SEJARAH SENSOR INDONESIA/LSF
Oleh M. Sarief Arief Peneliti Muda pada Lembaga Ilmu Sosial
Terapan Jati Diri Indonesia
Benturan keinginan orang Eropa untuk mengeliminir citra mereka yang menjadi buruk di film dengan kepentingan ekonomis para importir film dan pengusaha bioskop membuat pemerintah kolonial memeras otak untuk mencari formula terbaik yang dapat diketengahkan tanpa terlihat bahwa itu merupakan hasil rekayasa pemerintah kolonial.
Untuk itulah maka di tahun 1926, seorang Belanda heuveldorp mendirikan sebuah pabrik perusahaan film pertama di Hindia Belanda bernama Java Flm Company di Jakarta dengan laboratoriumnya di Bandung (de Locomotief, No. 70/1926).
Heuveldorp mengangkat Krugers sebagai pimpinan produksinya. Yang menariknya film produksi dalam negeri ini tidak ditujukan untuk orang Eropa namun semata ditujukan kepada pribumi. Tampaknya tujuan untuk mengeliminir citra buruk orang Eropa dalam film Hollywood ingin dilakukan dengan film produksi dalam negeri ini.
Tidak heran kemudian kalau film Loetoeng Kasaroeng dipilih sebagai film pertama. Walau hingga kini sulit ditemukan copy filmnya, namun mudah diduga unsur kekerasan yang diperankan oleh para pemain pribumi dijadikan standard utama. Hal ini dilakukan dengan harapan persepsi penonton pribumi bahwa orang barat sadis akan terliminir bisa melihat film ini. Karena mereka akan mendapatkan kenyataan bahwa orang pribumi dalam film Loetoeng Kasaroeng ini juga akan bertingkah laku mirip film-film produksi Hollywood.
Indikasi memang hal itu yang diinginkan oleh pemerintah kolonial semakin terlihat bila pemain yang dipilih justru orang yang dianggap cukup dihormati di masyarakat yaitu seorang bangsawan dan berkedudukan menjadi guru yaitu Raden Kartabrata. Sejalan dengan itu pula pemilihan Loetoeng Kasaroeng sebagai tema dan judul film juga ingin memperlihatkan bahwa mitos yang berlaku di masyarakat sebenarnya setara dan sama citranya dengan film-film produksi Hollywood. Jadi legenda orang pribumi sama negatifnya dengan daya khayal orang Barat dalam film-film Hollywood.
Tidak dapat dibantah kemudian pemerintah kolonial memberikan bantuan secara tidak langsung. Dikirimlah puluhan truk dari Dept Van De oorlog untuk membantu mengangkat peralatan film ke lokasi syuting. Kemudian jalan ke lokasi syuting juga diperbaiki. Kemudahan yang diberikan pemerintah kolonial ini janganlah diartikan identik dengan keinginan pemerintah kolonial memberikan daya kreatif pada penduduk pribumi, namun semata sebenarnya demi kepentingan menjaga status quo kedudukan orang Eropa di Hindia Belanda.
Setahun setelah Loetoeng Kasaroeng diproduksilah kemudian Euis Atjih. Semangat memproduksi film dalam negeri semakin menguat, apalagi tanpa harus was-was dengan tanggapan pemerintah kolonial. Karena pemerintah kolonial memberikan dukungan 100%!
Benturan keinginan orang Eropa untuk mengeliminir citra mereka yang menjadi buruk di film dengan kepentingan ekonomis para importir film dan pengusaha bioskop membuat pemerintah kolonial memeras otak untuk mencari formula terbaik yang dapat diketengahkan tanpa terlihat bahwa itu merupakan hasil rekayasa pemerintah kolonial.
Untuk itulah maka di tahun 1926, seorang Belanda heuveldorp mendirikan sebuah pabrik perusahaan film pertama di Hindia Belanda bernama Java Flm Company di Jakarta dengan laboratoriumnya di Bandung (de Locomotief, No. 70/1926).
