Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Bukit Berdarah. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Bukit Berdarah. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Januari 2011

BUKIT BERDARAH / 1985

BUKIT BERDARAH

 
Kelompok pendaki gunung Pandawa Lima terdiri dari tiga mahasiswa dan dua mahasiswi. Mereka dikenal sebagai pecinta alam yang tangguh. Dalam suatu pendakian di sebuah gunung, mereka terperangkap sekelompok penjahat profesioanl yang menguasai pertambangan secara gelap. Kelompok ini juga banyak mempekerjakan wanita secara paksa. Kelompok Pendawa Lima dipaksa untuk menjadi buruh. Karena sulit melawan secara langsung, maka kelompok pendaki gunung itu menggunakan taktik untuk tetap menegakkan kebenaran dan hukum. Akhirnya mereka berhasil membongkar sindikat yang merugikan negara itu.
 P.T. BUDIANA FILM

ENNY BEATRICE
LIA HADI
GEORGE RUDY
BARON HERMANTO
WIEKE WIDOWATI
JOHAN SAIMIMA
ADVENT BANGUN
MUGI RAHAYU
BUDI PURBOYO
HERMAN PERMANA

Kamis, 10 Februari 2011

LAURA SI TARZAN / 1989

LAURA SI TARZAN


Laura (Wieke Widowati) menjadi Tarzan karena pesawat yang ditumpangi bersama orangtuanya jatuh di tengah hutan. Saat itu Laura masih kecil dan satu-satunya penumpang yang selamat. Dalam kehidupannya di hutan Laura bertemu lelaki idamannya,yakni Ramon (Johny Indo).Ramon masuk hutan mencari ayahnya, Sandy (Willy Wilianto) yang masuk hutan bersama tim kecil untuk mencari pasawat yang membawa harta banyak, yang salah satu penumpangnya adalah Laura. Ekspedisi ini berakhir ketika Sandy dan kelompoknyaserta Ramon ditangkap suku pedalaman yang terdiri dari wanita berpakaian minim. Karena saling jatuh cinta, Laura berusaha menyelamatkan Ramon dan ayahnya. Terjadi pertempuran dan memakan banyak korban termasuk Sandy dan kelompoknya,sementara Ramon dan Laura selamat dan sepakat untuk terus hidup berdua di dalam hutan.dan TARZAN PENUNGGU HARTA KARUN Saatnya sudah matang bagi seorang Tarzan putri. Sudah punya dua film sampah hiburan Barry Prima, film ini benar-benar menjerit. Berton-ton rekaman stok (gajah, harimau, singa, monyet, dan banyak lagi, dan karena semuanya sangat murah, ini ditampilkan beberapa kali dalam film. Dan hanya wanita hutan liar.

Sulit dipercaya betapa bodohnya antrian itu. Pemandangan yang luar biasa adalah ketika Amazon menyerang ekspedisi pertama dan menemukan persediaan bir mereka. Karena mereka tidak tahu apa itu kaleng bir, dan bagaimana mereka bisa runtuh, mereka melakukan beberapa upaya sia-sia untuk kaleng, meminumnya dan semuanya mabuk total. Perangkat wanita Amazon yang murah dan desa mereka agak mengingatkan pada GOLDEN TEMPLE AMAZONS karya Jess Franco atau MACISTE CONTRE LA REINE DES AMAZONES karya Franco.
 

Sayangnya Wieke Widowati memiliki waktu layar yang terlalu sedikit sebagai Laura si Gadis Tarzan. Itu hanya datang pada akhirnya benar-benar mengharukan. Aktris pemeran Laura Wieke Widowati ini telah bermain sejak tahun 80-an dalam banyak film laga dan horor antara lain di BUKIT BERDARAH, DARAH PERJAKA (Pembalasan Berdarah), MUSTIKA SAKTI, PEREMPUAN MALAM dan PEREMPUAN BERGAIRAH (Pejuang Kemerdekaan Wanita yang Ganas).

Benar-benar sampah yang menghibur, tetapi Anda bisa dengan sebaik-baiknya film tersebut tidak dianggap serius.

P.T. BUDIANA FILM

JOHNY INDO
WIEKE WIDOWATI
WILLY WILIANTO
GEORGE RUDY
BARON HERMANTO
EMMY HUSEIN
NURHASAN
BENTENG TOGATOROP
ANEN WIJAYA
ULLY ARTHA
HENGKY NERO
IRMA YANTI

Kamis, 03 Februari 2011

DJOKO LELONO 1955-1960

DJOKO LELONO
 
Karir dalam film dimulai dari penulis cerita, pencacat Script, lalu menjadi sutradara. Rata-rata film yang disutradarainya di tulis ceritanya sendiri olehnya, kadang sekaligus merangkap pencatat script/Penata Script juga. Film yang dilakukan tanya di sutradarainya adalah: Bukit Berdarah 1985 Cerita & Penata Script sutradara Atok Suharto. Bakar Tak Berapi 1954 Cerita dan Penata Script sutradara Henry L Duarte.
 
PERISTIWA SURABAJA GUBENG1956DJOKO LELONO
Director
BINTANG PELADJAR 1957 DJOKO LELONO
Director
BERTAMASJA 1959 DJOKO LELONO
Director
RINDU DAMAI 1955 DJOKO LELONO
Director
SI DUDUNG 1956 DJOKO LELONO
Director
MOMON 1959 DJOKO LELONO
Director
SEDETIK LAGI 1957 DJOKO LELONO
Director
RINI 1956 DJOKO LELONO
Director
DESA YANG DILUPAKAN 1960 DJOKO LELONO
Director
SESUDAH SUBUH 1958 DJOKO LELONO
Director

Senin, 24 Januari 2011

ATOK SUHARTO 1986-1994

ATOK SUHARTO

Lahir, Selasa, 20 Oktober 1953 di Jakarta. Pendidikan: Jurusan Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. Pertama kali terjun ke dunia film sebagai sutradara dalam Putri Duyung (1985). Tahun 1992 mulai menyutradari sinetron. Di samping sekali-sekali menyutradarai film, antara lain Godaan Cinta (1994) dan lain-lain.
 
CATATAN SI DOI 1988 ATOK SUHARTO
Director
SI MANIS JEMBATAN ANCOL 1994 ATOK SUHARTO
Director
GODAAN CINTA 1994 ATOK SUHARTO
Director
TAMU TENGAH MALAM 1989 ATOK SUHARTO
Director
TERJEBAK PENARI EROTIS 1986 ATOK SUHARTO
Director
CEWEK-CEWEK 1987 ATOK SUHARTO
Director
MISTRI PERMAINAN TERLARANG 1993 ATOK SUHARTO
Director
SI GOBANG 1988 ATOK SUHARTO
Director
OJEK 1991 ATOK SUHARTO
Director
SI GONDRONG LAWAN BEK MARDJUK 1990 ATOK SUHARTO
Director
LANGGANAN 1986 ATOK SUHARTO
Director
MISTRI DI MALAM PENGANTIN 1993 ATOK SUHARTO
Director
PEREMPUAN MALAM 1987 ATOK SUHARTO
Director
PUTRI KUNTI'ANAK 1988 ATOK SUHARTO
Director
PUTRI DUYUNG 1985 ATOK SUHARTO
Director
MELACAK DENDAM 1989 ATOK SUHARTO
Director
JAGO-JAGO BAYARAN 1989 ATOK SUHARTO
Director
BUKIT BERDARAH 1985 ATOK SUHARTO
Director.

Minggu, 21 Maret 2010

SEX SEX YANG DIKEJAR SENSOR

22 Juli 1989
SEX & SENSOR
Lingkaran setan dalam film indonesia

AKIBAT penarikan peredaran film Pembalasan Ratu Laut Selatan dan Akibat Terlalu Genit bukan main. Tjut Djalil tiba-tiba jadi orang penting.

Seks dan sadisme muncul sebagai musuh terbesar film Indonesia. Kedua film yang bersangkutan dicari-cari. Sementara itu, Badan Sensor Film (BSF) sebagai lembaga yang paling berwenang dalam meloloskan sebuah film dikecam habis-habisan. Sehari setelah penarikan itu, Menteri Penerangan Harmoko melantik anggota BSF periode 1989-1991, lebih cepat sebelas hari dari masa kepengurusan yang diketuai Thomas Soegito. Lolosnya PRLS produksi Soraya Intercine Film yang disutradarai Tjut Djalil memang mengundang gunjingan. Film itu tidak saja dianggap mengeksploitir perilaku seks secara berlebihan tapi juga mengumbar berbagai adegan brutal. Kecerdasan penonton seperti dihina. Seorang penulis surat pembaca di harian Kompas menyebutnya sebagai kebebasan seks yang "amburadul". Astaghfirullah. Imbauan agar PRLS diperiksa kembali kontan disuarakan oleh sejumlah tokoh masyarakat. Mulai dari wartawan, pengamat film, ulama, hingga wakil rakyat di DPR. Ketika berlangsung dengar pendapat antara Komisi I dan Menpen Harmoko, Kamis dua pekan lalu, beberapa anggota DPR RI juga menyoroti PRLS secara kritis. Malah, dengan nada keras, Ali Tamin, S.H. menganjurkan supaya BSF diajukan ke pengadilan. "Ini sangat penting guna menjaga tertibnya dunia perfilman nasional," kata anggota Komisi I ini seperti yang ditulis di harian Sinar Pagi. Hal senada juga dikatakan pengamat film Dr. Salim Said. "Pembuat film dan produsernya harus diperiksa. Kalau terbukti salah, ya ditindak," katanya tegas. Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa pemecatan dari organisasi atau pencabutan izin produksi. Ia mengibaratkan dengan apa yang terjadi di bidang pers. "Kalau punya SIUPP, silakan terbit. Dan kalau dianggap salah, dibredel," tambah Salim. "Seharusnya dalam dunia film juga begitu."

Menurut Salim, yang dipersoalkan dalam PRLS sebenarnya bukan soal film seksnya. "Tapi, kejorokannya yang digugat," kata anggota Dewan Film Nasional itu. Harus diakui, pengertian jorok bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Dulu, adegan ciuman dilarang, sekarang sudah biasa. Tapi, itu pun masih harus mempertimbangkan kondisi masyarakat dan tuntutan cerita. Di sinilah peran BSF. Ada dugaan lain yang bernada minor. Kelonggaran yang diberikan BSF itu erat hubungannya dengan masalah uang. Sudah menjadi rahasia umum - seperti yang diceritakan seorang sutradara - bahwa siapa yang bisa membayar mahal kepada BSF, filmnya akan selamat. Sulitnya, tidak ada data tertulis untuk membuktikan kebenaran cerita itu. Maka, ketika pelantikan pengurus baru dipercepat sebelas hari, tudingan ke alamat BSF yang bermarkas tak jauh dari Sarinah di Jalan Thamrin itu makin menjadi-jadi. Namun, menurut Menteri Penerangan, tidak ada alasan khusus yang mendorong dipercepatnya upacara pelantikan. "Waktu yang tersedia beberapa hari menjelang masa efektifnya BSF dapat dipergunakan untuk melakukan orientasi," katanya, ketika melantik pengurus BSF yang baru.

