Sukarno lahir di Jakarta, 13 September 1931. Dia adalah anak seorang wartawan perantauan dari Bonjol, Sumatra Barat, bernama Muhammad Noer. Menurut S.M. Ardan dalam Jejak Seorang Aktor Sukarno M. Noor Dalam Film Indonesia (2004), nama Sukarno diberikan ayahnya karena terinspirasi Bung Karno yang konsekuen terhadap perjuangan.
Tentu saja, saat dewasa, ayahnya ingin Sukarno M. Noor memiliki karakter seperti Bung Karno. Sayangnya, Muhammad Noer tak menyaksikan anaknya tumbuh dewasa. Di usia anaknya yang baru dua tahun, Muhammad Noer wafat. Sukarno lantas pulang kampung bersama ibu dan adiknya, Ismed M. Noer.
Menurut Ardan, saat duduk di bangku SMP dia diboyong pamannya ke Pematang Siantar. Di sini, dia mulai bersentuhan dengan dunia sandiwara. Selain itu, dia gemar menonton bioskop.
“Saya keranjingan nonton film dan benar-benar mempengaruhi kehidupan saya. Hampir tidak pernah sehari pun absen nonton,” katanya, seperti dikutip Ardan dari Variasi edisi 2-8 April 1976.
Kala Sukarno remaja, aktor Malaya (sekarang Malaysia), yakni P. Ramlee dan Roomai S. Noor, sangat populer di negeri kita. Sukarno lalu mengubah nama belakang "Noer" menjadi "Noor", mengikuti nama belakang Roomai.
Persentuhan dengan dunia sandiwara dan film membuat Sukarno tertarik menggeluti seni peran. Dia kemudian membujuk ibunya untuk kembali ke ibu kota, guna meraih mimpinya menjadi pemain film. Pada 1950, keluarga kecil ini merantau kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, Sukarno langsung gerilya. Dia mengirimkan lamaran ke sejumlah perusahaan film yang ada di ibu kota. Tapi, sayang sekali, banyak perusahaan film menolak lamarannya. Dia lantas bergaul dengan seniman Senen, yang biasa nongkrong tak jauh dari bioskop Grand. Banyak wawasan yang dia dapat dari seniman-seniman berbakat di Senen.
Majalah Varia edisi 9 Maret 1960 menulis, akhirnya pada 1953 Sukarno mendapatkan kesempatan bermain sebagai figuran dalam film Meratjun Sukma. Sukarno sangat yakin bakatnya di bidang akting, sampai-sampai meninggalkan pekerjaannya di Jawatan Pos, Telegram, dan Telepon (PTT) bagian telegram.
Ketika itu, gajinya sebagai figuran hanya Rp25 hingga Rp75. Meski demikian, pekerjaan sebagai figuran tetap dia lakoni selama satu setengah tahun (1953-1955). Film-film yang ia bintangi di awal kariernya antara lain Abu Nawas, Musafir Kelana, Djakarta bukan Hollywood, Djubah Hitam, Bawang Merah Tersiksa, Sri Asih, dan Rentjong dan Surat.
Ketika Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dibuka Usmar Ismail dan Asrul Sani pada 1955, Sukarno bergabung. Di sini kemampuan aktingnya kian terasah.
Peran yang agak penting baru dia dapatkan pada film Sampai Berdjumpa Pula, Tjorak Dunia, dan Daerah Hilang. Pada 1958, dia dikontrak Perfini, yang digawangi Usmar Ismail. Film pertamanya di Perfini adalah Sengketa. Sukarno muncul sebagai aktor utama yang diperhitungkan di dunia film saat bermain dalam Tjambuk Api, Anakku Sajang, Bunga Samurai, Sesudah Subuh, dan Bertamasja.
Saat namanya mulai disegani, pers menjuluki Sukarno “The bad boy on screen” dan “budak nakal”. Aktor watak ini disebut Varia edisi 2 Juli 1958 sebagai “aktor muda tapi punya harapan besar, yang di kalangan orang-orang studio dikenal sebagai aktor yang tahu disiplin, selalu datang pada saat yang ditentukan, dan tak pernah mangkir”.
Tak ada stigma paling menyakitkan bagi orang Indonesia selain: "kamu anak PKI."
Hal itu kini dialami Rano Karno yang sekarang maju dalam pencalonan Gubernur Banten minggu ini. Almarhum ayahnya, Sukarno M. Noor, disebut-sebut sebagai kader partai komunis itu. Padahal sederhana saja: Sukarno adalah legenda film remaja menye-menye—drama cinta-cintaan penuh tangis—sedangkan PKI anti-film menye-menye ala Barat.
Soal urusan komunis ini, Rais Am Nahdlatul Ulama dan Ketua MUI Ma'ruf Amin, turun tangan mengklarifikasi bahwa Sukarno bukanlah komunis, melainkan pengurus Lesbumi, lembaga kesenian Nahdlatul Ulama.
Sukarno M. Noor adalah putra dari seorang nasionalis bernama Mohammad Noer. Nama depannya, Sukarno, diberikan padanya tiada lain karena sang ayah menghormati sosok Sukarno yang melawan pemerintah kolonial Belanda dan kemudian jadi proklamator Republik Indonesia.
Mohamad Noer, ayah Sukarno dan kakek Rano Karno yang orang Minangkabau itu, adalah wartawan dari harian Pemandangan. Koran ini adalah salah satu yang paling populer di era pergerakan nasional. Nenek Rano yang bernama Janimah juga orang Minang.
Menurut catatan S.M. Ardan, dkk, dalam Jejak Seorang Aktor Sukarno M. Noor (2004), Sukarno lahir di Rawabangke, Jakarta, 13 September 1931. Setelah kematian Mohammad Noer, ketika Sukarno masih 2 tahun, sang ibu membawa dirinya dan saudaranya pulang kampung. Di masa remajanya, dia sempat menjalani masa SMP di Pematang Siantar, tempat ia menemukan dunianya: seni peran.
Saat usia SMA, dia pun kembali ke Jakarta bersama ibunya demi mendalami seni peran. Di tahun 1950an itu, dia nimbrung bersama para seniman Senen, tempat ia mendalami teater dan film. Sukarno tentu tak langsung melejit, kesuksesannya di dunia sinema tidak instan. Sukarno memulai dari bawah, dan melewati masa-masa sebagai aktor figuran. Bahkan beberapa rumah produksi pun pernah menolaknya.
Untuk menyambung hidup sebelum mendapat tawaran-tawaran bagus di film, Sukarno sempat menjadi pak pos di Pos Telepon dan Telekomunikasi (PTT). Akhirnya ia mendapat peran figuran pertamanya dalam film Meratjut Sukma (1953). Peran utamanya di teater pertama kali didapat pada 1953, dalam sandiwara berlakon Reruntuhan karya AU Muscar yang disponsori Palang Merah Indonesia (PMI).
Meski sempat dinasihati ibunya untuk tidak meneruskan cita-citanya menjadi aktor, Sukarno muda jalan terus. Dia sadar tampangnya pas-pasan, tapi, sebagai akto, Sukarno tentu paham bahwa dalam akting kegantengan bukanlah soal utama.
Bertahun-tahun berjuang, sebelum berusia 25 tahun, akhirnya dia mendapatkan peran utama di film Gambang Semarang (1955). Setelahnya, ia terlibat dalam puluhan judul film. Salah satunya dalam Raja Jin Penjaga Pintu Kereta (1974). Di film ini, ia menjadi mantan bintang lenong yang biasa berperan sebagai raja jin, tapi menjadi penjaga palang kereta api untuk menyambung hidup keluarganya.
