'Siloeman Oeler' sampai 'Tengkorak Hidoep'
Pada mulanya adalah The Teng Chun. Putra tertua usahawan The Kim Ie ini lahir dua tahun setelah bioskop pertama berdiri di Batavia, tepatnya 18 Juni 1902. Dari pelbagai catatan kemudian diketahui: kala beranjak remaja, The Teng Chun dikirim ke New York untuk belajar ilmu dagang, tapi minatnya justru tumpah ke dunia film. Teng Chun muda terpesona oleh film setelah mengikuti satu mata pelajaran tentang cara menulis skenario bersama Fred Young. Young lalu menjadi sohibnya yang paling akrab, dan keduanya berkongsi menelurkan belasan film.
Pendidikan Teng Chun putus di tengah jalan saat resesi dunia 1920-an, tapi ia tak berhenti belajar. Ia terus berlayar ke Eropa. Namun, itulah perjalanan yang berakhir di Shanghai, Cina, yang waktu itu merupakan pusat film Mandarin. Di kota ini ia membuat Wheel of Destiny, sebuah film bisu yang berkisah tentang sepak-terjang para bajak laut. Itulah film perdananya yang dimainkan oleh orang-orang peranakan asal Surabaya yang dijumpainya di Shanghai.
Tiba di Tanah Air, ia membujuk ayahnya agar mengalihkan usaha dari eksportir hasil bumi menjadi importir film-film Mandarin. Banting setir usaha ini ternyata berhasil menyelamatkan ayahnya dari pailit. Pasar film Mandarin di Batavia ketika itu memang tinggi, dan Teng Chun punya peran besar. Kepada pengamat film Salim Said, yang mewawancarainya pada Juli 1976, ia bahkan ikut menentukan cerita saat proses produksi film-film yang akan dikirim ke Batavia.
Pada 1930-an film bersuara mulai diproduksi, dan itu membuat film Mandarin bisu yang diimpor tersingkir. Tapi Teng Chun tahu, tidak semua keturunan Tionghoa paham bahasa leluhur mereka. Dan ia cepat mengisi "kekosongan" ini. Ia membuat film sendiri. Debut pertamanya Boenga Roos dari Tjikembang (1931). Teng Chun memborong nyaris semua pekerjaan: produser, sutradara, penata fotografi, sekaligus penulis skenario.
Berbekal sepucuk kamera manual sederhana yang dibeli di Shanghai, Teng Chun rajin membuat film-film bersuara dengan cerita legenda Tionghoa. Dengan bendera Cino Motion Pictures, ia menelurkan Sam Pek Eng Tay (1931), sebuah cerita cinta tragis dari daratan Tiongkok. Belajar dari keberhasilan ini, ia pun menggarap film aksi Delapan Djago (Pat Kiam Hap) pada 1933. Setahun berselang, Teng Chun terjun ke produksi film horor dengan Ouw Peh Tjoa (Doea Siloeman Oeler Poeti en Item), film tentang siluman ular. Syahdan, dari sebuah gua pertapaan, siluman ular putih menyamar sebagai perempuan cantik—genre mulainya karakter tokoh hantu cantik nan molek. Ia tertarik pada seorang lelaki, dan mereka menikah.
Kegandrungan Teng Chun pada film horor tak terbendung setelah Java Industrial Film (JIF) berdiri pada 1935.