Lebih jauh ia mengatakan bahwa BSF yang anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, wakil instansi, dan para ahli berbagai disiplin ilmu hendaknya mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kriteria penyensoran yang mengacu pada kepentingan masyarakat. Soal lolosnya PRLS? "Itu termasuk kesalahan mekanisme kerjanya. Maka, kepada pengurus yang baru saya minta agar mengubah cara penyensoran yang selama ini dipakai. Tidak lagi tiga orang dalam tiap kelompok, tapi lima orang," kata Menteri Harmoko kepada Heddy Susanto dari TEMPO. Seribu tudingan "miring" yang ditujukan ke BSF juga tak membikin keder pengurus lama. "BSF selalu berusaha agar isi dan tema setiap film tidak bertentangan dengan Pancasila. Untuk itu BSF punya buku pintar," kata Thomas Soegito, yang masa tugasnya berakhir Sabtu pekan ini. Tugas kerja badan ini pada dasarnya tidak terlepas dari para anggotanya yang berjumlah 39 orang - kini 45 orang. Mereka duduk di lembaga itu sebagai wakil departemen, lembaga nondepartemen, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat. Lembaga nondepartemen, misalnya, ada Mabes ABRI, Bakin, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, BP7. Dari organisasi masyarakat, antara lain MUI, KWI, PGRI, PWI, KNPI, Kowani, Angkatan 45, Pramuka. Secara umum kriteria film yang diproduksi tidak boleh mencerminkan sikap anti Tuhan dan merusakkan kerukunan umat beragama serta tidak bertentangan dengan kebijaksanaan politik dalam dan luar negeri. Seandainya terselip adegan porno, sadisme, atau horor yang berlebihan, wajib dibuang. Toh, masih ada saja film-film yang mengundang kecaman pedas sehingga BSF harus bekerja ekstrakeras. 

Dua tahun lalu sewaktu film Ketika Musim Semi Tiba (KMST) diloloskan, BSF juga dibantai habis-habisan. Film yang dibintangi Meriam Bellina itu dinilai banyak menyajikan adegan erotis. Namun, Thomas Soegito dengan lihai berkelit. "BSF punya misi moral dalam membantu perfilman nasional, hingga sedapat mungkin meluluskan 100%," ucapnya (TEMPO, 6 Juni 1987). Tentang bumbu seks, katanya, "Bumbu boleh saja, tapi jangan terlau main jalan." Belakangan, setelah dua bulan bertengger di sejumlah bioskop, film laris tahun 1987 itu ditarik dan diperiksa ulang oleh BSF. Uniknya, pada saat yang sama, film-film sejenis lainnya, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bundar Bulat, Nyi Blorong, meledak di pasaran. Dan aman-aman saja alias luput dari perhatian publik. Tak heran kalau produser KMST, Ferry Angriawan, mencak-mencak karena merasa dikerjain. Kehadiran film bertema seks di Indonesia sebenarnya sudah cukup tua. Tentu dengan kadar yang berbeda-beda.

Pada awalnya adalah film Antara Bumi dan Langit yang disutradarai Dokter Huyung pada 29 tahun silam. Empat bulan sebelum film tersebut diedarkan, muncul protes dari Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan lantaran ada poster bergambar orang sedang berciuman. Tapi, sepuluh tahun kemudian, Turino Djunaidi sukses menampilkan Djakarta-Hongkong-Macao, sebuah film bertema action dengan selingan adegan ciuman di sana-sini. Proses selanjutnya berlangsung cepat. Lahirnya kebijaksanaan impor film di tahun 1967 makin merangsang kehadiran film-film Indonesia yang berbau pornografi. Film-film Orang-Orang Liar, Hidup, Cinta dan Airmata, lalu Bernapas Dalam Lumpur (BDL) adalah wajah perfilman kita dua dasawarsa yang lalu. BDL dengan bintang utama Suzzanna yang diproduksi tahun 1970 mencatat rekor sebagai film terlaris yang ditonton hampir 130 ribu orang. Suatu jumlah yang fantastis pada zaman itu. Sejak itu pula nama Suzzanna melesat bagi meteor dan banyak yang menjadikannya sebagai bintang simbol seks. Honornya mencapai Rp 1 juta. Belakangan, Paula Rumokoy yang tampil lewat Dan Bunga Bunga Berguguran ikut menyemarakkan suasana. Lalu menyusul Tuty Suprapto dengan Tante & Sex. Setelah itu Yatti Octavia dalam Intan Perawan Kubu. Era 1970-1980 boleh dibilang masa kebangkitan film yang mengekspose adegan dari ranjang ke ranjang. 
Film jenis lain, seperti Tuan Tanah Kedawung, Si Buta dari Gua Hantu atau Si Gondrong dengan silat sebagai menu utama, kalah pamor. Begitu pula yang bertema musik seperti Dunia belum Kiamat. Tapi, film seks ketika itu tidak sampai terjebak pada kemesuman. Bahkan, film lain yang memasang judul vulgar semacam Ranjang Siang Ranjang Malam, Supirku Sayang atau Pahitnya Cinta Manisnya Dosa melabrak tanpa halangan apa pun. Buktinya, tak ada protes yang mengharuskan BSF mengadakan peninjauan kembali. Tampilnya film-film Indonesia yang penuh adegan panas akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari makin berkembangnya teknologi informasi di masyarakat. Contohnya, lewat parabola, acara-acara di luar negeri mudah diikuti. Tanpa sensor lagi. Kehadiran video gelap juga menjadi faktor pemacu. Gejala inilah yang disadap para produser yang sudah membuktikan bahwa film dengan latar belakang seks dan kekerasan jadi senjata sakti di pasaran. Maka berlomba-lombalah mereka menghadirkannya sebagai bagian dari sebuah bisnis. Sulit disangkal, bumbu seks dalam sebuah film jadi faktor pelaris. Ini alasan klasik yang sudah dikumandangkan sejak Wim Umboh menggarap Bunga-Bunga Berguguran di tahun 1970-an. "Masuknya seks hanyalah untuk menarik penonton agar suka datang melihat film-film kita," katanya. Bahkan, Asrul Sani ketika itu dengan gamblang mengatakan, "Saya yakin kelak film Indonesia akan berkembang ke arah mempersembahkan seks secara wajar. " Dua puluh tahun kemudian hal yang sama dibeberkan oleh Gope T. Samtani. "Untuk daya tarik, seks menjadi penting sebagai bumbu," kata produser PT Rapi Films. Ia memberikan batasan toleransi sekitar 10% . "Porsi sekecil itu paling untuk iklan masih bisa diterima," tambahnya. Dengan resep ini, Rapi yang memproduksi film dengan biaya Rp 150 hingga Rp 200 juta bisa memetik keuntungan minimal 20% perfilm. "Sekarang ini film legenda dan mistik memang sedang disukai, terutama di daerah," kata Gope lagi. Segmen pasarnya pun sudah jelas yakni menengah ke bawah. Film jenis ini dalam setiap penyelenggaraan FFI porsinya rata-rata mencapai 60 persen. Setidak-tidaknya ini membuktikan betapa besarnya jangkauan pasarnya. Tapi, ia menolak anggapan bahwa film yang laku harus dengan embel-embel seks dan sadisme.

Sebaliknya, Nyak Abbas Acub setuju dengan pendapat bahwa film seks dan sadisme pasti digandrungi. "Umumnya laku. Film Suzzanna, tidak ada yang tidak laku," kata sutradara Inem Pelayan Sexy ini. Sebab, memang sudah terjadi pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat. "Akan berkembang terus karena setiap kurun waktu akan ada nilai-nilainya sendiri," katanya lebih lanjut. Menurut teorinya, kondisi film Indonesia sendiri. "Kita sekarang ini dijejali dengan film impor. Sehingga, agar survive, film nasional cari jalan. Ibarat Ellyas Pical diadu dengan Mike Tyson. Jelas, bukan lawannya. Tapi Mike Tyson malah didukung. Jadi, tidak salah kalau Ellyas Pical main kayu, cari batu," kata sutradara penuh humor itu. Jadi, dalam bisnis film yang serba tidak pasti, banyak faktor yang saling mempengaruhi laku tidaknya sebuah film. Sialnya, film yang laku belum berarti keuntungan besar masuk ke kantong produser karena hasil peredaran jatuh ke tangan "booker" atau distributor. Dan peran"booke" ini tidak bisa diremehkan. "Kadang-kadang kami dibisiki produser bahwa maunya 'booker' itu begini," cerita Mat Noer Tindaon, sutradara Akibat Pergaulan Bebas yang pernah dihebohkan tahun 1977. Untuk menggambarkan betapa besarnya kekuasaan produser, bisa diceritakan oleh Djun Saptohadi. Ketika ia menggarap film Sembilan Wali produksi Soraya Intercine Film pada 1985, Djuntak berdaya dengan titipan produser. Adegan panas yang seharusnya tampil selintas, atas permintaan produser, diubah menjadi tontonan buah dada. "Tak pelak lagi, gara-gara itu saya dicerca di mana-mana," kata Ketua I Kelompok Sutradara KFT ini. "Situasi semacam ini dihadapi 80 persen sutradara yang ada," tambahnya.

Munculnya lembaga distributor atau "booker" tidak urung ikut ambil andil dalam soal kualitas. Karena merasa tahu jenis film yang laku, bintang yang digemari, tema cerita yang disenangi penonton, para "booker" sering bertindak sebagai penentu. Target produksi bukanlah piala Citra. Yang penting bisa dijual, laku, dan menguntungkan. Sebelum berproduksi, seorang produser biasanya konsultasi dulu dengan "booker". Setelah ada kesepakatan, dana pun mengalir dari "booker". Sistem ijon semacam inilah yang melahirkan film-film yang banyak mendapat cercaan. Namun, produser atau "booker" tak bisa disalahkan begitu saja. "Lahirnya film kacangan merupakan pertemuan produser bermental dagang dengan sutradara tanpa kemampuan dan cita-cita," kata Nasri Chepy, sutradara film Catatan Si Boy yang meledak itu. Ia juga tidak menutup mata adanya praktek jual nama sutradara. Maksudnya, sutradara hanya dibeli namanya, sedang praktek di lapangan dilakukan orang lain. Lalu apa resep sebuah film yang baik? "Sebenarnya, yang penting adalah membuat film yang kena di hati masyarakat," kata Raam Punjabi dari Parkit Film. Sebagai pengusaha sah saja kalau berorientasi pada keuntungan. "Film bukan hanya untuk tuntunan tapi juga barang dagangan," tambah produser yang doyan membuat film-film mahal ini. Ia mengatakan bahwa yang dibuat dengan modal besar belum tentu laku di pasaran. Film Peluru dan Wanita, misalnya, dengan sedikit bumbu seks dan dibikin dengan biaya Rp 2,5 milyar, tidak begitu bergema.

