06 Maret 1971
Film indonesia: eksperimen erotika
Film indonesia: eksperimen erotika
Yang Penting Laris Manis...
Kenapa film mu banyak wilayah paha dan dada?
Kata Produser biar laku pak.
Katanya film Import banyak Paha dan dada-nya...
Kenapa kita tidak?
Katanya film Import banyak Paha dan dada-nya...
Kenapa kita tidak?
MAKA berachirlah masa tuna sex dalam film Indonesia. Djika seperempat abad jang lalu dokter Hujungurung menjuguhkan adegan tjium lewat film Antara Bumi Dan Langit diachir tahun 60-an kegagalan itu tak terdjadi lagi: Turino Djunaidy menampilkannja dalam Djakarta-Hongkong-Macao dan berhasillah sang pria mentjium sang wanita -- dengan agak kaku, tapi tanpa diprotes.
Lalu proses selandjutnja menjusul dengan tjepat. Selang beberapa film sadja setelah tjiuman pertama itu, seorang Don Juan selintas memegang paha Palupi jang memakai mini. Lalu Suzanna-pun diperkosa dua tukang betja berganti-ganti, dan Paula Rumokoy membuka penutup dada, sementara Ratno Timur dipeluk Tuty Suprapto di atas randjang. Dalam Hidup, Tjinta Dan Airmata bahkan serombongan laki-laki menjibukkan diri dengan tubuh serombongan perempuan, dan sekaligus seorang wanita Indonesia mempertontonkan strip-tease. Dan produser-sutradara film Rakit Sandy Suwardi, malah lebih terbuka lagi: ia menjatakan bahwa adegan-adegan erotik dalam filmnja merupakan sesuatu jang "dengan sadar diadakan" dan "dengan tjara menjolok". Lalu dengan senjum ditambahkannja: "Saja ingin lihat bagaimana nanti sensor menilai film itu". Gelombang Baru. Sensor mungkin akan bertindak. Tapi bagaimanapun djuga, satu gelombang baru sudah terasa amuk dan panasnja kini: dihadapan penonton jang berdjedjal, bintang-bintang film Indonesia makin tak malu-malu menampakkan tubuh mereka dilajar lebar -- seolah-olah berlomba dengan seorang Brigitte Bardot baru jang ditunggu lahirnja distudio Penas. Kisah-kisah zinah makin terbuka, para tante girang jang selalu butuh laki-laki dibuku Ali Shahab kini berpindah keskenario-skenario, dan kebebasan sex jang sebelumnja hanja kegemaran koran sensasi kini diperbesar dalam cinemascope bertata warna oleh sedjumlah produser. Apa sebenarnja jang terdjadi? Kemaksiatan jang mendjalar? Dekadensi moral? Atau kebebasan baru jang indah? Atau kemerdekaan mentjipta? Kedjudjuran tanpa tedeng aling-aling? Apapun namanja, jang kini terdjadi memang njata benar bedanja dengan apa jang pernah terdjadi. Hanja motifnja jang sama: seperti dulu, seperti beberapa puluh tahun jang lalu, pembikin-pembikin film mentjari kelarisan.
Resep kelarisan itu tak terlalu sulit: seorang produser haruslah hamba jang pintar serta patuh untuk selera publik. Masalahnja di Indonesia kini ialah bahwa selera publik itu sebaliknja djuga ditentukan oleh arus film jang terbanjak -- film impor. Dalam kata-kata Turino Djunaidy: "Selama film-film kita djauh lebih kurang djumlahnja dibanding dengan kebutuhan bioskop-bioskop jang ada, selama itu pula film-film impor masih akan menentukan selera publik melalui djumlahnja jang banyak itu". Tidak mengherankan apabila film Indonesia jang tak pernah mendjadi tuan rumah dirumahnja sendiri sedjak bertahun-tahun terpaksa terus-menerus mengikuti tamu-tamunja: bernjanji seperti film India, bermain anggar seperti film Amerika dan Filipina, bersilat seperti film Hongkong dan kini ber-sex seperti film Italia. Djika dulu Bintang Surabaja Film Goy, mentjoba membikin Western dengan Adios - jakni sedjumlah koboi keriting diatas kuda katjang -- mustahillah djika thriller Agora Film menampakkan Bambang Irawan menembak bagaikan Djanggo? "Kita harus mengikuti mode jang ada kalau kita mau berkompetisi", kata Turino pula suatu sembojan jang berterus-terang.
