PURWAKARTA
PURWAKARTA PLAZA
PURWAKARTA RAYA
SUBANG
BIOSKOP CHANDRA
BIOSKOP ANGKASA
Bioskop Angkasa yang berlokasi di Jalan Raya Cipaku. Merupakan salah satu bioksop pertama yang ada di Kabupaten Subang, baru
setelahnya muncul bioskop-bioskop lainnya seperti bioskop Shinta dan
Chandra. Bioskop Angkasa sendiri berdiri sejak tahun 1980 an. Walaupun awal
berdirinya hanya menggunakan bambu-bambu dan bes atau bangku semen yang
membentuk seperti tribun. Bioskop Angkasa merupakan bioskop idola warga
Kecamatan Cibogo dan sekitarnya kala itu.Bioskop Angkasa mulai dibangun dengan bahan bangunan beton di awal tahun 1990 an. Bioskop Angkasa sangat terkenal, bahkan ketika memutar film para pengunjung yang menonton bisa mencapai 150-200 orang. Judul-judul film yang disukai penonoton tahun 1980-1990an para
pengunjung bioksop sangat menyukai aktor Barry Prima. Mulai film perang
dan juga kolosalnya. Berbeda dengan film India yang kurang diminati saat
itu.
BIOSKOP CHANDRA
Ada bioskop yang pernah berjaya. Chandra namanya. Terletak di tengah
kota. Dekat kemana-kemana. Masa puncak jayanya Chandra kalau tak salah
sebelum Orde Baru tumbang. Nyaris setiap setelah Jumat'an, hari Sabtu
dan Ahad siang selaku penuh. Hari-hari biasa pun juga cukup penuh dengan
harga tiket yang tak terlalu mahal. Dari situlah kami mengenal istilah
midnight show, matinee show, atau yang lainnya.
.
Apalagi kalau film yang akan diputar itu pemeran utamanya adalah Jet Lee
atau Jacky Chan. Sudah pasti berjubel di loket pembelian. Calo tiket
pun tak kalah gesit. Sudah pasti harganya agak mahal daripada beli di
loket resmi
.
Selain bioskop Chandra, juga ada bioskop Sinta. Letaknya di depan kantor
BRI Cabang sekarang atau yang kini ditempati Warung Upnormal. Mungkin
Sinta lebih jauh umurnya dibanding Chandra. Nonton di Sinta hanya sekali
saja, ketika diwajibkan oleh sekolah untuk beramai ramai melihat film
Cut Nyak Dien yang dibintangi oleh Christine Hakim
.
Kini, dua-duanya sudah tak ada. Hanya kenangan saja
.
Ketika membaca buku "Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa" yang
ditulis oleh Misbach Yusa Biran, saya menemukan fakta sejarah bahwa pada
masa kolonial, di Subang terdapat dua bioskop. Pertama, Societeit
Soebang yang bertempat di Subang, dan kedua adalah Bioscoop yang
berlokasi di Sukamandi. Societeit dipunyai oleh Bestuur, dan Bioscoop
Soekamandi dipunyai oleh Adm. Vezelonderneming
.
Masuk akal kalau dua bioskop itu pernah ada di Subang. Hal pertama bahwa
kedua tempat itu merupakan salah dua tempat operasi perkebunan P & T
Land di Subang. Dan yang kedua bisa dipastikan bahwa kedua bioskop itu
hanya diperuntukkan bagi administratur kolonial saja
CIANJUR - CIPANAS
Bioskop Century
Bioskop Cipanas Theater
Bioskop CIPANAS Theater.
Bioskop SINAR Theater, Jl. Dewi Sartika, sering memutar film , komedi, drama, Romantis, hingga kolosal.
Bioskop Plaza, Jl. HOS Cokroaminoto, sering memutar film Mandarin.
Bioskop PUSAKA, Jl HOS Cokroaminoto, sering memutar film Hollywood.
Bioskop DUNIA BARU,
Bioskop CENTURY
SUKABUMI
BIOSKOP INDRA
Lokasinya kini diapit Kantor Pos dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Jalan Jend. Ahmad Yani, Kota sukabumi. Di masa jayanya, film Indonesia dan Bollywood diputar secara bergantian di bioskop ini.