Lain halnya dengan Catatan Si Boy dan Saur Sepuh yang mendapat sambutan hangat sehingga boleh dijuluki film laris tahun 1988. Keduanya dibuat secara berseri. Dan tahun ini Namaku Joe dan Kabayan Saba Kota laku keras. Tak hanya di bioskop papan bawah Kabayan berjaya. Di bioskop kelas satupun mereka selalu dipenuhi pengunjung. Ini membuktikan tak semua film dengan tema "biasa" tak bisa dijual. Jauh sebelumnya, film-film warop Prambors seperti Maju Kena Mundur Kena, Gantian Dong, dan Kesempatan Dalam Kesempitan juga merajai pasaran. Begitu pula Pengorbanannya Rhoma Irama. Rata-rata menyedot di atas 1.000.000 penonton. Sementara itu, film-film yang masuk nominasi FFI, yang dari segi kualitas bisa diandalkan, malah kedodoran. Paling tinggi hanya menjaring 500 ribu orang, kecuali Pemberontakan G30S-PKI dan Sunan Kalijaga yang di atas 1.000.000.

Singkat kata, film-film terlaris dalam sepuluh tahun terakhir ini kalau tidak Warkop Prambors, Rhoma Irama, yang bertemakan takhyul atau seks. Ketika dalam FFI 1984 diumumkan tidak ada film terbaik, orang pun tersentak. Apalagi setelah Juri tidak memberikan Citra untuk cerita asli. Apa yang terjadi dengan film Indonesia? Sudah begitu parahkah situasinya? Dari segi cerita sebenarnya tidak terlalu buruk, hanya mandek begitu kata D. Djajakusuma almarhum sutradara Harimau Campa. "Cerita asli kurang digali karena produser memang maunya demikian." Maka, bermuculanlah film-film yang dibuat dengan semangat seks dan kekerasan yang idenya berkiblat ke film asing. Celakanya, BSF kurang tajam mengasah pisau guntingnya sehingga film semacam Pembalasan Ratu Laut Selatan lolos dengan mulus. Padahal, dampak film yang menyajikan adegan sanggama dan sadisme sudah sering terdengar. Dari sejumlah kasus perkosaan yang terjadi di sejumlah daerah beberapa waktu lalu dalam persidangan terungkap bahwa pelakunya yang rata-rata masih remaja terpengaruh oleh film yang ditonton. Kelonggaran itu pula yang dipertanyakan oleh seorang ibu yang tinggal di Denpasar, Bali, belum lama ini. Ia melampiaskan unek-uneknya dengan menulis surat pembaca di sebuah surat kabar karena anaknya yang masih duduk di taman kanak-kanak disodori film Malu-Malu Mau dengan bintang Warkop. Adegan seks mungkin tidak ada. Yang dipertanyakan, tepatkah film semacam itu untuk konsumsi anak-anak. Sebenarnya, di setiap daerah sudah ada Bapfida (Badan Pengawas Perfilman Daerah) yang tugasnya meneliti film-film yang akan diputar di bioskop. Lembaga ini tidak berhak menyensor. "Tapi, kalau ada yang tidak sesuai dengan kultur daerah kami kembalikan," kata M. Supratomo, Sekretaris Bapfida Yogyakarta. Film PRLS, misalnya, langsung ditolak. Hal yang sama antara lain juga dilakukan oleh Bapfida Jawa Tengah dan Bapfida Suatera Utara. Toh, masih ada yang kecolongan. "Terus terang saja kami ketrucut," kata Soediono, Ketua Bapfida Jawa Timur. Film PRLS sempat lima hari diputar di Surabaya sebelum turun perintah pencabutan. Di kota ini, PRLS tidak menimbulkan reaksi tajam karena penontonnya sepi.

PRLS telah menjadi "tumbal" yang membuat kita semua mengamati lagi film nasional. Lebih dari itu menyengat orang film sendiri untuk berpikir. Seks dan sadisme bukan satu-satunya masalah. Itu baru sebagian dari masalah yang mestinya muncul ke permukaan. Banyak persoalan lain yang belum terbeber. Kebodohan sebagian orang film sendiri dalam medlanya, sebagaimana disinyalir oleh Teguh Karya, juga merupakan lingkaran setan, kemacetan film nasional. Meskipun menurut Eros Djarot, sebenarnya, "Tidak ada lingkaran setan, yang ada hanya setan yang melingkar-lingkar." Yusroni Henridewanto,Tommi T., Muchsin Lubis, Jelil Hakim, Jalil Hakim, I Made Suarjana

Rabu, 02 Februari 2011

KETIKA MUSIM SEMI TIBA / 1986

KETIKA MUSIM SEMI TIBA


Awang (Rico Tampatty)atas bantuan ayah Margie (Paramitha Rusady), mengikuti latihan pertelevisian di Roma. Awang mulai bercinta dengan Margie meskipun Margie sudah dipertunangkan oleh orangtuanya. Orangtua Margie secara halus mendesak agar Awang meninggalkan Margie. Dalam keadaan frustasi, Awang mengalihkan perhatiannya ke seorang penari, Vivienne (Meriam Bellina)yang memegang prinsip bahwa waktu yang menentukan pertemuan, percintaan dan perpisahan.
P.T. VIRGO PUTRA FILM

PARAMITHA RUSADY
MERIAM BELLINA
RICO TAMPATTY
LEROY OSMANI
W.D. MOCHTAR
NYOMAN AYU LENORA
SRI LESTARI
H.I.M. DAMSJIK
TEDDY MALA
AGUS SIRAN
NANANG DURACHMAN
S. NARYO HADI

25 Juli 1987
Ketika musim revisi tiba

DUA orang petugas Kanwil Departemen Penerangan Jawa Barat mendatangi Bioskop Vanda di Bandung, menjelang pukul sepuluh malam, Kamis pekan lalu. Mereka tidak menuju loket, tetapi masuk ke kantor bioskop, lalu menyodorkan selembar "surat sakti". Isi surat, yang ditandatangani Kepala Kanwil Deppen Ja-Bar, Drs. Asep Saefudin, meminta agar film yang diputar saat itu bisa dihentikan secepatnya. Peristiwa yang sama terjadi di Yogyakarta, Tegal, dan berbagai kota lain di Indonesia. Perintah itu datang dari Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF), Thomas Soegito, lewat telepon. 

Maka, untuk sementara, peredaran film nasional yang agaknya bisa menjadi film terlaris tahun ini terganggu. Film itu tak lain Ketika Musim Semi Tiba (KMST). Larangan terhadap film yang sedang dalam masa putar di bioskop agaknya baru sekali ini terjadi. Dan larangan terhadap KMST itu dikeluarkan sesudah BSF menyelenggarakan sidang pleno Senin pekan lalu. "BSF mempertimbangkan banyaknya imbauan dari masyarakat," kata Thomas Soegito. "Film itu akan disensor ulang." Dibintangi Meriam Bellina dan Rico Tampatty, KMST mendapat sambutan di mana-mana. Ketika diambil dari Bioskop Vanda Bandung, KMST sudah memasuki hari putar ke-56, dan sudah ditonton lebih dari 40 ribu orang. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, film ini pun diserbu penonton begitu juga di Jawa Timur, Bali, Sumatera. KMST sudah menghilang dari bioskop Jakarta, tapi kaset videonya menyebar sampai ke rental paling kecil. Kabar terakhir, video KMST sudah beredar pula di Denpasar, dan bukan mustahil di kota-kota lain juga. Dalam situasi beginilah, BSF mau merevisi. Amboi! Lalu bagaimana dengan videonya yang mewabah itu? Adakah BSF, ketika melepas film ini Maret lalu -- juga lewat sidang pleno -- tidak memperhitungkan reaksi masyarakat? Tampaknya begitu. BSF hanya melaksanakan tugasnya yang biasa, tapi khusus dalam kasus KMST, kejelian sensornya diragukan banyak orang. Memang, di Yogyakarta yang terkenal rewel itu -- film ini tidak dipersoalkan Bapfida setempat. Hanya ada catatan, film boleh diputar cuma di Kota Madya Yogyakarta. Berarti di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul, KMST tak laik putar. Apalah artinya itu kalau jarak tempuh ke Yogya bisa dicapai dengan mengayuh sepeda tanpa lelah? Lalu, di Jawa Tengah, yang sudah terbiasa agak longgar, tokoh-tokoh seperti Haji Karmani dan Haji Wahab Djaelani mengakui bahwa KMST "agak mengejutkan" tetapi toh dapat menerima, karena film tetap sebuah film dan urusan porno tergantung dari mana melihatnya.

 Baru di Jawa Barat KMST kesandung, itu pun setelah masa putarnya mendekati 60 hari. Salah seorang pimpinan MUI Ja-Bar, Endang Rahmat, berkata, menonton KMST adalah haram hukumnya. Dikutip harian Pikiran Rakyat, Endang berucap, "Majelis Ulama Jawa Barat tak perlu lagi mengeluarkan fatwa. Film ini amat pornografis." Sejak itu, protes dari masyarakat bermunculan. Di Indonesia, perdebatan tentang pornografi memang seperti tak 'kan habis-habisnya. Film KMST yang sudah lolos sensor itu di mata BSF tetap tidak porno. "Pokoknya, BSF menilai film itu sudah pas," kata Thomas Soegito, akhir pekan lalu. Pertimbangan BSF: film diangkat dari novel yang sudah beredar luas, cerita film terjadi di Roma, dan untuk 17 tahun ke atas. Sampai sekarang BSF sudah berkali-kali melepas film-film panas, tapi baru dalam kasus KMST, lembaga ini dikecam keras. "Karena masyarakat punya pandangan lain, BSF harus peka terhadap imbauan masyarakat," ujar Thomas. Sikap BSF yang cenderung reaktif inilah agaknya, yang membuat Bobby Sandy (sutradara) dan Ferry Angriawan (produser KMST) berang. "Saya jadi tak tahu lagi apa kriteria BSF," kata Ferry. Ia pun menuding media massa. "Sebelum media massa meresensi film itu, tak ada komentar dari masyarakat yang negatif. Oknum-oknum tertentu kemudian memanfaatkannya," umpat pimpinan PT Virgo Putra Film ini. Bobby Sandy ikut menimpali. "Ketika saya membuat film itu, tidak terniat sama sekali menonjolkan hal-hal yang porno. 

Kalau mau membuat film begitu, kenapa jauh-jauh mencari tempat romantis sepert Roma?" ujarnya, seperti yang sudah diucapkannya berkali-kali sebelum ini. Ia sepakat dengan Ferry, film ini ditarik karena dikerjain. Tapi cobalah KMST dikaji sekali lagi. Kostum Meriem dalam adegan tari, sesungguhnya, tak polos betul. Bahkan mirip dengan film Cinta di balik Noda, yang menyebabkan ia memperoleh Citra, FFI 1984 di Yogyakarta. Kesintalan tubuh Mer ketika menari dan diangkat-angkatnya tubuh itu oleh penari lelaki pun pernah muncul dalam film Mer yang lain. Atau mengingatkan pada drama musikal Waktunya Sudah Dekat yang dipentaskan di Balai Sidang, Senayan, November 1985. Tarian dalam KMST pun dari segi artistik tak jatuh betul. Cuma, adegan berciuman dan lagi-lagi berciuman itu apa porsinya tidak terlalu berlebihan? Apa maunya, Bobby? Di sini pula gunting BSF mendadak tumpul, membiarkan adegan ciuman panjang yang sampai kulum-mengulum lidah. Kalau ini digunting dan disisakan cipokan beberapa detik, lalu membiarkan adegan pelukan untuk tak memotong dialog, jalan cerita toh masih tetap bisa diikuti. Kontinuitas tetap terjaga. Selain gunting BSF tak bekerja di bagian ini, KMST bernasib sial karena diputar menjelang FFI 1987. Film ini dijadikan salah satu bahan untuk lomba kritik FFI. 

