1982
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Pemeran Utama Wanita
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Ratu Ilmu Hitam
1979
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Pemeran Utama Wanita Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Pulau Cinta
1972
Pemenang di Aktor-Aktris Terbaik PWI, Indonesia
Kategori: Runner Up 4 Aktris
Penghargaan: Penghargaan
Pada film: Air Mata Kekasih (Lover's Tears)
1971
Pemenang di Aktor-Aktris Terbaik PWI, Indonesia
Kategori: Runner Up 1 Aktris
Penghargaan: Penghargaan
Pada film: Bernafas dalam Lumpur
Banyak
filmmaker kita yang membuat film horor saat ini. Tetapi mereka bingung
untuk gandre film horor yang akan mereka buat itu. Karena terlalu
banyaknya film dalam bentuk DVD yang beredar, maka mereka memilih untuk
membuat film horor yang lagi-lgi mengikuti korea-jepang-thailand.
Sehingga
semakin hilanglah budaya atau ciri khas film Indonesia sendiri.
Sebenarnya mereka menginginkan hal itu adalah semata-mata biar tampak
keren saja, biar tampak beda dengan film horor Indonesia yang pernah
ada, oleh karena itu korea-jepang-Thailand adalah baik untuk diikuti,
karena yah,...pasti beda dengan film horo indonesia yang pernah ada.
Padahal ada film Horor Indonesia yang sudah memiliki ciri khas, dan juga
sayang untuk di Tinggalkan. Banyak yang bilang hantu Indonesia jauh
lebih serem dari pada Jepang-Korea-Thailand. Jawaban saya,...iya memang
serem. Tapi apakah si pembuat filmnya sendiri mampu membuat film yang
serem, dan berkwalitas.
Permasalahannya
bukan pada serem apa tidak, tetapi mampu apa tidak, percaya apa tidak
bahwa hantu Indonesia jauh lebih serem dari pada hantu manca negara
lainnya.??? SUZZANA,adalah contoh film horor yang paling unik, dan belum
pernah ada sebelumnya, walaupun dari negara manapun. Hantu Suzaana
adalah semacam super herro. Mungkin ini imajinasi dari si pembuatnya
saat itu. Karena hantu yang bisa melakukan hal apa saja yang di luar
orang normal. Bahkan jauh lebih hebat dari pada superman, dia mampu
tembus tembok, terbang dan lainya. Hantu suzzana super hero ini semacam
membasmi kejahatan. Dari ceritanya yang ada penjahat merampok rumahnya,
membunuh anak dan suaminya dan juga memperkosa suzzana dan juga membuang
mayat suzzana, menjadi kan suzzana hantu yang siap menumpas kejahatan/
balas dendam.
Hanya
penjahat itu yang dia takuti, dan dia dendam dan inginkan mati. Bahkan
dialoq hantu suzzana membawa kebajikan, contohnya beberapa adegan yang
pemunculan hantu suzzana diantara orang yang melakukan kejahatan atau
perusakan atau hal yang tidak baik. Contoh dukun bokir sangat sering
dihadirka sebagai dukun penipu, kerapkali suzzana muncul untuk
memberitahukan hal yang baik pada dukun bokir. Kalimat yang paling
sering muncul adalah, "Jangan kau melakukan kejahatan, jangan kau
merusak, jangan kau mencelakakan orang.". Bahkan dalam ceritannya,
penjahat itu adalah penjahat yang paling sadis, istilahnya sindikat lah.
Yang dimana polisi saja berusaha menumpasnya. Sering kali di akhir
cerita ketika suzzana selesai membunuh para penjahat itu, polisi datang
bersama kiayai. Karena hantu yang membunuh tidak tersentuh oleh hukum
negara, maka polisi itu hanya mengurus penjahat yang ditumpas oleh
suzzana, namun peran kiayai yang datang bersama polisi adalah bagian
menyelesaikan persoalan suzzana agar ia bisa tenang di-alamnya itu.,
Kiayi inilah yang menyelesaikan hal tersebut.
