AKULAH VIVIAN | 1977 | M. ENDRAATMADJA | Actor | |
LIMA SAHABAT | 1981 | C.M. NAS | Director | |
MERINDUKAN KASIH SAYANG | 1984 | C.M. NAS | Director | |
SISA-SISA LASKAR PAJANG | 1974 | C.M. NAS | Director |
PEMBUAT FILM INDONESIA 1900-1992, Blog ini tentang pembuat film Indonesia, mulai dari Isu, peristiwa, sosok, dibalik layar, berita, bioskop, analisa, kritikus, undang-undang film, film negara, bintang film, sutradara, Cinematographer, produser, sosok yang berpengaruh, sang legend, aktor, aktris, perkembangan film Nasional, jadul, lawas, nostalgia, jaman, kejayaan, keemasan, mereka yang membuat film, penonton, situasi sosial saat itu, perjuangan, kemerdekaan, era Belanda, Jepang, fungsi film dll.
Rabu, 02 Februari 2011
C.M. NAS 1974-1981
YA ALLAH AMPUNI DOSAKU / 1978
Seorang pemuda (K. Sudra Syafe'i) semula bertingkah berandalan. Ganti-ganti pasangan hidup dan hidupnya berfoya-foya. Akibatnya, ekonomi keluarganya morat-marit, usahanya bangkrut, ditinggal pacar, bahkan ibunya meninggal. Ia lalu jadi sadar dan berniat memperbaiki hidupnya. Atas bimbingan ulama, ia lalu belajar agama dan menunaikan ibadah haji. Ia mohon pengampunan atas tingkah lakunya dan memasuki hidup baru.
SISA-SISA LASKAR PAJANG / 1974
Sebuah film kolosal kalau dilihat dari pegunungan 1.000 figuran dan 200 kuda. Kisahnya terjadi setelah perang besar Pajang melawan Mataram. Penggiring (Bambang Hermanto), salah satu komandan laskar Pajang, malu pulang karena kalah. Ia lalu mengembara di hutan dan menaklukkan para brandal. Maka tersiar kabar bahwa Penggiring jadi raja brandal dan melakukan pemerasan terhadap rakyat. Rindu pada ibunya, membuat Penggiring pulang ke desanya, Candi sari. Hal ini membuat ia harus berhadapan dengan adik tirinya, Bramanti (Bambang Tedjo), yang termakan kabar angin tadi. Penggiring yang sebetulnya menang, tidak melanjutkan duel.
P.T. MEGANANDA FILM |
BAMBANG HERMANTO MARLIA HARDI MIEN BRODJO SOFIA WD KUSNO SUDJARWADI SUTOPO HS BAMBANG TEDJO MARK SUNGKAR DARUSSALAM S. PONIMAN AWANG DARMAWAN LAHARDO |
Sultan Pajang Suradi Joyonagoro, mengakui ribuan keturunan Sultan Pajang yang dikenal dengan sebutan sisa-sisa laskar Pajang sebenarnya masih eksis dalam melestarikan budaya kerajaan Islam seperti Kasultanan Demak yang merupakan cikal bakal Kesultanan Pajang.
Di situs bekas Kraton Pajang yang luasnya sekitar 4.000 meter persegi tidak hanya terdapat sejumlah bangunan seperti pendapa bekas kraton Pajang, museum serta gedhong pusaka, kayu sempalan gethek (perahu) yang pernah dinaiki Joko Tingkir dan tonggak kayu Donoloyo bekas peninggalan semasa Sultan Hadiwidjaya bertahta.
"Sejumlah bangunan bekas kraton Pajang itu merupakan warisan budaya benda (tangible cultural heritage). Selain itu terdapat warisan adat istiadat termasuk tarian pusaka dan prosesi adat jumenengan (intangible cultural heritage) yang mendapat perlindungan sebagai cagar budaya," papar Sultan Pajang Suradi Joyonagoro yang mengaku sebagai pewaris tahta Kraton Pajang dari generasi ke lima dari Sultan Pajang terakhir yang jumeneng yakni Pangeran Benawa.
Dipaparkan oleh Suradi , prosesi jumenengan Sultan Pajang ke sembilan itu dimaksudkan untuk nguri-nguri budaya leluhur serta mengumpulkan balung pinisah warga atau kerabat kesultanan Pajang yang berdomisili baik di Indonesia maupun luar negeri.