Heuveldorp mengangkat Krugers sebagai pimpinan produksinya. Yang menariknya film produksi dalam negeri ini tidak ditujukan untuk orang Eropa namun semata ditujukan kepada pribumi. Tampaknya tujuan untuk mengeliminir citra buruk orang Eropa dalam film Hollywood ingin dilakukan dengan film produksi dalam negeri ini.
Tidak heran kemudian kalau film Loetoeng Kasaroeng dipilih sebagai film pertama. Walau hingga kini sulit ditemukan copy filmnya, namun mudah diduga unsur kekerasan yang diperankan oleh para pemain pribumi dijadikan standard utama. Hal ini dilakukan dengan harapan persepsi penonton pribumi bahwa orang barat sadis akan terliminir bisa melihat film ini. Karena mereka akan mendapatkan kenyataan bahwa orang pribumi dalam film Loetoeng Kasaroeng ini juga akan bertingkah laku mirip film-film produksi Hollywood.
Indikasi memang hal itu yang diinginkan oleh pemerintah kolonial semakin terlihat bila pemain yang dipilih justru orang yang dianggap cukup dihormati di masyarakat yaitu seorang bangsawan dan berkedudukan menjadi guru yaitu Raden Kartabrata. Sejalan dengan itu pula pemilihan Loetoeng Kasaroeng sebagai tema dan judul film juga ingin memperlihatkan bahwa mitos yang berlaku di masyarakat sebenarnya setara dan sama citranya dengan film-film produksi Hollywood. Jadi legenda orang pribumi sama negatifnya dengan daya khayal orang Barat dalam film-film Hollywood.
Tidak dapat dibantah kemudian pemerintah kolonial memberikan bantuan secara tidak langsung. Dikirimlah puluhan truk dari Dept Van De oorlog untuk membantu mengangkat peralatan film ke lokasi syuting. Kemudian jalan ke lokasi syuting juga diperbaiki. Kemudahan yang diberikan pemerintah kolonial ini janganlah diartikan identik dengan keinginan pemerintah kolonial memberikan daya kreatif pada penduduk pribumi, namun semata sebenarnya demi kepentingan menjaga status quo kedudukan orang Eropa di Hindia Belanda.
Setahun setelah Loetoeng Kasaroeng diproduksilah kemudian Euis Atjih. Semangat memproduksi film dalam negeri semakin menguat, apalagi tanpa harus was-was dengan tanggapan pemerintah kolonial. Karena pemerintah kolonial memberikan dukungan 100%!
Empat tahun setelah Loetoeng Kasaroeng berdirilah 8 buah perusahaan film di Hindia Belanda yang ada di dua kota, Jakarta dan Bandung (Archipel No. 5/1973). Tidak heran kemudian muncullah film-film produksi dalam negeri yang tema penyajiannya tidak lebih sama dengan tema-tema Hollywood yang berkarakteristik keras, sadis, penuh adegan
vulgar dan menjurus ke arah pelampiasan seks. Muncullah kemudian film-film produksi dalam negeri seperti Si Conat, Si Ronda Berlumuran Darah, Rencong Aceh, Elang Laut, Macan Berisik, Singa Laut, Terang Bulan, Alang-Alang dan lainnya.
Jadilah kemudian penduduk pribumi di Hindia Belanda dapat melihat aktor/aktris pribumi juga melakukan adegan keras, sadis, vulgar dan penuh adegan romantis (seperti Rencong Aceh). Sayangnya kondisi ini tidak cepat diantisipasi tokoh-tokoh pergerakan kita. Bahkan yang terjadi kemudian ada "steretype" tersendiri yang ditujukan bagi pemain film yaitu mereka didudukkan sebagai "anak wayang". Orang-orang yang dapat dijadikan "permainan" dan berkonotasi negatif.