Jadi
ini sangat menarik, dimana hantu menumpas kejahatan. Dan juga manfaat
penonton yang didapat adalah, agar ketika melakukan kejahatan, bisa
berfikir panjang. Kalau seandainya yang mereka bunuh itu nantinya
menjadi tuntut balas dendam menjadi hantu bergentayangan. SEhingga
diharapkan orang akan takut melakukan pembunuhan terhadap orang lain.
Ini sangat menarik pesannya. Dan juga format hantu itu sendiri yang
menjadi super herro. Film Perjanjian Dimalam Keramat adalah film
terakhirnya. Suzanna setelah film terakhirnya pada tahun 1991
(Perjanjian di Malam Keramat), berhenti muncul dalam film Indonesia.
Saat itu ia dikenal sebagai ratu film horor. Hanya sedikit penonton film
yang tahu bahwa Suzanna adalah aktor yang cukup banyak menerima
penghargaan dalam berbagai peran yang tak tanggung-tanggung ragamnya.
Pada awal karirnya sebagai aktor, Suzanna menerima penghargaan sebagai
aktris cilik terbaik dalam film Asrama Dara (1958). Penghargaan ini
tidak hanya ia terima dari Festival Film Indonesia 1960, tapi juga dari
Festival Film Asia pada tahun yang sama. Dalam film drama seperti Asrama
Dara yang disutradari Usmar Ismail, ia membawakan peran Ina, gadis
remaja yang menghadapi perpisahan ayah dan ibunya. Sejauh penelusuran
saya, ia adalah aktor anak pertama dari Indonesia yang pernah
memenangkan penghargaan nasional dan internasional sekaligus melalui
film yang sama.
Melalui
Bernafas dalam Lumpur (1970) arahan sutradara Turino Djunaidy ia
menerima penghargaan Runner Up I aktris terbaik versi Persatuan Wartawan
Indonesia (1970-1971). Dalam film ini ia berperan sebagai perempuan
desa yang berangkat ke kota dan terjebak kehidupan keras di kota. Film
ini sempat dilarang diputar oleh Kodim Bandung karena penggunaan
kata-kata kasar di dalamnya. Melalui film ini citra Suzanna berubah
seiring pertambahan usianya, dari aktris cilik ia menjadi salah satu
simbol erotisme perempuan dalam film Indonesia. Meskipun sudah bermain
dalam film horor sejak tahun 1971, karir Suzanna sebagai bintang cerita
hantu baru dikukuhkan pada tahun 1980-an. Kisah-kisah seram yang
dimainkannya, seperti yang diingatkan seorang kawan kepada saya, selalu
saja punya basis legenda lokal. Karenanya peran apapun yang dibawakan
Suzanna, baik sebagai Ratu Kidul, Calon Arang maupun Nyai Blorong –
dengan mudah meresap ke dalam ingatan penonton sebagai hantu perempuan
yang selalu meremangkan bulu kuduk. Untuk perannya dalam Ratu Ilmu Hitam
(1981), Suzanna menjadi salah satu Unggulan FFI 1982 untuk pemeran
utama wanita. Menjelang kembalinya Suzanna ke dunia film Indonesia, ada
baiknya kita tinjau lagi karir aktris ini. Ia barangkali satu di antara
sedikit sekali aktris Indonesia yang mampu menguasai ingatan penonton
dengan peran apapun dan citra apapun yang ia tampilkan.
Suzanna 1958
SUATU
hari di tahun 1958, seorang gadis cantik, baru 15 tahun, ikut kontes
"Tiga Dara" yang audisinya ditangani sineas besar Usmar Ismail. Seperti
kepada peserta audisi lain, Usmar meminta gadis itu memeragakan adegan
bertelepon. Ia terlihat gugup dan tak bisa menyelesaikan adegan dengan
baik. Maklum, sebelum itu ia sama sekali tak pernah memegang gagang
telepon, apa lagi bertelepon.
