Tentu, mereka juga meminta potongan harga tiket seperti diberikan kepada para anggota Sarekat Hijau.

Akan tetapi, pengelola bioskop menolak permintaan mereka dan menjual tiket dengan harga normal. Penolakan tersebut memicu amarah para anggota Sarekat Rakyat. Seketika, mereka melakukan penyerangan kepada pengurus dan penjaga bioskop. Pengelola bioskop berusaha untuk melawan sambil berteriak minta pertolongan. Teriakan itu didengar oleh orang-orang di sekitar bioskop dan Pasar Sumedang, yang letaknya tidak jauh dari Bioskop Pasifik. Orang-orang itu lantas menyerang balik anggota Sarekat Rakyat sehingga kejadian itu berubah menjadi perkelahian massal. 

Setelah sekian lama perkelahian massal tersebut berlangsung, jumlah anggota Sareka Hijau yang terlibat semakin banyak. Akibatnya, anggota Sarekat Rakyat mundur teratur dan perkelahian massal pun dapat dihentikan seiring dengan datangnya polisi ke lokasi perkelahian.

Peristiwa itu pada akhirnya sampai ke meja Gubernur Jenderal di Istana Bogor dan menjadi bahan pembicaraan di kalangan para pejabat Pemerintah Hindia Belanda. Setelah mempelajari peristiwa tersebut, pemerintah mengambil tindakan tegas dengan memasukan Sarekat Rakyat ke dalam daftar perkumpulan yang perlu diawasi gerak-geriknya karena dipandang mengancam ketertiban umum. Sebaliknya, Sarekat Hijau dibiarkan berkembang karena menunjukkan sikap kooperatif kepada pemerintah.


CILACAP

Dulu ada Bioskop SINAR dan RAJAWALI, lalu tutup tahun 1998.

 Bioskop Sinar Cilacap

BIOSKOP TJAHAJA MAJENANG



Lokasinya berada di Jl. Kiadeg No.118, Jenang Utara, Jenang, Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Gedung bioskop berdiri persis di pinggir jalan utama.  hanya ada 1 studio yang digunakan. Untuk urusan fasilitas, Bioskop Tjahaja sebetulnya tidak kalah dengan bioskop-bioskop modern. Deretan kursi berwarna biru ditata sedemikian rupa hingga terlihat rapi dan bersih. Ruangan bioskop juga dilengkapi air conditioner (AC), layar lebar dan audio yang kualitasnya juga sangat memumpuni. Harga tiketnya hanya Rp10 ribu

Era sekarang muncul 
DAKOTA CINEMA CILACAP dan DAKOTA CINEMA KROY