Ini
adalah sebuah fenomenal. Bayangkan saya yang hidup di tahun 80'an saja
sudah terpikat sama buku silat ini. Banyak bertebaran kios-kios yang
menyewakan buku silat ini yang berjilid-jilid. Tidak heran satu buku
bisa pindah tangan ke banyak orang dalam penyewaan. Belum lagi cerita
tersambung, bikin penasaran, sedangkan sambungan berikutnya lagi di
pinjam orang. Prustasi, di kios penyewaan buku.
Padahal
ceritanya cerita kuno, dan sudah membuat kecanduan dari generasi ke
generasi. Sampai sekarang pun masih enak dibaca, cuma ejaan lama dalam
bahasa Indonesia. Tidak habis pikir, buku silat cetakan lama ini, laku
keras di setiap generasi-ke generasi, sampai saat di era 80'an, buku itu
sudah kuning warnanya, dan agak hitam, mungkin udah ribuan tangan yang
pegang dan baca buku itu. Tukang sewa buku silat pun membundel buku itu
kadang hanya sampai per-sepuluh jild/seri, 1-10,11-20,21-30, begitu lah.
Harga baca di tempat beda dengan bawa pulang, dengan sewa per hari.
Gila kan. Dan kios penyewaan buku itu penuh dengan orang yang baca,
sedah kayak taman baca, kadang tidak sadar waktu juga.
Tidak
heran buku silat ini menghilhami sutradara Film Indonesia untuk membuat
film dengan tema silat Indonesia, mulai lag di lirik dari legenda
hingga ke sejarah untuk menampilkan silatnya. Padahal waktu jaman dulu,
peranakan Tiongha telah memfilmkan cerita-cerita klasik dari Tiongkok,
temannya masih seputar siluman, ular, babi dan lainnya, belum ke silat.
Mungkin Karena tehnis belum punya.
KOMIK INDONESIA
TIDAK TAHU KAPAN DIMULAI
Membicarakan komik Indonesia adalah membicarakan sejarahnya. Terjebak di sana. Seperti merasa belum saatnya mengulas wilayah artistiknya, atau yang lain (dengan pengecualian terhadap tesis Seno Gumira Ajidharma yang mengulas komik Panji Tengkorak karya Hans Jaladara). Tapi memang juga sejarah itu tak pernah tuntas. Komik Indonesia memiliki sejarah seperti petualangan komik itu sendiri. Acap lempeng, kadang terseok, namun tetap melaju. Komikal dan juga panjang. Lebih tua dari usia Republik ini.
Komik Indonesia modern pertama yang tercatat adalah karya Kho Wan Gie dengan karakter bernama Put On, seorang peranakan Tionghoa. Komik ini adalah strip Indonesia pertama yang terbit rutin di Surat Kabar Sin po tahun 1930. Sejak tahun 30-an sampai 60-an, Put On menginspirasi banyak komik strip lainnya. Kemudian di Solo pada mingguan Ratu Timur, terbit secara rutin komik strip berjudul “Mentjari Poetri Hidjaoe” karya Nasroen AS.
Pada akhir 1940, dalam setiap suplemen mingguan surat kabar Indonesia ada sisipan komik strip Amerika. American Invasion itu bukan kebetulan, sebab pada saat yang sama di negeri Superman itu komik sedang berada pada puncak kegemilangannya.Mereka menyebut sebagai The Golden Era dengan rentang waktu tahun 1938 – 1945. Dari sisipan itulah kita mulai kenal karakter komik seperti;Tarzan, Rip Kirby, Phantom, Flash Gordon, dan Johnny Hazard. Untuk mengimbangi komik Amerika ini, Majalah Star (1939-1942) yang kemudian bertukar menjadi koran Star Weekly menerbitkan Komik karya Siauw Tek Koei. Dalam racikan tangan seorang Siauw Tek Koei, yang memiliki teknik dan ketrampilan tinggi, komik tentang pahlawan legendaris Tiongkok Sie Djin Koei, itu akhirnya bahkan sempat mengalahkan popularitas Flash Gordon dan Tarzan. Komik ini menjadi pelopor komik silat Indonesia yang kelak populer pada tahun 1968.
