SEKUNTUM BUNGA DITEPI DANAU | 1952 | INOE PERBATASARI | Director | |
KARTINAH | 1940 | ANDJAR ASMARA | Actor | |
KEMBALI KE MASJARAKAT | 1954 | INOE PERBATASARI | Director | |
POETRI RIMBA | 1941 | INOE PERBATASARI | Director | |
RATNA MOETOE MANIKAM | 1941 | SUSKA | Actor | |
HOEDJAN | 1944 | INOE PERBATASARI | Director | |
ELANG DARAT | 1941 | INOE PERBATASARI | Director |
PEMBUAT FILM INDONESIA 1900-1992, Blog ini tentang pembuat film Indonesia, mulai dari Isu, peristiwa, sosok, dibalik layar, berita, bioskop, analisa, kritikus, undang-undang film, film negara, bintang film, sutradara, Cinematographer, produser, sosok yang berpengaruh, sang legend, aktor, aktris, perkembangan film Nasional, jadul, lawas, nostalgia, jaman, kejayaan, keemasan, mereka yang membuat film, penonton, situasi sosial saat itu, perjuangan, kemerdekaan, era Belanda, Jepang, fungsi film dll.
Jumat, 04 Februari 2011
INOE PERBATASARI 1940-1954
SEKUNTUM BUNGA DITEPI DANAU / 1952
Regisseur INU PERTABASARI rupa-rupanya tak segan-segan mengambil langkah sedemikian ini, karena yakin ada manfaatnya, dalam usahanya memelihara dan memupuk bibit baru dalam halaman seni film.
AS MOuna atau lebih terkenal dengan nama Amran saja, dalam cerita tersebut diserahi peranan watak yang penting. Disamping R. Umami, dia tampil di layar putih kini dan untuk pertama kali ini, sebagai “leading-man” yang boleh dibanggakan.
Langkah dan hasilnya ini berarti suatu prestasi bagi kalangan amatir yang baru membuka halaman baru dalam lapangan film.
“Eksperimen” Pak Inu, kali ini boleh kita banggakan. Dan, soal hasil atau tidaknya penonton nanti yang akan menjadi hakim.
AS Mouna atau Bung Amran sebagaimana kita panggil dia sehari-harinya, lahir di Batusangkar Sumatra Tengah pada tanggal 13 Oktober 1923.
Pengalamannya dalam kalangan kesenian menjumpai banyak perobahan dan hasil baginya. Diantara lain ia pernah menjadi staf bagian Pendidikan Kementerian Pertahanan.
Sesudah itu, ia ikut Wellfare Jawa Barat, pada tahun 1947.
Kemudian ia pindah ke Jogjakarta dan terus menggabungkan pada perhimpunan Sandiwara “Raksi Seni” sebagai anggota pengurus.
Dan yang pada akhir-akhir ini (1950) ia menjadi ketuanya.
Disamping ia memegang peranan-peranan penting dalam hampir tiap-tiap kali pertunjukan sandiwara di Jogjakarta, ia juga duduk sebagai anggota Sekretariat Front Seniman.
Akhir-akhir ini sebelum ia bertolak terjun ke dalam arus Jakarta, setia membantu RRI Jogjakarta dan cabang-cabang daerah lain dengan Sandiwara Radio dan syair-syairnya.
Sekarang di Jakarta terjun bersama kawan-kawannya dari “Raksi Seni” menggabungkan diri dalam rombongan film “Ksatrya Darma”.
Perangai dan kesukaan
Tanda-tanda akan tipe seperti Bung Amran ini ialah jejak hidupnya yang berperasaan “gevoelig” halus dan sopan-santun.
Cinta, dalam arti luas dan erotik memegang peranan penting dalam hidupnya. Estetik, keinginan kepada keindahan dan harmoni adalah faktor-faktor yang memenuhi dahaga hatinya.
Kata orang, semaca kecilnya suka sekali main-main. Tetapi tidak senakal atau sebengal-bengalnya anak-anak lain. Dia tahu batas-batasnya.
Kesukaan main-main ini, sekarang membawa proses juga. Bung Amran lemah, sering-sering tak tahan menghadapi taufan hidup.
Sering sekali ia tertarik oleh bujukan-bujukan teman-temannya dan mudah sekali percaya. Tapi disamping itu, juga membawa proses lain, yaitu, Bung Amran besar sekali dan cinta harmoni hidup dengan teman-temannya.
Dan dia selalu menghindari faktor-faktor yang menyolok mata dalam pandangan teman-temannya.
Dia benci sekali pada suatu percekcokan dan selalu ingin menghindarinya. Suka sekali ia mendamaikan teman-temannya yang sedang berselisih. Tindakan demikian ini ada kalanya menguntungkan dan sering-sering merugikan baginya. Tapi memang tipe seperti Bung Amran ini selalu cinta perdamaian.
Luar dari kelemahan-kelemahan ini, Bung Amran juga mempunyai beberapa faktor kekuatan. Kesabarannya menanti saat yang telah disengaja dinanti. Dan apabila kesempatan itu tiba, maka ia akan tabah menghadapi sesuatu apapun dan menyelesaikannya sampai titik penghabisan.
Dalam eprgaulan sehari-hari, pakaiannya selalu bersih, disetrika licin, sehingga teman-temannya sering menyebut dia “ijdel”.