CAPITOL THEATRE
Bioskop ini juga berlokasi di Jend. Jalan Ahmad Yani. Bioskop yang awalnya bernama Bioskop Mayawati, punya kekhasan memiliki tempat duduk di balcony. Capitol memutar semua jenis film baik Hollywood, Indonesia, dan Mandarin.
SHOOPING THEATRE
Tak hanya nonton film, di Shopping Theatre pengunjung juga bisa berbelanja, dan anak-anak bisa bermain Ding-Dong dulu. Shopping Theatre terletak di Jalan Jend. Ahmad Yani. Jika dilihat kini posisinya bersebrangan dengan Supermall. Film-film yang diputar di bioskop ini sama halnya seperti Capitol Theatre. Uniknya penonton duduk di kursi terbuat dari kayu.
ROYAL THEATRE
Bioskop dengan ruangan luas ini, dibagi tiga kelas dengan tempat duduk kayu. Saat memesan karcis Kelas 1, calon penonton biasanya akan diberi pilihan apakah ingin duduk di bawah atau balkon. Kondisi kekinian, bioskop ini telah berganti menjadi Royal Tech.
BIOSKOP NUSANTARA
PELABUHAN RATU
KARAWANG
Asep Supriatna (49) pengurus gedung Nusantara, sekaligus gudang film
milik keluarga Muhsin, bercerita mengenai masa-masa kejayaan bioskop
Muhsin di kawasan Jawa Barat tersebut.Di Karawang Muhsin karib dikenal
Moksen. Pada tahun 1970 hingga 1980an, Moksen dan keluarganya dikenal
mendirikan sejumlah bioskop di Karawang misalnya Bioskop Nusantara,
Samudra, Seroja, Johar Studio 1234 hingga Karawang Theatre. Tak cuma
Karawang, jaringan bioskop keluarga Moksen juga menjamah wilayah
Rengasdengklok hingga Cilamaya.
Meski berjaya hingga dijuluki sebagai raja bioskop Karawang, kejayaan
jaringan bioskop keluarga Moksen mulai meredup seiring dengan perubahan
zaman yang dipenuhi berbagai teknologi canggih.Satu per satu bioskop
milik keluarga Moksen tutup akibat omzet penonton yang terus menurun.
Yang terakhir tutup adalah Karawang Theatre. Bioskop yang didirikan 31
Maret 1988 itu memutar film terakhirnya pada 6 Februari 2019. Film
terakhir yang ditonton adalah Tembang Lingsir dan Terlalu Tampan.
Penonton terakhir bioskop itu mencapai 371 orang.Sembari bercerita mengenai nostalgia kejayaan jaringan bioskop keluarga Moksen, Asep turut serta menunjukkan berbagai alat yang dahulu kerap digunakan untuk memutar film di bioskop diantaranya sejumlah proyektor dan puluhan ribu roll film.Menurunnya pendapatan dari bisnis bioskop tersebut membuat satu per satu bioskop yang dahulu menayangkan berbagai film populer itu mulai tutup dan beralih fungsi. Salah satunya adalah Bioskop Karawang Theatre yang merupakan bioskop legendaris di Karawang.
Menurut Asep, tak sedikit gedung-gedung bioskop tersebut yang kini beralih fungsi menjadi toko buku hingga tempat fitnes. Adapun Gedung Karawang Theatre masih dipertahankan. Di dalamnya masih tersimpan 700 bangku penonton di 2 studio.Saat ini, sejumlah aset bioskop Keluarga Moksen tersimpan rapi di gudang mereka, Jalan Tujuh Pahlawan Revolusi Karawang.
Namun kemungkinan Moksen Husin akan memusnahkan ribuan film tersebut.Moksen mengatakan tutupnya bioskop-bioskop miliknya itu salah satunya terkait dengan teknologi.
CIREBON
BIOSKOP ANGKASA
Kota Cirebon saat ini menjadi penguasa hiburan, khususnya gedung pertunjukan film atau bioskop di wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Sedikitnya ada empat bioskop yang beroperasi di Cirebon.
Bukan hanya sekarang, rupanya sejak 1970-an Cirebon menjadi salah satu tempat favorit untuk menonton bioskop. Zaman itu, Cirebon memiliki tujuh bioskop legendaris.