Sukarno juga pernah berperan sebagai suami dan ayah yang sangat sabar dan jujur dalam film Kemelut Hidup (1979). Dia berperan sebagai Abdurahman, seorang pejabat yang jujur dan sederhana yang mendekati masa pensiun. Istrinya main serong. Satu anak perempuannya menjadi pelacur dan anak perempuannya yang lain depresi karena hamil di luar nikah.
Film lainnya yang menarik adalah Senyum di Pagi Bulan Desember (1974). Dia berperan sebagai salah satu dari tiga narapidana buron. Dalam pelarian, ketiganya diberi makan bocah perempuan yang masih kecil. Bocah perempuan itu kesepian karena sering ditinggal orang tuanya yang sibuk bekerja. Mereka berdua pun kemudian bersahabat.
Orang yang pernah menonton film-filmnya pasti tahu bahwa Sukarno adalah aktor yang peran-perannya tidak monoton. Menjadi protagonis maupun antagonis mampu dia lakoni. Sepanjang hidupnya, dia telah bermain di lebih dari 68 judul film sebagai pemeran utama, dan sekitar 30 judul film sebagai pemeran figuran, juga 20 judul drama.
Selain itu, dia mendapat predikat aktor terbaik dalam Festival Film Indonesia (Piala Citra) dalam film Anakku Sajang (1960), Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967), dan Kemelut Hidup (1979).
Sebelum meninggal pada 26 Juli 1986, Sukarno sudah mengajak anak-anaknya menjajal film sejak era 1970an. Publik Indonesia, setidaknya mengenal Tino Karno, Suti Karno, dan tentu saja Rano Karno. Rano Karno menjadi salah satu bintang film remaja paling populer di era 1980an.
Setelah Sukarno M. Noor wafat, anak-anaknya dalam wadah Karnos Film memproduksi sinetron legendaris Si Doel Anak Sekolahan yang booming di era 1990an.
Aktor peraih piala Citra dan bekas Ketua Umum PARFI, Soekarno M. Noor meninggal dunia di RS Islam Jakarta karena serangan kanker dan dimakamkan di Tanah Kusir Ahad siang.
Tentu saja, saat dewasa, ayahnya ingin Sukarno M. Noor memiliki karakter seperti Bung Karno. Sayangnya, Muhammad Noer tak menyaksikan anaknya tumbuh dewasa. Di usia anaknya yang baru dua tahun, Muhammad Noer wafat. Sukarno lantas pulang kampung bersama ibu dan adiknya, Ismed M. Noer.
Menurut Ardan, saat duduk di bangku SMP dia diboyong pamannya ke Pematang Siantar. Di sini, dia mulai bersentuhan dengan dunia sandiwara. Selain itu, dia gemar menonton bioskop.
“Saya keranjingan nonton film dan benar-benar mempengaruhi kehidupan saya. Hampir tidak pernah sehari pun absen nonton,” katanya, seperti dikutip Ardan dari Variasi edisi 2-8 April 1976.
Kala Sukarno remaja, aktor Malaya (sekarang Malaysia), yakni P. Ramlee dan Roomai S. Noor, sangat populer di negeri kita. Sukarno lalu mengubah nama belakang "Noer" menjadi "Noor", mengikuti nama belakang Roomai.
Persentuhan dengan dunia sandiwara dan film membuat Sukarno tertarik menggeluti seni peran. Dia kemudian membujuk ibunya untuk kembali ke ibu kota, guna meraih mimpinya menjadi pemain film. Pada 1950, keluarga kecil ini merantau kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, Sukarno langsung gerilya. Dia mengirimkan lamaran ke sejumlah perusahaan film yang ada di ibu kota. Tapi, sayang sekali, banyak perusahaan film menolak lamarannya. Dia lantas bergaul dengan seniman Senen, yang biasa nongkrong tak jauh dari bioskop Grand. Banyak wawasan yang dia dapat dari seniman-seniman berbakat di Senen.
Majalah Varia edisi 9 Maret 1960 menulis, akhirnya pada 1953 Sukarno mendapatkan kesempatan bermain sebagai figuran dalam film Meratjun Sukma. Sukarno sangat yakin bakatnya di bidang akting, sampai-sampai meninggalkan pekerjaannya di Jawatan Pos, Telegram, dan Telepon (PTT) bagian telegram.
Ketika itu, gajinya sebagai figuran hanya Rp25 hingga Rp75. Meski demikian, pekerjaan sebagai figuran tetap dia lakoni selama satu setengah tahun (1953-1955). Film-film yang ia bintangi di awal kariernya antara lain Abu Nawas, Musafir Kelana, Djakarta bukan Hollywood, Djubah Hitam, Bawang Merah Tersiksa, Sri Asih, dan Rentjong dan Surat.
Ketika Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dibuka Usmar Ismail dan Asrul Sani pada 1955, Sukarno bergabung. Di sini kemampuan aktingnya kian terasah.
Peran yang agak penting baru dia dapatkan pada film Sampai Berdjumpa Pula, Tjorak Dunia, dan Daerah Hilang. Pada 1958, dia dikontrak Perfini, yang digawangi Usmar Ismail. Film pertamanya di Perfini adalah Sengketa. Sukarno muncul sebagai aktor utama yang diperhitungkan di dunia film saat bermain dalam Tjambuk Api, Anakku Sajang, Bunga Samurai, Sesudah Subuh, dan Bertamasja.
Saat namanya mulai disegani, pers menjuluki Sukarno “The bad boy on screen” dan “budak nakal”. Aktor watak ini disebut Varia edisi 2 Juli 1958 sebagai “aktor muda tapi punya harapan besar, yang di kalangan orang-orang studio dikenal sebagai aktor yang tahu disiplin, selalu datang pada saat yang ditentukan, dan tak pernah mangkir”.
Tak ada stigma paling menyakitkan bagi orang Indonesia selain: "kamu anak PKI."
Hal itu kini dialami Rano Karno yang sekarang maju dalam pencalonan Gubernur Banten minggu ini. Almarhum ayahnya, Sukarno M. Noor, disebut-sebut sebagai kader partai komunis itu. Padahal sederhana saja: Sukarno adalah legenda film remaja menye-menye—drama cinta-cintaan penuh tangis—sedangkan PKI anti-film menye-menye ala Barat.
Soal urusan komunis ini, Rais Am Nahdlatul Ulama dan Ketua MUI Ma'ruf Amin, turun tangan mengklarifikasi bahwa Sukarno bukanlah komunis, melainkan pengurus Lesbumi, lembaga kesenian Nahdlatul Ulama.
Sukarno M. Noor adalah putra dari seorang nasionalis bernama Mohammad Noer. Nama depannya, Sukarno, diberikan padanya tiada lain karena sang ayah menghormati sosok Sukarno yang melawan pemerintah kolonial Belanda dan kemudian jadi proklamator Republik Indonesia.
Mohamad Noer, ayah Sukarno dan kakek Rano Karno yang orang Minangkabau itu, adalah wartawan dari harian Pemandangan. Koran ini adalah salah satu yang paling populer di era pergerakan nasional. Nenek Rano yang bernama Janimah juga orang Minang.
Menurut catatan S.M. Ardan, dkk, dalam Jejak Seorang Aktor Sukarno M. Noor (2004), Sukarno lahir di Rawabangke, Jakarta, 13 September 1931. Setelah kematian Mohammad Noer, ketika Sukarno masih 2 tahun, sang ibu membawa dirinya dan saudaranya pulang kampung. Di masa remajanya, dia sempat menjalani masa SMP di Pematang Siantar, tempat ia menemukan dunianya: seni peran.
