Semua orang tahu NAGA BONAR sekarang. Bagi yang ketinggalan jaman saat itu, mereka tahu naga bonar dari film Naga bonar 2, lalu orang mencari film nagabonar 1-nya. Dan setuju juga disebut, masih enak di tonton. Apakah ini sebuah film klasik juga? Film klasik adalah film yang temannya tidak habis di makan jaman, artinya temannya masih terus bisa di segala jaman ke depan.
Selama Indonesia masih banyak kebobrokan birokrasi dan segalamacam korupsi, maka nagabonar adalah film yang masih enak di tonton. Karena film ini juga sangat kuat dalam hal meledek situasi politik di Indoensia saat itu. Asrul sani sangat jenuius menangkap hal ini dan di tuangkan dalam komedian. Memang banyak film yang menampilkan komedian untuk menutupi frontalisasi kritik terhadap pemeritah yang kuat/otortioter dan juga untuk menutupi sex dari agama. Tetapi agama tidak bisa di jadikan komoditi komedi. Komedi sering juga di pakai untuk kritik, kita tertawa tapi kita sadang sedang di singgung dan di keritik.
Banyak yang bilang naga bonar 1 Asrul sanilah yang kuat, Tetapi film tetap film. Sutrdara lah yang kuat, karena kita sedang menonton film, bukan membaca skenarionya.
Saya suka dengan karakter naga bonar ini, preman yang takut sama ibunya. Inilah kunci dari simpatik penonton terhadapnya walaupun dia jelek, tukang copet, tidak pernah mandi, dan mau naksir cewek Belanda yang canti? Apa mungkin? Ini adalah tehnik skenario (makanya untuk menjadi penulis skenario tidak cukup hanya bisa nulis dan punya hayalan, tetapi banyak tehnik yang bvutuh di pelajaran, sekolah penting sekali), tehnik skenario untuk menampilkan sisi baik si penjahat ini ungtuk mendapatkan simpatik penonton. Bayangkan kalau naga bonar cintanya di tolak saat itu, penonton kan menangis buat naga bonar, karena simpatik penonton sudah masuk ketika dia menggendong ibunya di awal film. Makanya saat Bustal Nawawi (dosen Produksi Film saya, dan ikut sebagai produser di film naga bonar) dia sempat bilang di kuliah kita, bahwa untuk menampilkan sosok naga bonar itu, diskusi untuk menyumpal mulutnya saja butuh waktu lama. Jadi pendapatnya adalah bagaimana bisa bikin tokoh yang hancur kayak naga bonar bisa mendapat simpatik penonton. Ini yang sering kita lupakan saat ini. Jadi rintangan ketika dia mendekati cewek belanda itu penonton akan dag-dig duk (ini yang mahal dari sebuah film/dramanya). Beda dengan Nasri Cepy bikin Catatan Si Boy, sudah kaya, ganteng, alim dan sebagainya sangat sempurna untuk mendapatkan sebuah cewek cantik juga. Dan tehnik ini juga yang terjadi pada film saat ini. Jarang sekali menampilkan sosok yang biasa saja, tetapi jatuh hati sama yang cantik. Secara tehnik skenario ini yang baik, ada kontras, sehingga rintangan dan usahanya dapat dilihat. Walhasil semua pemain kita saat ini INdo-atau ke indiaan, atau segalannya, yang melayu pun sibuk bersikap ke indo-indoan atau memirangkan rambutnya, karena pasar film mencari orang yang seperti itu. Tetapi ketika membuat film indonesia asli, sangat sulit memilih pemain yang ada dengan wajah dan fisik asli indonesia.
Nagabonar adalah sosok pemimpin yang kita butuhkan, mungkin di saat jaman Asrul sani menulisnya saat itu. Sosok yang sederhana, tiodak pendidikan tetapi lebih peduli dan niatnya yang baik. Banyak karekter yang jauh lebih pintar dari naga bonar, seperti si Lukman yang sekolah tinggi tapi korupsi beras, ini yang terjadi pada pemerintahan kita. Saya setuju dengan pendapat asrul sani, pemimpin bukan dilihat dari pendidikan yang pertama, tetapi niatnya lah, pendidikan nomor dua.