Bioskop itu terdiri Abadi-Murni, Seroja atau Paradise, Galaksi, Star Theater, Cirebon Theater, Mandala Theater, dan Sridara atau yang lebih dikenal dengan sebutan 'misbar', akronim dari gerimis bubar. Ya, studio Mandala Theater itu tak memiliki atap.
Kini gedung bioskop legendaris tersebut sudah beralih fungsi. Ada yang jadi kantor perbankan, pertokoan, dan lahan kosong.
Kasie Kesenian Dinas Kepemudaan Olahraga Kebudayaan dan Pariwsata (DKOKP) Kota Cirebon Dede Wahidin mengungkapkan bioskop Paradise dan Abadi-Murni merupakan terfavorit dari tujuh bioskop legendaris yang ada di Cirebon. Dede menceritakan kenangan manisnya saat menonton di dua bioskop favorit tersebut. Kala itu, menurut Dede, film asli Indonesia merajai bioskop.
"Ya tahun 1970 atau sampai 80-an paling banyak film-film Indonesia. Dulu Rhoma Irama paling banyak ditonton, termasuk saya suka menonton itu,"
harga tiket menonton bioskop hanya Rp 200 hingga Rp 300. Ia menyebut salah satu faktor runtuhnya kejayaan tujuh bioskop legendaris itu karena hadirnya Cirebon Mall yang menggandeng Cineplex 21.
"Sekarang sudah jadi pertokoan, ada juga yang jadi gedung pertemuan. Setelah ada Cirebon Mall, kemudian bioskop lama itu hilang. Karena muncul 21," ujarnya.
"Setelah itu, muncul beberapa mal lagi. Hingga sekarang ada XXI, 21, CGV," ucap Dede menambahkan.
Senada disampaikan penikmat film aktif sejak tahun 70-an yang juga Dosen Komunikasi IAIN Sykeh Nurjati Cirebon, Saefulah Badar. Selain munculnya Cineplex 21 di Cirebon, beberapa faktor lain yang membuat runtuhnya kejayaan bioskop legendaris di Cirebon gegara kemunculan DVD dan VCD serta tayangan televisi swasta.
"Pertama hilang itu Abadi Murni, karena lokasinya berhadapan langsung dengan Cirebon Mall atau Hero. Kemudian diikuti dengan yang lainnya," tutur Badar.
Menurut Badar, tujuh bioskop legendaris tersebut merupakan hiburan satu-satunya di Cirebon. Ia mengaku kerap mengantre demi menonton film yang dibintangi Rhoma Irama dan film Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro). Antrean selalu terjadi saat momen liburan dan akhir pekan.
"Semua bioskop ramai. Dulu itu film barat nggak ada, adanya India. Ya favoritnya film Rhoma Irama, pasti antre," kata pria berambut putih ini.
Salah satu bioskop favorit Badar yaitu Misbar atau Sridara. Sewaktu masa seragam putih abu-abu, Badar mengaku rutin menonton di Sribadara. Sebab, ia menjelaskan, harga tiketnya lebih murah dibandingkan dengan yang lain.
"Di Misbar itu ada istilah 'mateni show', pemutaran filmnya dua kali tapi cukup bayar Rp 100, harga untuk menonton satu film. Pemutarannya dimulai dari pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB, setiap hari Sabtu," ujar Badar.
CIMAHI
Cimahi - Sedikitnya tujuh bioskop di Kota Cimahi
gulung tikar sejak tahun 1937. Bioskop-bioskop ini tak bisa bertahan,
karena tergerus modernisasi, seperti munculnya film dalam kepingan VCD
pada tahun 2000-an.
Salah satunya adalah bioskop Rio atau Rio Theatre. Studio besutan pengusaha bioskop Elita Concern, F.A.A Buse ini menjadi yang pertama dibangun di Cimahi, tepatnya pada tahun 1937.
Salah satunya adalah bioskop Rio atau Rio Theatre. Studio besutan pengusaha bioskop Elita Concern, F.A.A Buse ini menjadi yang pertama dibangun di Cimahi, tepatnya pada tahun 1937.
RIO THEATER
Awalnya, Rio dijadikan tempat hiburan bagi para tentara Belanda dan kaum elite di Cimahi. Bioskop ini telah tutup pada medio 2000-an.