Merasa
gagal, si cantik patah arang dan menganggap telah kehilangan
kesempatan. Namun di luar dugaan, Usmar Ismail justru meloloskannya.
Intuisi Usmar mengatakan, di balik keluguannya, gadis itu menyimpan
potensi besar. Terlebih, ia sebelumnya sudah punya pengalaman berakting
dalam film "The Long March" yang diproduksi pada 1950. Sebuah peran
dalam Asmara Dara pun didapat. Dan di bawah besutan Usmar Ismail, gadis
bernama Suzanna Martha Frederika van Osch itu berhasil menampilkan
kemampuan aktingnya secara optimal. Tak tanggung-tanggung, atas perannya
sebagai Ina di Asmara Dara, ia beroleh penghargaan The Best Child
Actrees pada Festival Film Asia di Tokyo pada 1960. Selain itu juga
menjadi pemain harapan pada FFI 1960. Inilah untuk kali pertama, seorang
aktor anak pertama Indonesia yang pernah memenangkan penghargaan
nasional dan internasional sekaligus melalui film yang sama. Sukses
dalam Asmara Dara, Suzanna yang dijuluki ”The Next Indriati Iskak” itu
lantas membintangi sejumlah film bergenre drama, seperti Bertamasja
(1959), Mira (1961) Antara Timur dan Barat, Aku Hanja Bajangan (1963),
Segenggam Tanah Perbatasan (1965), Suzie (1966), dan Penanggalan (1967).
Kendati demikian, film-film itu tak melambungkan namanya. Terangkat
Baru pada Bernapas dalam Lumpur (1970), popularitas Suzanna terangkat.
Dalam film gubahan sutradara Turino Djunaidy dari sebuah novelet
berjudul Berenang dalam Lumpur karya Zainal Abdi itu, Suzanna berperan
sebagai pelacur. Nah, di situlah ia harus beradegan panas. Atas
aktingnya di film ini, Suzanna menerima penghargaan Runner Up I aktris
terbaik versi Persatuan Wartawan Indonesia (1970-1971). Drama, seks, dan
misteri menjadi tren perfilman era 1970-1980-an.
Di
situlah, Suzanna sebagai bintang papan atas, memainkan peran yang lebih
luas. Tahun 1971 ia bermain dalam film horor Beranak dalam Kubur. Sejak
1980, Suzanna lebih banyak bermain dalam film horor yang dibungkus
kisah mitos dan legenda. Taruh misal, Sundel Bolong, Ratu Ilmu Hitam
(1981), Nyi Blorong (1982), Nyi Ageng Ratu Pemikat, Perkawinan Nyi
Blorong (1983), Telaga Angker (1984), Ratu Sakti Calon Arang, Bangunnya
Nyi Roro Kidul (1985), Malam Jumat Kliwon, Petualangan Cinta Nyi Blorong
(1986), Santet, Ratu Buaya Putih, Malam Satu Suro (1988), Wanita
Harimau (1989), Pusaka Penyebar Maut, Titisan Dewi Ular (1990),
Perjanjian di Malam Keramat (1991), dan Ajian Ratu Laut Kidul (1991).
Selain layar lebar, Suzanna juga membintangi beberapa sinetron bergenre
serupa. Antara lain Selma dan Ular Siluman. Demikian sering ia bermain
di film misteri hingga masyarakat menjulukinya Ratu Film Horor
Indonesia. Jejuluk ini amat melekat. Alhasil sosok perempuan berdarah
campuran Jerman, Belanda, Manado, dan Jawa itu identik dengan
peran-peran yang dimainkannya, seperti sundel bolong, Nyi Roro Kidul,
kuntilanak, atau Nyi Blorong.
Suzanna, Legenda dari "Asrama Dara"
Rabu, 22 Oktober 2008 , 18:43:00
BINTANG
legendaris perfilman nasional itu telah tiada. Rabu (15/10) malam,
Suzanna pergi ke alam keabadian di Magelang. Namun, kepergian aktris
bernama lengkap Suzanna Martha Frederika van Osch itu, tak akan mengubur
reputasinya dalam perjalanan panjang riwayat perfilman di negeri ini.