Saat usia SMA, dia pun kembali ke Jakarta bersama ibunya demi mendalami seni peran. Di tahun 1950an itu, dia nimbrung bersama para seniman Senen, tempat ia mendalami teater dan film. Sukarno tentu tak langsung melejit, kesuksesannya di dunia sinema tidak instan. Sukarno memulai dari bawah, dan melewati masa-masa sebagai aktor figuran. Bahkan beberapa rumah produksi pun pernah menolaknya.
Untuk menyambung hidup sebelum mendapat tawaran-tawaran bagus di film, Sukarno sempat menjadi pak pos di Pos Telepon dan Telekomunikasi (PTT). Akhirnya ia mendapat peran figuran pertamanya dalam film Meratjut Sukma (1953). Peran utamanya di teater pertama kali didapat pada 1953, dalam sandiwara berlakon Reruntuhan karya AU Muscar yang disponsori Palang Merah Indonesia (PMI).
Meski sempat dinasihati ibunya untuk tidak meneruskan cita-citanya menjadi aktor, Sukarno muda jalan terus. Dia sadar tampangnya pas-pasan, tapi, sebagai akto, Sukarno tentu paham bahwa dalam akting kegantengan bukanlah soal utama.
Bertahun-tahun berjuang, sebelum berusia 25 tahun, akhirnya dia mendapatkan peran utama di film Gambang Semarang (1955). Setelahnya, ia terlibat dalam puluhan judul film. Salah satunya dalam Raja Jin Penjaga Pintu Kereta (1974). Di film ini, ia menjadi mantan bintang lenong yang biasa berperan sebagai raja jin, tapi menjadi penjaga palang kereta api untuk menyambung hidup keluarganya.
Sukarno juga pernah berperan sebagai suami dan ayah yang sangat sabar dan jujur dalam film Kemelut Hidup (1979). Dia berperan sebagai Abdurahman, seorang pejabat yang jujur dan sederhana yang mendekati masa pensiun. Istrinya main serong. Satu anak perempuannya menjadi pelacur dan anak perempuannya yang lain depresi karena hamil di luar nikah.
Film lainnya yang menarik adalah Senyum di Pagi Bulan Desember (1974). Dia berperan sebagai salah satu dari tiga narapidana buron. Dalam pelarian, ketiganya diberi makan bocah perempuan yang masih kecil. Bocah perempuan itu kesepian karena sering ditinggal orang tuanya yang sibuk bekerja. Mereka berdua pun kemudian bersahabat.
Orang yang pernah menonton film-filmnya pasti tahu bahwa Sukarno adalah aktor yang peran-perannya tidak monoton. Menjadi protagonis maupun antagonis mampu dia lakoni. Sepanjang hidupnya, dia telah bermain di lebih dari 68 judul film sebagai pemeran utama, dan sekitar 30 judul film sebagai pemeran figuran, juga 20 judul drama.
Selain itu, dia mendapat predikat aktor terbaik dalam Festival Film Indonesia (Piala Citra) dalam film Anakku Sajang (1960), Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967), dan Kemelut Hidup (1979).
Sebelum meninggal pada 26 Juli 1986, Sukarno sudah mengajak anak-anaknya menjajal film sejak era 1970an. Publik Indonesia, setidaknya mengenal Tino Karno, Suti Karno, dan tentu saja Rano Karno. Rano Karno menjadi salah satu bintang film remaja paling populer di era 1980an.
Setelah Sukarno M. Noor wafat, anak-anaknya dalam wadah Karnos Film memproduksi sinetron legendaris Si Doel Anak Sekolahan yang booming di era 1990an.
Aktor peraih piala Citra dan bekas Ketua Umum PARFI, Soekarno M. Noor meninggal dunia di RS Islam Jakarta karena serangan kanker dan dimakamkan di Tanah Kusir Ahad siang.
Soekarno M. Noor dilahirkan di Tebing Tinggi (Sumatra Utara) 13 September 1931 merupakan aktor tangguh di layar putih atau di panggung Ia menamatkan pendidikannya terakhir di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).
Almarhum yang berputra 6 orang, diantaranya Rano Karno dan Tino Karno, menerjuni dunia bintang film sampai akhir hayatnya. Paling sedikit telah membintangi 65 film, terakhir di film “Opera Jakarta” yang masuk 15 film unggulan FFI 1986.
Soekarno yang menggeluti dunia akting, tampil pertama kali dalam pentas sandiwara “Runtuhan” tahun 1953 dan main film pertama kali sebagai figuran “Meracun Sukma” di tahun yang sama. Sedang peran utama dimulai dalam film “Gambang Semarang” tahun 1955.
Film-fillm yang pernah ia bintangi dan termasuk film laris antara lain: Air Mata Ibu (1957), Cambuk Api ((1958), Pagar Kawat Berduri (1961), Anak-Anak Revolusi (1964), Lewat Tengah Malam (1971), Mama (1972), Senyum di Bulan Desember (1974).
Lewat filmnya “Anakku Sayang” (1957), Soekarno M. Noor dinobatkan sebagai aktor terbaik. Kemudian disandangnya lagi aktor terbaik di “Dibalik Cahaya Gemerlapan” (1966), Mencari Jejak Berdarah (1967).
Dua kali berturut-turut tahun 1973-1974, ia dipilih oleh seksi film PWI Jaya sebagai Best Actor lewat filmnya “Jembatan Merah” dan “Raja Jin Penjaga Pintu Kereta”.
Di dunia panggung, Soekarno memerankan naskah-naskah terkemuka seperti: Perantaian 13 (1954), Monstserrat (1955), dan Mak Comblang (1968).
Di bulan April 1970 ia mencoba menjadi produser dengan mendirikan perusahaan film PT Kartika Binaprima dan hanya menghasilkan dua film “Honey Money and Jakarta Fair” dan “Kembali Bersemi”.
Kariernya semasa hidup disamping jadi Ketua Umum Parfi (1978-1980) dan Anggota Dewan Kesenian Jakarta (1977-1979), Soekarno M. Noor pernah mendapat penghargaan seni dari pemerintah untuk penghargaannya di bidang teater.
Almarhum juga dikenal sebagai bintang layar TV “Rumah Masa Depan” garapan Ali Shahab. (***)
CATATAN
Ketua Umum Parfi periode 1978-1980 ini adalah orang yang hidup dari akting. Soekarno M Noor sejak 1953 lebih banyak mencari makan dibidang teater dan film.
Sejak tahun 1964 ia juga bermain dalam sandiwara-sandiwara TVRI. Naik pentas pertama kali pada 1953 dalam lakon Runtuhan. Pada tahun itu juga ia main pertama kali dalam film Meratjut Sukma sebagai figuran. Kedudukan figuran ini tetap dipegangnya sampai pertengahan 1955 dalam berbagai film kemudian. Peran utama mulai diperolehnya dengan film berjudul Gambang Semarang tahun 1955. Sejak saat itu ia bolak-balik antara dunia film dan panggung sandiwara.
Dari tahun 1953 sampai tahun 1977 Soekarno telah main dalam 20 cerita sandiwara, diantaranya yang menonjol adalah : Perantaian 13 tahun 1954 dan Monstserrat tahun 1955 yang kemudian diulang pada tahun 1977, Mutiara Dari Nusa Laut tahun 1957, Pintu Tertutup tahun 1958.
Pada bulan April 1970, ia mencoba menjadi produser, mendirikan perusahaan film P.T. Kartika Binaprama, yang telah menghasilkan satu film saja, Honey Money and Djakarta Fair. Ia tergolong seniman senen, pernah menjadi Ketua I Parfi untuk periode 1972-1974, dan anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 1977-1979.