Selain itu ada Bioskop Harapan. Bioskop ini dibangun tahun 1960, lokasinya persis di seberang Rio. Kini tempat itu telah berubah menjadi pusat niaga Ramayana.
Sebelum jadi Ramayana, tahun 1983, sempat ada bioskop Cimahi Mekar atau Cimek (pengganti Bioskop Harapan). Kemudian bioskop Misbar di Babakan, sekarang bangunan ini ditutupi seng tinggi dan terpasang spanduk dijual di depannya. Tampak rerumputan tinggi tumbuh liar di halamannya.
"Ada juga bioskop Rex, tempatnya di Kodim. Sekarang jadi Gedung Siliwangi, dulu itu dibangun oleh Belanda pada tahun 1940-1950," ucapnya.
Lalu ada juga, Bioskop Angkasa yang berada di Leuwigajah. Konon, di tempat ini bila hujan turun, para penonton bubar karena terguyur air hujan. "Sekarang juga sudah tidak ada, karena terpotong oleh Tol Purbaleunyi,"
Terakhir, adalah Bioskop Cimahi 21 di Gedung yang menjadi Transmart saat ini.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Cimahi Budi Raharja mengatakan, gulung tikarnya bioskop tersebut karena tergerus modernisasi.
"Sekitar tahun 2000-an muncul demam VCD, diperparah dengan munculnya kaset VCD bajakan. Jadinya banyak pengusaha bioskop yang kesulitan," kata Budi saat ditemui di ruang kerjanya.
Selain itu, banyak warga Kota Cimahi yang menonton ke Bandung. "Karena dulu juga kan kasetnya masih konvensional, jadi roll film itu dibawa. Di Cimahi seringnya filmnya telat, jadi dua minggu sudah tayang di Bandung, di Cimahi baru tayang kemudian,"
BIOSKOP CIMAHI MUDUN (CIDUN)
Bioskop ini juga terkenal sebagai Misbar atau ‘gerimis bubar’ karena bangunannya terbuka tanpa atap.
CIAMIS
BIOSKOP KENANGAN
Bioskop Kenanga adalah salah satu tempat hiburan rakyat, yang paling banyak diminati masyarakat Banjar, Ciamis selatan, dan Cilacap barat. Film yang diputar di bioskop ini fim barat, film nasional dan India. Bioskop Kenanga dengan arsitektur Art Deco (Belanda) yang dibangun di era tahun 1930, sebagai tempat hiburan kaum kolonial Belanda, bangsawan dan orang asing seperti China pengusaha berkelas. Orang kecil yang disebut Inlander, tak bisa masuk ke tempat itu.
Bangunan yang
termegah saat itu, diawal kemerdekaan RI berubah menjadi pabrik tenun
tapi tidak lama. Bangunan itu dirubah menjadi biskop (GEDUNG FILM)
bernama Rialto, menjadi tempat hiburan yang sangat digemari masyarakat
Banjar yang mengubah citra Banjar menjadi âKota tak pernah tidurâ.
Pasalnya, tak jauh dari gedung Biskop ada pasar Banjar dan stamplet bus,
agak ke selatan ada stasiun kereta api, dan hotel Sukapura (sekarang
menjadi gedung BNI) selain itu di sekitar stasiun bermunculan
losmen-losmen dan warung makan.
Setelah meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 bioskop itu menjadi
tempat tahan politik G 30 S/PKI sampai tahun 1967. Kembali lagi menjadi
bioskop tapi namanya diganti menjadi bioskop Patroman, dan di awal tahun
1970 bioskop itu berganti nama lagi menjadi Bioskop Kenanga.
Kepemilikan gedung bioskop merupakan aset Pemda Provinsi sampai
sekarang.
Di massa jayanya gedung bioskop Kenanga, pernah memutar
film barat yang kesohor seperti Benhur, Cleopatra, James Bond 007, dan
film nasional pejuang, Jendral Kancil, Mat Codet. Tiga Dara dll, juga
film India yang terkenal dengan bintang filmnya Amitabh Bachchan.
Penontonnya berdatangan dari Cijulang, Parigi, Pangandaran,
Kalipucang, Padaherang, Lakbok, Banjarsari, Pamarican, Cisaga, dan
Rancah itu dari wilayah Kabupaten Ciamis. Dan dari Kabupaten Cilacap,
Majenang, Dayeuhluhur, Wanareja, Sidareja datang hanya untuk menonton
film.