"Warga Kesultanan Pajang yang tergabung dalam Yayasan Kesultanan Pajang cabang Malaysia bakal hadir, demikian pula raja-raja yang tergabung dalam Asosiasi Raja-Raja Nusantara telah menyatakan kesediaannya untuk ikut bersilaturahmi pada prosesi jumenengan Sultan Pajang,"paparnya.S. H. Mintardja
Setamat SMA, SH Mintardja yang lahir di Yogya 26 Januari 1933, bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan (1958), terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY (pensiun 1989). Beberapa cerita roman silat yang digali dari sejarah di kerajaan Jawa telah ditulis SH Mintardja — yang oleh kerabatnya akrab dipanggil dengan nama Pak Singgih — sejak tahun 1964. Berbekal pengetahuan sejarah, ditambah mendalami kitab Babat Tanah Jawi yang beraksara Jawa, lahirlah cerita Nagasasra Sabuk Inten. Kisah berlatar belakang kerajaan Demak itu melahirkan tokoh Mahesa Jenar. Karena cerita Nagasasra sebanyak 28 jilid begitu meledak di pasaran dan amat digandrungi pembaca, banyak orang yang terkecoh dengan cerita roman sejarah itu. Banyak yang mengira Mahesa Jenar benar-benar ada dalam sejarah Demak.
Akibatnya, tim sepakbola asal Semarang pun dinamakan Tim Mahesa Jenar. Mungkin dengan nama itu Wong Semarang berkeinginan kiprah tim sepakbola sehebat Mahesa Jenar dengan pukulan “Sasra Birawa”-nya yang menggeledek. “Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak,” ujar Mintardja dalam pengakuannya di buku Apa dan Siapa Orang Yogyakarta, edisi 1995.
Buku Nagasasra belum surut dari pasaran, SH Mintardja membuat kisah Pelangi di Langit Singasari (dimuat di Harian Berita Nasional tahun 1970-an) kemudian dilanjutkan dengan serial Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.
Agaknya suami Suhartini yang tinggal di Kampung Daengan, Gedongkiwo, Yogya ini tidak pernah mengenal lelah. Pada tahun 1967 menggelindingkan Api di Bukit Menoreh mengambil kisah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Di sana ada tokoh Agung Sedayu, Swandaru, Kyai Gringsing, Sutawijaya, dan paling terakhir adalah Glagah Putih dan Rara Wulan — saudara sepupu sekaligus murid Agung Sedayu.
Ada sementara penggemar cerita SH Mintardja yang bilang, bila dijajarkan, maka cerita Api di Bukit Menoreh panjangnya melebihi jarak Anyer – Panarukan. Asal tahu saja, kisah itu memang lebih dari 300 jilid (buku) dan hingga akhir hayatnya kisah itu belum selesai. Dan masih ada puluhan serial cerita kecil lainnya yang dibuatnya.
Di sisi lain, Mintardja pun berusaha menulis kisah petualangan pendekar pembela kebenaran yang lebih pop. Kisah itu tidak terlalu keraton sentris, namun berusaha digali dari kisah kehidupan sehari-hari dengan setting masa lalu, ya apalagi kalau tidak jauh dari kerajaan-kerajaandi Tanah Jawa. Kisah seperti Bunga di Atas Batu Karang yang mengisahkan masuknya pengaruh Kumpeni Belanda ke Bumi Mataram; kemudian serial Mas Demang yang “hanya” mengisahkan anak seorang demang. Dan terakhir adalah tokoh Witaraga dalam kisah Mendung di Atas Cakrawala, mantan prajurit Jipang yang kalah perang yang berusaha menemukan jatidirinya kembali dengan mengabdi pada kebenaran dan welas asih.
Ada yang khas dari seluruh kisah yang ditampilkan SH Mintardja. Ia berusaha menyelipkan pesan-pesan moral di dalamnya. Bahkan di dalamnya juga diperkenalkan beberapa kebudayaan Jawa yang mungkin saat ini mulai punah. Sebagai contoh adalah ungkapan rasa syukur menjelang panen padi di desa-desa. Upacara “wiwit” yang berarti “mulai” (panen), berupa pesta kecil di tengah sawah, beberapa kali dengan jelas ditampilkan dalam beberapa ceritanya. Adat kebiasaan “mitoni” atau “sepasaran” dalam menyambut kelahiran bayi di masyarakat Jawa pun dengan pas digambarkannya.
Banjir darah tidak selalu dijadikan penyelesaian akhir untuk menentukan bahwa yang benarlah yang menang. Ada penyelesaian akhir yang lebih pas. Bertobat, tanpa harus ada yang terbunuh. Bahkan ayah 8 anak, empat putra dan empat putri serta kakek 12 cucu ini, sejalan dengan usia dan perkembangan zaman, kematangan menulisnya pun semakin tercermin di dalam kisahnya. Jika pada kisah Nagasasara Sabuk Inten dan Pelangi di Langit Singsari masih menggunakan bahasa “tuan” untuk menyebut anda ataupun engkau, maka pada Api di Bukit Menoreh dan kisah lainnya, kata “tuan” itu sudah raib dari kamus kosa katanya.