Kritika seperti asal membuat pangkat, seorang yang sudah mengabdi sekali minta naik pangkat, yang tidak mengabdi bisa naik pangkat. Apakah jaman itu (saat Asrul Sani menulisnya) semua pemimpin gila pangkat?
Yang pasti Asrul sani memiliki test komedian yang baik sekali. Yang pasti nagabonar jadi legend juga, tetapi ini sekali lagi atas usaha Dedy Mizwar, karena dia memunculkan nagabonar 2. Bagi yang sudah berumur, jadi terkenang, dan bagi yang masih remaja menjadi idola dan mencari film nagabonar 1. Sehingga menjdi daya tarik lagi. Dedy memunculkan yang terlupakan dan menjadikannya sebagai idola.
Nama :Mourtadha Risyaf
Lahir :Pemangkat,Kalimantan Barat,7 Juni 1947
Pendidikan Formal :SMA Negeri 1 Pontianak
Pendidikan Non Formal :
Kino Workshop LPKJ & Deppen RI (1974)
Workshop Teknik Penulisan Skenario Film Cerita Yayasan Citra (1985)
Mourtadha Risyaf, lahir di Pemangkat, Kalimantan Barat, 7 Juni 1947. Berlatar belakang pendidikan SMA Negeri 1 Pontianak, Kalimantan Barat. Karirnya dimulai sebagai wartawan lepas (1971-1974). Selanjutnya, selama dua tahun bekerja sebagai pencatat skrip.
Karena menyenangi dunia film, ia mendalami pengetahuannya tentang film pada Kino Workshop LPKJ & Deppen RI (1974) dan Workshop Teknik Penulisan Skenario Film Cerita, Yayasan Citra (1985). Pada 1974-1979, ia mencoba jadi asisten sutradara. Pengalaman itu membuatnya matang untuk menyutradarai film sendiri.
Mengukir sukses lewat film Kembang Semusim. Film tersebut meraih piala Citra pada FFI 1981 untuk peran wanita terbaik. Pada FFI 1982, ia masuk dalam nominator sutradara terbaik dalam Film Bawalah Aku Pergi. Pada FFI 1987, sukses gemilang diraihnya lewat film Naga Bonar yang dinobatkan sebagai film terbaik. Sempat menyutradarai film Omong Besar pada tahun 1988 yang dibintangi oleh Deddy Mizwar, Sylvana Herman, dan Roldiah Matulessy. Film tersebut diproduksi oleh PT Kanta Indah Film dengan komposer Harry Sabar.
Selain aktif sebagai sutradara, ia juga menulis skenario film. Skenario film yang ia tulis diantaranya Jejak Pengantin, Kembang Semusim, dan Sepondok Dua Cinta. Belakangan ia diminta untuk menggarap sinetron, seperti serial Abu Nawas, Numpang Parkir, Masih Ada Kapal Ke Padang serta Antara Jakarta dan Perth.
Selama Indonesia masih banyak kebobrokan birokrasi dan segalamacam korupsi, maka nagabonar adalah film yang masih enak di tonton. Karena film ini juga sangat kuat dalam hal meledek situasi politik di Indoensia saat itu. Asrul sani sangat jenuius menangkap hal ini dan di tuangkan dalam komedian. Memang banyak film yang menampilkan komedian untuk menutupi frontalisasi kritik terhadap pemeritah yang kuat/otortioter dan juga untuk menutupi sex dari agama. Tetapi agama tidak bisa di jadikan komoditi komedi. Komedi sering juga di pakai untuk kritik, kita tertawa tapi kita sadang sedang di singgung dan di keritik.
Banyak yang bilang naga bonar 1 Asrul sanilah yang kuat, Tetapi film tetap film. Sutrdara lah yang kuat, karena kita sedang menonton film, bukan membaca skenarionya.