Penggemar bioskop yang berdatang dari luar kota menyempatkan
waktu, sampai menginap di hotel dan losmen-losmen. Sambil berbelanja
pakaian, bahkan menonton sandiwara dengan bintang panggung waktu itu
Simata Roda dari Semarang dan bintang keroncong dari Yogyakarta. Karena
selain hiburan bioskop, sandiwara, ada pasar malam yang menampilkan
orkes keroncong dengan bintang tenar masa itu. Kenapa bioskop di Banjar
saat itu sangat laku, lebih bagus film-film yang diputar sama dengan di
Tasikmalaya yang juga diserbu penonton dari Ciamis. Film yang diputar di
Banjar baru masuk ke bioskop Pusaka di Ciamis.
Itu cerita Bioskop
Kenanga tempo doeloe, bagaimana nasib Bioskop Kenanga yang pernah
tersohor itu sekarang. Gedung bioskop itu sekarang menjadi rumah hantu,
tak terurus rusak berat ditumbuhi ilalang. Hanya tinggal menunggu waktu
akan roboh sendirinya, yang dikhawatirkan menimpa orang. Karena berada
di kawasan perdagangan yang ramai di kota Banjar dan di sekitarnya
bermunculan pedagang kaki lima yang ramai sampai malam.
Seperti di musim kemarau ini, bila terjadi kebakaran di areal Bioskop
Kenanga bisa menghanguskan Kota Banjar, nampaknya Pemerintah Kota Banjar
dan masyarakat di sekitar terutama para PKL kurang peduli menjaga
keamanan dan kebersihan.
BIOSKOP PUSAKA
Bioskop Pusaka atau Swadaya sebagai pusat hiburan yang diandalkan pemuda era 60-an hingga 90-an. Bioskop tersebut memiliki kesan tersendiri. Mamat (59), warga Ciamis, menceritakan saat usianya 7 tahun atau pada 1967, dua bioskop legendaris tersebut sudah berdiri lama menyapa warga.
PANGANDARAN
Bioskop Nanjung
SUMEDANG
BIOSKOP PASIFIC
“Waktu itu, masyarakat suka menyebut akan menonton gambar hidup Gedung
Boesee. Karena memang yang membangunnya seorang bangsawan Belanda
bernama Tuan Boesee,”
Pada masa penjajahan Jepang, Bioskop Pasific sempat mengalami perubahan nama menjadi Gedung Sakura. Lalu berganti menjadi Bioskop Tjahaya, Bioskop Kutamaya dan akhirnya kembali lagi mengunakan nama aslinya Bioskop Pasifik.
Memiliki nilai histroris, mestinya Bioskop Pasific dilestarikan dan
dipelihara orisinalitasnya. Sayang, kini gedung itu, menurut Herman,
kehilangan jati dirinya. Bioskop Fasific sekarang menjadi sebuah pasar
raya dengan ornamen full colour.
Padahal, kata dia, dalam Undang-undang Nomor 5/Tahun 2004 tentang
Benda Cagar Budaya, ditegaskan perlindungan dan pemeliharaan benda cagar
budaya wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian
bentuk serta pengamanannya.
Perlu diketahui, Gedung Bioskop "Pasific" yang sebelumnya bernama Bioskop "Kutamaya" waktu itu memang hadir dan ada di Kota Kecil, yaitu Kota Kabhupatian Sumedang, yang nota benenya kota kecil yang tidak banyak dihuni oleh para ambtenar Belanda (Walanda). Namun saking besar pengaruh dan dampak sistem komando / perintah pusat (Batavia) atau (Wet op de ruimtelijke ordening / Wro) , maka si anember (pelaksana pembangunan Gedung) lokal wilayah Kabupaten Sumedang mengikuti serta mentaati perintah pusat, terlebih zaman dahulu konon katanya perijinan membangun harus mematuhi aturan pemerintahan penjajah. Oleh karena itulah Gedung Bioskop Pasific di design pada bagian muka bagunannya seperti muka dan puncak kapal Pelayaran yang dipadukan dengan bentuk maupun gaya lokal, yaitu bangunan yang ada di bagian belakang muka kapal pelayaran itu.