Kondisi ini agaknya memang diidam-idamkan pemerintah kolonial. Film-film produksi dalam negeri semakin disokong. Tidak heran kemudian kalau terjadi lonjakan produksi dari hanya 4 di tahun 1939 menjadi 13 di tahun 1940 dan naik tajam menjadi 32 di tahun 1941. Namun untuk terus menaikkan jumlah produksi terjadi kesulitan dalam pembiayaannya. Di mana ongkos produksi dalam negeri minimal F. 500 (Surat Anjar Asmara kepada The Java, Desember 1940). Sementara biaya impor jauh beberapa kali lipat lebih murah.
Untuk bisa mengurangi pembiayaan ekonomis yang besar ini, pemerintah kolonial tidak mungkin dapat, di samping karena pembuatannya memang tidak memakai fasilitas negara, juga tingginya honor bagi artis/aktor. Untuk bisa mencoba meredam agar produksi tidak terlalu mundur, maka KSF kemudian mencoba menghalangi tidak adanya film dalam negeri yang terkena sensor.
Tahun 1940, keluar pertauran STVI No. 507 yang menyebutkan bahwa setiap pemilik film produksi dalam negeri dapat memperbaiki bagian yang dinyatakan tidak lolos sensor dan diberi kesempatan 3 bulan, bila tetap tidak, lolos diberi lagi waktu tambahan sebulan untuk
memperbaikinya (STVI 1940 no. 507 pasal 24). Sejalan dengan itu pula pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya film produksi dalam negeri untuk diekspor ke luar negeri.
Sedangkan film impor semakin dicoba dikurangi keberadaannya dengan penyensoran yang cukup ketat melalui diberlakukannya batasan usia penonton yang boleh menonton film impor. Dari 170 film impor untuk tahun 1941 hingga 1942 tercatat 59 buah boleh ditonton usia di atas 17 tahun, 80 untuk semua umur sedangkan sisanya untuk 13 hingga 17 tahun.
Ketentuan ini dengan jelas sekali memperlihatkan secara tidak langsung hambatan terhadap film impor. Sayangnya ini tidak lama berjalan, karena tidak lama kemudian tentara Jepang masuk dan mengambil kebijakan berbeda dengan pemerintah kolonial.
Strategi ideologi
Era 1950-an dan 1960-an kedudukan film bukan lagi sebagai hiburan semata namun banyak dijadikan kepentingan politik. Kuatnya kepentingan politik dalam film terlihat dari kuatnya produksi film di tahun menjelang Pemilu 1955 yang berjumlah 65, sedangkan tahun 1953 hanya 41, 1954 hanya 60 sedangkan tahun 1956 turun menjadi 36 dan menjadi 16 saja di tahun 1959. Tahun 1960 setahun setelah dicanangkannya Demokrasi terpimpin produksi film naik lagi menjadi 38 dan hanya turun sebuah di tahun 1961.
Rekayasa dan strategi kepentingan politik dalam film ini semakin kuat ketika PKI semakin menancapkan kuku politiknya. Aksi Boikot film USA kemudian dilakukan tahun 1960-an. Pihak anti USA mencoba merekayasa keadaan ketika itu bagi tujuan ideologis mereka. Kedekatan film dengan rekayasa politik semakin kental ketika Warta Bhakti, koran pro PKI
pada 24/8/1964 menulis bahwa aksi boikot film USA terjadi karena sikap USA yang menempatkan armada ke 7 nya di sekitar Indonesia serta USA dengan sengaja membantu Malaysia dalam konfrontasinya dengan Indonesia.
Sikap yang memasukkan strategi dan kepentingan politik dalam dunia film ini menumpulkan kemudian kreativitas yang ada, apalagi lembaga Sensor Film masih ragu-ragu menetapkan keputusannya karena amat bergantung dari kepentingan partai politik yang berkuasa dan
mendudukkan orang-orangnya.
Dengan demikian terasa sekali dunia film ini amat tersudut oleh rekayasa politik. Dan terlihat usaha memajukan film ini bukan lagi bertumpu pada kepentingan nasional, namun bertitik berat pada kepentingan partai dan ideologi partai.