Di awal tahun 1950, terbit komik strip heroik di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, berjudul “Kisah Pendudukan Jogja”, karya komikus Abdulsalam. Belakangan komik ini dibukukan oleh Harian Pikiran Rakyat, Bandung. Sebagian pengamat komik menasbih sebagai buku komik pertama oleh komikus asli Indonesia. Saya membayangkan penasbihan itu sebagai pilihan frustatif akibat sulit menemukan identitas komik Indonesia. Padahal, apa perlunya menentukan sebuah identitas yang punya kecenderungan seragam di sebuah negeri yang penuh keragaman budaya seperti Indonesia. Bagaimanapun, komik modern Indonesia dalam sejarah awalnya mengacu dari dunia Barat. Tak kan bisa kita lepaskan nama-nama besar seperti; Jim Kirby, Will Eisner, Walt Disney, juga belakangan Frank Miller. Termasuk karakter komik seperti Tintin, Asterix, Trigan, Smurf, Paman Gober, Old Shatterhand, Roel Dijkstra, Spiderman, dan Superman. Jangan lupakan juga pengaruh Cina seperti yang ditulis sebelumnya.
Barat (Amerika) dan Timur (Cina) mengharu-biru wajah komik Indonesia. Menyangkal keterpengaruhan adalah sikap naif. Karena itu ketika terjadi aksi imitasi hendaklah jangan keburu dipandang miring sekadar plagiasi. Terlebih jika sampai menuduh komikusnya tidak nasionalis. Konteks yang ada juga harus dipahami. Seperti kenapa R.A.Kosasih yang disebut Bapak Komikus Indoesia, tega melakukan imitasi tokoh Wonder Woman itu menjadi Sri Asih (1954). Jagoan perempuan ciptaan Dr. Willaim Moulton Marston (Nama penanya; Charles Moulton) yang tampil pertama pada bulan Desember 1941 di All Star Comics No. 8. Peniruan itu juga bukan sepenuhnya dosa dia. Penerbit yang memintanya. Dengan deformasi visual ala Kosasih, figur Sri Asih ciptanya itu menjadi tampak sedemikian Sunda saat muncul. Kita bisa melihat hal itu justru sebagai upaya menyelamatkan komik Indonesia dari gempuran asing.
Selain itu juga, dalam dunia komik yang berkecenderungan mengusung dominasi fantasia, komikus akan sedikit kerepotan kalau sengaja meninggalkannya. Tak ayal tema aksi dan roman lebih menarik minat penikmatnya. Tema aksi cenderung berbanding lurus dengan kemengkalan tubuh seorang Super Hero. Dan ini lebih dulu ditangkap oleh komik-komik Amerika. Maka lahirlah jagoan lokal adaptasi barat yang lain seperti Garuda putih (kostumnya mirip The Flash), Kapten Komet (Flash Gordon), dan Djantaka (Tarzan). Sementara itu meskipun ada Bima dan anak-anaknya, ksatria pribumi pada umumnya berperawakan feminin seperti Arjuna, Rama, Abimanyu, Puntadewa, Kresna, dan Pandu Dewanata. Maskulinitas lebih menjadi milik dunia kejahatan Rahwana, Burisrawa, Buto Terong, Rambut Geni, Jurang Grawah, Padas gempal, dan para raksasa lainnya.
Dunia
fantasia di sebelahnya, yaitu komik bertema roman percintaan remaja
biasa menampilkan visual perempuan seksi berpakaian ketat, model you can
see, dan rok mini. Cerita yang disuguhkan juga menarik pembaca karena
acap membawa mereka mengawang di dunia birahi. Dus, seperti yang
dilaporkan Marcel Bonneff dalam bukunya; “Dari sudut pandang komersial,
erotisme dan kekerasan lebih mendatangkan untung daripada melukiskan
kebaikan hati”. Hal itu dianggap tidak berpekerti ketimuran dan hanya
mementingkan bisnis. Kaum nasionalis seperti mendapat angin dan memiliki
alasan tepat untuk mengantisipasi pengaruh barat. Akhirnya adapatasi
komik barat ke dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan dari para
pendidik dan kritikan dari kalangan budayawan. Ini menjelang akhir
70-an, era yang belum begitu lama ketika musik pop dianggap sekadar
ngak-ngik-ngok alias kontra revolusioner dan pro-Barat.