Dia berhasil merebut gelar aktor utama terbaik dalam Anakku Sayang yang diproduksi tahun 1957 pada FFI 1960 dan pada Pekan Apresiasi Film Indonesia tahun 1967 berkat permainannya dalam film-film Di Balik Cahaya Gemerlap tahun 1966 dan Menyusuri Jejak Berdarah tahun 1967.
Sejak tahun 1964 ia juga bermain dalam sandiwara-sandiwara TVRI. Naik pentas pertama kali pada 1953 dalam lakon Runtuhan. Pada tahun itu juga ia main pertama kali dalam film Meratjut Sukma sebagai figuran. Kedudukan figuran ini tetap dipegangnya sampai pertengahan 1955 dalam berbagai film kemudian. Peran utama mulai diperolehnya dengan film berjudul Gambang Semarang tahun 1955. Sejak saat itu ia bolak-balik antara dunia film dan panggung sandiwara.
Dari tahun 1953 sampai tahun 1977 Soekarno telah main dalam 20 cerita sandiwara, diantaranya yang menonjol adalah : Perantaian 13 tahun 1954 dan Monstserrat tahun 1955 yang kemudian diulang pada tahun 1977, Mutiara Dari Nusa Laut tahun 1957, Pintu Tertutup tahun 1958.
Pada bulan April 1970, ia mencoba menjadi produser, mendirikan perusahaan film P.T. Kartika Binaprama, yang telah menghasilkan satu film saja, Honey Money and Djakarta Fair. Ia tergolong seniman senen, pernah menjadi Ketua I Parfi untuk periode 1972-1974, dan anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 1977-1979.
Dia berhasil merebut gelar aktor utama terbaik dalam Anakku Sayang yang diproduksi tahun 1957 pada FFI 1960 dan pada Pekan Apresiasi Film Indonesia tahun 1967 berkat permainannya dalam film-film Di Balik Cahaya Gemerlap tahun 1966 dan Menyusuri Jejak Berdarah tahun 1967.
Di samping itu dua tahun berturut-turut terpilihnya sebagai Aktor Terbaik dalam pemilihan Aktor/Aktris Terbaik PWI Jaya, masing-masing dalam Jembatan Merah tahun 1973 dan Raja Jin Penjaga Pintu Kereta tahun 1974. Ia Pernah mendapat Hadiah Seni dari Pemerintahan untuk pengabdiannya di bidang teater.
Bintang kecil-kecil, dibalik ...
29 Juni 1974
RANO. Satu kali, entah kapan itu, jutaan orang yang memujimu sekarang akan berbalik memaki. Ini risiko jadi orang tontonan". Ucapan bintang film Sukarno M Noor kepada anaknya ini tidak terdengar para penonton di gedung bioskop manapun.
29 Juni 1974
RANO. Satu kali, entah kapan itu, jutaan orang yang memujimu sekarang akan berbalik memaki. Ini risiko jadi orang tontonan". Ucapan bintang film Sukarno M Noor kepada anaknya ini tidak terdengar para penonton di gedung bioskop manapun.
Tapi itulah nasihat yang berulang-ulang diucapkan sang ayah, entah pada waktu santap bersama ataupun ketika hendak berangkat tidur. Bayangan itu memang mulai ditemukan si cilik Rano Karno. ketika orang mempergunjingkannya "ada main" dengan anak perempuan sebayanya -- Nanin Sudiar. Lantas dalam sebuah penerbitan dikecam agak keras dan dituduh mulai besar kepala. Malangnya, si ayah juga jadi bulan-bulanan penganiayaan lewat penerbitan maupun mulut. Dikatakan bahwa Sukarno memeras anaknya hingga dia mampu menempati rumah baru di daerah Tebet, plus beberapa mobil yang dia taksikan. Benar atau tidak, mungkin lebih baik dikembalikan kepada ucapan Sukarno sendiri. Ini risiko iadi orang tontonan. "The Karnos" Mulai saat itu Rano mulai berhati-hati dengan pers, khususnya yang senang dengan pergunjingan. Sekalipun serangan-serangan tadi tidak menyurutkan niatnya untuk meneruskan karier sebagai bintang film sampaipun dia sudah dewasa dan keluar dari bangku sekolah. "Apa sebab, Rano tak tahu, pokoknya main film senang", jawabnya. Acaranya saban hari cukup padat, melebihi ayahnya sendiri. Mungkin pekerjaannya jauh lebih melelahkan dibandingkan dengan seorang direktur di departemen mana. Untuk dua-tiga bulan mendatang acara sudah ditetapkan oleh kontrak yang dia tanda-tangani.
Pagi bangun jam 05.30, mandi dan sarapan sebagaimana anak umumnya. Terkadang tak sempat membuka buku pelajaran langsung berangkat ke SMP Van Lith di Jalan Gunung Sahari, di mana dia duduk di klas I Pulang dari sekolah, selesai makan siang langsung berangkat ke tempat shooting atau rekaman. Kembali paling cepat jam 7 malam. Menunggu mata diserang kantuk itu sajalah yang dia gunakan untuk membolak-balik pelajaran sekolah. Atau kalau shooting lebih cepat, sisa waktuna gunakan main-main di gelanggang Ice Skating, bersama-sama saudara kandung, anak tetangga atau bintang-bintang cilik yang lain. Atau kalau sudah terlalu lelah dia membenamkan diri dalam ruangan "The Karnos": sebuah diskotik lengkap yang diletakkan ayahnya di dalam kamar berdampingan dengan ruangan tamu. Adanya ruangan diskotik tersebut telah menghilangkan sebagian dari kecemasan orang tuanya. Disko itu dimulai dari permintaan Rano akan sepeda motor yang ditolak mentah-mentah oleh ibu maupun ayahnya. "Janganlah motor Rano nanti kalau kau tabrakan bukan saja dirimu yang rusak tapi uang orang lain yang berjuta-juta jadi terbengkalai. Karena kau tak bisa shooting" Rano masih mengalah terus sekalipun katanya dia tahu bahwa dia punya uang dalam simpanan. Sampai tiba saatnya dia merayakan ulang tahun yang kebetulan persis pula dengan lulusnya si Rano dari sekolah dasar. "Sekarang kau mau dibelikan apa?", tanya si ayah. Si Rano tentu bersikeras untuk memiliki kendaraan yang suka digambarkan orang sering membawa kecelakaan. "Apa boleh buat", kata Sukarno M Noor kepada TEMPO, "ini hari yang menyenangkan terpaksalah saya penuhi permintaannya itu" dalam setiap kesempatan Rano terus ngebut. Beberapa kali dia terjatuh dan luka. Tak kapok juga. Satu hari ketika dia menanjak di jalan tak jauh dari rumah, dia ter-pelanting bersama kenalannya. "Untung tidak kebanting ke kanan. Kalau ke kanan, Rano koit dah ujarnya. Persis di tempat kecelakaan itu pula kira-kira setahun yang lalu sopirnya meninggal karena tabrakan. Satu Hari Rp 100 "Kalau penonton cennat, dalam film Romi dan Juli, mereka akan melihat bekas luka di tangan Rano, Saya kapok motor itu saya suruh dijual Papi". Sebagai gantinya dia meminta diskotik.