Pengakomodasian strategi politik dalam film semakin menguat ketika dibentuk Dewan Sensor pada mei 1965. Dewan ini mengadakan sensor terhadap film-film yang memuat propaganda imperialisme, neo kolonialisme, feodalisme, superioritas kulit putih maupun film yang sengaja memuat rasialisme (Sinar Harapan 30/5/1965).
Tahun 1966 ketika Orde Baru muncul, film dianggap sebagai salah satu komponen terpenting penunjang kemajuan budaya dan kreativitas seni. Usaha edukatif dengan meletakkan film dalam fungsi sosialnya ini memang secara langsung tidak tercemari kepentingan ideologis politik namun tidak dapat disangkal kemudian ada kalanya mampu mensemukan kebijakan yang sebenarnya semata untuk mengejar target ekonomis saja.
Sebagai ilustrasi, sejak tahun 1989 melalui SK Menpen No. 120 telah dikeluarkan Pedoman Penyensoran yang intinya mengeluarkan ketentuan akan penyensoran terhadap adegan pria/wanita dalam keadaan telanjang bulat baik dilihat dari muka-samping-belakang, juga close up paha, buah dada, alat vital baik dengan penutup maupun tidak. Juga adegan yang merangsang baik oleh pasangan berlainan jenis ataupun sejenis kelamin, kemudian menjilat-jilat bagian tubuh, mencium benda dengan birahi. Suara persenggamaan yang memberi kesan persenggamaan serta gerakan onani baik manusia atau hewan.
Sayangnya kemudian SK Menpen ini tidak terlaksana dengan baik, karena sikap idealis tertutupi oleh kepentingan ekonomis pragmatis. Sikap ekonomis pragmatis ini kemudian menumbuhkan usaha mengeliminir daya minat penonton. Diisukanlah kemudian bahwa penonton kiga memang terkondisi pada film-film keras, sadis, penuh adegan seks semata saja.
Sehingga film-film humanis tidak, lagi bisa ditolerir karena akan merugikan pihak pemroduksinya. Akibatnya kemudian muncul produksi film identik dengan ekonomis dan identik dengan daya minat masyarakat yang sengaja dibentuk.
Terus kisruhnya dunia perfilman kita terlihat pula dengan terus menurunnya grafik produksi dari 106 di tahun 1989, menjadi 57 di tahun 1991, 31 di tahun 1992, 27 di tahun 1993 dan tidak lebih 60 dari tahun 1994 hingga awal 1996 ini. Sementara dari film produksi itu tercatat 22 buah merupakan film bertema seks dan kekerasan untuk tahun 1994. Dan lebih ironis lagi yang dikemukakan bahwa film-film seks mampu menempati ranking tetinggi animo penonton seperti Skandal Iblis yang dibintangi Leila Angraeini mencapai 216.183 penonton, Gadis Metropolis yang dibintangi Sally Marcelina mencapai 209. 361 orang dan Kembalinya Janda Kembang dibintangi Sally Marcelina mencapai penonton 201.161 orang.
Akibatnya cukup fatal, film bertema seks dan sadis yang notabene melangkahi SK Menpen menjadi acuan pokok film kita.
Melihat kenyataan ini maka keluarlah kemudian PP No. 7/1994 yang membentuk Lembaga Sensor Film menggantikan fungsi badan Sensor Film beranggotakan 45 orang. Badan nonstruktural ini langsung di bawah Presiden atas usul Menpen. LSF ini berusaha mengetatkan fungsinya dengan memiliki hak untuk secara langsung menolak film yang telah dibuat tanpa sebelumnya berkonsultasi dengan LSF. Dengan kata lain, sebuah produksi film sudah harus mendapatkan izin pra pembuatannyadari LSF ini.