Bandingkanlah dengan film-film lain yang terang-terangan mengeksploitasi seks, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bulat Bundar, Nyi Blorong, yang luput dari pengamatan media massa. Dan aman. Akankah KMST ini mengendap lama di BSF? Thomas Soegito menjanjikan dalam waktu dekat, setelah direvisi penyensorannya, KMST akan dilepas kembali. "Semua film nasional yang direvisi, termasuk Bung Kecil, Petualang-Petualang, Saidja dan Adinda akan dilepas menjelang pergantian anggota BSF ini," katanya. Berita menarik untuk ditunggu, karena keanggotaan BSF itu diganti akhir bulan ini juga. Putu Setia, Laporan Happy S. & Moebanoe Moera

Sabtu, 29 Januari 2011

S.A. KARIM 1964-1994



Lahir Kamis, 09 Agustus 1934 di Takengon. Pendidikan: ASDRAFI dan penulisan skenario. Pertama kali ke film sebagai astrada dalam Tudjuh Pradjurit (1962). Menjadi sutradara penuh mulai Ilusia (1971) produksi Panah Mas Film. Pada tahun 1974 menyutradarai Suster Maria, menjadikan Tanty Josepha meraih aktris terbaik dalam film itu. Ia juga mnenyutradarai sinetron Wiro Sableng dan Misteri Penjaga Makam antara 1995 dan 1997.

Banyak membuat film-film tentang mistik, horor, Silat, dan ngelmu...kali ya...., tapi film-filmnya banyak mencampurkan unsur sex atau cewek sexy, maupun yang berpakaian sexy, walaupun kebaya mungkin sexy juga...kalau sobek-sobek.....Tidak banyak yang didapat info tentang Mas Karim ini.

PENANGKAL ILMU TELUH 1979 S.A. KARIM
Director
JAMPANG II 1990 S.A. KARIM
Director
DARAH LIMA NAGA 1983 S.A. KARIM
Director
LENYAPNYA DENDAM SI BUTA 1983 S.A. KARIM
Director
MENANTI KELAHIRAN 1976 S.A. KARIM
Director
GODAAN 1978 S.A. KARIM
Director
MENENTANG BADAI 1985 S.A. KARIM
Director
PENDEKAR MATA SATU 1989 S.A. KARIM
Director
PENDEKAR MATA SATU LAWAN SABUK BADAK 1989 S.A. KARIM
Director
DAERAH PERBATASAN 1964 S.A. KARIM
Director
PERTARUNGAN DI GUNUNG SETAN 1989 S.A. KARIM
Director
PERTARUNGAN KERA SAKTI 1977 S.A. KARIM
Director
ARWAH PENASARAN 1975 S.A. KARIM
Director
ILUSIA 1971 S.A. KARIM
Director
PENGEJARAN DI BUKIT HANTU 1986 S.A. KARIM
Director
WALET MERAH 1993 S.A. KARIM
Director
MAKHLUK DARI KUBUR 1991 S.A. KARIM
Director
MISTRI WANITA BERDARAH DINGIN 1992 S.A. KARIM
Director
JAKA TUAK 1990 S.A. KARIM
Director
HAMIL MUDA 1977 S.A. KARIM
Director
CINCIN BERDARAH 1973 S.A. KARIM
Director
INTERPOL 1978 S.A. KARIM
Director
SI GURA-GURA 1980 S.A. KARIM
Director
DIA YANG BERHATI BAJA 1985 S.A. KARIM
Director
SI COMEL 1973 S.A. KARIM
Director
TERTANGKAP BASAH 1988 S.A. KARIM
Director
SUSTER MARIA 1974 S.A. KARIM
Director
AKU TAK BERDOSA 1972 S.A. KARIM
Director
KETEMU JODOH 1973 S.A. KARIM
Director
RAJAWALI DARI SELATAN 1988 S.A. KARIM
Director
RAJAWALI DARI UTARA 1990 S.A. KARIM
Director
BUTIR-BUTIR 1981 S.A. KARIM
Director
BUTET 1974 S.A. KARIM
Director
JARI-JARI LENTIK 1984 S.A. KARIM
Director
GAIRAH MALAM 1993 S.A. KARIM
Director
ROMUSHA 1972 S.A. KARIM
Director
JURUS DEWA NAGA 1989 S.A. KARIM
Director
JURUS DEWA KOBRA 1994 S.A. KARIM
Director
PRABU ANGLINGDARMA III 1994 S.A. KARIM
Director

Jumat, 18 Desember 2009

TJOET NJA DHIEN WOMAN OF COURAGE / 1986



Set in 1896, Tjoet Nja Dhien celebrates one of Indonesia's great heroes who fought for independence from the Dutch. The pious Muslim people of Aceh, a city that had flourished since ancient times as a trade port, enter into a fierce war with the Dutch. Tjoet Nja 'Dhien, the widow of a rebel leader operating in Aceh in Sumatra, assumes the leadership when her husband Teuku Uma is killed in an ambush. 'Dhien's charismatic presence and power of survival motivate the locals to join and later continue their opposition to the Dutch. Despite personal obstacles, she remained in the thick of the struggle for ten years. Written by Anonymous .

Another Trax.
Set in 1896, Tjoet Nja Dhien celebrates one of Indonesia’s great heroes who fought for independence from the Dutch. The pious Muslim people of Aceh, a city that had flourished since ancient times as a trade port, enter into a fierce war with the Dutch. Tjoet Nja ‘Dhien, the widow of a rebel leader operating in Aceh in Sumatra, assumes the leadership when her husband Teuku Umar is killed in an ambush. ‘Dhien’s charismatic presence and power of survival motivate the locals to join and later continue their opposition to the Dutch. Despite personal obstacles, she remained in the thick of the struggle for ten years. First Indonesian film ever to be screened in Cannes Film Festival.



Teuku Umar (Slamet Rahardjo) memimpin rakyat Aceh dalam memerangi penjajah Belanda. Teuku Umar didampingi istrinya, Tjoet Nja Dhien (Christine Hakim) dan putrinya, Tjoet Gambang (Hendra Yanuarti). Teuku Umar tewas tertembak oleh musuh. Tjoet Nja Dhien ganti jadi panglima perang. Setelah mengalami berbagai pertempuran dan pengkhianatan, tubuh Tjoet melemah dan akhirnya buta. Film ini ingin menegaskan bahwa kekuatan iman adalah segalanya.

Saya pernah menyebut film ini masterpiece. Dan tetap begitu buat saya. Sebuah film yang dibuat dengan darah dan air mata sineasnya (menghabiskan waktu 2 tahun dan miliaran rupiah). Hasilnya adalah sebuah hikayat perang sebuah kelompok yang tak kenal kata kalah. Lihat bagaimana Tjoet Nja’ (Christine Hakim yang dahsyat!) yang nyaris buta masih menghunuskan pedangnya saat ditangkap Belanda—berkat pengkhiatan seorang pengikutnya yang kasihan padanya. Entah kenapa Eros tidak membuat film lagi, terakhir adalah Kantata Takwa kolaborasi dengan Gatot Prakosa.

Entah kenapa cerita yang dipilih lain dari pada yang lain kebanyakan film perjuangan Indonesia, disini lebih pada menggambarkan kesolitan tentara Aceh, dengan dipadu konflik penghianatan yang dilakukan anak buah Tjoet. Perjuangan Tjoet disini lebih perkasa digambarkan dari pada pahlawan perempuan Indonesia lainnya. Bagaimana ambisiusnya, dan juga ternyata saat tertangkap Belanda Tjoet hanya seorang wanita tua renta yang buta lagi,...sangat tidak disangka, seorang pemimpin pejuang yang bagi Belanda sulit sekali ditaklukan dengan persenjataan dan serdadu mereka, ternyata pasukan Aceh dipimpin seorang wanita tua renta dan buta lagi. Seperti foto asli Tjoet saat tertangkap oleh Belanda.

Gambar yang dilakukan George sangat baik sekali, tetapi kemampuan tehnis saat itu bisa dimaklumi saat ini, beberapa scene out door hujan/ day,...tampak backgraoundnya terang sekali. Tapi terlepas dari itu Christien memang total, dan Eros sangat piawai, dan George Kamaruyllah sangat peka...maka film ini bagus.

Kalau film ini dibuat Black White, mungkin semakin bagus lagi, memiliki arti tersendiri sebagai special, karena memang tidak ada warna yang baik dalam set film itu kecuali hanya hutan, yang sudah pasti warna hijau dan tanah dominan.

P.T. EKAPRAYA FILM
P.T. KANTA INDAH FILM

CHRISTINE HAKIM
SLAMET RAHARDJO
PITRAJAYA BURNAMA
HENDRA YANUARTI
RITA ZAHARA
HERMIN CENTHINI
ROY H. KARYADI
FRITZ G. SCHADT
JOHN ISKANDAR
TUANKU FJALIL
JOES TERPASE
EKO HANDOKO

15 Oktober 1988
Film terbaik, tjoet nya' dhien ?

FILM yang lolos Komite Seleksi tahun ini memang lebih banyak, 18 film. Juri yang kini diketuai Asrul Sani cuma menilai film yang lolos, walau mungkin mutu film ini ada yang lebih rendah dari film yang tidak diloloskan. Ke-18 film itu, menurut abjad, Akibat Kanker Payudara (sutradara Franky Rorimpandey), Ayahku (Agus Ellias), Ayu dan Ayu (Sopkan Sophiaan), Catatan Si Boy I (Nasri Chepy), Cinta Anak Zaman (Buce Malauw), Irisan-lrisan Hati (Djun Saptohadi), Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing), Kasmaran (Slamet Rahardjo), Mekar Diguncang Prahara (Hasmanan), Nada-Nada Rindu (Muklis Raya), Pernikahan Berdarah (Torro Margens), Pernikahan Dini (Yaman Yazid), Saur Sepuh (Imam Tantowi), Selamat Tinggal Jeanette (Bobby Sandi), Seputih Pasir Semerah Luka (Wim Umboh), Tatkala Mimpi Berakhir (Wim Umboh), Terang Bulan di Tengah Hari (Chaerul Umam), Tjoet Nya' Dhien (Eros Jarot). Arifin C. Noer gagal merampungkan Jakarta '66 sampai saat-saat akhir, dan Teguh Karya macet dalam menggarap Pacar Ketinggalan Kereta. Yang tidak jelas Gema Kampus '66, karya Nico Pelamonia, tak lolos komite seleksi atau ada masalah lain. Untuk pertama kalinya film dangdut Rhoma Irama (Nada-Nada Rindu) masuk film pilihan. Dan yang sulit dimengerti, film seperti Catatan Si Boy dan Cinta Anak Zaman bisa lolos. Jika mau dibandingkan, Penginapan Bu Broto masih lumayan juntrungannya, dan toh tak lolos. Dengan peta kekuatan seperti ini -- dan jumlah yang banyak itu agaknya untuk meramaikan pekan film di 11 kota -- bisa dibayangkan Tjoet Nya' Dhien akan memborong Citra. Tak ada aktor baru yang akan muncul. Christine Hakim dan Slamet Rahardjo boleh jadi akan mendapat Citra untuk aktris dan aktor terbaik lewat penampilannya sebagai Tjoet Nya' Dhien dan Teuku Umar, sementara Pitrajaya Burnama yang bermain sebagai Pang La'ot dalam film karya pertama Eros Djarot itu bisa meraih Citra untuk peran pembantu pria. Cuma ia dibayangi W.D. Mochtar dalam Ayahku. Peran pembantu wanita mungkin diperebutkan Rita Zaharah (Tjoet Nya' Dhien) dan Ria Irawan -- yang bermain bagus sebagai pembantu dalam Selamat Tinggal Jeanette. Skenario Misbach Yusa Biran cukup menonjol dalam Ayahku. Tapi ia dibayangi dua saudara, Eros Djarot (Tjoet Nya' Dhien) dan Slamet Rahardjo (Kasmaran). Film terbaik? Kalau memang harus ada tak ada lain selain Tjoet Nya' Dhien, dan itu berarti FFI ini hanya melahirkan sutradara: Eros Jarot, yang sebelumnya dikenal sebagai penata musik. Putu Setia