Pengaruh dan gaya arsitek Belanda (Eropa) tersebut memang terus melekat dan kuat sampai kepada masa pasca kemerdekaan RI tahun 1945 – 1965.
Dan Memang Gedung Bioskop Pasific itu indah di saat lingkungan dan visual kawasannya tidak “ribet dan kumuh” dapatkah dengan cara dan kekumuhan tersebut “Bangunan ex Pasific” itu bisa indah lebih indah, apalagi bisa berkharisma yang mencerminkan keapikan, ketelatenan dan kebagusan kinerja pengelola kota?
Peristiwa itu pada akhirnya sampai ke meja Gubernur Jenderal
di Istana Bogor dan menjadi bahan pembicaraan di kalangan para pejabat
Pemerintah Hindia Belanda. Setelah mempelajari peristiwa tersebut, pemerintah
mengambil tindakan tegas dengan memasukan Sarekat Rakyat ke dalam daftar
perkumpulan yang perlu diawasi gerak-geriknya karena dipandang mengancam
ketertiban umum. Sebaliknya, Sarekat Hijau dibiarkan berkembang karena
menunjukkan sikap kooperatif kepada pemerintah.
Pengaruh dan gaya arsitek Belanda (Eropa) tersebut memang terus melekat dan kuat sampai kepada masa pasca kemerdekaan RI tahun 1945 – 1965.
Dan Memang Gedung Bioskop Pasific itu indah di saat lingkungan dan visual kawasannya tidak “ribet dan kumuh” dapatkah dengan cara dan kekumuhan tersebut “Bangunan ex Pasific” itu bisa indah lebih indah, apalagi bisa berkharisma yang mencerminkan keapikan, ketelatenan dan kebagusan kinerja pengelola kota?
Dalam Sejarahnya
Bioskop Pasifik adalah salahsatu bioskop yang pernah berdiri
di Kabupaten Sumedang, selain Bioskop Diana. Berbeda dari Bioskop Diana,
Bioskop Pasifik termasuk bioskop tua. Menurut beberapa sumber, bioskop ini
dibangun sejak tahun 1020-an oleh bangsawan Belanda bernama Boesee dan diresmikan oleh Pangeran
Soeria Soemantri.
Dalam perkembangannya, bioskop ini pernah berganti nama beberapa kali. Setelah dibangun dengan nama Bioskop Pasifik, kemudian berganti nama menjadi Bioskop Sakura pada masa penjajahan Jepang, lalu berubah menjadi Bioskop Tjahaja, Bioskop Kutamaya, dan berganti lagi Bioskop Pasifik. Belakangan, setelah tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemutaran film, bangunan tua ini dinamakan Pasifik Hariring.
Pada tahun 1923-an, ada peristiwa sejarah menyangkut bioskop ini.
Sama dengan di daerah lain, di Sumedang juga pernah terjadi gejolak politik lokal, yakni antara Sarekat Rakyat yang berdiri lebih dulu dan Sarekat Hijau yang berdiri belakangan. Sarekat Rayat, dalam perkembangannya memiliki tingkat militansi yang cukup tinggi dan mengembangkan sikap kasar dan radikal terutama kepada Pemerintah, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, dan Sarekat Hijau. Sarekat Rayat yang dipimpin Ujang Kaih dan diklaim binaan PKI tersebut pada akhirnya menjadi ancaman bagi pemerintah dan kaum bangsawan Sumedang.
Khawatir Sarekat Rakyat makin kuat, seorang Patih Sumedang pada tahun 1923-an kemudian terang-terangan mendukung pendirian Sarekat Hijau sebagai perkumpulan para petani yang bertujuan untuk saling membantu dalam urusan kematian. Saat itu, Patih Sumedang mewajibkan penduduknya menjadi anggota Sarekat Hijau. Kepala desa diberi wewenang untuk menghukum penduduknya yang menolak masuk ke dalam perkumpulan ini. Dengan arahan Patih Sumedang tersebut, Sarekat Hijau berkembang sangat pesat. Anggotanya mencapai puluhan ribu dan menyebar hingga ke wilayah lain di luar Sumedang. Kendati kuat, Sarekat Hijau berbeda dari Sarekat Rakyat. Sarekat Hijau disebutkan selalu bersikap kooperatif kepada pemerintah sehingga keberadaannya tidak dipandang sebagai suatu ancaman.