Entah terpengaruh oleh film atau karena melihat anaknya berlatih silat, untuk menggambarkan serunya sebuah pertarungan tidak lagi digambarkan dengan angin yang menderu-deru dan desingan senjata; namun lebih masuk akal. Gambaran teknik bela diri murni digunakan di karya-karyanya yang terakhir. Bila akhir dari sebuah pertempuran memang harus dengan tenaga dalam, ya itu tadi, pembaca lagi-lagi dibawa berkhayal melihat benturan ilmu maha dahyat yang bobotnya melebihi granat. Ya, namanya saja cerita.
Ternyata, selain mengarang cerita silat atas kehendaknya sendiri, SH Mintardja juga tidak menolak cerita pesanan, misalnya, untuk pementasan ketoprak. Beberapa cerita sempalan seperti Kasaput ing Pedhut, Ampak-ampak Kaligawe, Gebranang ing Gegayuhan merupakan cerita serial ketoprak sayembara yang disiarkan TVRI Yogyakarta.
SH Mintardja telah menulis lebih dari 400 buku. Cerita berseri terpanjangnya adalah Api di Bukit Menorehyang terdiri dari 396 buku. Berikut ini daftar beberapa karya sang pengarang itu:
Api di Bukit Menoreh (396 episode)
Tanah Warisan (8 episode)
Matahari Esok Pagi (15 episode)
Meraba Matahari (9 episode)
Suramnya Bayang-bayang (34 episode)
Sayap-sayap Terkembang (67 episode)
Istana yang Suram (14 episode)
Nagasasra Sabukinten (16 episode)
Bunga di Batu Karang (14 episode)
Yang Terasing (13 episode)
Mata Air di Bayangan Bukit (23 episode)
Kembang Kecubung (6 episode)
Jejak di Balik Bukit (40 episode)
Tembang Tantangan (24 episode)
LIMA SAHABAT / 1981
Saba mempunyai empat sahabat kental, Lodan (Andika Iskandar), Danu (Salman P. Gazali), Jupri (Sugeng Siswahyono), dan Ripin (Eko Dewanto). Mereka sepakat untuk membuat katapel. Setelah semua siap dengan katapelnya, tinggal Saba yang masih belum, karena kekurangan kulitnya. Maka pada saat sembahyang Jumat Saba mengambil sebelah sepatu entah milik siapa untuk dimanfaatkan kulitnya untuk katapel. Sepatu itu ternyata milik Pak Haji Dahlan (Benyamin S.). Pak Dahlan marah-marah kehilangan sebelah sepatunya, dan membuang begitu saja sebelah sepatunya yang lain.
Dalam adu pintar katapel, lagi-lagi ayam Pak Dahlan menjadi sasaran. Sepatu yang dibuang Pak Dahlan pun ditemukan mereka, lalu diberikan kepada Pak Wira (Sukarno M. Noor) yang cacat kaki, karena tertembak pada zaman perjuangan melawan Belanda. Dengan sangat terharu Pak Wira menerima sepatu dari Saba dan sahabat-sahabatnya. Sepatu itu pun dipakainya ketika upacara peringatan HUT RI.
SEPTIAN DWICAHYO SUKARNO M. NOOR BENYAMIN S IMRAN PANGERAN MARLIA HARDI MARULI SITOMPUL W.D. MOCHTAR DODDY SUKMA ANDIKA ISKANDAR SALMAN P. GAZALI SUGENG SISWAHYONO EKO DEWANTO |
MERINDUKAN KASIH SAYANG / 1984
Di luar negeri, Indra kehilangan kontak dengan keluarganya. Gunawan (Abizar) yang masih bocah, diusir dari rumah kontrak almarhumah ibunya yang sudah habis. Dari sinilah Gunawan kemudian memberanikan diri naik kereta api untuk mencoba hidup di Jakarta. Berbagai pekerjaan ia lakukan dengan baik dan jujur, maka ia menemukan tempat tinggal bersama Pak Salim (Sukarno M. Noor). Secara tak sengaja Gunawan yang tulus ini kemudian diterima untuk tinggal bersama keluarga Indra dan Lucy (Marissa Haque) yang telah memiliki seorang anak perempuan kecil, bernama Fransisca.
Ketika terjadi perselisihan dengan Fransisca, Gunawan memilih kembali ke Pak Salim. Ketika Indra dan Lucy mencari di rumah Pak Salim, ternyata Gunawan telah minggat dan bertekad untuk kembali ke Yogya. Surat-surat dan foto yang ditemukan di kamar Gunawan, menyadarkan Indra bahwa Gunawan adalah anak kandungnya. Ketika mereka menyusul ke stasiun, Gunawan telah berangkat dengan hati yang pilu.
P.T. PENDAWA PERKASA FILM
ABIZAR COK SIMBARA MARISSA HAQUE YATTI SURACHMAN DESSY LINASARI SUKARNO M. NOOR H.I.M. DAMSJIK KUSNO SUDJARWADI AMINAH CENDRAKASIH SANDY TAROREH HERA HELMY |