Kompetisi memang sesuatu masalah awet buat film Indonesia - dan agaknja dari situlah sedjarah masuknja unsur erotik. Sebab, dengan unsur erotik, diharapkan penonton akan tertarik. Paling tidak bagi Wim Umboh, sutradara Bunga-Bunga Berguguran. "Masuknja sex hanjalah untuk menarik penonton agar suka datang melihat film-film kita", ia berkata. "Tjuma pantjingan," tambahnja. Dan pantjingannja mengena, djika orang melihat suksesnja Bernafas Dalam Lumpur dan Bunga-Bunga Berguguran adalah lantaran umpan erotik itu. Maka para produserpun kini berdujun-dujun ikut memantjing dengan djenis umpan jang sama dengan harapan memperoleh kakap jang sama -- kalau mungkin malah lebih besar. Tentu saja tidak semua dari mereka akan mengakui bahwa jang terdjadi kini pada hakikatnja ialah sematjam sexploitasi, pemanfaatan sex untuk melariskan produksi -- satu hal jang djuga dilakukan oleh produser-produser ketjil di Eropa dan Amerika sekarang dengan film-film erotiknja jang ikut membandjiri Indonesia. Bambang Irawan misalnja, berkata tentang adegan sex dalam Hidup, Tjinta Dan Airmata: "Lho, itu kan sesuai dengan tjerita? Bagaimana lagi? Tjeritanja tentang orang tjabul, bagaimana menggambarkannja kalau tidak dengan menampakkan ketjabulan orang itu?" Tjerita Kantjil. Memang untuk menggambarkan orang tjabul beberapa adegan tentang ketjabulan bisa dianggap perlu. "Untuk menggambarkan tante girang", kata Wim Umboh jang menamakan dirinja bukan moralis, "lebih dari tjuma pegangan tangan diperlukan agar film lebih mejakinkan". Agar film Iebih mejakinkan -- djika film itu tentang tante girang tentu sadja, dan bukan tentang tjerita kantjil.
Masalahnja ialah bahwa kini produser-produser telah memilih tante girang daripada kantjil, suatu hal jang menunjukkan bahwa bagaimanapun djuga dibelakang kepala mereka tersembunji keinginan memaparkan sex. Dengan kata lain, keinginan memaparkan sex itu adalah lebih dulu, dan baru kemudian ditjarikanlah tjeritanja. Karena itu bisa dimengerti djika Agora Film tidak tjuma berhenti pada kisah tobatnja seorang bekas bandit dengan Hidup, Tjinta Dan Air mata. Adegan kamar dan tempat tidur plus sedjumlah perempuan latjurpun ditempelkanjalah di sana -- dalam kontinjuitas jang tak mejakinkan, ditengah-tengah sebuah film action jang tanpa ketegangan dan bergerak lemes. Dan tak mengherankan bila banjak penonton jang awam sekalipun mengeluh. Sebab embel-embel, walaupun berbentuk pameran sex, memang tak selamanja bisa membikin seluruh film djadi tiba-tiba menjenangkan. Adegan erotik bukan djuru selamat, bukan pula lampu Aladin. Anggapan bahwa film Indonesia bisa melawan film impor hanja atas dasar keberanian buka kutang tanpa setjara serius membikin tjeritanja asjik dan mejakinkan, adalah anggapan jang nampaknja segera terbukti salah. Agaknja beberapa orang sudah menjadari itu pagi-pagi. Dibawah lampu-lampu studio Penas jang panas, sutradara Lilik Sudjijo berkata: "Sekarang hampir setiap orang bisa bikin film, meskipun mungkin asal bikin. Hasilnja ialah blue-film jang tidak sempurna, jang djustru akan merusak pasaran film Indonesia jang sudah mulai baik".
Barangkali itulah sebabnja Lilik, bersama Suzanna, membikin Tuan Tanah Kedawung jang kabarnja tanpa sex, tapi mengharapkan box-office dengan mengambil sebuah tjerita bergambar jang laris. Djuga mungkin itu pula sebabnja Nja' Abbas Acub membikin sebuah musikal, Dunia Belum Kiamat, dengan mengandalkan pasangan penjanji Titiek Sandhora dan Muchsin. Resep dan harapan mereka berbeda dengan resep dari-sex-ke-sukses jang dominan dewasa ini. Akan berhasilkah resep mereka adalah satu persoalan jang terlalu pagi buat diramalkan. Namun djika produksi mereka ternjata menghasilkan untung jang melimpah-limpah, ada kemungkinan bahwa sex dalam film-film Indonesia akan menjadi surut dan diganti dengan djenis tjerita-tjerita lain -- sebab para produser lazim untuk mengikuti arus jang paling menguntungkan. Apalagi zaman surutnja sex itu oleh sementara orang-orang film sudah terlihat. Turino Djunaidy misalnja, dengan agak pasti meramalkan: "Pertengahan tahun 1991 ini masa film-film sex akan berachir". Berachir atau surut, itu sudah barang tentu baru suatu kemungkinan mungkin orang akan djadi bosan, atau djadi marah dan membikin film-film erotik bujar ketakutan. Di Eropah sendiri para penonton telah mendjadi begitu muak, hingga dalam suatu festival di Berlin dua tahun jang lalu mereka berteriak-teriak mengedjek film-film jang bolak-balik dari randjang. Tapi kebosanan sekelompok penonton memang belum tentu berarti kemuakan semua penonton, dan atas dasar ini barangkali film-film erotik akan bisa bertahan. Atau, meskipun tidak bertahan dalam bentuknja jang sekarang, toch tidak seratus persen terhenti sama sekali hanja dengan tjara pemilihan tjerita dan penjadjiannja berubah.