Between 3 Worlds now has rights to distribute this highly acclaimed film internationally on both video and DVD . The video is available in both PAL ( UK & Australia) and NTSC (USA) electronic systems. The DVD is a single layered DVD in PAL system and is Region Coded O. It can be played on computers in most countries or on most recent DVD players connected to PAL compatible TV monitors or to any video projector. A study guide for the film is provided with both videos and DVDs.

One of the most famous films ever made in Indonesia, Tjoet Nja' Dhien tells the epic story of the Indonesian national heroine, Tjoet Nja' Dhien, who led a band of guerrillas fighting against Dutch colonial forces in the mountains of Aceh in Sumatra in the early twentieth century. Despite a series of besetting intrigues caused by changing loyalties among Acehnese chiefs, some of whom were persuaded to side with the colonisers, for six years Tjoet and her group evaded and harassed Dutch forces sent out to capture them, her charismatic presence and her powers of survival stirring the local people to continue opposition to the Dutch.

Tjoet Nja Dhien was the first Indonesian film invited to Cannes and also won nine Citra awards at the nationally prestigious Indonesian Film Festival held in Jakarta in 1988, establishing Eros Djarot as a formidable director. The film stars the internationally acclaimed Indonesian actress Christine Hakim in a remarkable performance that shows the full range of her commitments and skills as an actress. A visually stunning film, some of its most powerful images are based on notorious Dutch photographs of the war in Aceh, the longest continuous war in Dutch history.

Tjoet Nja Dhien was the wife, chief strategist and political mentor of the rebel leader Teuku Umar in the strongly Islamic Aceh region in the north of Sumatra island. After her husband's death in a Dutch ambush in February 1899, Tjoet Nja' Dhien took over leadership of the band of guerrillas. This compelling portrait of Tjoet Nja' Dhien provides insight into Indonesian colonial history, emphasising the historical importance of Islam in the resistance to Western colonialism in Indonesia, and the right to survival of indigenous cultures. This story of a woman as a charismatic rebel leader in a colonial war, and of her daughter, who continued her mother's struggle, exemplifies a politics of cinema that challenges the more stereotyped portraits of women in film in Indonesia.



News
31 Desember 1988
Penyair sebagai penggelinding

FILM Tjoet Nja' Dhien (TND) adalah potret sejarah, juga sebuah puisi bagus. Riset yang teliti, pakaian dan properti yang detail dan akurat, gambarnya sempurna, editingnya prima. TND bukanlah "film" risalah perang, tetapi karya kesenian. Perang Aceh dimulai setelah ultimatum Belanda, Rabu 26 Maret 1873. Ketika ekspedisi pertama, Jenderal J.H.R. Kohler, yang memimpin 7.500 serdadunya, pada 15 April 1873 tewas di depan Masjid Baiturrahman Banda Aceh, 8 hari setelah ia di sana. Waktu itu bertakhta Sultan Mahmudsyah yang berusia 17 tahun. Perang telah membuat Tjoet Nja' Dhien (lahir pada 1857) teguh dengan keyakinannya. Masa kecilnya tak tercermin di dalam film itu. Ia anak ketiga dari Teuku Tjhik Nanta Setia, yang diangkat Sultan Sulaiman Iskandarsyah menjadi uleebalang VI Mukim dari Sagi XXV, Aceh Besar. Suaminya, Teuku Ibrahim Lam Nga, seorang panglima, tewas 29 Juni 1878. Janda muda ini tak bermaksud menikah lagi, kecuali bila ada pemuda yang mampu membalas kematian Teuku Ibrahim. Teuku Umar kemudian muncul di hati Tjoet. Mereka menikah pada tahun itu juga. Padahal, Teuku Umar sudah menikah dengan Tjoet Nja' Alooh binti Teuku Maharaja di Lhokseumawe. Alooh adalah kemanakan Tuanku Hasyim Banta Muda, panglima tertinggi angkatan perang Aceh. Dalam film tak terinformasikan ihwal Tjoet Gambang. Apakah gadis ini anak dari hasil perkawinan Tjoet Nja' Dhien dengan Teuku Ibrahim atau dengan Teuku Umar. Teuku Umar, sebelum tewas, berpesan agar Gambang menikah dengan seorang anak Teungku Tjhik Di Tiro. Kisah tak cepat mengalir ke fokus Tjoet Nya' Dhien. Sutradara Eros Djarot memberi porsi berlebih untuk Teuku Umar, yang menyerah kepada Belanda, 30 September 1893 -- kemudian digelari "Johan Pahlawan" oleh Jenderal Deijkerhoff. Tapi 29 Maret 1896 Teuku Umar aneuk Meulaboh itu kembali bergabung ke tengah pasukan Muslimin di dalam rimba. Dan itu semua, atas bujukan Tjoet sendiri yang sangat benci pada "kaphe". Karena pengkhianatan Teuku Leubee, pada 11 Februari 1899 Teuku Umar tewas di Suak, Ujong Kalak. Mayatnya dilarikan lasykarnya, lalu dikebumikan di Mon Tulang, di udik Meulaboh, Aceh Barat. Leubee -- yang dikawal marsose -- menebus perbuatannya itu di ujung rencong Tjoet Nja' Dhien, dalam satu sergapan ketika ia hendak ke Kutaraja. Seandainya tentang Teuku Umar dipadai hanya sebatas "catatan kaki" melalui beberapa flashback, kisah tentu tidak terasa mendua dalam satu film. Sebab, tentang Teuku Umar, bisa menjadi sebuah film lain. Demikian pula dengan adegan Belanda, porsinya juga terasa berlebihan. Kecuali yang dramatik -- sebagai gambaran keseluruhan tentang perang yang ganas dan panjang itu -- antara lain 561 penduduk, termasuk wanita dan anak-anak, dibunuh. Pembantaian pada Juni 1904 di Kota Reh, Aceh Tengah, itu dilakukan oleh Van Daalen. Yang hidup cuma si cilik Agam. Ia diselamatkan oleh penyair ke tempat persembunyian Tjoet, yang menggantikan almarhum suaminya memimpin pasukan. Dalam film ada penyair, tokoh sisipan.

Dia bagai si pembanyol, seperti dalam kisah Robinhood atau Sinbad. Padahal, hampir di setiap rumah tangga Aceh ada penyair, karena ada hikayat, tembang, amsal, dan satir. Penyair itu ibu-ibu. Ia telah senyawa dalam tradisi sastra lisan -- perempuan yang tidak cuma "penghubung" riwayat. Penyair, perempuan-perempuan itu, narator dalam sejarah hidupnya, yang alami. Apa kala sutradara menampilkan penyairnya sejak awal, sesungguhnya ia terkait utuh sebagai pembawa narasi atau penjalin dalam strory line pada TND. Penyair bukan cuma tempat saluran ekspresi dan suara hati perempuan bangsawan ini, namun sebagai penggelinding cerita, sehingga lebih mengalir ke fokusnya. Bayangan kita: adegan pembukaannya yang siluet itu diteruskan dengan munculnya si penyair menembangkan Didong di atas bukit bersama kornya itu. Lalu diisi musik yang excellent dari Idris Sardi. Sebelum memimpin perang -- seperti dipidatokan Teuku Umar -- Tjoet juga mengingatkan para Bunda yang lain agar mereka mendendangkan anaknya dalam ayunan, dengan syair atau melagukan Hikayat Perang Sabil karangan Teungku Tjhik Pante Koeloe. Hikayat ini telah membangkitkan keyakinan para lasykar untuk berperang fisabilillah dan mencari mati syahid. Hikayat ini, bersama Hikayat Kompeni yang ditulis Do Karim, kata Profesor Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda, ibarat dinamit raksasa yang tak terkendalikan. Tenaga penggeraknya lebih hebat dari dentuman meriam marsose. Lalu dalam bukunya De Atjehers, Snouck mencatat: "Aceh itu fanatik dan mereka terkenal karena siasat tipunya." Dan jangan lupa.

Tjoet sebagai seorang ibu, juga penyair. Dengarkan ia berdendang: Dokuda idi, dokuda idang/ Seulayang blang putoh taloue/ Rayeuek aneuk bah beureujang/ Jak tulong prang bila nanggroeu/ Rayeuek sinyak banta sidi/ Jak prang sabi bila agama. Artinya, Dodoi di dodoi, tidurlah sayang/ Layangan di sawah putus talinya/ Besarlah anak lekaslah sayang/ Ikut berperang membela negeri/ Wahai anak cepatlah besar/ Berperang sabil membela agama. Zakaria M. Passe


31 Desember 1988
Tahun-tahun gerilya tjoet nya'dhien

TJOET NJA' DHIEN Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo Djarot, Pietradjaja Burnama, Rudy Wowor, Ibrahim Kadir Skenario & Sutradara: Eros Djarot APAKAH film Tjoet Nja' Dhien bercerita tentang kepahlawanan, atau tentang perang terlama dalam sejarah kolonial Belanda di Nusantara? Pertanyaan ini timbul karena untuk bercerita semata-mata tentang kepahlawanan Dhien, adegan perang yang kolosal, dan sistem Dolby Stereo agaknya bukanlah keharusan yang mutlak. Mengapa? Sederhana saja masalahnya. Kepahlawanan Dhien baru menyata dan mengkristal dalam perang gerilya yang dipimpinnya, bukan dalam perang terbuka yang frontal dan menuntut penyajian kolosal. Perang gerilya Dhien dengan strategi berterang-terang dalam gelap dan bergelap-gelap dalam terang -- sebenarnya adalah tema yang tidak kurang pekat untuk digarap. Didampingi putri tunggalnya, Tjoet Gambang, entah berapa ratus kilometer yang ditempuh wanita luar biasa ini -- selama lebih kurang lima tahun -- menyeberang dari kampungnya di Lam Padang, menuju Meulaboh, dan berakhir di Beutong. Dan semua itu dilakukan di bawah ancaman pengejaran tentara kaphe Belanda, yang jauh lebih unggul dalam persenjataan, kekuatan pasukan dan logistik. Andaikan tema itu, misalnya, bisa diperkuat dengan bahan-bahan sejarah, niscaya kisah kepahlawanan Dhien akan lebih kaya, biarpun tentu, kurang bergelora dan kurang darah. Kontak-kontak senjata dengan taktik hit and run yang khas gerilya tentu kurang menggugah. Visualisasi semacam inilah agaknya yang mau dihindari sutradara Eros Djarot. Ia pada dasarnya ingin mengagungkan Dhien, tapi pada saat yang sama berusaha memberi bingkai sejarah yang gegap gempita untuk kepahlawanan wanita bangsawan ini. Maka jadilah sebuah film spektakuler, berkisah tentang Perang Aceh dengan kepahlawanan Dhien sebagai tema pokok. Bila ditilik lebih tajam, sebenarnya ada dua tema yang diangkat bersama-sama: satu episode Perang Aceh (1873-1904) dan profil Tjoet Nja' Dhien.