Tentu
saja karena Suzanna jadi sebuah nama fenomenal, yang popularitasnya
menembus batas generasi. Tak hanya konsumen film tempo dulu di putaran
tahun 1960-an, remaja masa kini pun masih sempat mengenali pamornya di
film "Hantu Ambulance" (2008). Film terakhir yang "memanjangkan umur"
kemashurannya!
Semua
orang kenal Suzanna. Kondisi ini tercipta, dimungkinkan, terdukung
dengan penayangan ulang sejumlah film legenda misteri di layar kaca,
yang menampilkan artis kelahiran Bogor 13 Oktober 1942 itu. Memang,
Suzanna pernah jadi "cap dagang film laris" untuk lakon hantu-hantuan
Indonesia.
Sosok
almarhumah lalu identik dengan perwajahan film horor dan mistik, sejak
film "Sundel Bolong" (1981) karya almarhum Sisworo Gautama, sukses
merebut pasar film nasional. Formula mistik ini yang menderaskan
penampilannya dalam banyak film lain, seperti film "Nyi Blorong",
"Perkawinan Nyi Blorong", "Malam Jumat Kliwon", "Ratu Ilmu Hitam",
maupun "Nyi Ageng Mangir".
Terlebih,
karena kekuatan pasar film, Suzanna mendapat pengakuan FFI (Festival
Film Indonesia) 1983 di Medan, yang menganugerahkan Piala Antemas untuk
film "Nyi Blorong", lambang film terlaris sepanjang tahun 1982. Itu pula
yang menguatkan jaminan sukses komersial, untuk pemasaran film
bermuatan legenda populer "Ratu Pantai Selatan" dan "Sangkuriang". Lalu,
Suzanna bagai wujud lain Dayang Sumbi dari cerita rakyat Jawa Barat
itu. Dalam kehidupan sebenarnya, "Sang Puteri" tak lagi kuasa memadamkan
api cinta Sangkuriang, yang diketahui sebagai anak kandungnya.
Saat
berstatus janda aktor film almarhum Dicky Suprapto, Suzanna pelakon
Dayang Sumbi dalam "Sangkuriang" menikah dengan Clift Sangra pemeran
Sangkuriang, yang usianya terpaut jauh, seumpama ibu dan anak. Mereka
menjalani kebersamaan hidup, hingga kematian datang memisah keduanya.
Apa
pun kenyataan di balik layar keartisan, Suzanna memang seorang pelaku
legenda perfilman nasional, yang turut mengantar kelangsungan dunia film
sejak tahun 1958 hingga kondisi kekinian. Kemenangan juara kedua dalam
kontes film "Tiga Dara" di Magelang, dan "Delapan Pendjuru Angin" di
Yogyakarta, membawa Suzanna bermain film "Asrama Dara" karya almarhum
Usmar Ismail.
Kehadiran
belia enam belas tahun itu, bersambut sukses gemilang. Film penapak
kepopuleran "Tiga Dara" berbintangkan Chitra Dewi, Mieke Widjaya, dan
Indriati Iskak itu, melambungkan Suzanna sebagai Aktris Harapan Terbaik
di Pekan Apresiasi Film Indonesia 1960, arena festival film kedua
setelah tahun 1955. Pamor Suzanna mengemuka di tengah sukses almarhum
Soekarno M. Noer dan almarhumah Farida Aryani, Aktor dan Aktris Terbaik
dari film "Anakku Sajang" karya Liliek Sujio. Bahkan, "Asrama Dara"
menobatkan pula Suzanna sebagai The Best Child Actress di pentas FFA
(Festival Film Asia) 1960.
Beralasan,
walau iklim produksi perfilman nasional masih terlindung mega mendung,
namun sepanjang enam tahun sampai 1966, Suzanna tampil saban tahun.
Film-filmnya bertitel "Mira" dan "Bertamasya" karya M. Sharieffudin A.