Dalam bentuknja jang sekarang, sifat erotik film Indonesia memang nampaknja tak bakal bertahan lama, karena belum mapan dengan dirinja antara takut-takut dan sok-berani, dimana -- seperti dalam koran-koran kuning -- orang berlagak memaki ketjabulan dengan kata-kata, sementara sekaligus menghidangkan ketjabulan dengan gambar dan suara. Dengan kata lain: suatu sikap kurang wajar sikap seorang jang tiba-tiba bersua dengan hal baru setelah bertahun-tahun hidup dalam suasana serba-dilarang. Seperti bekas romusha jang baru didjamu makan dan wanita jang diharapkan ialah bahwa nantinja sang bekas romusha akan bisa lebih normal. "Saja jakin kelak film Indonesia akan berkembang kearah mempersembahkan sex setjara wadjar," kata ahli perfilman Asrul Sani. "Sekarang ini mereka baru mulai, sehingga jang kita lihat pada dasarnja tidak lebih dari blue film. Kalau blue film sibuk mengclose-up organ-organ dan bukan keseluruhan manusia, film-film Indonesia kini mengclose-up sex dan bukan keseluruhan kehidupan. Tapi tambah Asrul, "paling tidak itu semua merupakan latihan. Pada giliranja mereka akan djadi dewasa". Satu Tangan Terikat. Dengan kata lain, Asrul lebih tjenderung untuk membiarkan proses berachirnja blue-film itu berlangsung dengan sendirinja tanpa dipaksakan. Ia termasuk seorang jang tak menghendaki ukuran sensor jang lebih keras terhadap adegan-adegan sex film Indonesia, djika ukuran jang lunak berlaku untuk film-film impor.
Hal itu bukanlah tindakan jang adil: "Apabila film Indonesia harus bertanding setjara bebas dipasaran dengan film impor, pemakaian ukuran jang lebih keras sulit untuk diterima: ibarat mengadu seorang berkelahi dengan satu tangannja kita ikat", kata anggota Dewan Film dan Badan Sensor itu. Banjak jang satu fikiran dengan Asrul, tapi banjak djuga jang tidak. Diantara mereka ialah: Maria Ulfah Subadio. Ketua Dewan Film: "Saja kira tidak untuk menggunakan dua ukuran", katanja. "Kalau mau keras, keraslah terhadap kedua-duanja: film dalam negeri maupun film impor". Ibu jang amat tenang ini bukannja seluruhnja menjukai film-film Indonesia kini. "Telinga saja sakit mendengar dialog jang kasar dalam Bernafas Dalam Lumpur katanja. Dan tentang Bunga-Bunga Berguguran: "Ada hal-hal jang dilebih-lebihkan dan dibikin-bikin. Adakah gedjala jang dipaparkan dalam film itu memang sedang melanda muda-mudi sekarang?" Tapi ia mengerti: "Kita djangan terlalu mengharapkan film-fim jang bersifat pendidikan buat masa sekarang ini. Produser adalah pengusaha jang mentjari keuntungan. Untuk sekarang saja memahami mereka, neskipun sekali-sekali disampaikan kepada mereka jang terikat kredit pemerintah untuk membuat film-film bermutu". Moh. Said, anggota Akademi Djakarta dan Badan Sensor: "Sekiranja saja bertugas menentukan seluruhnja penjensoran film Indonesia pasti adegan-adegan sex itu akan saja gunting". Pendidik terkemuka dan tokoh Taman Siswa itu menambahkan: "Soalnja ialah soal rasa. Perasaan saja tidak bisa menerima melihat wanita Indonesia telandjang di lajarputih. Saja tahu produser nasional akan menganggap ini tidak adil, tapi negeri kita tidak sama dengan negeri Barat, dimana orang telandjang dan bertjium biasa dilihat didepan umum.