Saya suka dengan karakter naga bonar ini, preman yang takut sama ibunya. Inilah kunci dari simpatik penonton terhadapnya walaupun dia jelek, tukang copet, tidak pernah mandi, dan mau naksir cewek Belanda yang canti? Apa mungkin? Ini adalah tehnik skenario (makanya untuk menjadi penulis skenario tidak cukup hanya bisa nulis dan punya hayalan, tetapi banyak tehnik yang bvutuh di pelajaran, sekolah penting sekali), tehnik skenario untuk menampilkan sisi baik si penjahat ini ungtuk mendapatkan simpatik penonton. Bayangkan kalau naga bonar cintanya di tolak saat itu, penonton kan menangis buat naga bonar, karena simpatik penonton sudah masuk ketika dia menggendong ibunya di awal film. Makanya saat Bustal Nawawi (dosen Produksi Film saya, dan ikut sebagai produser di film naga bonar) dia sempat bilang di kuliah kita, bahwa untuk menampilkan sosok naga bonar itu, diskusi untuk menyumpal mulutnya saja butuh waktu lama. Jadi pendapatnya adalah bagaimana bisa bikin tokoh yang hancur kayak naga bonar bisa mendapat simpatik penonton. Ini yang sering kita lupakan saat ini. Jadi rintangan ketika dia mendekati cewek belanda itu penonton akan dag-dig duk (ini yang mahal dari sebuah film/dramanya). Beda dengan Nasri Cepy bikin Catatan Si Boy, sudah kaya, ganteng, alim dan sebagainya sangat sempurna untuk mendapatkan sebuah cewek cantik juga. Dan tehnik ini juga yang terjadi pada film saat ini. Jarang sekali menampilkan sosok yang biasa saja, tetapi jatuh hati sama yang cantik. Secara tehnik skenario ini yang baik, ada kontras, sehingga rintangan dan usahanya dapat dilihat. Walhasil semua pemain kita saat ini INdo-atau ke indiaan, atau segalannya, yang melayu pun sibuk bersikap ke indo-indoan atau memirangkan rambutnya, karena pasar film mencari orang yang seperti itu. Tetapi ketika membuat film indonesia asli, sangat sulit memilih pemain yang ada dengan wajah dan fisik asli indonesia.
Nagabonar adalah sosok pemimpin yang kita butuhkan, mungkin di saat jaman Asrul sani menulisnya saat itu. Sosok yang sederhana, tiodak pendidikan tetapi lebih peduli dan niatnya yang baik. Banyak karekter yang jauh lebih pintar dari naga bonar, seperti si Lukman yang sekolah tinggi tapi korupsi beras, ini yang terjadi pada pemerintahan kita. Saya setuju dengan pendapat asrul sani, pemimpin bukan dilihat dari pendidikan yang pertama, tetapi niatnya lah, pendidikan nomor dua.
Kritika seperti asal membuat pangkat, seorang yang sudah mengabdi sekali minta naik pangkat, yang tidak mengabdi bisa naik pangkat. Apakah jaman itu (saat Asrul Sani menulisnya) semua pemimpin gila pangkat?
Yang pasti Asrul sani memiliki test komedian yang baik sekali. Yang pasti nagabonar jadi legend juga, tetapi ini sekali lagi atas usaha Dedy Mizwar, karena dia memunculkan nagabonar 2. Bagi yang sudah berumur, jadi terkenang, dan bagi yang masih remaja menjadi idola dan mencari film nagabonar 1. Sehingga menjdi daya tarik lagi. Dedy memunculkan yang terlupakan dan menjadikannya sebagai idola.