Lalu, film "Gara-Garamu" (Fred Young), "Antara Timur dan Barat" (Turino
Junaedi), "Segenggam Tanah Perbatasan" (Djamal Halputra), dan "Suzie"
(judul film dengan nama akrab keseharian sang bintang) karya Liliek
Sujio.
Kelangsungan
karier filmnya yang biasa-biasa itu, seketika sontak jadi luar biasa,
manakala Suzanna berani tampil beda di film "Bernapas Dalam Lumpur"
karya Turino Junaedi. Itu tergelar empat tahun setelah absen bermain
film! Terbukti, film tentang pelacur dari novel populer Zainal Abdi itu,
mampu membangunkan pamor film nasional tahun 1970, dari panjangnya
kemuraman pasar.
Formula
seks ramuan "Bernapas Dalam Lumpur" mencapai takaran film box office.
Film "panas" yang menghebohkan dengan keberanian Suzanna beradegan
ranjang, dihargai sebagai legenda perfilman Indonesia. Tampilan "formula
baru" filmnya memanggang film nasional, dengan perdagangan adegan
panas. Reputasi Suzanna pun menguat sebagai "bintang panas" terlaris.
Sejumlah
film lainnya seperti "Tuan Tanah Kedawung" (1971), "Air Mata Kekasih"
(1971), "Beranak Dalam Kubur" (1972), "Bumi Makin Panas" (1973),
"Ratapan dan Rintihan" (1974), maupun "Nafsu Gila" (1974), menggetarkan
pasar film dalam negeri. Tapi, Suzanna bukan sekadar "bintang ranjang"
tanpa pujian.
Dalam
jaringan "aktris terbaik" di pentas The Best Actor/Actress versi PWI
Jaya Seksi Film 1970, almarhumah bergelar Aktris Harapan Terbaik I
melalui film "Bernapas Dalam Lumpur". Satu tingkat di bawah Rima Melati
(film "Noda tak Berampun"), namun mengungguli Chitra Dewi (film "Nyi
Ronggeng"), Widyawati (film "Hidup Cinta dan Air Mata"), dan Mieke
Widjaya (film "The Big Village").
Saat
Lenny Marlina berjaya atas film "Biarlah Aku Pergi" (1971), Suzanna
terempas ke peringkat "Aktris Harapan Terbaik IV" (film "Air Mata
Kekasih"). Itu tak memudarkan pamornya. Justru Suzanna melalui film
"Ratu Ilmu Hitam" terjaring ke dalam nominasi Pemeran Utama Wanita
Terbaik FFI 1982 Jakarta, membayangi sukses Jenny Rachman (film "Gadis
Marathon"). Kharisma keartisan Suzanna seakan tak pernah lekang.
Predikat "bintang panas", tak terpadamkan kehadiran artis lainnya, yang
jauh lebih muda. Di musim tema mistik dan horor berjaya, gelar "ratu
horor" masih juga berharga menjadi cap dagang film laris. Pamor Suzanna
yang cantik dan seksi tiada duanya. Totalitas pemeranan yang terkadang
panas, masih belum lagi tergantikan. Dunia film nasional
kehilangan...***
17 Februari 2003
Seperti
film-filmya, Suzanna menyimpan enigma. Jejak panjang sudah diukirnya di
jagat film mistik, seram yang menggedor nyali penonton. Beranak dalam
Kubur, Bernapas dalam Lumpur, Sundel Bolong, Nyi Blorong, Bangunnya Nyai
Roro Kidul, Ratu Ilmu Hitam, juga Santet, telah mengukuhkan posisinya
sebagai "Ratu Horor".
Tetapi
bukan film misteri itu saja yang membuat sosoknya menarik ditelusuri;
kehidupan pribadinya yang tragis dan penuh warna—perkawinannya pertama
dengan Dicky Suprapto yang runtuh; tewasnya putranya yang tampan, Ari,
dan perkawinan keduanya dengan Cliff Sangra—akhirnya membuat Ratu Enigma
ini semakin masuk ke dalam sebuah sel kehidupan yang tertutup. Tak
mengherankan jika wartawan adalah makhluk yang tak mudah masuk dalam
lingkar hidupnya.
