Tampilkan postingan dengan label GARUT BIOSCOOP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label GARUT BIOSCOOP. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Juli 2020

GARUT BIOSCOOP

GARUT

BIOSKOP ODEAN/CIKURAY

Dibangun Belanda tahun 1920, Sebagai tempat hiburan baru, respon masyarakat terhadap tontonan bioskop Odeon yang berada di jalan Jenderal A Yani ini langsung melesat. Tak mengherankan antrian warga untuk menonton saat itu, menjadi pemandangan biasa.

Awalnya pemutaran film dengan mesin proyektor tersebut, hanya dilangsungkan sehari sekali mulai pukul 19.00 WIB.

Namun, lambat laun seiring meningkatnya minat masyarakat yang datang, jadwal pemutaran film pun bertambah hingga tiga kali pemutaran dalam sehari.

"Diawali sekitar pukul 15.00 WIB, kemudian 19.00 WIB, terakhir pukul 22.00 WIB," papar Franz.

Kondisi itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya saat Ratu Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau naik tahta tahun 1948, nama gedung bioskop berganti menjadi bioskop Juliana.

"Istilahnya sebagai bentuk penghormatan bagi ratu," kata dia. Namun kondisi itu hanya berlangsung sesaat, setelah satu tahun kemudian, Belanda menyerahkan sepenuhnya kedaulatan Indonesia kepada Pemerintah Indonesia saat itu.

"Nah mulai tahun 1950-an, namanya berganti lagi dengan Odeon," kata dia.

Penamaan Odeon yang berarti Dewa, memang sempat dikritik penonton, hingga akhirnya pada medio 1960-an, bioskop itu berganti nama menjadi Cikuray, mengambil nama salah satu Gunung paling tinggi di Garut.

"Nama itu terus bertahan hingga kini, sebelum akhirnya belum lama ini, kembali ganti nama menjadi Odeon, tapi Bioskopnya sudah tidak ada," kata dia.

Franz mengatakan, tingginya animo penonton yang datang, tercatat dalam kurun 1950-1960, dua bioskop baru kembali muncul di Garut.

Di awali bioskop Garden, di Gedung Garut Teater yang tayang perdana tahun 1950, serta bioskop Sumbersari yang tayang 1961, yang dipelopori kalangan masyarakat Cina di Garut.

Berbeda dengan Bioskop Cikuray, nonton di bioskop Garden lebih tepat dikatakan nobar alias nonton bareng secara lesehan, sebab penonton yang datang hanya menyaksikan film, tanpa menggunakan kursi.

"Ada istilah misbar, atau gerimis bubar, sebab memang diperuntukan buat hiburan rakyat, tetapi tetap bayar," kata dia mengenang.

Namun meskipun demikian, kondisi itu tidak mengurangi minat penonton datang, hingga akhirnya mulai 1970-an, nama bioskop berganti menjadi Garut Teater.

Saat itu, harga tiket yang dijual berkisar di angka Rp 25 per lembar. Beberapa film yang kerap diputar antara lain film India dan Cina, dengan mayoritas penonton berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah.

Bioskop kedua yakni, Sumbersari yang dibangun pada 1961, oleh Chung Hua Chung Huwey, seorang pengusaha Cina. Awalnya pengusaha tionghoa itu, berinisiatif membangun lembaga pendidikan, namun akhirnya berubah fungsi.

"Jadi siangnya buat sekolah, nah malam harinya aula itu disulap menjadi bioskop," kata dia.
Dibanding Garut Teater, keberadaan bioskop Sumbersari, relatif lebih bagus dan nyaman, hampir setara dengan bioskop Cikuray yang sejak lama menjadi primadona masyarakat Garut, dengan sajikan film India, Cina, hingga Indonesia dengan tema perjuangan dan percintaan.

"Saat itu nonton di bioskop sebuah kebanggan dan menjadi penilaian status sosial," ujarnya.

Namun sayang pemberontakan G/30/September yang dilakukan Partai Komunis Indonesia, mengubah seluruh nasib bioskop ini.