Nama :Mourtadha Risyaf
Lahir :Pemangkat,Kalimantan Barat,7 Juni 1947
Pendidikan Formal :SMA Negeri 1 Pontianak
Pendidikan Non Formal :
Kino Workshop LPKJ & Deppen RI (1974)
Workshop Teknik Penulisan Skenario Film Cerita Yayasan Citra (1985)
Mourtadha Risyaf, lahir di Pemangkat, Kalimantan Barat, 7 Juni 1947. Berlatar belakang pendidikan SMA Negeri 1 Pontianak, Kalimantan Barat. Karirnya dimulai sebagai wartawan lepas (1971-1974). Selanjutnya, selama dua tahun bekerja sebagai pencatat skrip.
Karena menyenangi dunia film, ia mendalami pengetahuannya tentang film pada Kino Workshop LPKJ & Deppen RI (1974) dan Workshop Teknik Penulisan Skenario Film Cerita, Yayasan Citra (1985). Pada 1974-1979, ia mencoba jadi asisten sutradara. Pengalaman itu membuatnya matang untuk menyutradarai film sendiri.
Mengukir sukses lewat film Kembang Semusim. Film tersebut meraih piala Citra pada FFI 1981 untuk peran wanita terbaik. Pada FFI 1982, ia masuk dalam nominator sutradara terbaik dalam Film Bawalah Aku Pergi. Pada FFI 1987, sukses gemilang diraihnya lewat film Naga Bonar yang dinobatkan sebagai film terbaik. Sempat menyutradarai film Omong Besar pada tahun 1988 yang dibintangi oleh Deddy Mizwar, Sylvana Herman, dan Roldiah Matulessy. Film tersebut diproduksi oleh PT Kanta Indah Film dengan komposer Harry Sabar.
Selain aktif sebagai sutradara, ia juga menulis skenario film. Skenario film yang ia tulis diantaranya Jejak Pengantin, Kembang Semusim, dan Sepondok Dua Cinta. Belakangan ia diminta untuk menggarap sinetron, seperti serial Abu Nawas, Numpang Parkir, Masih Ada Kapal Ke Padang serta Antara Jakarta dan Perth.
MT RISYAF
Annida-Online-Sobat Nida pasti ngeh dong sama sosok copet insyaf yang lantas jadi jendral, nasionalis bin patriotis yang kocak abis. Siapa lagi kalau bukan Nagabonar. Pemainnya, Deddy Mizwar yang dikenal juga sebagai produser dan sutradara andal.
Tapi, tahukah siapa orang di balik suksesnya film buatan tahun 1986 itu? Dialah Sang Maestro kita kali ini, sutradara M.T. Risyaf alias Pak Taba (62). Akhir Juli kemarin Nida berkesempatan bincang-bincang di rumah Pak Taba di Tanah Baru, Beji, Depok. Di rumah batu yang ditata apik artistik itu, Nida disambut taman yang hijau dan bebatuan nemplok di dinding dan lantainya. Ada anthurium, adenium, aglaonema, koleksi tanaman hias Pak Taba. Ya, sejak tak lagi aktif di kancah perfilman nasional, Pak Taba mengisi waktu dengan merawat tanaman hiasnya. Belakangan, pria kelahiran Pemangkat, Kalimantan Barat itu juga sibuk mengasuh cucu pertamanya; Natanaila Akhsya Sheadyta Azaria (8 bulan).
Setelah cukup lama vakum di perfilman, Pak Taba sesekali menyutradari atau menulis ulang naskah sinetron, serta menjadi pembicara workshop film. Terkait film anyar, ia punya rencana besar nih. Pak Taba kepengen bikin film kolosal yang berlatar sejarah. Wah, seru juga kayaknya. Ceritanya berpatok pada tragedi pembantaian masyarakat Pontianak pas zaman penjajahan Jepang. Sekarang ini Pak Taba lagi getol menyiapkan materi, mengumpulkan data dengan mencari dan membaca buku-buku sejarah tentang itu.
"Buku ada tapi belum komplet. Ini salah satunya," kata Pak Taba sambil menunjukkan buku lawas karya M. Yanis berjudul Kapal Terbang Sembilan (Yayasan Perguruan Panca Bhakti, 1983).