Pembalasan
Ratu Pantai Selatan, akhir 1992, adalah film layar lebar terakhir yang
dibintangi Suzanna. Lalu, seiring dengan sekaratnya industri film lokal,
pamor bintang berkulit seputih pualam ini seakan ikut tenggelam. Baru
dua tahun lalu Suzanna kembali turun gelanggang. Sinetron Misteri Sebuah
Guci atau Misteri Nyai Walet tak ubahnya sebagai proklamasi kembalinya
sang ratu.
Uniknya,
kehidupan ratu yang tetap cantik di usia 60 tahun ini relatif jauh dari
hiruk-pikuk panggung selebriti. Perempuan kelahiran Bogor ini tak
pernah jadi obyek berita tayangan infotainment di televisi swasta yang
membanjir belakangan ini. Kehidupan rumah tangga artis yang bersuami
aktor Cliff Sangra ini juga aman dari gempuran gosip. Kabarnya, itu
semua karena Suzanna—lebih akrab dipanggil Mbak Suzie—memang sengaja tak
mau obral diwawancarai wartawan. Wawancara dilakukan amat selektif,
dengan menghitung hari baik dan bulan baik menurut peruntungan Suzanna.
Tim
TEMPO juga tak mudah menemui Suzanna. Dua wartawan, Ecep S. Yasa dan
L.N. Idayanie, berhari-hari nongkrong menunggu datangnya "hari baik"
Mbak Suzie. Keduanya silih berganti menyambangi rumah sang bintang di
Kebon Dalem, Magelang, kota kecil di Jawa Tengah. Tak berhasil di sini,
TEMPO mencoba menjumpai Suzanna di vilanya yang sejuk di Kopeng,
Salatiga, Jawa Tengah. Tetap gagal.
Akhirnya,
hari baik pun tiba. Melalui budi baik sang suami, Cliff Sangra, sang
ratu yang jelita dengan nama asli Suzzanna Martha Frederika van Osch
Boyoh ini bersedia diwawancarai TEMPO melalui surat elektronik. Berikut
ini kutipan wawancaranya.
Hingga
kini, Anda adalah bintang film misteri yang tak tertandingi di negeri
ini. Bisakah Anda mengisahkan awal mula perjalanan karier sebagai
bintang film?
Saya
pertama kali diorbitkan oleh sutradara Usmar Ismail dalam film Asrama
Dara (1958). Ini film pertama saya, masih black & white, yang paling
berkesan. Saya langsung mendapat penghargaan Best Child Actress in Asia
di Tokyo pada 1960.
Anda sempat membintangi beberapa film drama sebelum banting setir ke film horor. Adakah alasan khusus?
Sederhana
saja. Saya jenuh bermain film drama dan kepingin bermain film horor.
Beranak dalam Kubur, 1971, adalah film horor saya yang pertama dan
mencapai sukses luar biasa. Jadi box office. Ketagihan, deh. Tema-tema
horor langsung digemari penonton Indonesia pada waktu itu. Sekitar 14
film horor yang saya bintangi sukses besar.
Sejumlah media menjuluki Anda sebagai "Ratu Horor" yang tak tertandingi, bahkan sampai kini. Ada komentar?
Terima
kasih. Saya bersyukur telah bisa menghibur dan menakut-nakuti Anda
semua selama ini. Tapi jangan takut beneran. Wong, saya ini paling
seneng disayang, dan saya juga sayang sama Anda.
Dari sisi cerita, bagaimana Anda menilai film horor kita pada 1980-an dan 1990-an?
Sebetulnya
film horor kita dulu lebih seram karena temanya lebih sederhana,
diceritakan dengan gaya sederhana, dan pas juga (dengan keinginan
pasar—Red.), karena belum banyak saingannya.