Pemilik bioskop yang diduga antek PKI ikut ditangkap, serta seluruh asetnya termasuk bioskop disita negara. “Sampai saat ini seluruh asset bioskop dikuasai Korem Tarumanaga,” kata dia.

Namun meskipun demikian, jam tayang bioskop tetap berlangsung seperti biasa, sehingga penonton pun tetap tinggi untuk menyaksikan film di bioskop, hingga akhir 1990-an.

"Mulai 1998, keluarga pemilik bioskop Sumbersari dengan pihak keluarga Punjabi akhirnya mendirikan Intan Sineplek," kata dia.

Franz menyatakan, tingginya masyarakat datang ke bioskop, menyebabkan bisnis di sektor ini bertahan cukup lama. Tak ayal, hingga medio 1990-an, keberadaan ketiga bioskop itu selalu ramai dikunjungi penonton berbagai kalangan strata sosial.

"Kalau kelas menengah ke bawah nontonnya pasti ke Garut Teater dan Sumbersari, kalau yang kaya pasti ke bioskop Cikuray," papar dia.

Munculnya era internet pada 2000-an silam, mampu mengubah segalanya. Keberadaan bioskop lama di Garut yang masih menggunakan peralatan jadul alias kuno, langsung terimbas penurunan penonton.

"Mayoritas masih pakai proyektor lama, kalau mesinnya panas, bioskop istirahat dulu 10 menit," kata dia mengenang.

Selain itu, lemahnya manajerial pengelola, berbanding lurus dengan kebiasaan buruk budaya penonton, saat mereka datang ke bioskop, menyebabkan hiburan ini mulai dijauhi pengunjung.

"Kadang saat istirahat itu ada yang kencing, sehingga bioskop bau pesing, banyak botol miras dan lainnya," ujar dia.

Akibatnya bisa ditebak, penonton mulai berkurang untuk datang, sehingga berdampak pada kelangsungan bioskop di Garut.

"Sumbersari itu sampai berganti nama dan pindah menjadi Intan Sineplex tetapi tetap tidak bertahan lama," kata dia.

Selain itu, munculnya era film digital yang mulai merambah industri perfilman nasional, ikut memukul bioskop lawas tersebut.

Penonton terutama kalangan berduit, lambat laun memilih bioskop yang lebih modern di kota besar, dengan kondisi lebih baik dan bersih.

"Apalagi adanya XXI atau Cinema 21, penonton Garut lebih memilih ke Bandung dari pada bioskop," kata dia.