Dengan ramah, pria bertubuh subur ini bilang, ia ingin membuat film yang bisa memuaskan sekaligus memanjakan penonton. Juga menambah wawasan yang mengendap di benak penonton, menjadi sesuatu yang berguna untuk kehidupan.
"Saya nggak mau bikin film seperti yang lagi trend sekarang, hantu-hantu dan cinta-cintaan. Takut disumpahi sama penonton, sudah bayar mahal kok filmnya jelek. Kalau buat memanjakan penonton, saya rasa bisa dibantu dengan tehnologi canggih. Pembaruan tehnologi ini mesti dipikirkan oleh orang-orang film, supaya ada bedanya antara film di bioskop dengan sinetron," beber Pak Taba.
Selain kagum dengan dolby stereo yang menjadikan suara menggelegar dan menambah efek sensasional, Taba juga senang dengan perkembangan ragam peralatan film serta instannya pembuatan sinetron.
"Tahun 80-an kami bikin film dengan segala keterbatasan tehnologi, setiap rekaman cuma bisa dilihat oleh kameramen karena belum ada monitor. Kalau ada adegan kurang bagus nggak bisa langsung re-take. Membuat sinetron juga cepat banget, soalnya diburu-buru deadline, kejar tayang," lanjutnya ayah empat orang putra ini.
Dari sederet film yang pernah digarapnya, menurut suami dari Titin Suwardini (52) ini, semuanya menorehkan kesan dan kenangan tersendiri. Namun, Kembang Semusim (1980)-lah yang menurutnya paling berkesan.
"Bagi semua sutradara, tentu setiap film yang dibuatnya punya kesan. Tapi buat saya, yang paling berkesan film Kembang Semusim, karena itu film pertama saya. Di situ saya jadi sutradara sekaligus penulis skenario. Sebagai sutradara baru kala itu, saya senang sekali bisa mengorbitkan bintang baru Marissa Haque. Film itu juga dapat penghargaan Piala Citra untuk Pemeran Wanita Terbaik, Mieke Wijaya," jelas pria yang pernah menjadi karyawan Maskapai Pelayaran Nusantara (MPN) serta wartawan sebelum terjun ke dunia film. [Esthi]
---------------
Nama besar Deddy Mizwar memang identik dengan sosok Nagabonar, prajurit mantan pencopet dari Sumatera Utara. Nama hero yang menjadi judul film peraih piala Citra FFI 1987 itu kini dirilis ulang dalam versi yang lebih disempurnakan. Sepintas, nama sutradaranya, yakni MT Risyaf tenggelam di balik kebesaran nama Deddy. Sejauh apa sih perannya dalam film tersebut?
”Tetap men-direct kok. Bahkan untuk urusan dubbing sampai ke Bangkok segala. Ini kan tanggung jawab profesi,” ucap Risyaf beberapa waktu lalu.
Kendati hanya memperbaiki film lawas, Risyaf menyebutkan bahwa lingkup kerjanya mulai dari mengawasi kualitas akting para pemain, kualitas tata gambar, hingga tata suara. Lebih jauh dicontohkannya,”Jika dulu ada intonasi vokal pemain yang kurang baik, sekarang bisa diperbaiki,” lanjut Risyaf lagi.
Untuk urusan sulih suara ulang atas film ini, Risyaf menyebutkan bahwa mereka yang memperkuat film ini terjun lagi ke dapur rekaman. ”Beberapa pemain sudah meninggal dunia hingga suaranya harus diganti dengan yang mirip,” tuturnya.
”Mereka adalah Fritz G. Schadt, Robert Syarif dan Ras Barkah,” selorohnya. Sementara pemeran Emak Nagabonar, Roldiah Matulessy yang sudah terlalu sepuh juga tak bisa ikut sulih suara. ”Inipun harus digantikan pula,” kata Risyaf lagi.
Risyaf sendiri mengaku puas dengan teknologi baru ini. ”Dengan sistem dolby suara ledakan lebih menggelegar. Kalau dulu kan sistem mono, suara pistolnya pak-pak-pak-pak...,” ujarnya sambil tertawa.