Tema ganda ini membawa konsekuensi tersendiri: peta dan proses perang menjadi kurang jelas dan fragmentaris, sementara pribadi Dhien kurang tergali. Tak ditemukan cuplikan dari masa kecilnya, katakanlah misalnya momen-momen penting saat ia dibesarkan di sisi seorang ayah yang juga pejuang ternama: Panglima Nanta Setia. Juga tidak terkilas bagaimana corak hidupnya ketika Teuku Umar, suami kedua selama tiga tahun menyeberang ke pihak musuh, dengan tujuan mencuri senjata dan mempelajari siasat perang Belanda. Singkatnya, informasi disajikan terbatas, hingga pemahaman penonton tentang Dhien juga terbatas. Kalaupun semua itu bisa disebut sebagai cacat, maka bagaikan torehan tipis, cacat itu hampir-hampir tak kentara. Sebagian besar kekuatan film ini terutama ada pada suasana yang secara bersama-sama ditunjang oleh pemotretan (George Kamarullah), musik (Idris Sardi), dan penyuntingan gambar (Karsono Hadi). Kendati proses perang Aceh tak terungkap dengan baik, editing yang cermat telah menyajikan jalan cerita yang acap kali membuat penonton menahan napas. Mereka melihat sosok perang yang lain. Musik yang membawa getaran magis, obor-obor yang bergerak semakin cepat dan semakin banyak, kelewang (pedang) yang berkelebatan. Dramatis. Belum lagi adegan dengan teknik gerak lambat, yang melukiskan kebiadaban pasukan Van Dalen di sebuah kampung di Tanah Gayo. Di sini ritme cerita sedemikian terpelihara, hingga dalam adegan slow motion pun, ritme itu mengalami sinkronisasi yang pas. Tak ada ekspresi kengerian atau putus asa -- seperti yang, misalnya, dengan artistik sekali digoreskan oleh Goya dalam lukisannya Tiga Mei -- namun adegan pejuang yang roboh, disusul wanita dan anak-anak yang berlari, tapi juga kemudian roboh, telah amat mencekam.

Gambar-gambar yang bisu itu seakan melukiskan kengerian dan kesakitan, tanpa satu wajah pun -- disorot khusus. Namun, terasa sapuan Goya hadir di sana, lewat bidikan kamera dan gunting editor. Di balik itu semua, tentulah gagasan dan kreativitas sang sutradara yang menentukan. Simak saja dialog dan pidato Teuku Umar -- diperankan dengan baik oleh Slamet Rahardjo Djarot yang dengan alasan artistik terucapkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Aceh campur aduk. Mungkin bagi telinga pribumi Aceh sesekali terkesan janggal, tapi penonton lain menerimanya sebagai hal baru, yang asing namun tidak mengganggu. Eksperimen itu melatih penonton untuk menerima adanya warna lokal, unsur yang memang terbawa dalam eksistensi kita sebagai bangsa. Hal lain yang juga eksperimental adalah menampilkan seorang penyair (Ibrahim Kadir) sebagai tokoh antagonis buat Tjoet Nja' Dhien. Terlepas dari tokoh ini fiktif atau tidak, kehadirannya dipertanyakan. Terkadang ia arif bijaksana, tapi lebih sering tampak konyol. Suatu saat ia mencela perang, tapi kali lain ia berkata, "Tjoet Nja' harus tetap hidup." Celotehnya acap kali membingungkan, hingga bagi Dhien ia merupakan lawan dialog yang serba tanggung, sementara bagi yang lain mirip pelipur lara yang menjengkelkan. Ada kesan, kehadiran penyair dipakai hanya untuk lebih menonjolkan kebesaran Dhien. Fungsinya sama dengan pedagang senjata dan dua pengkhianat: Teuku Leubee dan Fatma. Mereka bukan orang bodoh, tapi oportunistik. Begitu pula dua tentara Belanda, Voorneman dan Veltman (Rudy Wowor dan Roy Hadyanto Karyadi memerankan dengan pas kedua tokoh itu). Mereka hanya dua sekrup dari mesin perang kolonialis Belanda.

Orang-orang semacam ini memberi dimensi manusiawi yang negatif, sementara Dhien begitu sempurna. Tapi Eros cukup jeli untuk tidak "mendewakan" Dhien. Dengan melanjutnya usia, wanita yang tangguh ini mengalami erosi mental. Ia tidak bisa tegas terhadap pengkhianat seperti Fatma, ia juga bersikap mendua terhadap Perang Fisabilillah. "Akhirnya kita hanya saling bunuh," cetusnya suatu kali, ketika mendengar bahwa pasukannya berhasil membantai sejumlah besar marsose Belanda. Ada erosi tipis pada Dhien, sementara erosi yang lebih fatal menimpa Pang Laot (dimainkan dengan sangat baik oleh Pietradjaj Burnama). Tokoh yang selama bertahun-tahun menjaga keselamatan Dhien ini akhirnya menyerahkan sang pahlawan begitu saja ke tangan Kapten Voorneman, dengan membocorkan tempat persembunyiannya. Alasan Pang Laot: kondisi fisik Dhien -- buta dan digerogoti encok -- sudah terlalu parah. Film besar ini diakhiri dengan sebuah adegan besar, yang sulit dilupakan. Christine Hakim telah menghidupkan adegan penangkapan Dhien dalam kemampuan akting yang tidak ada duanya. Posisinya yang membungkuk, ekspresi wajah yang sulit ditebak, dikir yang seakan-akan begitu responsif terhadap penjelasan Pang Laot, dan tusukan rencong yang cepat dan begitu tiba-tiba. Disusul ledakan amarah seoran panglima perang. Itulah Dhien, tak bisa lain. Film ini berakhir ketika rombongan tandu yang membawa sang pahlawan bergerak saat hari mulai gelap.

Di layar ada memo penutup: Tjoet Nja' Dhien wafat tahun 1906 di Sumedang, jauh dari tanah dan rakyat Aceh yang sangat dicintainya. Eros Djarot telah menghidupkan kisah kepahlawanan ini dalam ungkapan keimanan seorang muslim yang kental, dan tekad baja yang tak pernah pudar. Sedangkan Perang Aceh, yang menjadi pentas untuk Dhien, hanya terangkat secara nyata dalam esensinya -- sebagai perang melawan kaphe (Belanda) dan membela tanah air. Perang itu sendiri tak bisa dibandingkan dengan perang mana pun di Indonesia berlangsung paling lama (30 tahun), menewaskan puluhan ribu manusia, dan menguras sampai ke dasar dana pemerintah Hindia Belanda. Kalau saja Eros melengkapi filmnya dengan sedikit narasi dan petunjuk pada peta, denyut perang tentulah akan lebih terasa. Isma Sawitri


26 November 1988
Bustanil bersama tjoet nja' dhien

SENIN malam pekan lalu, (sejumlah artis menyatroni) kediaman Menteri Koperasi Bustanil Arifin, di Jalan Hang Tuah, Jakarta. "Serbuan" dadakan itu ternyata tak mengejutkan tuan rumah. "Kami sedang mengadakan syukuran. Memang sangat mendadak, karena kru film pingin datang ke rumah saya. Jadi, saya buatkan sekalian upacara selamatan," kata Bustanil dengan senyum cerah. Dua hari sebclumnya, Christine Hakim menelepon Nyonya Bustanil. Ia dan rekan-rekannya ingin sowan. "Sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuan Bustanil Arifin dalam pembuatan film Tjoet Nya' Dhien," kata Eros Djarot, mewakili sejawatnya. Tapi karena hari itu kebetulan seorang cucunya ulang tahun, Bustanil minta mereka datang pada Senin malam. Keberhasilan Tjoet Nya' Dhien sebagai film terbaik FFI 1988 ternyata membahagiakan Bustanil sekeluarga. Sampai-sampai, menteri yang tinggi besar itu perlu menyelenggarakan peusejuk alias tepung tawar. Acara ini khusus dipersembahkan kepada Christine Hakim dan Slamet Rahardjo pemeran Tjoet Nya' Dhien dan Teuku Umar. Mengapa Menteri Koperasi yang juga Ketua Bulog ini begitu bersemangat? Tersebutlah ketika Menteri selaku fungsionaris Golkar berkunjung ke Aceh pada tahun 1986. Di sana ia bertemu dengan para pendukung film Tjoet Nya' Dhien yang sedang macet karena kekurangan dana. Kontan sang Menteri membuka pundi-pundi dan memberikan Rp50 juta. Spontanitas itu sempat disemprot nyonya Bustanil. "Kok, seperti sinterklas saja, dalam lima menit mengeluarkan uang Rp50 juta," ujar Bustanil, menirukan ucapan istrinya, sambil tergelak.

Rabu, 09 Februari 2011

TURINO DJUNAIDY 1951-1991



Nama :Teuku Djuned
Lahir :Padang Tiji, Nangro Aceh Darussalam, 6 Juni 1927
Wafat :Jakarta, 8 Maret 2008
Pendidikan :
Kursus Radio Telegrafis di Medan (1943),
Sinematografi dan Produksi Film di Tokyo

Selama ini dikenal sebagai pendiri PT Sarinande Film pada saat dunia film dilanda kelesuan pada 1960-an. Turino aktif memproduksi film, dan sampai awal 1978 sudah memproduksi lebih dari 30 film. Turino juga aktif dalam organisasi seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dan Yayasan Naional Festifal Film Indonesia (YFI).