Menyadari itu, penerbit komik seperti Melodi, Bandung, dan Keng Po, Jakarta mulai mengais khazanah kebudayaan nasional. Maka cerita-cerita dari wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema utama dalam penerbitan selanjutnya. Seperti hendak menebus dosa masa lalu, R.A. Kosasih dengan ketekunan seorang empu mulai mewujudkan proyek menerjemahkan epik Mahabharata kedalam komik. Berkat dia dan komikus lain seperti Ardisoma dan Teguh Santoso, kisah pewayangan menjadi semakin lebih dekat dengan kita. Akhirnya beliau berhasil menyajikan kisah Mahabharata secara utuh dalam komik. Sumatra seperti tidak mau ketinggalan dalam menghadirkan ceritera rakyat mereka. Di bawah penerbitanCasso dan Harris, Medan, para jago gambar seperti Taguan Hardjo, Djas, danZam Nuldyn, melansir komik-komik lokal yang sarat estetika dan nilai filsafat. Komik-komik yang disadur dari kekayaan lokal ini kemudian menjadi tema yang sangat digemari hingga 1970an.
Pasca 70-an arah politik Indonesia tidak lagi anti Barat. Komik-komik Barat semakin deras masuk. Otot mengkal jagoan Amerika kembali diminati. Pengimitasian juga merebak, dan hadirlah Godam (Superman), Kawa Hijau, La-Maut, Laba-Laba Merah (Spiderman), Gundala (The Flash), Aquanus (Aquaman), dan Pangeran Mlaar (The Fantastic Four). Setelah mendaki dari etape 60-an, 70-an, sampailah pada puncak Komik Indonesia sekitar tahun 1975. Namun bukan berarti tanggapan miring terhadap bahaya komik juga sirna. Sisa-sisa kekhawatiran para orang tua dan guru akan pengaruh barat terus membayangi. Hampir sebagian kita, generasi pra-manga rasanya pernah dimarahi atau setidaknya ditegur karena keasyikan menekuri komik. Hal itu seperti sebuah ironi tersendiri, sebab kekhawatiran yang sama juga pernah terjadi di Amerika, negeri para Super Hero itu. Tahun 1950-an, pada dekade itu Amerika ditandai dengan masa pengganyangan komik. Komik dituduh menjadi penyebab keterpurukan mental, pemicu kekerasan, dan kenakalan remaja. Untuk itu perlu dibuat peraturan komik (Comic Code) sebagai cara membatasi dan mengatur apa yang dapat muncul dan yang tidak di dalam lembar halaman komik. Peraturan ini menghancurkan banyak komik. Rupanya orang Barat itu juga memegang budaya Ketimuran.
Kalau saja para orang tua di Indonesia itu mau menunggu sejenak, mereka pasti tidak akan keburu sewot, sebab pasca jaman keemasan itu komik Indonesia tiba-tiba nyungsep di tahun 1980. Banyak hal yang memungkinkan itu terjadi. Selain tabiat Comicophobia para orang tua, proses pengerjaan komik relatif lebih lama dibanding menulis cerpen. Setidaknya seorang penulis cerita tidak dituntut bisa menggambar, sedangkan komikus sebaiknya juga bisa bertutur. Maka penggiat komik juga tidak sebanyak novelis. Akhirnya para penerbit mengambil jalan bisnis yang lebih masuk akal. Honor yang (seharusnya) tinggi untuk komikus cukup bisa diatasi dengan mengimpor komik-komik asing. Itulah era di mana para jagoan Jepang, Cina, Korea, Taiwan, Eropa, dan Amerika turun gunung meramaikan rimba persilatan alias dunia komik, sementara Komik Indonesia seperti pertapa tua yang pergi menyepi.