Bukan itu saja yang dibelikan Sukarno buat anaknya ini. Sebuah mobil Premik hijau dibelikan khusus untuk kepentingannya. "Satu kali kalau anak saal menuntut 'ayah mana penghasilan Ranoyang dulu', maka saya akan mengatakan inilah semua. Mobil dan simpanan di bank", kata Sukarno M Noor. Perkara berapa honor anaknya untuk main dalam satu film, ayahnya keberatan untuk menyebutkan. "Saya takut kalau jumlah itu nanti akan menimbulkan anggapan orang dia sudah jadi jutawan. Keadaan yang sebenarnya tidak baik untuk anak-anak. Jangan dia sampai besar kepala". Tapi dari Sandy Suwardy yang memakainya untuk mendampingi Faradilla, anaknya sendiri, dalam Ratapan dan Rintihan, Rano yang tanggal 8 Oktober nanti berusia 14 tahun, dibayar Rp 2,1 juta. Skenario yang disodorkan ke tangannya selalu dia baca. Sementara urusan duit diselesaikan oleh sang ayah. Ketika untuk pertama kali muncul dalam Lewat Tengah Malam, menurut Sukarno dia belum memperhitungkan uang. "Tapi untuk selanjutnya harus demikian, sebab film itu tokh dikomersilkan", katanya. Sampai sekarang Rano sudah main dalam lebih-kurang 15 buah film. Penghasilannya itu tidak membuat dia besar kepala di antara lima saudaranya yang lain. "Haknya juga sama. Satu hari dia main ice skating mungkin ditraktir teman-temannya. Mungkin Dilla, Astri anak Ivo maupun Andy Carol". Beberapa kali anak-beranak Karno ini main dalam satu film, antara lain Si Doel Anak Betawi. Permainan di lapangan sering masuk ke dalam ruangan makan.
Di situ Sukarno menunjukkan kelemahan-kelemahan Rano ketika shooting tadi. Atau kritik semacam itu terkadang datang pula dari fihak ibu. "Rano, kalau kau menangis, mengapa matamu kau tundukkan?". Tanya ibunya, yang biasanya dijawab "Habis, lebih baik dengarin bapak dong. Bapak kan pemain?!". Tetapi ketika kritik si ibu dioper oleh Sukarno barulah si Rano bisa menerima. Oleh banyak orang dikatakan kekuatan Rano justeru pada matanya yang mungkin sukar diketahui umum berapa penghasilannya adalah Faradilla Sandy. Anak ini ketika berumur 6 tanun berhasil mengangkat nama ayahnya tinggi-tinggi, termasuk mendatangkan rezeki yang melimpah, lewat film Katapan Anak Tri. Dari kepala pembukuan PT Srayu. Agung Film milik Sandy Suwarti yang diperoleh hanya angka seratus rupiah. "Berapa penghasilannya, ayahnya yang tahu. Cuma saban pagi dia datang ke kasir dan minta uang Rp 100 buat jajan". Sementara Sandy sendiri tidak rela untuk mengatakannya, hanya saja menurut dia tawaran Rp 7,5 juta dari seorang produser telah ditolak. "Saya tak mau anak saya rusak di tangan orang lain", jawab Sandy. Tuah Bahwa anak ini mendatangkan tuah buat ayahnya, Sandy Suwardi sendiri mengakui.
Beberapa film yang sebelumnya dia buat tidak mendatangkan untung. Sampai pada saat dikerjakannya Ratapan Anak Tiri. "Peranan Dilla dalam film itu sebenarnya 'kan mau diberikan buat adik si Dewi, tapi Dilla minta kepada ayah", kata Faradilla. Untunglah permintaan anak itu dipenuhi. Kalau tidak siapa yang dapat membayangkan hasil film tersebut. Kegagalan yang dideritanya, lantas kemujuran yang datang bersama Faradilla, membuat Sandy sayang sekali terhadap anak perempuannya yang kini berusia 8 tahun itu. Berangkat ke sekolah dia memperoleh pengawalan khusus dari empat orang yang berpakaian preman. Enakkah jadi bocah seperti itu? "Ya, enak saja oom, habis sudah biasa sih", jawabnya cepat, seraya mengedip-ngedipkan matanya seperti dalam film. Penggemarnya masya Allah banyaknya. Sampai sekarang surat yang masuk, sekitar seperempat juta pucuk. Dari seluruh penjuru. Semuanya dia baca, atau kalau tak sempat, ada sekretaris yang menceritakan isi surat yang agak ganjil atau lucu-lucu. Kalau waktu senggang dia habiskan untuk membubuhkan tandatangannya di belakang potret dirinya. Kalau sempat surat balasan juga dia tandatangani, kalau tidak cukuplah dengan tandatangan di balik foto tadi. Isi surat pada umumnya ingin berkenalan seraya mengucapkan kagum. Satu kali ada pula yang mengirimkan uang sebesar Rp 300 dengan ucapan "Ini uang dari saya, habis saya kasihan kalau Dilla minta uang dari ibu tiri". Ada pula yang memasukkan uang ke dalam lipatan surat Rp 110 sebagai tanda traktiran tapi dengan catatan kalau membalas uangnya harap dikembalikan.
Mungkin juga si pengirim mengharapkan kembali yang berlipat ganda. Mengaji Sementara itu anak-anak penggemar saban hari menunggu dibendul pintunya, hanya seklar untuk melihat anak kecil yang baru duduk di kelas tiga SD tersebut. Dan tentu saja banyak yang kecewa karena dia lagi shooting, sekolah maupun mengaji. Dalam pergaulan dia tidak pernah merasa lebih hebat. "Biasa saja. Masuk ke kandang harimau mengaum, masuk kndang kambing mengembek", katanya. Sekalipun kalau makan bakso atau minum dengan teman-teman selalu dia yang membayar". Lain dengan Rano Karno, perempuan cilik ini menurut katanya akan berhenti main film kalau usia sudah 18. "Kalau sudah selesai sekolah Dilla mau melamar jadi pramugari". Menjadi pramugari padahal pesawat terbang sering jatuh? "Biarin, pokoknya Dilla mau. Mati 'kan di mana saja bisa", cepat dia memotong. Sandy Suwardi sedang mujur-mujurnya. Film buatannya laris seperti pisang goreng. Tapi hubungannya dengan Devi Rosaria Indah yang mendampingi anaknya dalam Ratapan Anak Tiri semakin retak. Kabarnya ini dimulai jauh hari sebelum festival film yang lalu di Surabaya. Dalam festival itu Faradilla memperoleh hadiah. "Ini disengaja oleh Oom Sandy, sebab kalau yang dia kirimkan Ratapan Anak Tiri bisa Dilla tidak menang", kata Dewi Rosaria Indah, 11 tahun. Dan kata anak kecil ini lagi, kesempatan buat memperoleh kemenangan buat dirinya begitu tertutup samasekali. Entah bagaimana keretakan itu tambah menjadi-jadi saja. "Akh . . anak itu sombong. Sok tahu. Kalau sedang disutradarai suka membantah. Terkadang bikin repot. Ini mungkin disebabkan lingkungan pergaulannya di Taman Ismail Marzuki", jawab Sandy Suwardi. Memang benar Dewi sering muncul di pusat kesenian itu. Entah habis latihan sandiwara di bawah asuhan Kak Yana, atau sedang minum-minum di restoran cilik "Dewi Indah" yang diambilkan dari namanya. Restoran ini menurut ibunya sendiri, produser film Seviharasoedjarwo, dibuka selain sebagai tambahan penghasilan juga sebagai tempat di mana anak-anaknya, termasuk Dewi dapat belajar bagaimana pahitnya mencari duit. "Ini salah satu cara saya untuk menjaga Dewi supaya jangan menyombongkan diri di tengah saudara dan teman-temannya", jawab ibunya. Ratu Kecantikan Lain dari teman-temannya Dewi bercita-cita untuk menghentikan kariernya dalam film untuk pindah menjadi Ratu Kecantikan Indonesia. Jalan ke arah itu sedang dipersiapkan ibunya. Termasuk kursus bahasa didatangkan ke rumahnya dan pengulangan atas pelajaran yang dia peroleh tadi pagi di sekolah.