Fungsi kerja ini memang amat menguatkan daya sensor film, namun yang terjadi kemudian tetap saja terjadi penurunan film-film produksi dalam negeri. Masalahnya sekarang, mampukah formula baru bagi tema-tema yang berprofit oriented tidak sadistis-tidak penuh adegan seks diminatipenonton kita. Garin Nugroho mungkin telah mencobanya. Dan itu baru langkah awal.
Sekarang bagaimana LSF mampu menjadi media sekaligus jembatan budaya dan kreativitas insan film kita dengan penonton film kita. Mampukah LSF membuat formula-formula baru sensor yang tidak lagi mementingkan profit oriented namun mementingkan kreativitas dan daya cerna penonton, sehingga penonton kita yang selama ini menjadi korban isu bahwa penonton kita identik dengan keras-sadistis dan seks vulgar dalam memahami film dapat menikmati film-film yang bermutu yang tidak harus mementingkan tema Hollywood dan yang tidak lagi harus bertumpu pada kekuatan artis, namun bertumpu pada kekuatan alur cerita, tema cerita dan solusi masalah yang disajikan dalam rangkaian cerita dalam film itu.
Saat Indonesia. WAKTU Indonesia merdeka, tidak (belum) ada sensor film. Setelah berdaulat penuh, baru ada Panitya Pengawas Film (PPF) pada 21 Maret 1950. Anggotanya sebanyak 32 orang, dan berada di bawah Kementerian (Departemen) Dalam Negeri. Pada 28 Nopember 1951 dipindahkan ke Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/1951. Baru dengan Penpres No. 1 (5 Maret) 1964 diserahkan ke Kementerian (Departemen) Penerangan. Dipertegas melalui SK Menpen No. 46 (21 Mei) 1965, dan diberi nama Badan Sensor Film (BSF). Yang dijadikan pegangan adalah Pedoman Pengawasan Film tertanggal 4 April 1950. Apa dasarnya? Filmordonantie (28 Oktober) 1940, warisan (penjajah) Belanda.
Ketua Panitya Sensor Pilm (PSP), Ny. Maria Ulfah Santoso (1911-1988) menyatakan dalam majalah Star News, 15 Nopember 1953, “bahwa PSP memakai Filmordonantie 1940 sebagai dasar.”
Begitu pula dikatakan ketua BSF (1973-1979), Soemarmo (1916-1989), bahwa “Indonesia belum mempunyai undang-undang pokok perfilman. Oleh karena itu, segala sesuatu tentang perfilman Indonesia, termasuk penyensorannya, masih berpegang pada Filmordonantie 1940.
”
Kedudukan Filmordonantie 1940 masih “kuat” hingga SK Menpen No. 46 (21 Mei) 1965. Dalam Bab IX Tentang Ketentuan Peralihan, disebutkan (pasal 17) “Hal-hal yang tidak diatur dengan tegas oleh peraturan ini diselesaikan dengan berpedoman kepada film Ordonantie 1940 dan lain-lain peraturan tersendiri, sementara menunggu adanya Undang-undang Perfilma
n.
BSF terus dibawah Departemen Penerangan sampai periode 1993 – 1995. Dengan telah lahirnya Undang-undang No. 8/1992 tentang perfilman nasional, maka anggota sensor film, yang disebut Lembaga Sensor Film (LSF), diangkat berdasarkan Kepres, Keputusan Presiden, mulai 1995.
Tahun 1995 menandakan satu abad pertunjukan film untuk umum (bioskop) di dunia, yang dimulai pada 28 Desember 1895 di Paris, Perancis, oleh Lumiere Bersaudara. Biar Indonesia masih bernama Hindia Belanda, tapi para “Tuan” (penjajah) cepat mengikuti “tontonan ajaib” tersebut. Lima tahun kemudian “gambar idoep” (bioskop) pertama muncul di Batavia/Jakarta, tepatnya pada 5 Desember 1900.
Pertunjukan film melahirkan sensor (film). Lembaga sensor muncul pertama di Inggris (1909), Swedia (1911) dan Amerika (1915).