Diniatkan dengan semangat kaum muda untuk melawan hegemoni. Hegemoni apa saja seputar perkomikan. Melawan hegemoni komik-komik dari luar Indonesia, hegemoni penerbit, serta hegemoni cerita dan karakter main stream seperti Si Buta atau Superman. Komik-komik independen Indonesia (yang cukup disebut Komik Indi) mencoba tampil berbeda, dan nyatanya memang berbeda. Mereka membuat gaya tersendiri, dan itu didapat dengan terus bereksperimen. Mereka bisa saja menggabungkan karakter Wayang, Marvel, dan Manga dalam sebuah gaya gado-gado, atau tidak sama sekali. Demikian pula cara bertuturnya. Dalam satu komik bisa tiba-tiba sangat sastrawi, berbagai bahasa, bahkan balon kata yang kosong. Mereka juga melawan hegemoni kertas dan kebukuan. Maka mereka bisa menggunakan semua media yang ada seperti tembok untuk mural, kain untuk banner dan kertas bekas sebagai poster.
Ketidakpercayaan terhadap penerbit bisa jadi lantaran buah ulah bisnis korporasi yang tidak tertarik menerbitkan komik lokal. Ini semacam solidaritas bawah sadar mereka terhadap generasi sebelumnya. Banyak komikus Indi mengandalkan mesin fotokopi dan cetak saring untuk penggandaan karya. Moto mereka adalah “Do It Yourself! (DIY)” atawa Kerjakan sendiri! Sistem distribusi dilakukan di saat ada pameran komik atau acara konser musik yang juga Indi. Perupa komik indi memang biasanya bertaut dengan kelompok Underground dan Punk. Di situ mereka melakukan transaksinya baik jual-beli atau barter. Tak jarang komikus Indi menyilakan karyanya untuk diperbanyak dan dipakai, asal memberitahu mereka untuk apa. Selain cukup merasa dihargai dengan mencantumkan kredit, mereka merasa bisa berkontribusi dalam perjuangannya. Itulah yang mereka sebut dengan “Copyleft” alias lawan dari copyright.
Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Komikus Beng Rahadian bahwa, Komik Indi adalah sebuah antithesis terhadap industrialisasi komik. Selanjutnya Beng menambahkan beberapa kaidah komik Indi, yaitu tidak terpukau oleh produksi masal, tidak harus sebuah kerja tim, dan gagasan lebih bersifat personal bahkan cenderung liar. Komik bagi mereka hanya sebagai media penyampaikan gagasan, karya lebih jujur karena tidak ada pertimbangan laba dan komoditi. Kadang bebas melintas batasan estetika, moral, dan kultur. Nir tabu. Hal seperti ini susah diterima penerbit.
Beng mencatat komik Indi mulai mengibarkan benderanya bersamaan dengan diadakannya Pasar Seni ITB tahun 1995. Namun begitu bibitnya sudah disemai di Yogya pada tahun 1992 oleh para penggiatnya secara underground. Sapto Raharjo alias Athonk salah satunya. Seniman tato yang mengenyam kuliah di FSR – ISI Yogyakarta itu rajin memfotokopi dan membagi karya komiknya yang bertajuk Dally Land. Ketekunannya membuahkan hasil. Komiknya “Old Skull; In The Garden” memenangi penghargaan sebagai komik Indi terbaik versi KONDE 2007. Saat ini komunitas seni rupa yang menggiati komik, khususnya genre Indi mulai marak. Beberapa studio komik independen di antaranya adalah Daging Tumbuh, Apotik Komik, dan Bengkel Qomik. Pelan, Komik Indonesia mulai kembali menggeliat. Dengan caranya sendiri. Seolah Sang Pertapa Tua tadi telah bereinkarnasi.
Menyambut era komik digital.
PERJALANAN PANJANG TJERITA SILAT INDONESIA
Perjalanan Panjang Tjerita Silat Indonesia
Tjerita Silat adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh seorang mantan wartawan harian Sin Po, Tan Tek Ho. Istilah ini digunakan sebagai nama berkala baru yang didirikannya pada 1932 yang khusus memuat terjemahan cerita silat dari bahasa Cina.