Dari ibunya yang dia peroleh bukan saja fasilitas pendidikan seperti itu, juga menentukan harga untuk film. Terkadang dengan jalan yang agak mencengangkan orang. "Sandy cuma berani bayar anak saya Rp 750 ribu. Dalam film Dewi dia saya bayar satu setengah juta", begitu cerita Sevihara, produser itu. Untuk film pertamanya Dewi Campur Debu, Dewi memperoleh bayaran Rp 300.000. Dia sudah muncul dalam lebih-kurang sepuluh film. Usianya baru 11 tahun dan tubuhnya mulai menunjukkan masa remajanya yang sudah dekat orang tuanya nguntit ke mana saja anak ini shooting. Karena kalau ibunya tak sempat turut si Dewi sering mengeluh: "Mam koq kalau ikut unit yang itu omongannya jorok-jorok. Lain kali Mama harus ikut", dia selalu meminta begitu. Lagi pula sebagaimana kata Sevihara untuk menjaga jangan sampai dia mengalami aktris-aktris cilik yang digossipkan yang bukan-bukan, dia mengikutkan kemauan anaknya.
Hanya soal uang iuran
04 Maret 1978
DALAM sejarah Persatuan Artis Film (Parfi) masa kepengurusan pimpinall Soekarno M. Noor nampaknya akan tercatat sebagai masa kepengurusan yang amat gesit, paling- tidak untuk hari-hari pertamanya. Coba bayangkan: dilantik 18 Desember 1977, tanggal 9 Januari 1978 sebuah keputusan penting telah diumumkan. Tidak pula tanggung-tanggung, sebab jika keputusan itu dijalankan dengan ketat, kas organisasi para bintang film itu dalam waktu dekat akan padat dengan uang. Dan uang itu sebagian besar akan datang dari produser yang harus membayar Parfi bagi para bintang baru yang mereka pakai dalam produksi mereka. Menurut keputusan yang ditandatangani oleh bintang film Soekarno M. Noor itu, setiap bintang film baru yang memegang peranan utama, produsernya harus menyetorkan Rp 100 ribu, dan Rp 50 ribu bagi pemain pembantu. Nah, bagi anggota lama, yang bakal mengurusi setorannya kepada Parfi ternyata adalah dirinya sendiri. Dan setiap anggota yang mendapat peranan utama, setorannya ke kas organisasi adalah Rp 50 ribu.
04 Maret 1978
DALAM sejarah Persatuan Artis Film (Parfi) masa kepengurusan pimpinall Soekarno M. Noor nampaknya akan tercatat sebagai masa kepengurusan yang amat gesit, paling- tidak untuk hari-hari pertamanya. Coba bayangkan: dilantik 18 Desember 1977, tanggal 9 Januari 1978 sebuah keputusan penting telah diumumkan. Tidak pula tanggung-tanggung, sebab jika keputusan itu dijalankan dengan ketat, kas organisasi para bintang film itu dalam waktu dekat akan padat dengan uang. Dan uang itu sebagian besar akan datang dari produser yang harus membayar Parfi bagi para bintang baru yang mereka pakai dalam produksi mereka. Menurut keputusan yang ditandatangani oleh bintang film Soekarno M. Noor itu, setiap bintang film baru yang memegang peranan utama, produsernya harus menyetorkan Rp 100 ribu, dan Rp 50 ribu bagi pemain pembantu. Nah, bagi anggota lama, yang bakal mengurusi setorannya kepada Parfi ternyata adalah dirinya sendiri. Dan setiap anggota yang mendapat peranan utama, setorannya ke kas organisasi adalah Rp 50 ribu.
Kenapa yang bukan anggota bayarnya lebih banyak? Jawab Soekarno: "Karni ini berusaha untuk melindungi anggota kami dari kesempatan berkarya, kesempatan bekerja. Sekarang ini kami lihat anggota kami banyak yang tidak dapat kesempatan untuk bermain." Untuk Apa? Meski Soekarno amat berniat baik bagi anggotanya, kenyataan menunjukkan bahwa kebijaksanaannya itu mendapat tentangan dari sejumlah bintang film, termasuk yang dipilih kongres untuk memimpin Parfi. Sophan Sophian, bintang film dan sutradara serta pengurus Parfi, adalah orang pertama yang terang-terangan menentang keputusan rekan-rekannya itu. "Uang yang dikumpulkan itu nantinya untuk apa? Parfi ini kan tidak bisa menjamin apa-apa. Memang ada dokter gratis. Tapi kalau ada anggotanya yang tidak dapat ke sempatan main, apa bisa dijamun? Pimpinan Parfi lainnya, Koesno Soedjarwadi, berpendapat lebih moderat, meski juga tidak mendukung Soekarno. Katanya: "Kita ini mestinya memperlihatkan prestasi dulu baru minta uang. Rencana kerja saja belum ada bagaimana?" Dan Soekarno pun memberi jawaban. Katanya: "Bulan depan kami akan mengadakan job training di TIM." Tapi kata Koesno pula: "Lha, itu kan cuma meneruskan kerja pengurus lama pimpinan Sudewo." Bagi Koesno, pungutan yang ditetapkan oleh Soekarno dengan beberapa pengurus yang sempat hadir dalam dua kali rapat awal Januari yang lalu, dianggapnya sangat tidak adil. Katanya: "Pungutan itu tidak rata. Kalau seperti dulu 1,5 persen dari honorarium, saya setuju. Kalau sekarang kan tidak adil? Yang dapat 5 juta disamakan dengan yang dapat 2 juta, kan tidak benar, itu?" Tapi bagaimana sih ceritanya hingga Soekarno tiba pada keputusan untuk menarik sejumlah uang dari para produser dan pemain? Syahdan. maka pada masa pengurus sebelumnya, penarikan yang 1,5 persen itu tidak bisa berjalan dengan semestinya. "Soalnya selalu bisa terjadi permainan antara para anggota Parfi dengan produser," kata seorang pengurus Parfi. Caranya? "Honorarium yang ditulis di kwitansi lebih kecil jumlahnya dengan honorarium yang diterima, sehingga presentasi yang disetorkan juga kecil." Karena itulah rupanya maka bintang film dan penyanyi tenar Haji Benyamin Sueb, dalam kongres Parfi Desember yang lalu mengusulkan pungutan pukul rata itu.
Tapi usul Benyamin itu tidak dibicarakan dalam kongres. Bersama sejumlah usul lain usul itu lama ditampung. "Sudah saya salahkan kepada pimpinan kongres agar usul itu ditawarkan kepada peserta, tapi didiamkan saja usul saya itu. Eh, tahu-tahu Soekarno bikin keputusan. Tentu aja heboh." Ini komentar seorang anggota kehormatan Parfi. Akal Sehat Jadi bagaimana baiknya? "Kalau keputusan itu jalan terus. saya akan mundur," kata Koesno. Buat Wahyu Sihombing, sutradara dan anggota kehormatan Parfi, keputusan itu bukan saja harus dicabut, tapi pengurus juga "harus minta maaf terhadap kesalahan yang tidak mereka sengaja." Kalau tidak, "nanti dianggapnya semua anggota Parfi tidak berfikir dengan akal sehat," kata Sihombing kepada koran Pos Film. Kabar terakhir Inengatakan bahwa para produser yang tergabung dalam Persatuan Produser Film Indonesia kini sedang melakukan usaha untuk mendekati Parfi agar kebijaksanaan baru itu tidak diteruskan saja. Dan pihak Departemen Penerangan pun tampaknya tidak terlalu bersuka cita dengan kehebahan di kalangan perfilman itu. "Saya tahu banyak artis dan produser yang tidak setuju dengan keputusan pengurus Parfi itu." kata seorang pejabat teras Direktrat Bina Film Deppen. "Ya, kasihlah kami waktu 4 atau 6 bulan. Kalau memang tidak menguntungkan, ya cabut kembali keputusan itu," demi kian permohonan bintang film Rae Sita yang pada kongres yang lalu terpilih sebagai bendahara Parfi.