Berturut-turut JIF menghasilkan film horor Ang Hai Djie dan Pan Sie Tong. Pada tahun yang sama, Teng Chun memproduksi Tie Pat Kai Kawin atau Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet. Di sini Pat Kai, siluman babi, turun gunung. Di kota, ia berhasil memperistri gadis Tjoei Lan, anak hartawan Kho Tay Kong. Karena anak mereka lahir sebagai babi, mertuanya mengusir sang menantu. Pat Kai lari bersama Tjoei Lan. Sang bapak minta bantuan guru dan murid yang berilmu tinggi. Terjadilah duel seru antara sang murid yang menjelma siluman ular melawan siluman babi. Setahun kemudian, JIF memproduksi Anaknja Siloeman Oeler Poeti, yang merupakan sekuel Ouw Peh Tjoa. Film ini berisi pengembaraan anak siluman ular putih mencari ibunya. Selain itu, JIF memproduksi Lima Siloeman Tikoes. Film ini berkisah tentang seorang istri yang bingung karena tiba-tiba suaminya punya dua wujud yang tak bisa dibedakan. Teng Chun yang sukses kini didukung studio megah yang berisi peralatan produksi lengkap. Resep jitulah yang melejitkan JIF. Harian Sin Po edisi 10 Agustus 1940 menulis The Teng Chun sukses memproduksi film secara modern. Menjelang pendudukan Jepang, JIF mengalami kejayaan dengan produksi 14 judul—atau separuh dari total produksi film nasional. Pada 1941, JIF meluncurkan Tengkorak Hidoep yang sukses. Saat itu Teng Chun merekrut tenaga-tenaga terbaik dunia teater seperti Andjar Asmara, Ratna Asmara, Astaman, Inoe Perbatasari, Rd. Ismail, Tan Tjeng Bok, dan Suska. Perang kemerdekaan memang menghentikan produksi JIF. Tapi, ketika peralihan kedaulatan tahun 1949, Teng Chun mendirikan perusahaan film Bintang Surabaja bersama sohibnya, Fred Young. Awal 1950-an, mereka amat produktif. Merekalah yang pertama melahirkan film ala "1001 Malam" yang lantas mewabah sebagai genre baru. Tapi, di akhir 1950-an kemilau Bintang Surabaja menyurut seiring suramnya produksi film nasional saat hiruk-pikuk kisruh politik di Tanah Air. Bintang Surabaja akhirnya menghentikan produksi sejak 1962. Toh, perintis pembuatan film horor tersebut bersikap bersahaja tanpa post-power syndrome. Ketika kemampuan tiada lagi pada dirinya, tanpa sungkan ia beralih profesi: mengajar privat bahasa Inggris. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, sempat memberikan tanda penghargaan kepadanya pada 1976. The Teng Chun menutup usia pada 25 Februari 1977 dengan jejak emas dalam perfilman Indonesia.
Berturut-turut JIF menghasilkan film horor Ang Hai Djie dan Pan Sie Tong. Pada tahun yang sama, Teng Chun memproduksi Tie Pat Kai Kawin atau Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet. Di sini Pat Kai, siluman babi, turun gunung. Di kota, ia berhasil memperistri gadis Tjoei Lan, anak hartawan Kho Tay Kong. Karena anak mereka lahir sebagai babi, mertuanya mengusir sang menantu. Pat Kai lari bersama Tjoei Lan. Sang bapak minta bantuan guru dan murid yang berilmu tinggi. Terjadilah duel seru antara sang murid yang menjelma siluman ular melawan siluman babi. Setahun kemudian, JIF memproduksi Anaknja Siloeman Oeler Poeti, yang merupakan sekuel Ouw Peh Tjoa. Film ini berisi pengembaraan anak siluman ular putih mencari ibunya. Selain itu, JIF memproduksi Lima Siloeman Tikoes. Film ini berkisah tentang seorang istri yang bingung karena tiba-tiba suaminya punya dua wujud yang tak bisa dibedakan. Teng Chun yang sukses kini didukung studio megah yang berisi peralatan produksi lengkap. Resep jitulah yang melejitkan JIF. Harian Sin Po edisi 10 Agustus 1940 menulis The Teng Chun sukses memproduksi film secara modern. Menjelang pendudukan Jepang, JIF mengalami kejayaan dengan produksi 14 judul—atau separuh dari total produksi film nasional. Pada 1941, JIF meluncurkan Tengkorak Hidoep yang sukses. Saat itu Teng Chun merekrut tenaga-tenaga terbaik dunia teater seperti Andjar Asmara, Ratna Asmara, Astaman, Inoe Perbatasari, Rd. Ismail, Tan Tjeng Bok, dan Suska. Perang kemerdekaan memang menghentikan produksi JIF. Tapi, ketika peralihan kedaulatan tahun 1949, Teng Chun mendirikan perusahaan film Bintang Surabaja bersama sohibnya, Fred Young. Awal 1950-an, mereka amat produktif. Merekalah yang pertama melahirkan film ala "1001 Malam" yang lantas mewabah sebagai genre baru. Tapi, di akhir 1950-an kemilau Bintang Surabaja menyurut seiring suramnya produksi film nasional saat hiruk-pikuk kisruh politik di Tanah Air. Bintang Surabaja akhirnya menghentikan produksi sejak 1962. Toh, perintis pembuatan film horor tersebut bersikap bersahaja tanpa post-power syndrome. Ketika kemampuan tiada lagi pada dirinya, tanpa sungkan ia beralih profesi: mengajar privat bahasa Inggris. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, sempat memberikan tanda penghargaan kepadanya pada 1976. The Teng Chun menutup usia pada 25 Februari 1977 dengan jejak emas dalam perfilman Indonesia.