Pikiran untuk itu juga tercetus di Hindia Belanda pada 1912, tapi baru terwujud pada 1916. (Di INDIA pada 1918). Mengapa dituntut supaya diadakan penyensoran film? Tanya Rosihan Anwar dalam tulisan di sk. Suara Karya :
“Pada masa itu yang banyak dipertunjukkan ialah film-film Perancis. Sebelum perang dunia I (1914-1918) perusahaan Perancis Pathe Freres giat melakukan distribusi film di seluruh dunia, juga di Hindia Belanda. Sesudah perang dunia I (barulah) masuk film-film Amerika. Dimulai oleh Universal yang buka toko di Batavia pada 1917, disusul oleh Fox.
“Supaya diadakan sensor, karena kebanyakan film Perancis mempunyai tema cerita perceraian suami isteri, perdagangan gelap, cinta yang terlarang, dan semua itu dapat menimbulkan keragu-raguan orang terhadap kehormatan dan nama baik perempuan Eropa, termasuk Belanda.
“Film-film yang dipertunjukkan bisa menimbulkan pikiran pada inlander (pribumi, Indonesia), bahwa ‘Eropa adalah suatu rumah gila’, sebab mereka menonton bandit-bandit pencuri mobil, kereta api yang digulingkan dari rel oleh penjahat, perkelahian dengan polisi dan sebagainya.
“Lahirlah ordonansi film tahun 1916, maka tidak boleh dipertunjukkan film-film yang bertentangan dengan susila baik, yang karena memperlihatkan kejahatan dan kekejaman bersifat merusak bagi pendidikan rakyat. Film-film yang bisa merendahkan martabat dan gengsi Belanda (Eropa) harus dilarang.
“Berhubung pada masa itu Belanda menjalankan Politik Etis terhadap bumi putera, berusaha mengangkat derajat inlander, maka sensor menggunting (cutting) adegan nyonya-nyonya dalam busana malam, ratu-ratu kecantikan di pantai, tangan dan betis yang telanjang, adegan ciuman, adegan kaum wanita melakukan senam.
“Selanjutnya tiap adegan yang ada pisau (kecuali pisau dapur) digunting, tiap pencurian di rumah ditolak. Adegan-adegan pemberontakan digunting tanpa ampun. Jelaslah sensor Hindia Belanda terutama melihat bahaya dalam pelecehan gengsi orang Eropa dan terutama wanita Eropa.
Yang pasti film tidak boleh menimbulkan dorongan dan kecenderungan memberontak dan melakukan tindakan kekerasan pada penduduk pribumi.1)
Tapi koran Het Vaderland Avondblad terbitan 27 September 1921 mempertanyakan kenapa sensor membiarkan penonjolan pembantaian kerbau dalam film-film (dokumenter) upacara adat di Toraja, dan juga adegan sabung ayam yang sadistis.2)
Secara umum sensor itu dianggap “momok” oleh para pembuat film. Perusahaan milik Cina pertama (South Sea Film) mengajukan skenario Lily Van Java (1928) kepada Filcommissie (badan sensor) sebelum pembuatan, sehingga kemudian lolos dengan “aman”.
Ternyata kemudian soal judul juga disensor. Film Wong Bersaudara Lari ka Arab (1930) tadinya berjudul Lari ka Mekah (ka=ke). Soalnya Mekah adalah kota suci orang Islam. Begitu pula dengan Kartinah (1940) dari The Teng Chun (1902-1977) semula adalah Kartini. Barangkali (sensor) Belanda takut akan kian populernya nama wanita pejuang emansipasi itu, dan sebagai penjajah, Belanda tentu berusaha agar wanita (dan lelaki) pribumi tetap bodoh, ketinggalan zaman.
Mungkin Wong Bersaudara cuma cari jalan aman pula dengan menyebut tempat kejadian film laris Terang Boelan (1937) di negara (pulau) fiktif, SAWOBA, kumpulan kependekan nama penulis SAerun, urusan tehnis WOng dan sutradara BAlink. Peraturan sensor sering diperbaiki (diperkeras!), misalnya Ordonantie 1925 yang berlaku mulai 1 Januari 1926.