Bendera Setengah Tiang Di Parfi
02 Agustus 1986
02 Agustus 1986
KETIKA Aktris Sofia WD meninggal dunia Selasa malam pekan lalu, Aktor Sukarno M. Noor sedang terbaring tak berdaya di rumahnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Ia menderita kanker ganas, tetapi keluarganya merahasiakan penyakit itu. Sukarno hanya tahu, dirinya menderita liver. Dan, ia punya semangat yang kuat untuk sembuh. Itulah sebabnya, ketika Sukarno tahu dari koran-koran bahwa Tante Sofi -- demikian Sofia WD dipanggil di kalangan orang film -- sudah tiada, aktor ini langsung bangkit dan minta disiapkan mobil untuk melayat. Rano Karno mencegah, "Bapak tidak kuat, Bapak sakit." Sukarno marah, karena dicegah. Akhirnya, ia hanya mengangkat telepon dan berbicara dengan W.D. Mochtar, suami Tante Sofi. "Mochtar, aku tak bisa datang. Besok-besok aku datang menemuimu. Aku ikut berduka," ujar Sukarno di telepon, seperti yang kemudian diceritakan Rano. Seperti yang sudah terjadi Sukarno tak jadi "datang". Aktor ini justru "pergi" menyusul Almarhumah Sofia WD. Sabtu malam pekan lalu, ia tutup usia di RS Islam Jakarta. Sukarno dan Sofia memang diakui aktor dan aktris yang hebat, bukan sekadar bintang.
Kebetulan keduanya bersahabat dekat. Ketika Tante Sofi menyutradarai film Badai Selatan, (1960) film pertama yang disutradarainya, Sukarno ikut bermain di sana. Sofia WD, yang lahir di Bandung, 12 Oktober 1924, sudah bergelut dengan dunia panggung pada usia remaja. Ia mulai tercatat sebagai pemain panggung yang disegani ketika bergabung dalam perkumpulan sandiwara Irama Masa. Waktu itu ia sudah menjadi istri seorang tentara, Kapten Eddy Endang. Suaminya ini gugur dalam tugas menumpas gerombolan DI-TII. Ketika perusahaan film Wong Brothers mencari pemain wanita untuk menggantikan Miss Rukiah, yang menjadi idola pecandu film nasional waktu itu, pilihan jatuh pada Sofia. Wanita pejuang ini pun langsung memegang peran utama dalam film Air Mata Mengalir di jitaroem (1948). Inilah film pertama bagi Sofia, yang langsung merebut simpati penonton. Nama Sofia cepat melonjak, karena kemampuan akting dan kecantikan wajahnya saling menunjang. Ia pun melangkah jauh, meninggalkan teman-teman sesama artis, ketika ia menyutradarai film Badai Selatan. Film ini, menurut para pengamat, tergolong karya yang bagus, pada saat produksi film waktu itu ketinggalan teknologi. Sampai-sampai nama Sofia disebut sebagai sutradara wanita pertama. Padahal, tidak. Sebelum dia, ada Ratna Asmara, yang menyutradarai film yang tidak begitu dibicarakan. Sampai akhir hayatnya, ia silih berganti menempatkan diri: pemain, sutradara, penulis skenario, dan belakangan sebagai produser, lewat PT Dirgahayu Film, perusahaan yang didirikan bersama suaminya yang terakhir, W.D. Mochtar.
Sebagai pemain, ia sudah mengantungi Piala Citra, lambang supremasi bintang film Indonesia, lewat Mutiara dalam Lumpur pada FFI 1983. Film terakhir yang dibintanginya adalah Yang Kukuh yang Runtuh. Sebagai sutradara, ia menelurkan film-film action, seolah-olah penggambaran jiwa pejuangnya yang tak kenal padam. Tercatat antara lain Si Bego dari Muara Condet, Melawan Badai, Halimun. Terakhir ia menyutradarai Bermain Drama, film pendek bertemakan humaniora. "Wanita tegar yang tak kenal lelah," komentar W.D. Mochtar, ketika istrinya masih dirawat di RS Cikini. "Mudah-mudahan setelah sembuh ia bisa mengambil hikmah dan lebih beristirahat." Ternyata, Sofia WD, beristirahat untuk selamanya. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, karena Almarhumah memiliki Bintang Gerilya, Satya Lencana Perang Kemerdekaan I dan II, dan 25 tanda jasa lainnya. "Sofia memang artis besar. Ketika saya baru pertama kali main film, ia sudah bintang," ini pengakuan Sukarno M. Noor, dua hari setelah Sofia menghadap Tuhan, dan dua hari sebelum Sukarno menyusulnya. Ketika nama Sofia terpampang di layar perak, Sukarno masih pontang-panting melamar agar bisa ikut bermain film. Pegawai Pos Telepon dan Telegraf (PTT) ini tak kenal menyerah mendatangi produser. Tampangnya memang tidak ganteng, dan itulah hambatannya, pada saat penonton memuja Idola tampan seperti Bambang Irawan. Sukarno pernah bercerita kepada Chaidir Rachman, sesama Seniman Senen, ketika ia main pertama kali dalam film Meracun Sukma (1953), Sukarno tak menerima duit.
Film inilah mengawali debut Sukarno. Ia dengan gagah keluar dari Jawatan PTT. Padahal, nasibnya belum cerah benar. Dalam masa sulit itu, Sukarno hidup dengan pekerjaan serabutan: menjual koran, pelayan restoran, dan berdagang kecil-kecilan. Namanya baru terpampang selayar sebagai pemeran utama dalam film Gambang Semarang (1955) berpasangan dengan Farida Ariani. Saat itu terkenal bintang-bintang berpasangan, seperti A.N. Alcaff dengan Dahlia, Rd Mochtar dengan Titien Sumarni. "Sampai detik terakhir, dia mampu memberi arti bagi dunia film." Ini ucapan Menteri Penerangan Harmoko di pusara Sukarno ketika jenazah aktor itu dikebumikan di pekuburan Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Ahad lalu. Bukan sekadar basa-basi, tentu saja. Selama 33 tahun, Sukarno memang tak pernah mencoba mencari pekerjaan tetap di luar film. Pada hari tuanya ketika film remaja lagi laris -- kembali ia kesulitan mendapat peran. Untuk menghidupi keluarganya, ia membuka catering. Untung, ada Rano Karno, salah seorang dari enam anaknya, yang mengikuti jejaknya menjadi pemain film, dan laris. Film bioskop terakhirnya Opera Jakarta belum sempat dilihatnya. Bahkan film seri TVRI Rumah Masa Depan, ketika ia tampil sebagai Pak Kohar dalam dua episode Orang Asing, tidak ditontonnya. "Mami tak merekamnya," kata Rano. Di TVRI inilah Sukarno punya utang. Film Seuntai Manikam yang direncanakan diputar TVRI untuk film akhir pekan 16 Agustus, menyambut hari Proklamasi, belum selesai shooting, padahal Sukarno pegang peran penting. Sukarno M. Noor dan Sofia WD tutup usia di saat orang film menyelenggarakan Festival Film Indonesia. Kehilangan dua tokoh ini lebih terasa lagi, karena keduanya aktif berorganisasi, keduanya adalah bekas Ketua Umum Parfi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'uun .... Putu Setia.