Suatu ketika, pengurus dan para anggota Sarekat Rakyat mengajukan izin menggunakan Bioskop Pasifik untuk keperluan rapat intern organisasi. Akan tetapi, permohonan tersebut ditolak pengurus bioskop karena mereka tidak simpati terhadap radikalisme yang dikembangkan Sarekat Rakyat. Tidak terima dengan penolakan itu, pengurus Sarekat Rakyat melarang para anggotanya untuk menonton film yang diputar di bioskop itu. Sarekat Rakyat pun menghalang-halangi masyarakat yang hendak menonton film dengan melempari dan membuat keributan di sekitar Bioskop Pasifik.
Pengelola bioskop tak kalah akal. Supaya tidak sepi dari penonton, pengelolanya kemudian memberikan potongan harga tiket pertunjukan terutama bagi masyarakat Sumedang yang menjadi anggota Sarekat Hijau. Promosi tersebut rupanya berhasil dengan baik karena setiap pemutaran film selalu dipenuhi oleh penonton yang sebagian besar berstatus sebagai anggota Sarekat Hijau.
Suatu ketika, karena ingin menonton film juga dengan potongan harga karcis, sejumlah anggota Sarekat Rayat datang ke bioskop untuk menonton. Tentu, mereka juga meminta potongan harga tiket seperti diberikan kepada para anggota Sarekat Hijau.
Akan tetapi, pengelola bioskop menolak permintaan mereka dan menjual tiket dengan harga normal. Penolakan tersebut memicu amarah para anggota Sarekat Rakyat. Seketika, mereka melakukan penyerangan kepada pengurus dan penjaga bioskop. Pengelola bioskop berusaha untuk melawan sambil berteriak minta pertolongan. Teriakan itu didengar oleh orang-orang di sekitar bioskop dan Pasar Sumedang, yang letaknya tidak jauh dari Bioskop Pasifik. Orang-orang itu lantas menyerang balik anggota Sarekat Rakyat sehingga kejadian itu berubah menjadi perkelahian massal.
Setelah sekian lama perkelahian massal tersebut berlangsung, jumlah anggota Sareka Hijau yang terlibat semakin banyak. Akibatnya, anggota Sarekat Rakyat mundur teratur dan perkelahian massal pun dapat dihentikan seiring dengan datangnya polisi ke lokasi perkelahian.
Dalam perkembangannya, bioskop ini pernah berganti nama beberapa kali. Setelah dibangun dengan nama Bioskop Pasifik, kemudian berganti nama menjadi Bioskop Sakura pada masa penjajahan Jepang, lalu berubah menjadi Bioskop Tjahaja, Bioskop Kutamaya, dan berganti lagi Bioskop Pasifik. Belakangan, setelah tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemutaran film, bangunan tua ini dinamakan Pasifik Hariring.
Pada tahun 1923-an, ada peristiwa sejarah menyangkut bioskop ini.
Sama dengan di daerah lain, di Sumedang juga pernah terjadi gejolak politik lokal, yakni antara Sarekat Rakyat yang berdiri lebih dulu dan Sarekat Hijau yang berdiri belakangan. Sarekat Rayat, dalam perkembangannya memiliki tingkat militansi yang cukup tinggi dan mengembangkan sikap kasar dan radikal terutama kepada Pemerintah, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, dan Sarekat Hijau. Sarekat Rayat yang dipimpin Ujang Kaih dan diklaim binaan PKI tersebut pada akhirnya menjadi ancaman bagi pemerintah dan kaum bangsawan Sumedang.
Khawatir Sarekat Rakyat makin kuat, seorang Patih Sumedang pada tahun 1923-an kemudian terang-terangan mendukung pendirian Sarekat Hijau sebagai perkumpulan para petani yang bertujuan untuk saling membantu dalam urusan kematian. Saat itu, Patih Sumedang mewajibkan penduduknya menjadi anggota Sarekat Hijau. Kepala desa diberi wewenang untuk menghukum penduduknya yang menolak masuk ke dalam perkumpulan ini. Dengan arahan Patih Sumedang tersebut, Sarekat Hijau berkembang sangat pesat. Anggotanya mencapai puluhan ribu dan menyebar hingga ke wilayah lain di luar Sumedang. Kendati kuat, Sarekat Hijau berbeda dari Sarekat Rakyat. Sarekat Hijau disebutkan selalu bersikap kooperatif kepada pemerintah sehingga keberadaannya tidak dipandang sebagai suatu ancaman.