“Filmordonantie Baroe” itu dimuat sk Sin Bin (25 Oktober 1925) dengan pertimbangan bahwa banyak pemilik bioskop adalah orang Cina. Juga ternyata “Jang ini atoeran baroe ada menjoesahkan boekan sadja pada impoteurs films, djoega pada bioscoop-bioscoop”. Karena nampak soal sensor makin menyulitkan.
Memang film cerita pertama di Indonesia baru beredar di akhir 1926, Loetoeng Kasaroeng. Tapi peraturan sensor terus diperbarui pada (29 Desember) 1930 dan pada (28 Oktober) 1940. Makanya Lari ka Mekah dan Kartina terkena “getah”nya.
Di masa pendudukan Jepang (1942-1945) sensor amat ketat. Perusahaan film swasta ditutup, peralatannya disita. Pembikinan film (propaganda) dikuasai penuh oleh penguasa (Jepang). Biar sandiwara digalakkan, dengan pemainnya kebanyakan orang-orang film, tapi naskah harus tertulis dan diperiksakan dulu ke yang berwajib.
“Tradisi improvisasi” distop total. Semuanya diatur oleh Persatoean Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD), yang dipimpin Eitaro Hinatsu (1907-1952), perwira Jepang berkebangsaan Korea. Nama aslinya Hue Yong, dan jadi HUYUNG setelah lari ke pihak RI yang baru merdeka.
Ikut hijrah ke Yogyakarta, di mana dia turut memberi ceramah tentang sandiwara & film. Di antara “murid”nya termasuk Usmar Ismail (1921-1971), Bapak Perfilman Nasional. Di kota Gudeg itu Huyung ikut mendirikan sekolah film & teater, Kino Drama Atelier (KDA), yang salah seorang siswanya adalah Soemardjono (1927-1998).
Pada 1950 Huyung kembali ke Jakarta dan membikin Antara Bumi dan Langit (ABDL), produksi pertama KDA. Biar Huyung menyerahkan naskah (skenario) ke badan sensor, tapi ABDL ternyata ditolak. Mungkin gara-gara diributkan orang bahwa film itu (akan) menampilkan adegan cium (pertama dalam film Indonesia). Belakangan lolos juga setelah dilakukan perubahan, dan beredar dengan judul FRIEDA pada 1951.
Pada 1950 itu pula Usmar Ismail memulai langkah yang menjadikannya diakui sebagai pelopor film nasional. Sehingga tanggal mulainya pembikinan filmnya Darah dan Doa (The Long March), yaitu tanggal 30 Maret (1950) ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. (Cetusannya pada 1962, baru diakui resmi pada 1999).
Tapi bagaimana perlakuan sensor (dan masyarakat) terhadap karya besar itu?
Sebaiknya biarkan Usmar sendiri yang ngomong: 3)
“Sebagai contoh otentik (tentang pembatasan itu) dapat saya kemukakan film Perfini yang pertama “Darah dan Doa” (The Long March).
“Pertama-pertama Sensor telah menggunting (dari film itu) adegan-adegan pertempuran yang terlalu realistis (yang sebenarnya menurut sekarang sangat jinak).
“Kemudian sesudah film itu mulai diputar, maka datang reaksi hebat dari pihak TNI/AD di berbagai daerah yang tidak setuju dengan penggambaran seorang perwira yang terlalu human dan lemah (menurut ukuran mereka).
“Juga tidak disetujui adanya kisah percintaan antara sang Perwira dan seorang gadis Eropa. Di daerah lain penguasa setempat tidak setuju dipertunjukkan adegan-adegan yang menyangkut kegiatan-kegiatan DI (Darul Islam), karena dianggap justru akan dapat membangkitkan semangat jahat umat Islam lainnya.