Tentang biaya film versi revisi ini, sutradara Pelangi di Nusa Laut ini mengaku tidak tahu-menahu lantaran itu urusan produser. ”Kalau versi yang tahun 1986, ya di atas 100 jutaan,” sambungnya. Ditambahkannya, film yang berlokasi di Cisolok, Sukabumi ini menghabiskan sekitar 70-an kaleng film. ”Ya, sekitar 75-76 kalenglah. Kan ada juga bahan yang terbuang.”
Annida-Online-Sobat Nida pasti ngeh dong sama sosok copet insyaf yang lantas jadi jendral, nasionalis bin patriotis yang kocak abis. Siapa lagi kalau bukan Nagabonar. Pemainnya, Deddy Mizwar yang dikenal juga sebagai produser dan sutradara andal.
Tapi, tahukah siapa orang di balik suksesnya film buatan tahun 1986 itu? Dialah Sang Maestro kita kali ini, sutradara M.T. Risyaf alias Pak Taba (62). Akhir Juli kemarin Nida berkesempatan bincang-bincang di rumah Pak Taba di Tanah Baru, Beji, Depok. Di rumah batu yang ditata apik artistik itu, Nida disambut taman yang hijau dan bebatuan nemplok di dinding dan lantainya. Ada anthurium, adenium, aglaonema, koleksi tanaman hias Pak Taba. Ya, sejak tak lagi aktif di kancah perfilman nasional, Pak Taba mengisi waktu dengan merawat tanaman hiasnya. Belakangan, pria kelahiran Pemangkat, Kalimantan Barat itu juga sibuk mengasuh cucu pertamanya; Natanaila Akhsya Sheadyta Azaria (8 bulan).
Setelah cukup lama vakum di perfilman, Pak Taba sesekali menyutradari atau menulis ulang naskah sinetron, serta menjadi pembicara workshop film. Terkait film anyar, ia punya rencana besar nih. Pak Taba kepengen bikin film kolosal yang berlatar sejarah. Wah, seru juga kayaknya. Ceritanya berpatok pada tragedi pembantaian masyarakat Pontianak pas zaman penjajahan Jepang. Sekarang ini Pak Taba lagi getol menyiapkan materi, mengumpulkan data dengan mencari dan membaca buku-buku sejarah tentang itu.
"Buku ada tapi belum komplet. Ini salah satunya," kata Pak Taba sambil menunjukkan buku lawas karya M. Yanis berjudul Kapal Terbang Sembilan (Yayasan Perguruan Panca Bhakti, 1983).
Dengan ramah, pria bertubuh subur ini bilang, ia ingin membuat film yang bisa memuaskan sekaligus memanjakan penonton. Juga menambah wawasan yang mengendap di benak penonton, menjadi sesuatu yang berguna untuk kehidupan.
"Saya nggak mau bikin film seperti yang lagi trend sekarang, hantu-hantu dan cinta-cintaan. Takut disumpahi sama penonton, sudah bayar mahal kok filmnya jelek. Kalau buat memanjakan penonton, saya rasa bisa dibantu dengan tehnologi canggih. Pembaruan tehnologi ini mesti dipikirkan oleh orang-orang film, supaya ada bedanya antara film di bioskop dengan sinetron," beber Pak Taba.
Selain kagum dengan dolby stereo yang menjadikan suara menggelegar dan menambah efek sensasional, Taba juga senang dengan perkembangan ragam peralatan film serta instannya pembuatan sinetron.
"Tahun 80-an kami bikin film dengan segala keterbatasan tehnologi, setiap rekaman cuma bisa dilihat oleh kameramen karena belum ada monitor. Kalau ada adegan kurang bagus nggak bisa langsung re-take. Membuat sinetron juga cepat banget, soalnya diburu-buru deadline, kejar tayang," lanjutnya ayah empat orang putra ini.