Tapi tak mengapa, karena soal ini adalah soal individu dan mungkin satu-satunya jalan untuk menjaga kehormatan nama sebagai artis. Bukan begitu, Bung Amran?
Tapi kenyataan membuktikan bahwa tokoh-tokoh seperti dia sangat disukai oleh teman-temannya dan pergaulan pada umumnya.
Dia senang sekali berenang berjam-jam lamanya.
Gerak badan saban pagi berjalan-jalan.
Juga pesiar, hidup mengelana dan tidak lupa menonton film-film baru kesukaannya.
Dan, di luar itu, soal agama, dipegangnya teguh. Dia setia menjalankan kewajiban agamanya.
Dalam cakap-cakap sering saya dijumpai Bung Amran kebingungan dan saya bertanya “Mengapa sampai begini?”
Jawabnya sambil tersenyum: “Bung Djoko, saya selalu percaya pada kebaikan manusia! Sering memudahkan sesuatu. Inilah kelemahan saya,”
Pertanyaan saya yang terakhir:
Tanya:Apabila Bung Amran hidup berdua?
Jawab: (Tersenyum dulu ia) Bung Djoko ada-ada saja! Soal kawin gampang! Soalnya memelihara harmoni perkawinan, itu yang susah. Dan di Jakarta, jangan lupa, Bung Djoko….. perumahan! (Dia tertawa)
Begitulah sekedar menyelami jejak hidup dan watak artis harapan kita di masa depan.
Soal hasil atau tidaknya perjuangan itu lebih baik saya serahkan pada umum, yang nanti menjadi hakim.
Dan segera, “SEKUNTUM BUNGA DI TEPI DANAU” akan menjadi kenyataan!
Buktikanlah!
KEMBALI KE MASJARAKAT / 1954
P.F.N. |
Beberapa orang pelamar wanita di retour kembali ke rumahnya masing-masing karena tidak mencukupi syarat-syaratnya untuk memegang roll di dalam film tersebut. Akhirnya atas anjuran R. Ariffien perhatian R. Inu Perbatasari ditujukan kepada Hadidjah yang harus turut ke lokasi ke Solo kurang lebih satu bulan lamanya.
Ketegangan pendirian antara Hadidjah dan suaminya mulai timbul kembali. Hadidjah mau turut ke Solo, sedangkan suaminya di dalam hati kecilnya keberatan untuk melepas istrinya begitu lama.
Rupanya dari pihak Hadidjah ada lebih kuat, ternyata ia sudah turut ke Solo dengan rombongan “Kembali ke Masyarakat”, sedangkan suaminya harus tinggal sendirian, kembali dari pekerjaannya harus merasakan kesepiannya.
Menurut keterangan Rd. Inu Perbatasari dan HB Angin yang dua-duanya bertindak sebagai Pemimpin Produksi dan Regisseur, Hadidjah di dalam permainannya meningkat ke arah kemajuan.
Tidak heran lagi terhadap sesuatu pekerjaan yang suci, selalu menemui rintangan, dan kadang-kadang rintangan itu mengakibatkan kegagalan. Begitupun pula halnya dengan Hadidjah, yang sedang senang-senangnya mengejar ilmu permainan film, sekonyong-konyong telah dibombardir oleh suaminya yang semata-mata menyatakan ketidaksetujuan Hadidjah bermain film.
Kemarahan suaminya itu tidak habis sampai melarang Hadidjah bermain film saja, tapi telah diikuti oleh perceraian yang sangat menyedihkan. Menyedihkan karena tidak diduga semula. Menurut keterangan yang didapat, apa sebabnya suami Hadidjah sudah mengambil tindakan yang begitu kejam, karena akibat bibir yang tidak bertulang yang iseng-iseng membicarakan kelakuan Hadidjah yang tidak senonoh selama ia tinggal di Solo, padahal selama Hadidjah berpisah dengan suaminya, Hadidjah selalu patuh kepada Kajat.
Kitapun tidak dapat menyalahkan Hikayat, karena ia baharu sekarang bergaul dengan dunia artis, dan baharu kali ini pula melepaskan istrinya yang sangat dicintainya itu, mendengar kata-kata yang menjelekkan nama kehormatan istrinya, meskipun kata-kata itu semata-mata hanya berolok-olok, Hikayat dengan tanpa berpikir luas, ia telah menjatuhkan talaknya.
Jika benar kabaran-kabaran yang datang pada Hikajat hanya merupakan isapan jempol belaka. Kita mengharap supaya dari kedua pihaknya suka memikir panjang, berkumpullah kembali di sebuah rumah tangga yang rukun dan damai.
POETRI RIMBA / 1941
Waktu berburu di sebuah pulau, Achmadi terpisah dari rombongan, tersesat dan ditangkap penduduk (orang utan) pulau, pimpinan Panglima Kumis Panjang. Tangan kanan panglima itu, Perbada semula akan membakar Achmadi, tapi bisa dicegah. Ternyata Achmadi pernah menyelamatkan Bidasari, anak sang panglima. Kemudian terjalin cinta antara Achmadi dan Bidasari, padahal anak panglima itu telah dipertunangkan dengan Perbada. Orang-orang Perbada menangkap Bidasari dan Panglima. Keduanya lalu dibebaskan oleh Achmadi. Dalam sebuah pertarungan seru, Achmadi berhasil memukul Perbada hingga jatuh ke jurang.
JACARTA FILM COY |
AISJAH LOEDI ALI YUGO BISSU SOETIATI |