Buku Katalog Film Indonesia 1926--2007 yang disusun JB Kristanto mencatat, film garapan Turino Djunaidy ini Bernafas dalam Lumpur sebagai film Indonesia pertama yang menonjolkan seks, perkosaan, dan dialog-dialog kasar

Minat kepada film dimulai ketika ia mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Ketika untuk pertama kalinya ia melihat film Indonesia Menanti Kasih tahun 1949, ia langsung tertarik kepada film yang di bintangi A. Hamid Arief itu. Lalu Turino mencoba mendapatkan film-film Indonesia di Jakarta. Sampai di Jakarta malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Tawaran itu diterimanya dengan rasa bingung. Dan bermainlah ia dalam film-film Meratap Hati tahun 1950, Seruni Layu tahun 1951 dan Si Mientje tahun 1952.

Perusahaan dagang G.A.F. Sang Saka yang di dirikannya di awal 1950-an diubahnya menjadi perusahaan pembuat film. Produksi pertamanya film Pulang tahun 1952. film Rentjong dan Surat tahun 1953, film Sri Asih tahun 1954 dan film Kopral Djono tahun 1954. Dalam semua film tadi ia bermain sebagai pemain utama. Dalam film Sri Asih, Turino merangkap sebagai sutradara. Bermain bersama Mimi Mariani yang kemudian menjadi istrinya. Kemudian ia bermain dalam perusahaan film lain antara lain, Oh Ibuku tahun 1955 dan Taman Harapan tahun 1957. Turino kemudian mendirikan perusahaan P.T Sarinande Film pada tanggal 13 Desember 1959.

Produksi pertama Sarinande adalah Iseng tahun 1959 yang mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein. Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai tahun 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Filmnya Bernafas dalam Lumpur ditahun 1970 telah menghasilkan uang yang besar saat itu namun film-filmnya yang kemudian tidak dapat lagi mengulang sukses, sekalipun keuntungan tetap diperolehnya.

Dikenal sebagai direktur, produser, sutradara, penulis PPFI (Perhimpunan Produser Film Indonesia). Kemudian dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia. Yayasan ini sejak tahun 1973 mengadakan FFI setiap tahun. 

Pada hari Sabtu, 8 Maret 2008, Turino Djunaedi manghembuskan nafas terakhirnya akibat stroke, jenazah dimakamkan keesokan harinya di pemakaman keluarga di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Turino Djunaedi akan selalu dikenang sebagai perintis industri perfilman nasional.

Tokoh paripurna perfilman Indonesia, Turino Djunaedi, meninggal dunia Sabtu 8 Maret 2008 pukul 20.55 pada usia 80 tahun di RS Setia Mitra, Jakarta. Aktor film, sutradara, produser, penulis cerita dan skenario film, kelahiran Padang Tiji, Nanggroe Aceh Darussalam, 6 Juni 1927, itusudah lama menderita sakit karena stroke.

Jenazah tokoh pembangkit perfilman nasional itu disemayamkan di rumah duka Jalan Gaharu I No 26 Cipete, Jakarta Selatan, dan dimakamkan Minggu 9 Maret 2008 pukul 13.00, di pemakaman keluarga di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor.

Kolega seangkatannya, sutradara H Misbach Yusa Biran (74), mengatakan, Turino, bersama tokoh lain seperti Usmar Ismail, adalah perintis industri film nasional setelah era kemerdekaan.

Peraih penghargaan Lifetime Achievement Award dalam Festival Film Asia Fasifik di Jakarta, 2001dan Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri, 2004, itu menguasai hampir semua profesi di bidang perfilman, mulai dari aktor, penulis skenario, sutradara, hingga produser.

Turino telah terjun ke dunia film sejak tahun 1950 dengan bermain dalam film Meratap Hati produksi perusahaan film Golden Arrow. Minatnya kepada film bermula saat dia mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Lalu dia tertarik pada film Indonesia ketika untuk pertama kalinya menionton film Indonesia Menanti Kasih, yang di bintangi A. Hamid Arief, tahun 1949.

Setelah itu Turino berangkat ke Jakarta dalam upaya mendapatkan film-film Indonesia. Tetapi sedampai di Jakarta, dia malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Sejenak dia ragu dan bingung sebelum akhirnya menerima tawaran itu. Itulah awalnya dia bermain film, ikut membintangi film Meratap Hati tahun 1950. Kemudian berlanjut pada film Seruni Layu tahun 1951 dan Si Mientje tahun 1952.

Dalam rangka menunjang karir, perusahaan dagang GAF yang didirikannya pada awal 1950-an diubah menjadi perusahaan pembuat film. Selain sebagai produser, dia juga berperan sebagai pemain utama dalam produksi pertamanya, film Pulang tahun 1952. Begitu juga dalam produksi film berikutnya yakni film Rentjong dan Surat tahun 1953, film Sri Asih tahun 1954 dan film Kopral Djono tahun 1954.

Tokoh paripurna dalam profesi perfilman itu, telah pula merangkap sutradara sejak (dalam) film Sri Asih. Dalam film ini, Turino bermain bersama Mimi Mariani yang kemudian menjadi istrinya. Beberapa film dia bintangi dan sutradarai. Kemudian dia mendirikan perusahaan PT Sarinande Film pada tanggal 13 Desember 1959. Produksi pertama Sarinande Film ini adalah Iseng (1959). Film Iseng ini mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein.

Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai tahun 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Salah satu filmnya yang paling terkenal dan tentu telah menghasilkan uang yang besar adalah Film Bernafas dalam Lumpur (1970 dan 1991) 

Turino Djunaedi yang bernama ssli Teuku Djuned, itu juga dikenal sebagai salah satu pendiri Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Dia juga berperan dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia yang sejak tahun 1973 mengadakan FFI hampir setiap tahun.


KEBANGKITAN ORDE BARU, KANGKITAN FILM KEKERASAN, MISTIK DAN SEX
“Pembuat film pada periode [Orde Baru] tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas mereka, jadi mereka duduk dengan tenang dan berjuang melawan sistem represif melalui film. Kejahatan dan sifat penghancur yang ditunjukan dalam film dapat dilihat sebagai simbolisme dari pemerintah Orde Baru sendiri.”

Demikian kutipan yang disarikan Ekky Imanjaya berdasarkan wawancara dengan Imam Tantowi, sineas yang kerap terlibat dalam pembuatan film eksploitasi sepanjang tahun 1980-an. Tantowi mengawali debut sutradaranya melalui film Pasukan Berani Mati (1982). Sebelumnya, pernah juga terlibat dalam pembuatan Primitif (1980) dan Jaka Sembung Sang Penakluk (1981) sebagai penulis naskah.

Ekky Imanjaya melalui makalah “The Other Side of Indonesia: New Order’s Indonesian Exploitation Cinema as Cult Films” yang dipublikasikan dalam jurnal Colloquy (2009, hlm.146) menyebut film-film garapan Tantowi cukup populer di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat. Distribusinya ditempuh melalui kanal khusus film-film kelas B. Kali pertama dilepas ke pasar internasional, film-film tersebut belum diketahui klasifikasi atau genrenya.

Lama-kelamaan, distributor film asing dan penonton di negara-negara Barat menemukan kesamaan antara film eksploitasi dengan film-film buatan orang Indonesia. Menurut pemaparan Imanjaya, film eksploitasi yang dimaksud meliputi film dengan anggaran rendah, menonjolkan sisi sensasional dengan mengumbar seks, ketelanjangan, kejahatan, dan kekerasan. Tidak jarang, film jenis ini juga mempertontonkan penggunaan narkoba, orang-orang aneh, darah, monster, perusakan, pemberontakan, dan kekacauan.

Indonesia pernah menyaksikan zaman keemasan film-film semacam itu. Dimulai sejak Orde Baru mulai berkuasa, film eksploitasi mencapai puncak kejayaan pada dekade 1980-an. Pesonanya mulai menghilang tatkala persaingan dengan televisi semakin sengit dan industri film mengalami mati suri sampai tamatnya Orde Baru.

Ditolak di Negeri Sendiri

Jenis film yang dipaparkan Imanjaya sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Kecenderungan ini sudah muncul sejak tahun 1968. Kala itu, sutradara Turino Djunaidy pernah bereksperimen dengan sedikit unsur seks dan kekerasan melalui film Djakarta, Hong Kong, Macao. Jika film tersebut bisa disebut film eksploitasi, artinya film genre ini menjamur seiring dengan kemunculan pemerintahan Orde Baru.

Pada praktiknya Orde Baru memiliki kebijakan sensor yang cukup membingungkan bagi sebagian sineas. Di satu sisi, otoritas sensor mengizinkan pemanfaatan unsur-unsur seks dan kekerasan ringan, namun di sisi lain sangat keras mengatur kritik dan pertunjukan yang mempertentangkan kelas sosial. Ditambah lagi, kebijakan yang sering berubah-ubah tidak jarang membuat produser film sering merugi.

Tidak heran jika pada akhirnya dunia perfilman pada periode 1970-an mulai kedatangan tema-tema baru yang terkesan menentang nilai-nilai normatif. Agar bisa terus menjual karya-karyanya, sebagian sineas merasa perlu mengeksploitasi rasa takut, birahi, hingga perasaan jijik. Semuanya dibawakan dengan dalih menjunjung film sebagai alat pendidikan.

Pada 1970, istilah seksploitasi dalam film mulai diperdebatkan di muka publik. Musababnya adalah penggambaran seks dan kata-kata cabul dalam film buatan Turino Djunaidy yang berjudul Bernafas dalam Lumpur. Selang tiga tahun kemudian, film arahan penulis dan sutradara Ali Shahab yang berjudul Bumi Makin Panas kembali mengangkat tema serupa.

 Puncaknya pada 1978, Sisworo Gautama Putra yang kelak tenar berkat mengarahkan film-film horor Suzanna, berhasil menghebohkan publik melalui film garapannya yang berjudul Primitif. Kontroversi timbul akibat tema kanibalisme dan kemunduran peradaban yang menjadi tema sentral film tersebut. Orang-orang film pun saling berdebat hingga membawanya sampai ke acara Festival Film Indonesia 1978.

“Adegan-adegan sex tahun ini relatif berkurang dalam hal penyajian yang menyolok [...] film yang mengemukakan cerita tentang kekerasan dan sadisme dan semacamnya tahun ini meningkat,” kata Rosihan Anwar dalam laporannya pada FFI 1978 yang dikutip Tempo (20/5/1978).

Sebelumnya, kecaman serupa sudah pernah diutarakan oleh kelompok seniman film idealis dalam FFI 1977. Mereka menganggap film dalam negeri sudah tidak ada lagi yang berwajah Indonesia karena semuanya penuh dengan ciri eksploitasi naluri rendah manusia. Catatan Taufiq Ismail yang dikumpulkan Tempo (12/3/1977) menyebut keberatan itu beralasan karena sebanyak 40 persen film Indonesia saat itu memang bertutur tentang prostitusi dan kriminalitas.

Bagi sebagian kritikus dan otoritas sensor Orde Baru, film eksploitasi sering kali tidak dianggap bagian Film Indonesia. Ekky Imanjaya kembali menyoroti masalah ini melalui makalah berjudul “Mondo Macabro as Trashy/Cult Film Archive: The Case of Classic Indonesian Exploitation Cinema yang terbit di jurnal Plaridel (2018, hlm.116).