Suatu ketika, pengurus dan para anggota Sarekat Rakyat mengajukan izin menggunakan Bioskop Pasifik untuk keperluan rapat intern organisasi. Akan tetapi, permohonan tersebut ditolak pengurus bioskop karena mereka tidak simpati terhadap radikalisme yang dikembangkan Sarekat Rakyat. Tidak terima dengan penolakan itu, pengurus Sarekat Rakyat melarang para anggotanya untuk menonton film yang diputar di bioskop itu. Sarekat Rakyat pun menghalang-halangi masyarakat yang hendak menonton film dengan melempari dan membuat keributan di sekitar Bioskop Pasifik.
Pengelola bioskop tak kalah akal. Supaya tidak sepi dari penonton, pengelolanya kemudian memberikan potongan harga tiket pertunjukan terutama bagi masyarakat Sumedang yang menjadi anggota Sarekat Hijau. Promosi tersebut rupanya berhasil dengan baik karena setiap pemutaran film selalu dipenuhi oleh penonton yang sebagian besar berstatus sebagai anggota Sarekat Hijau.
Suatu ketika, karena ingin menonton film juga dengan potongan harga karcis, sejumlah anggota Sarekat Rayat datang ke bioskop untuk menonton. Tentu, mereka juga meminta potongan harga tiket seperti diberikan kepada para anggota Sarekat Hijau.
Akan tetapi, pengelola bioskop menolak permintaan mereka dan menjual tiket dengan harga normal. Penolakan tersebut memicu amarah para anggota Sarekat Rakyat. Seketika, mereka melakukan penyerangan kepada pengurus dan penjaga bioskop. Pengelola bioskop berusaha untuk melawan sambil berteriak minta pertolongan. Teriakan itu didengar oleh orang-orang di sekitar bioskop dan Pasar Sumedang, yang letaknya tidak jauh dari Bioskop Pasifik. Orang-orang itu lantas menyerang balik anggota Sarekat Rakyat sehingga kejadian itu berubah menjadi perkelahian massal.
Setelah sekian lama perkelahian massal tersebut berlangsung, jumlah anggota Sareka Hijau yang terlibat semakin banyak. Akibatnya, anggota Sarekat Rakyat mundur teratur dan perkelahian massal pun dapat dihentikan seiring dengan datangnya polisi ke lokasi perkelahian.
CILACAP
Dulu ada Bioskop SINAR dan RAJAWALI, lalu tutup tahun 1998.
BIOSKOP TJAHAJA MAJENANG
Lokasinya berada di Jl. Kiadeg No.118, Jenang Utara, Jenang, Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Gedung bioskop berdiri persis di pinggir jalan utama. hanya ada 1 studio yang digunakan. Untuk urusan fasilitas, Bioskop Tjahaja sebetulnya tidak kalah dengan bioskop-bioskop modern. Deretan kursi berwarna biru ditata sedemikian rupa hingga terlihat rapi dan bersih. Ruangan bioskop juga dilengkapi air conditioner (AC), layar lebar dan audio yang kualitasnya juga sangat memumpuni. Harga tiketnya hanya Rp10 ribu
Era sekarang muncul
DAKOTA CINEMA CILACAP dan DAKOTA CINEMA KROY
Bioskop Sinar Cilacap
BIOSKOP TJAHAJA MAJENANG
Lokasinya berada di Jl. Kiadeg No.118, Jenang Utara, Jenang, Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Gedung bioskop berdiri persis di pinggir jalan utama. hanya ada 1 studio yang digunakan. Untuk urusan fasilitas, Bioskop Tjahaja sebetulnya tidak kalah dengan bioskop-bioskop modern. Deretan kursi berwarna biru ditata sedemikian rupa hingga terlihat rapi dan bersih. Ruangan bioskop juga dilengkapi air conditioner (AC), layar lebar dan audio yang kualitasnya juga sangat memumpuni. Harga tiketnya hanya Rp10 ribu
Era sekarang muncul
DAKOTA CINEMA CILACAP dan DAKOTA CINEMA KROY