Dari sederet film yang pernah digarapnya, menurut suami dari Titin Suwardini (52) ini, semuanya menorehkan kesan dan kenangan tersendiri. Namun, Kembang Semusim (1980)-lah yang menurutnya paling berkesan.
"Bagi semua sutradara, tentu setiap film yang dibuatnya punya kesan. Tapi buat saya, yang paling berkesan film Kembang Semusim, karena itu film pertama saya. Di situ saya jadi sutradara sekaligus penulis skenario. Sebagai sutradara baru kala itu, saya senang sekali bisa mengorbitkan bintang baru Marissa Haque. Film itu juga dapat penghargaan Piala Citra untuk Pemeran Wanita Terbaik, Mieke Wijaya," jelas pria yang pernah menjadi karyawan Maskapai Pelayaran Nusantara (MPN) serta wartawan sebelum terjun ke dunia film. [Esthi]
---------------
Nama besar Deddy Mizwar memang identik dengan sosok Nagabonar, prajurit mantan pencopet dari Sumatera Utara. Nama hero yang menjadi judul film peraih piala Citra FFI 1987 itu kini dirilis ulang dalam versi yang lebih disempurnakan. Sepintas, nama sutradaranya, yakni MT Risyaf tenggelam di balik kebesaran nama Deddy. Sejauh apa sih perannya dalam film tersebut?
”Tetap men-direct kok. Bahkan untuk urusan dubbing sampai ke Bangkok segala. Ini kan tanggung jawab profesi,” ucap Risyaf beberapa waktu lalu.
Kendati hanya memperbaiki film lawas, Risyaf menyebutkan bahwa lingkup kerjanya mulai dari mengawasi kualitas akting para pemain, kualitas tata gambar, hingga tata suara. Lebih jauh dicontohkannya,”Jika dulu ada intonasi vokal pemain yang kurang baik, sekarang bisa diperbaiki,” lanjut Risyaf lagi.
Untuk urusan sulih suara ulang atas film ini, Risyaf menyebutkan bahwa mereka yang memperkuat film ini terjun lagi ke dapur rekaman. ”Beberapa pemain sudah meninggal dunia hingga suaranya harus diganti dengan yang mirip,” tuturnya.
”Mereka adalah Fritz G. Schadt, Robert Syarif dan Ras Barkah,” selorohnya. Sementara pemeran Emak Nagabonar, Roldiah Matulessy yang sudah terlalu sepuh juga tak bisa ikut sulih suara. ”Inipun harus digantikan pula,” kata Risyaf lagi.
Risyaf sendiri mengaku puas dengan teknologi baru ini. ”Dengan sistem dolby suara ledakan lebih menggelegar. Kalau dulu kan sistem mono, suara pistolnya pak-pak-pak-pak...,” ujarnya sambil tertawa.
Tentang biaya film versi revisi ini, sutradara Pelangi di Nusa Laut ini mengaku tidak tahu-menahu lantaran itu urusan produser. ”Kalau versi yang tahun 1986, ya di atas 100 jutaan,” sambungnya. Ditambahkannya, film yang berlokasi di Cisolok, Sukabumi ini menghabiskan sekitar 70-an kaleng film. ”Ya, sekitar 75-76 kalenglah. Kan ada juga bahan yang terbuang.”
PELANGI DI NUSA LAUT | 1992 | M.T. RISYAF | Director | |
KESAN PERTAMA | 1985 | M.T. RISYAF | Director | |
MERANGKUL LANGIT | 1986 | M.T. RISYAF | Director | |
TJISDANE | 1971 | ASKUR ZAIN | Actor | |
KEMBANG SEMUSIM | 1980 | M.T. RISYAF | Director | |
NAGA BONAR | 1986 | M.T. RISYAF | Director | |
JEJAK PENGANTIN | 1984 | M.T. RISYAF | Director | |
SEPONDOK DUA CINTA | 1990 | M.T. RISYAF | Director | |
YANG TERCINTA | 1991 | M.T. RISYAF | Director | |
BAWALAH AKU PERGI | 1982 | M.T. RISYAF | Director |