Ia menuliskan: “Pemerintah Orde Baru dan elit budaya Indonesia selalu berusaha untuk mengecualikan film eksploitasi lokal dari wacana konsep sinema nasional dan budaya film nasional, karena mereka percaya film harus mewakili budaya sejati Indonesia, menggambarkan wajah asli Indonesia, dan menyinggung masalah pendidikan dan budaya”.

Menentang Gelombang Pasang

Perasaan ganjil saat menonton film eksploitasi pernah diutarakan oleh Eros Djarot dalam Kompas (16/1/1983). Ia mengaku sangat kesal saat menyaksikan film Nyi Blorong (1982) arahan Sisworo Gautama Putra. Menurutnya, film tersebut “tidak lebih dari usaha menggalakan kembali kepercayaan pada takhyul yang bersifat membodohkan masyarakat.”

Eros Djarot lantas melanjutkan uraiannya dengan menyinggung anjuran pembuatan Film Kultural Edukatif yang pertama kali disinggung oleh kelompok budayawan sekitar tahun 1979. Usulan ini didukung oleh pemerintah yang kemudian merilis Pedoman Sensor Film dan Kode Etik Produksi Film Nasional tahun 1981. Menurut penjelasan yang dipaparkan Novi Kurnia, dkk., dalam Menguak Peta Perfilman Indonesia (2004, hlm.57), langkah ini dinilai dapat meningkatkan kualitas produksi film dalam negeri.

Kode etik produksi 1981 berisi instruksi kepada setiap pembuat film agar mengedepankan tema sentral yang berlatar budaya dan kondisi sosial Indonesia. Peraturan yang dirancang melalui Seminar Kode Etik Produksi Film Nasional tanggal 4-8 Mei 1981 ini secara tidak langsung juga mengatur representasi visual dan dialog film yang bermuatan nilai-nilai religius dan disiplin nasional.

Bukan kebetulan jika semenjak kode etik produksi 1981 diberlakukan, film-film bertema sejarah, legenda, dan horor bermunculan bak jamur di musim hujan. Alih-alih membuat film yang sarat akan nilai-nilai yang disarankan pemerintah, sineas yang berkecimpung dalam pembuatan film komersial memilih mengeksploitasi tema-tema lokal menggunakan cara mereka sendiri. Tidak jarang, mereka memberlakukan cara-cara brutal dengan cara menjiplak film-film asing yang disesuaikan dengan selera lokal.

Dalam Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991, hlm. 40-41), Karl G. Heider mencoba mengklasifikasikan genre atau jenis film komersial yang populer pada periode 1980-an. Selain legenda dan horor, ada pula genre kompeni, genre periode Jepang, dan genre perjuangan. Kelimanya sering menjadi tema dasar pembuatan film eksploitasi Indonesia.

Perusahaan Rapi Film menjadi salah satu rumah produksi yang paling sering memproduksi film-film yang diklasifikasikan Heider. Pada titik ini gambaran tentang keganjilan praktek perdukunan yang berdarah-darah acap kali dipertontonkan untuk mendukung premis kebaikan agama mengalahkan ilmu hitam. Sebut saja seperti tokoh kyai dalam Pengabdi Setan (1980) atau tokoh pendeta yang muncul dalam Ranjang Setan (1986).

Selain itu, ada pula genre periode Jepang yang kemudian berkembang menjadi medium untuk membawakan tema penyekapan dan penyiksaan terhadap perempuan. Seperti yang tampak pada Tujuh Wanita dalam Tugas Rahasia (1983), Kamp Tawanan Perempuan (1983), dan Perawan di Sarang Sindikat (1986). Pada jenis film ini bentuk kejahatan itu ada pada kubu penjajah dan organisasi kriminal yang digambarkan gemar menyiksa, melecehkan, dan menyekap perempuan.

Apabila argumen yang dikemukakan Imam Tantowi sebelumnya memang berlaku umum, maka film eksploitasi barangkali memang sangat ampuh mengakomodasi kekesalan sineas yang mengaku kesulitan menyalurkan ekspresi kesenian di bawah tekanan politis Orde Baru. Sebagai bentuk pemberontakan, tokoh dan bentuk-bentuk kekuatan penghancur dalam film dibuat sebagai bentuk simbolis kekuatan politik Soeharto.


Tokoh perfilman nasional yang dikenal membangkitkan perfilman Indonesia pada era 1970-an, H Turino Junaidy, wafat pada usia 80, di RS Setia Mitra Jakarta, Sabtu (8/3) malam, pukul 21.00 WIB.

Lahir di Padangtiji, Nangro Aceh Darussalam, 6 Juni 1927, sebelum terjun ke dunia film, namanya adalah Teuku Djuned. Tetapi, seperti banyak orang yang mengganti nama setelah terjun sebagai pemain film, ia pun menggganti namanya dan menjadi lebih dikenal dengan nama Turino Junaedi. Sebagai orang Aceh, Turino pernah menjadi ketua umum Taman Iskandar Muda, organisasi masyarakat Aceh se-Jabotabek.
Minat kepada film dimulai ketika Turino mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Ketika untuk pertama kalinya ia melihat film Indonesia Menanti Kasih (1949), ia langsung tertarik kepada film yang di bintangi A Hamid Arief itu. Lalu Turino mencoba mendapatkan film-film Indonesia di Jakarta. Sampai di Jakarta malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Tawaran itu diterimanya dengan rasa bingung. Dan bermainlah ia dalam film-film Meratap Hati (1950), Seruni Layu (1951), dan SiMientje (1952). Ketertarikannya pada industri film membuat pria itu mengalihkan usaha yang ia miliki. Perusahaan dagang GAF Sang Saka yang ia dirikan di awal 1950-an menjadi perusahaan pembuat film.

Selain sebagai produser, dalam semua produksi filmnya ia bermain sebagai pemain utama. Filmnya Bernafas dalam Lumpur yang dibintangi oleh Suzanna dan (alm) Farouk Affero di tahun 1970 telah menghasilkan uang yang besar saat itu. "Kesuksesan film itu dianggap menjadi titik kebangkitan film Indonesia saat itu yang sebelumnya didominasi film impor," ungkap pengamat film Yan Wijaya. Namun film-filmnya yang ia produksi kemudian tidak dapat lagi mengulang sukses, sekalipun keuntungan tetap diperolehnya. Diapun dikenal menjadi pengusaha film yang sukses dengan bendera Sarinande Film.

Produksi pertama Sarinande adalah Iseng (1959) yang mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein. Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Turino dikenal sebagai pelopor kebangkitan film nasional pada 1970-an dengan menyutradarai dan memproduseri film Bernafas Dalam Lumpur, Petualang Cinta, dan Selangit Mesra. Pada 1995, Turino masih memproduseri film And The Moon Dances yang disutradari Garin Nugroho. "Dia adalah orang yang sangat komitmen pada dunia film. Di usia tuanya ia tetap ingin menjalankan dan menggeluti bisnis perfilman," ungkap Garin.

Turino juga dikenal sebagai direktur, produser, sutradara, penulis PPFI (Perhimpunan Produser Film Indonesia). Kemudian dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia. Yayasan ini sejak 1973 mengadakan FFI setiap tahun. Pada 2001, almarhum mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award dalam ajang Festival Film Asia Pasific yang diadakan di Jakarta. Saat menerima penghargaan pria yang pernah mengecap pendidikan film di Kursus Radio Telegrafis di Medan (1943), dan Sinematografi dan Produksi Film di Tokyo, sudah sakit. Sehingga, ketika maju ke atas panggung harus dipapah oleh dua orang.
 
Berdasarkan Keppres No 016/TK/2004 tertanggal 13 April 2004, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri Turino meraih penghargaan Satya Lencana Wirakarya, bersama dengan tokoh film lainnya seperti Soetarto RM dan Njoo Han Siang.


MEREBUT KASIH 1951 A. CANON
Actor
NODA TAK BERAMPUN 1970 TURINO DJUNAIDY
Director
SI MANIS JEMBATAN ANCOL 1973 TURINO DJUNAIDY
Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1991 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Director
SELANGIT MESRA 1977 TURINO DJUNAIDY
Director
PETUALANG CINTA 1978 TURINO DJUNAIDY
Director
BELAIAN KASIH 1966 TURINO DJUNAIDY
Director
ANTARA TIMUR DAN BARAT 1963 TURINO DJUNAIDY
Director
MERATAP HATI 1950 RD ARIFFIEN
Actor
PULANG 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
KABUT ASMARA 1994 TORRO MARGENS
Actor
KABUT BULAN MADU 1972 TURINO DJUNAIDY
Director
PAHIT-PAHIT MANIS 1952 L. INATA
Actor
KOPRAL DJONO 1954 BASUKI EFFENDI
Actor
AKHIR SEBUAH IMPIAN 1973 TURINO DJUNAIDY
Director
HANTJURNYA PETUALANG 1966 TURINO DJUNAIDY
Director
PEMBALASAN 1951 A. CANON
Actor
TAKDIR MARINA 1986 WAHAB ABDI
Actor
KEKASIHKU IBUKU 1971 TURINO DJUNAIDY
Director
OH, IBUKU 1955 ALI YUGO
Actor
ISENG 1959 TURINO DJUNAIDY
Director
DJAKARTA - HONGKONG - MACAO 1968 TURINO DJUNAIDY
Director
MAUT MENDJELANG MAGRIB 1963 TURINO DJUNAIDY
Director
KRISIS X 1975 TURINO DJUNAIDY
Director
GANASNYA NAFSU 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
SORGA 1977 TURINO DJUNAIDY
Director
SI MIENTJE 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
SRI ASIH 1954 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
PUTERI REVOLUSI 1955 ALI YUGO
Actor
1000 LANGKAH 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
LIKU-LIKU PANASNYA CINTA 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
OPERASI HANSIP 13 1965 TURINO DJUNAIDY
Director
PACAR 1974 TURINO DJUNAIDY
Director
AKU DAN MASJARAKAT 1951 MHD A. CANON
Actor
RENTJONG DAN SURAT 1953 BASUKI EFFENDI
Actor
LORONG HITAM 1971 TURINO DJUNAIDY
Director
KASIH TAK SAMPAI 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
KASIH DIAMBANG MAUT 1967 TURINO DJUNAIDY
Director
SERUNI LAJU 1951

Actor
PENGAKUAN SEORANG PEREMPUAN 1926 TURINO DJUNAIDY
Director
ORANG-ORANG LIAR 1969 TURINO DJUNAIDY
Director
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Director
GADIS DISEBERANG DJALAN 1960 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
DETIK-DETIK BERBAHAJA 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
HADIAH 2.OOO.OOO 1962 TURINO DJUNAIDY
Director
KARTIKA AJU 1963 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
BUDI UTAMA 1951 RD ARIFFIEN
Actor
BUNGALOW DI LERENG BUKIT 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
DARMAWISATA 1961 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
MATAHARI-MATAHARI 1985 ARIFIN C. NOER
Actor
RELA 1954 DJA'FAR WIRJO
Actor
MADJU TAK GENTAR 1965 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
KUTUKAN IBU 1973 TURINO DJUNAIDY
Director