LINGKARAN SETAN | 1972 | FRITZ G. SCHADT | Actor | |
TAKKAN KULEPASKAN | 1972 | MOTINGGO BOESJE | Actor | |
DEWI | 1957 | A. SHRYAM | Actor | |
ROMI DAN JULI | 1974 | HASMANAN | Actor | |
JEMBATAN MERAH | 1973 | ASRUL SANI | Actor | |
ANAKKU SAJANG | 1957 | LILIK SUDJIO | Actor | |
GAMBANG SEMARANG | 1955 | TAN SING HWAT | Actor | |
IBU SEJATI | 1973 | FRITZ G. SCHADT | Actor | |
JANGAN BIARKAN MEREKA LAPAR | 1974 | CHRIS PATTIKAWA | Actor | |
DJAMPANG MENCARI NAGA HITAM | 1968 | LILIK SUDJIO | Actor | |
BEGADANG | 1978 | MAMAN FIRMANSJAH | Actor | |
SELAMAT TINGGAL KEKASIH | 1972 | ISMED M. NOOR | Actor | |
SELAMAT TINGGAL MASA REMAJA | 1980 | FRANK RORIMPANDEY | Actor | |
SELAMAT TINGGAL DUKA | 1980 | SUKARNO M. NOOR | Director | |
ANAK-ANAK REVOLUSI | 1964 | USMAR ISMAIL | Actor | |
PERAWAN MALAM | 1974 | BAY ISBAHI | Actor | |
RAJA JIN PENJAGA PINTU KERETA | 1974 | WAHAB ABDI | Actor | |
LISA | 1971 | M. SHARIEFFUDIN A | Actor | |
KK 17 | 1964 | M.D. ALIFF | Actor | |
DAERAH HILANG | 1956 | BACHTIAR SIAGIAN | Actor | |
TJITA-TJITA AJAH | 1959 | WAHYU SIHOMBING | Actor | |
NOSTALGIA DI S.M.A. | 1980 | SYAMSUL FUAD | Actor | |
SI BONGKOK | 1972 | LILIK SUDJIO | Actor | |
SAMPAI BERJUMPA KEMBALI | 1955 | BASUKI EFFENDI | Actor | |
TJAMBUK API | 1958 | D. DJAJAKUSUMA | Actor | |
KEMASUKAN SETAN | 1974 | LUKMAN HAKIM NAIN | Actor | |
PEMBERANG | 1972 | HASMANAN | Actor | |
EXSPEDISI TERAKHIR | 1964 | ALAM SURAWIDJAJA | Actor | |
YANG MUDA YANG BERCINTA | 1977 | SJUMAN DJAYA | Actor | |
BERTAMASJA | 1959 | DJOKO LELONO | Actor | |
MUSAFIR KELANA | 1953 | S. WALDY | Actor | |
AIR MATA IBU | 1957 | FRED YOUNG | Actor | |
DJAKATA BUKAN HOLLYWOOD | 1954 | OTHNIEL WONG | Actor | |
DIBALIK TJAHAJA GEMERLAPAN | 1966 | MISBACH JUSA BIRAN | Actor | |
MUSANG BERJANGGUT | 1983 | PITRAJAYA BURNAMA | Actor | |
LIMA SAHABAT | 1981 | C.M. NAS | Actor | |
YATIM | 1973 | BAY ISBAHI | Actor | |
MERINDUKAN KASIH SAYANG | 1984 | C.M. NAS | Actor | |
PILIHAN HATI | 1964 | ASRUL SANI | Actor | |
DISELA-SELA KELAPA SAWIT | 1967 | WAHYU SIHOMBING | Actor | |
RATAPAN ANAK TIRI II | 1980 | SANDY SUWARDI HASSAN | Actor | |
RATAPAN ANAK TIRI | 1974 | SANDY SUWARDI HASSAN | Actor | |
DJALANG | 1970 | DANU UMBARA | Actor | |
BINALNYA ANAK MUDA | 1978 | ISMAIL SOEBARDJO | Actor | |
SI DOEL ANAK BETAWI | 1973 | SJUMAN DJAYA | Actor | |
SI GONDRONG | 1971 | FRITZ G. SCHADT | Actor | |
SRI KUSTINA | 1956 | J. CABIN JOE | Actor | |
SRI ASIH | 1954 | TURINO DJUNAIDY | Actor | |
DJUBAH HITAM | 1954 | WISJNU MOURADHY | Actor | |
PUTERI REVOLUSI | 1955 | ALI YUGO | Actor | |
PACAR SEORANG PERJAKA | 1978 | TEGUH KARYA | Actor | |
SENEN RAJA | 1954 | S. WALDY | Actor | |
TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH | 1982 | CHAERUL UMAM | Actor | |
TJORAK DUNIA | 1955 | BACHTIAR SIAGIAN | Actor | |
SAHABAT-SAHABAT DALAM GELAP | 1965 | Actor | ||
RHOMA IRAMA BERKELANA I | 1978 | YUNG INDRAJAYA | Actor | |
RHOMA IRAMA BERKELANA II | 1978 | YUNG INDRAJAYA | Actor | |
OPERA JAKARTA | 1986 | SJUMAN DJAYA | Actor | |
MAMA | 1972 | WIM UMBOH | Actor | |
SENGKETA | 1957 | USMAR ISMAIL | Actor | |
YANG KEMBALI BERSEMI | 1980 | SUKARNO M. NOOR | Director | |
GELORA SEMARANG | 1955 | ISMAIL SALEH | Actor | |
BALAS DENDAM | 1975 | BOBBY SANDY | Actor | |
KARINA | 1954 | HENRY L. DUARTE | Actor | |
SUCI SANG PRIMADONA | 1977 | ARIFIN C. NOER | Actor | |
KEMELUT HIDUP | 1977 | ASRUL SANI | Actor | |
LIBURAN SENIMAN | 1965 | USMAR ISMAIL | Actor | |
DESA YANG DILUPAKAN | 1960 | DJOKO LELONO | Actor | |
SESUDAH SUBUH | 1958 | DJOKO LELONO | Actor | |
ALADIN DAN LAMPU WASIAT | 1980 | SISWORO GAUTAMA | Actor | |
JUWITA | 1979 | LILIK SUDJIO | Actor | |
MENJUSURI DJEDJAK BERDARAH | 1967 | MISBACH JUSA BIRAN | Actor | |
LANGKAH-LANGKAH DIPERSIMPANGAN | 1965 | NYA ABBAS AKUP | Actor | |
PUSPA INDAH TAMAN HATI | 1979 | ARIZAL | Actor | |
ISTANA YANG HILANG | 1960 | WIM UMBOH | Actor | |
MANTILI SI PEMBUNUH | 1972 | ASKUR ZAIN | Actor | |
DOUBLECROSSERS, THE | 1975 | CHENG CHANG-WA | Actor | |
KORBAN FITNAH | 1961 | Actor | ||
SENYUM DIPAGI BULAN SEPTEMBER | 1974 | WIM UMBOH | Actor | |
SENYUM DIPAGI BULAN DESEMBER | 1974 | WIM UMBOH | Actor | |
MELATI SENDJA | 1956 | BACHTIAR SIAGIAN | Actor | |
HATI YANG PERAWAN | 1984 | CHAERUL UMAM | Actor | |
LEWAT TENGAH MALAM | 1971 | SJUMAN DJAYA | Actor | |
SENYUMMU ADALAH TANGISKU | 1980 | DASRI YACOB | Actor | |
PAGAR KAWAT BERDURI | 1961 | ASRUL SANI | Actor | |
NELAJAN DARI PANTAI SEBERANG | 1961 | AWALUDIN | Actor |