“PKI yang masih harus mengatasi malu besar karena peristiwa Madiun (1948) turut pula menyatakan protes, karena orang-orang komunis di mana digambarkan sebagai orang-orang fanatik yang membalas dendam (yang memang terbukti sekarang – G30S/1965).
“Demikian hebatnya reaksi terhadap film itu, hingga film Perfini yang kedua “Enam Djam di Djokja” menjadi film yang manis-legit (zoet-sappig). Dijaga sekali jangan sampai ada yang merasa tersinggung, orang-orang jahat hanyalah orang-orang Belanda saja, orang-orang Indonesia semuanya baik-baik, dan kalau dia suatu waktu jadi pengkhianat, maka tabu untuk menyebutkan asal golongannya”.
Hal yang nyaris serupa dialami Sjuman Djaya (1933-1985) dalam pembuatan Atheis (1974). Sebagai novel, karya Achdiat K. Miharja itu telah bikin “heboh” pada 1950-an. Nah, kehebohan tak kalah seru dikala (akan) difilmkan. Direktur Film/Deppen H.T. Johardin (1930-1992) tidak segera memberi rekomendasi (surat/persetujuan), karena “Cerita serta dialog-dialog yang terdapat di dalamnya bisa menimbulkan image yang negatif terhadap penontonnya.
”
Dalam tulisan Ardan Sensor Tak Pernah Populer dikemukakan, bahwa rekomendasi Deppen baru keluar setelah produser-penulis skenario-sutradara Sjuman menyampaikan pernyataan akan menghilangkan hal-hal yang kontroversi dalam skenarionya.
Nyatanya Atheis lolos secara mulus. Malah ketua Karyawan Film & Televisi (KFT) ketika itu Soemardjono mengirim surat tertanggal 29 Nopember 1974, memuji Ketua BSF Soemarmo yang melepas Atheis tanpa potongan seinci pun.
Tapi sensor judul masih terjadi pada 1970-an. Biar berdasar novel populer sejak masa penjajahan, karya HAMKA Dibawah Lindungan Ka’bah, tapi film garapan Asrul Sani (1927-2004) itu (terpaksa) mengganti judul menjadi Para Perintis Kemerdekaan (1977). Ketika itu yang berkuasa adalah partai Golkar yang berlambang pohon beringin, sedangkan Ka’bah adalah lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Yang dialami Koruptor-koruptor bukan sekedar ganti judul menjadi Petualang-petualang (1978), tapi karya Arifin C. Noer (1941-1995) itu harus nginep di BSF selama hampir enam tahun.
Dan akhirnya lolos setelah dipotong sepanjang 319 meter disana-sini.
Nasib Yang Muda Yang Bercinta (1978) lebih menyedihkan. Garapan Sjuman Djaya itu lolos sensor pada 15 April 1978 dengan potongan 18 menit. Tapi kemudian dilarang beredar di wilayah hukum Kodam Jaya (mulai bulan Mei 1978), karena dinilai ada unsur propaganda, agitasi dan menghasut masyarakat. Yang tidak dikemukakan barangkali adalah pemain utama (W.S. Rendra) sedang ber”masalah”. Rendra ditangkap pada 1 Mei 1978, tiga hari setelah membacakan puisi-puisinya, dan ditahan oleh Laksusda Jaya.4)
Film itu baru diputar di Jakarta pada September 1993. Dalam film itu Nani Widjaja mendapat Citra sebagai aktris pembantu pada Festival Film Indonesia (FFI) 1978 di Ujungpandang/Makasar.
1) Sensor Film di Zaman Penjajahan (oleh Rosihan Anwar, sk. Suara Karya, 24 Agustus 1992).
2) Sensor Tak Pernah Populer (oleh S.M. Ardan, majalah Film, 17 Nopember 1987).
3) Pembatasan-pembatasan Pembuatan Film di Indonesia (oleh Usmar Ismail, Gelanggang No. 1 Th I, 1966)
4) Ditahannya Rendra (majalah Tempo, 13 Mei 1978).