Alasan persaingan tidak seluruhnja bisa diterima: film India tidak mengungkapkan sex, tapi toch tetap laris". Meskipun demikian Pak Said melihat, bahwa "bukan film jang mendjadi sebab utama kerusakan moral dan pendidikan anak-anak, tapi batjaan. Film hanja dilihat beberapa menit, batjaan bisa dibawa sampai tidur". Njonja S. Sulaiman, sardjana purbakala, anggota Badan Sensor: "Tidak perlu ada ukuran chusus untuk film, Indonesia. Sensor telah mempunjai kriterium sendiri jang berlaku untuk semua film, baik Indonesia maupun asing". Bekas atase kebudajaan untuk India dan Inggeris itu menambahkan: "Gedjala kebebasan sex seperti jang digambarkan film terdjadi diseluruh dunia - meskipun di Indonesia baru terbatas pada sebagian ketjil masjarakat jang punja waktu dan berkelebihan uang. Bagaimanapun djuga, masjarakat sekarang bukan sadja akan lebih terbuka dalam soal sex, tapi djuga sudah terbuka. Saja kira wadjar bila sex dipaparkan dalam film, asal djangan sampai mendjadi blue-film". Lalu ibu berusia 50 tahun dengan 1 anak ini menambahkan: Jang perlu adalah pendidikan anak-anak dirumah. Kepada anak-anak saja, saja tidak mengadakan tekanan untuk tidak menonton film jang mengandung unsur sex, dan ternjata mereka dapat menempatkan sex sebagai hal jang lumrah. Mereka lebih senang membatja atau melukis.....". Njonja Wahjudi, sardjana pendidikan, anggota Badan Sensor dan DPRGR: "Pada umumnja film jang menampilkan segi sex untuk sengadja merangsang penonton tak dapat saja setudjui. Saja sesalkan bahwa film-film Indonesla sudah berani memaparkan segi-segi jang intim dalam kehidupan pria dan wanita. Kadang-kadang memang terfikir oleh saja: djika film-film Indonesia jang matjam itu tidak saja loloskan, akibatnja perfilman nasional akan terantjam.
Tapi kalau diloloskan, tidak sesuai dengan nilai-nilai jang berlaku. Meskipun demikian, saja lebih memperhitungkan pengaruh film itu buat masjarakat, daripada kehendak produser untuk menarik uang". Ibu jang mempunjai 4 tjutju dalam usianja jang 50 tahun dan kedudukannja sebagai pedjabat tinggi Departemen P & K, ini mengakui, bahwa "sex sedang melanda diseluruh dunia, tapi di Indonesia itu tjuma di kalangan ketjil. Mengapa produser film kita memilih tema-tema tjerita berunsurkan sex dan bukan jang lain?" Gadis Rasid, wartawan wanita angkatan lama, anggota Badan Sensor: "Film Indonesia memang sudah berani dalam penondjolan ketelandjangan, adegan tempat tidur, dan buka kutang. Tapi beranipun mempunjai tudjuan. Saja belum melihat keberanian film Indonesia sekarang untuk tudjuan jang baik - ketjuali untuk sekedar menarik penonton". Sambil tertawa ditambahkannja: "Selera produser film kita djauh dari matang, seperti anak-anak belasan tahun atau kakek-kakek tua jang tidak bisa berbuat apa-apa lagi". Adakah Ibu dengan anak tunggal ini menjetudjui penondjolan sex dalam film? Tidak dengan sendirinja. "Meskipun saja setudju film pendidikan sex, orang tak usah menondjolkan sex sebagai hal jang nomor satu. Sebab kalau sex jang utama dalam hidup, orang tak perlu lagi beladjar hal-hal lain untuk melatih djiwanja". Rok Kain.