BIOSKOP CHUNGHUA


Setelah Indonesia merdeka jumlah bioskop di Garut bertambah dengan adanya Bioskop Chunghua Chunghui. Mengacu pada Batu Pertama-nya, gedung Bioskop Chunghua diresmikan oleh Bupati Garut, R.S. Kartasomantri pada 15 Juli 1954. Bioskop tersebut dikelola oleh orang-orang Tionghoa Garut yang tergabung dalam Yayasan Tiong Hwa Hwe Koan (THHK). Informasi dari Buku Kenang-Kenangan Alumni THHK yang dinukil oleh Asep Achmad Hidayat dalam disertasinya, Kerusuhan Anti Cina di Kota Garut tahun 1963 (2014), Bioskop Chunghua mulai menggelar tayang pada 8 Oktober 1954 di bawah pimpinan direktur Mak Yauw Seng. Film pertama yang diputar berjudul “Antara Tugas dan Cinta”. Pembangunan Bioskop Chunghua (sekarang di samping SMP 4 Garut) dimaksudkan untuk membantu biaya penyelenggaraan pendidikan sekolah THHK. Alokasi biaya diprioritaskan bagi kesejahteraan para pengajar. Sekolah itu berada di Jalan Jenderal Achmad Yani (kini SMP 4 Garut) dan di Jalan Gunung Payung (kini SMP 5 Garut). Selain sebagai bioskop, Chunghua juga menjadi gedung serba guna bagi kegiatan-kegiatan sekolah THHK. Memasuki tahun 1965, Indonesia mengalami gejolak politik. Dampaknya menjalar hingga ke berbagai daerah, termasuk Garut. Orang-orang Tionghoa dari THHK di Garut tak luput menjadi sasaran amuk massa karena dituduh sebagai komunis dan turut terlibat Gerakan 30 September (G30S). Maka bermulalah nelangsa bagi Chunghua. Data wawancara yang berhasil dihimpun oleh Asep Achmad Hidayat, mengungkapkan bahwa pada 14 Maret 1966 Bioskop Chunghua ditutup paksa dan dikuasai oleh aksi massa. Massa yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa yang tergabung ke dalam KAPPI/KAMMI menutup bioskop dengan mengatasnamakan pemerintah. Amir Hamzah, mantan pengurus Bioskop Sumbersari mengungkapkan soal urutan pengambilalihan bioskop. Menurut Amir, setelah ditutup oleh KAPPI/KAMMI, aset bioskop kemudian diserahkan hak kepemilikannya mula-mula kepada KODIM 0611, lalu ke tangan KOREM 062/Tarumanegara Garut. Peralihan kepemilikan Bioskop Chunghua ke tangan militer tentu berkaitan dengan tersingkirnya kelompok kiri dan naiknya Angkatan Darat ke panggung politik Indonesia. Sehingga secara sistematis dan hirarkis, militer di bawah Soeharto memobilisasi seluruh kekuatan untuk mengambil tindakan dalam rangka stabilitas nasional. Menurut Budi Irawanto dalam Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (1999), pengaruh Soeharto dalam politik Indonesia sejak 1966 memulai hegemoni militer dalam dunia perfilman di Indonesia. Termasuk pengaturan soal sensor film dan bioskop di seluruh Indonesia. Tak lama berselang setelah peristiwa 1965-1966, bioskop kembali menggelar tayang di bawah kelola militer. Nama bioskop pun diubah menjadi Bioskop Sumbersari. Perubahan tersebut disebabkan pemerintah saat itu tidak lagi mengizinkan nama Tionghoa bagi suatu lembaga.

BIOSKOP SUMBERSARI

Pada tahun 1979. Amir Hamzah, mantan pengurus Bioskop Sumbersari, mengungkapkan bahwa sejak itu bioskop disewa oleh Nissar Ahmad, seorang pengusaha keturunan Pakistan asal Tasikmalaya. Orang-orang biasa memanggilnya sebagai Tuan Nissar. Wawancara eksklusif media lokal Tasikmalaya, Soekapoera Institute, dengan keluarga Tuan Nissar (2018) mengungkapkan bahwa Tuan Nissar memulai bisnisnya sejak 1966 dengan menyewa Bioskop Merdeka di Tasikmalaya yang kemudian menjadi Bioskop Hegarmanah. Hingga akhirnya di tahun 1980-an Tuan Nissar berhasil menguasai bisnis bioskop di Tasikmalaya dan juga di hampir seluruh Jawa Barat termasuk Garut. Amir melanjutkan bahwa Bioskop Sumbersari memiliki satu studio yang sangat luas. Terletak di lantai dua, studio memiliki daya tampung hingga 1.500 kursi. Baris kursi menandakan kelas-kelas penonton. Kelas satu di barisan belakang, dua di tengah dan tiga di depan. Sedangkan karakteristik interiornya dijelaskan oleh Franz Limiart, budayawan Garut yang sering menonton di Bioskop Sumbersari. Mulai dari kursinya yang terbuat dari kayu, dindingnya dilapisi hardboard, lantainya ubin, permukaannya menurun ke arah layar dan bagian atap studio dibuat melengkung agar suara tidak pecah. Proyektornya begitu besar, hampir dua meter panjangnya. Sasaran tembak cahayanya menggunakan layar khusus berbahan kain dan ditutup tirai. Sebelum film dimulai, pertama-tama tirai dibuka secara otomatis.


Bagian yang paling unik dari Bioskop Sumbersari adalah keberadaan pintu putar yang terbuat dari besi. Terletak di dekat pintu depan, penonton akan langsung mendapatkannya seketika memasuki gedung bioskop. Tak jarang ada anak-anak yang ingin ke bioskop hanya karena senang bermain-main dengan pintu putar itu. Film yang sering diputar selain produksi dalam negeri adalah film-film Bollywood dan Hongkong. Oleh karena itu, bioskop ini diperuntukan bagi penonton kalangan menengah. 