Jenis cerita ini, yang di tempat asalnya dinamai wuxia xiaoshuo atau harafiahnya “roman kependekaran” baru saja tumbuh pada perempat terakhir abad 19, tapi dengan sangat cepat disukai oleh khalayak pembacanya. Roman wuxia (atau boehiap dalam dialek Hokkian) sebenarnya merupakan cabang terujung dari tradisi sastra populer Cina yang berkembang dari kisah-kisah kesejarahan yang menceritakan para bangsawan dengan segala permasalahan, dan baru di awal abad 19, jenis ini berkembang ke kisah-kisah penyidikan kejahatan yang dilakukan oleh para magistrat.
Di penghujung abad 19, ketika kisah-kisah ini sudah jenuh, perhatian dialihkan ke para pembantu magistrat, yaitu para opas dan petugas lapangan lain yang menjalankan tugas dengan benar-benar mempertaruhkan nyawanya. Mereka ini orang-orang yang berasal dari Sungai Telaga, nama bagi satu sub-kultur dalam masyarakat Cina yang mengandalkan hidup mereka pada penguasaan ilmu bela diri.
Dalam tradisi xia atau hiap (dialek Hokkian), mereka menegakkan keadilan dan membela yang lemah. Namun sebagian anggotanya mempunyai minat lain; ada yang menjadi alat negara, pelindung keamanan baik kawasan maupun kiriman barang, lalu terakhir, ya, bergabung dengan “persaudaraan rimba-hijau” atau begal dan bandit. Di luar itu masih ada golongan agamawan, yang biasanya menjadi pendidik dan pelindung para hiap atau pendekar asli.
Di tanah air, sudah sejak akhir abad 19 dimulai penerjemahan karya-karya sastra Cina. Tapi baru pada 1909 muncul terjemahan tjerita silat, yaitu Siauw Ang Djie – Pembalesannja Satoe Nona Moedah oleh Tjie Tjin Koeij (mohon dibaca Ci Cin Kui!), dari Sukabumi.
Namun kemungkinan besar tjersil terjemahan itu pertama kali terbit di harian, karena tradisi mengisi halaman dengan tjerita bersambung sudah ada. Kita masih harus menunggu peneliti yang mau menggeluti arah itu. Yang jelas cersil bersambung marak pada dasawarsa ketiga abad 20. Semua harian Tionghoa pasti memuat paling tidak satu cersilbung. Bahkan pada 1929 terbit untuk pertama kalinya berkala bulanan yang khusus memuat cersilbung, yaitu Kiam Hiap dari Tasikmalaya.
Sementara itu, di tempat asalnya, wuxia berkembang pesat dan melahirkan penulis-penulis besar. Ada yang bertahan dalam gaya penulisan kuno yang naratif, misalnya Xiang Kairan, Gu Mingdao dan Xi Lingfeng. Ada pula yang menjalin cersil dengan fantasi kultural, Huanzi Laozi yang menulis Shusan Qianxia (Legend of Zhu). Zheng Zhengyin, menyajikan kisah-kisah yang amat pekat dan diperkaya oleh pengalaman pribadi selama mengarungi Sungai Telaga, dalam mahakaryanya, Yingzhuawang (Eng Djiauw Ong).
Wang Dulu menimba pengolahan novel-novel Eropa dan pengamatan psiko-analisis Freud untuk menghasilkan karya-karya cemerlangnya, termasuk Pentalogi yang dipuncaki Wohu Changlong (Go Houw Tjhong Liong atau Crouching Tiger Hidden Dragon).
Karya-karya mereka inilah yang kemudian merajai media Indonesia pasca kemerdekaan. Ketika di pertengahan 1950-an mingguan Star Weekly berhasil mencapai distribusi nasional, maka cersil juga telah dibaca secara nasional, melintasi sekat-sekat etnik. Dari anak SMP sampai sastrawan nasional dan pejabat negara membaca cersil dan menemukan dunia yang mempesona di dalamnya. Apabila sebelum tahun 1950 kita mengenal nama-nama Tan Tek Ho, Lim Tiang Tjoen, Ho Nai Chuan, Tjan Khim Hiap, Yoe Soen Po dan Oey Kim Tiang sebagai penerjemah-penerjemah handal, maka di masa berikutnya hanya tinggal Oey Kim Tiang yang tersisa sendirian.