Kepala memang sama berbulu, pendapat tak sendirinja satu. Meskipun demikian pada satu hal pendapat-pendapat diatas bersua: bahwa film Indonesia dewasa ini adalah barang dagangan, tidak lebih tidak kurang -- walaupun ada jang mengharapkan agar sebaiknja lebih dari tjuma itu. Tapi jang sebaiknja nampaknja sekarang tertelan oleh kenjataan jang ada. Betapapun djuga produser masih harus hidup dari film jang mereka bikin ditengah-tengah kompetisi jang keras. Kredit jang diperoleh atas bantuan Pemerintah sebanjak 50% dari beaja pembikinan -- jang pada prakteknja konon selalu berarti Rp 7,5 djuta -- agaknja baru diarahkan kepada kwantitas dan belum lagi kwalitas produksi. Kredit itu belum berarti bahwa film akan akan lebih bebas dari apa yang disebut selera publik, meskipun masih sangat bebas dari bimbingan achlak Direktorat Film. Sampai kapan? H.Djohardin, Kepala Direktorat Film jang menilai hasil karja para produser kini sebagai "kurang selaras dengan pertanggung-djawaban jang diberikan" kelihatan tidak ingin terus diam. "Kami akan membatasi ketjenderungan jang ada sekarang," katanja, "kalau perlu dengan penundaan kredit bagi produser film jang tidak menjadjikan hal-hal jang selaras dengan pendidikan bangsa". Itu sudah tentu suatu rentjana jang baik dan sesuai dengan hak serta tugas. Sebab pemerintah berada dalam fihak jang memberikan kredit dan menentukan, serta sekaligus berada dalam posisi jang wadjib melindungi masjarakat dari barang-barang buruk. Tapi soal jang bakal meruwetkan ialah: jang manakah barang jang buruk itu? Jang bagaimanakah jang tidak selaras dengan pendidikan bangsa? Dalam suatu masjarakat dimana nilai-nilai sedang berubah setjara amat kentara, apa jang buruk kemarin belum tentu buruk pula hari-hari ini.
Ada masanja, beberapa dasawarsa jang lalu, ketika sensor pernah melarang Fifi Young memakai rok untuk main tenis dalam Kris Mataram, tapi ada masanja beberapa tahun kernudian film Gadis Olah Raga tidak mengharuskan bintang puterinja memakai kain untuk atletik. Dan kini nampaknja sedjarah makin meninggalkan suatu zaman dimana kesopanan harus berarti rok 25 senti dibawah lutut dan tjinta harus berarti pandangan malu-malu setengah meter. O tempora o mores, kata orang jang berbahasa Latin: Zaman berubah dan demikian pula rasa-susila. Dan film-film erotik mengambil bagian dalam perubahan nilai-nilai itu dan sekaligus merupakan bukti daripadanja. Semua nampak djelas bila diketahui bahwa eksperimen erotik film Indonesia sekarang, hanjalah landjutan belaka dari pelbagai media lain: buku-buku saku dan madjalah hiburan, koran kuning dan poster film Itali, iklan night club dan kalender Playboy. Diantara semua itu, nampaknya peran buku-saku dan madjalah hiburan jang menentukan. Film Bernafas Dalam Lumpur diangkat dari tjerita bersambung Zainal Abdi di madjalah Varia, dan tjerita tante nakal serta oom bangor Bunga-Bunga Berguguran pada dasarnja hanjalah sambungan fantasi buku Motinggo Boesje. Bukan kebetulan karena itu djika kini pengarang seperti Zainal Abdi dan Motinggo Boesje memasuki dunia film, sebagaimana sutradara Pitradjaja Burnama pernah menulis buku jang panas berdjudul Oom Getol.
Setelah buku-buku saku dengan gambar sampul Delsy Sjamsumar jang menggairahkan itu tersebar luas kemasjarakat, setelah madjalah-madjalah hiburan dengan potret-potret wanita terbuka bertaburan dimana-mana, bukan sesuatu jang mengedjutkan pada dasarnja apabila kini datang sepasukan film Indonesia jang berani sex. "Masjarakat kita kini siap menerima unsur erotik dalam film Indonesia", kata Hasmanan, pembikin Romanza dan Dasimah & Saimun, "karena antara lain sudah disiapkan oleh Boesje dan Asbari Nurpatria Krisna". Bagi Hasmanan, anasir sex dalam tilm dalam negeri adalah "sebagian dari batu udjian kearah sikap jang lebih permisif dimasjarakat -- jang mau tak mau sudah dimulai, ketika anak-anak generasi TV kni dirumah melihat adegan tjiuman dengan kalemnja". Tapi bagaimanapun djuga anak-anak generasi TV bukanlah satu-satunja generasi jang hidup sekarang. Lebih kuasa dari mereka ialah generasi sebelumnja, jang tak djarang menjaksikan arus erotik film Indonesia kini dengan ketjurigaan jang tjukup kuat dan tjukup alasan. Konflik-konflik perasaan dan pendirian oleh sebab itu bukan mustahil, bahkan sesuatu jang nistjaja. Zaman kita mungkin tidak dengan sendirinja suatu zaman jang maksiat, tapi jang djelas bukannja zaman jang tanpa ketegangan dan ketjemasan.