Masa puncak Bioskop Sumbersari berlangsung pada dekade 80’an. Namun, menurut pengalaman Amir, masa puncak tersebut sempat terganggu oleh beberapa peristiwa. Terkadang ada aksi penipuan oleh oknum calo yang memeras calon penonton dengan berpura-pura akan membantu membelikannya karcis. Selain itu, meletusnya Gunung Galunggung antara tahun 1982-1983 berdampak pada menurunnya jumlah penonton. Pernah suatu ketika gempa dari letusan tersebut membuat para penonton berlarian keluar studio. Letusan Gunung Galunggung menambah pekerjaan Amir dan pegawai bioskop lainnya untuk secara berkala membersihkan atap dan halaman bioskop yang memutih karena debu vulkanik.

BIOSKOP INTAN



Intan Sineplek atau yang lebih akrab disapa bioskop Intan. Bioskop ini terkenal karena bangunannya yang cukup bagus di antara bangunan lain pada tahun 90an.

Bioskop tersebut terletak di Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Garut Kota. Bioskop tersebut terletak tak jauh dari pusat perbelanjaan Asia Plaza.

Mulanya, bioskop itu jadi primadona kawula muda tahun 90an. Banyak film yang diputar di sana. Pada awal tahun 2000an, bioskop Intan akhirnya tutup.

"Seingat saya, warga mulai bosan karena film yang diputar di sana itu-itu saja," Kadisbudpar Garut, Budi Tangan mengatakan bioskop Intan tutup lantaran perusahaan bangkrut akibat sepinya penonton.

"Jadi bukan ditutup pemerintah, tapi tutup sendiri karena sepi penonton. Film yang diputar di sana itu-itu saja," kata Budi kepada detikcom, Senin (13/1).

Kini bangunan bioskop Intan terbengkalai. Selasa siang, bangunan bioskop Intan kini dimanfaatkan lahan parkir. Pemiliknya bahkan menjual bangunan tersebut.

Beredar kabar bahwa bangunan bioskop Intan kerap dijadikan tempat kongkow-kongkow kawula muda saat ini.

"Mungkin karena tempatnya nyempil," ucap Rudi.

Selain bioskop Intan, ada satu bioskop legendaris di Garut pada zamannya. Bioskop itu adalah Bioskop Cikuray yang berdiri sebelum Bioskop Intan. Konon kabarnya, dulu bioskop ini terkenal karena kerap menayangkan film-film berbau mesum loh!

Sama halnya dengan bioskop Intan, bioskop Cikuray terletak di Jalan Ahmad Yani, Garut Kota. Bangunannya terlihat kecil dari depan namun memanjang ke belakang.

Bangunan tiga lantai ini sekarang beralih fungsi menjadi tempat hiburan dan olahraga billiard.

Bioskop Cikuray digandrungi lantaran kerap menayangkan film-film berbau mesum. Ada banyak film legendaris yang diputar di Bioskop Cikuray. Seluruh film itu rata-rata berbau pornografi.

"Bintang film yang saya ingat, yang filmnya pernah diputar di bioskop ini misalnya Ayu Azhari dan Kiki Fatmala,"

Bioskop ini sendiri ditutup pada tahun 90an sebelum berganti jadi tempat hiburan dan olahraga. Tidak diketahui alasan kenapa bioskop Cikuray ditutup.


Selain kedua bioskop tadi, Garut juga masih memiliki beberapa bioskop legendaris pada zamannya. Setidaknya ada dua bioskop, yaitu bioskop Sumber Sari yang lokasinya tak jauh dari kawasan sentra kulit Sukaregang serta Teater Garut yang terletak di Jalan Ahmad Yani.

Teater Garut menjadi bioskop lain yang dikenang masyarakat lantaran genre film yang diputar di sana rata-rata film Bollywood.


"Kalau di sana dulu borongan. Artinya kita bayar sekali tapi kita nonton tiga sampai empat film sekaligus. Filmnya India," kenang Rudi.