Tjan Khim Hiap dan Yoe Soen Po masih berkarya, tapi pamornya sudah jauh menurun. Bintang baru adalah Gan Kok Liang yang memulai kariernya di harian Sin Po pada 1958. Bersamaan dengan itu, di Hongkong muncul tokoh-tokoh baru yang mengangkat cersil mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi. Zha Liangyong dan Chen Wentong sedang menjadikan genre ini sebagai karya sastra yang sebenarnya.
Zha Liangyong atau lebih dikenal dengan Jin Yong (Kim Yong) menulis hanya 15 judul, tetapi ini sudah cukup untuk mengantarkan cersil menjadi warga sastra dunia. Sejak itu Trilogi Rajawali duduk sejajar dengan The Lord of The Rings. Chen Wentong menggunakan nama samaran Liang Yusheng (Liang Ie Shen) menghasilkan puluhan judul. Siklus Thian San saja meliputi 28 judul yang melingkupi rentang waktu hampir 400 tahun! Tahun ini sutradara Tsui Hark meluncurkan film karyanya, Seven Swords yang dilandaskan pada kisah terawal siklus Thian San (Heavenly Mountain).
Di Indonesia, meskipun pemuatan cersil di media massa dilarang pada 1961, perkembangan penerbitan buku malah semakin ramai. Dominasi dua nama O.K.T. (Oey Kim Tiang) dan Gan K.L. (Gan Kok Liang) nampak jelas. Sayang pada 1965-1966 sentimen anti komunis dibuat bercabang ke anti Tionghoa (peranakan Cina di Indonesia) sehingga penerbitan cersil boleh dibilang mati sama sekali. Padahal animo terhadap cersil terlanjur meluas, khalayak masih haus akan cersil. Dengan sendirinya, mulai lahir penulis-penulis cersil Indonesia yang dipelopori oleh Kho Ping Hoo, disusul oleh Tjoe Beng Siang, The Eng Gie. Mereka ini lahir di Indonesia dan sama sekali tidak mengenal bahasa Cina. Mereka memperoleh ‘modal” menulis dari buku-buku terjemahan itu saja.
Selain itu lahir juga cersil dengan setting lokal (Jawa, Sunda, Batak, Bugis). Muncullah nama S.H. Mintardja, Widi Widajat, Herman Pratikto yang dengan segera mendapat sambutan hangat. Lahirlah cersil Indonesia! Belakangan, di awal 70-an, beberapa penerjemah mulai berkiprah lagi. Nama- nama yang berkibar justru dari Semarang, yaitu kakak beradik Gan K.L. dan Gan K.H. (Gan Kok Hwie), Tjan I.D. (Tjan ing Djioe) serta S.D. Liong (Sie Djiak Liong).
Kurun ini praktis dikuasai oleh karya-karya Xiong Yaohua atau lebih dikenal dengan nama-penanya Gu Long (Ku Lung). Penulis eksentrik ini menyodorkan gaya penulisan yang baru, cersil yang ditulis dengan gaya pasca modern, ringan, praktis dan puitis. Kalimat-kalimat pendek tetapi sarat makna. Sebagian karena ketiadaan karya baru, sebagian karena perubahan gaya hidup akibat tersedianya media baru, maka pada dasawarsa terakhir abad 20 penerjemahan dan penerbitan cersil bisa dikatakan mati sama sekali.
Generasi baru melahap cersil dalam bentuk yang baru, yaitu film dan video. Dari animo yang tampak, sepertinya khalayak tetap mencintai genre ini, walaupun tidak secara verbal lagi, maunya hanya visual. Beberapa orang die-harder tetap bertahan dengan menyimpan, mengoleksi dan terus membaca cersil sampai akhirnya pada 2 Desember 2002 mereka disatukan dan berkumpul di sebuah komunitas milis jagatawang (cyberspace) beralamat di tjersil@yahoogroups. com.
Dalam waktu dua tahun saja ternyata anggotanya sudah mendekati angka dua ribu anggota, sementara itu beberapa pihak juga mulai menerbitkan kembali buku-buku terjemahan langka yang telah lama hilang dari pasar itu. Tahun ini telah diluncurkan hampir 10 judul! Rupanya kelahiran kembali Tjerita Silat sudah di ufuk fajar.