Tapi
banyak juga kritik, film horor kita di tahun 1990-an kental bermuatan
seks, dengan alur cerita yang gampang ditebak. Apa yang salah menurut
Anda?
Sebetulnya tidak ada yang salah. Ada penonton yang senang film
horor yang tegang menakutkan dari awal sampai akhir. Ada juga penonton
yang suka ditakut-takutin tapi juga mau dihibur dengan adegan seks. Dan,
produser film sangat jeli akan hal itu, sehingga jadilah film yang
sesuai dengan keinginan penonton.
Anda sekarang beralih pada sinetron televisi. Apa yang membedakannya dengan film layar lebar?
Saya
bermain sinetron tetap dengan serius. Hanya, memang sinetron lebih
santai ketimbang film. Ada waktu untuk break, istirahat. Kalau bikin
film, kita bisa begadang terus selama 3-4 bulan, syuting sore pulang
subuh, syuting pagi pulang pagi.
Di tengah tren sinetron horor saat ini, apakah Anda kebanjiran tawaran?
Bukannya
mau menyombongkan diri, tetapi sudah puluhan tawaran sinetron bertema
horor yang saya tolak. Saya tidak peduli honornya selangit untuk ukuran
artis Indonesia. Saya hanya membintangi Misteri Sebuah Guci dan Selma
dan Ular Siluman, yang keduanya punya unsur keanehan yang menarik.
Syuting sinetron Selma sedang berlangsung dan ini saya bintangi bersama
Cliff.
Mengapa Anda menolak main di sinetron?
Sudah
terlalu banyak sinetron dengan tema horor yang ditayangkan di televisi
setiap hari. Kesannya, tontonan itu sekadar seram, pokoknya nakutin.
Akhirnya, penonton mengeluh jenuh. Ceritanya dicomot dari situ, ditambah
dari sini, alur ceritanya hampir sama, hanya berbeda artis dan lokasi
syuting. Itulah sebabnya saya tidak mau lagi main sinetron horor.
Ada keinginan tertentu di dunia akting?
Saya
ingin berakting lagi dalam film-film drama yang bagus alur ceritanya.
Toh, sebenarnya saya beranjak ke dunia film dengan diawali bermain dalam
cerita drama.
Adakah pengalaman buruk selama Anda syuting film horor?
Tidak
ada pengalaman buruk. Hantu-hantu kan sebetulnya takut pada manusia.
Kita saja yang sering ngeri duluan. Tapi, memang ada banyak kejadian
luar biasa yang membuat saya terperangah. Kalau diceritakan tersendiri,
kejadian-kejadian ini bisa mencapai 500 episode.
Apa contohnya?
Saat pembuatan film Beranak dalam Kubur dengan lokasi syuting tanah pekuburan Bergota, Semarang.
Lubang
kubur yang sedianya digali untuk kepentingan syuting ternyata diisi
dengan jenazah orang yang meninggal pada hari itu. Jadilah kru menggali
lubang baru tepat di sebelah kuburan yang baru itu. Saat syuting, para
kru kamera berseru, "Mbak, kain kafan kuburan itu goyang-goyang, lo."
Karena saya sedang konsentrasi, saya tidak menanggapi komentar-komentar
seperti ini. Terus in action.
Malam
makin larut. Saya harus melakukan adegan tidur bersebelahan dengan
mayat yang kain kafannya menempel di badan saya. Lalu, saya pun
ditimbuni tanah, mata tertutup rapat, sunyi, gelap-gulita di dalam
kubur.
Saat
itu, meskipun kami sudah berdoa dan melakukan selamatan minta izin,
benar-benar terasa ada yang menggelitik kaki saya. Cacing tanah lagi
iseng, pikir saya. Tapi, lalu siapa pula yang mengusap-usap telinga dan
tangan saya? Hi….
Saya
tidak menceritakan apa yang saya alami pada teman-teman kru. Kasihan,
nanti pada takut dan bisa break, deh. Yang penting kami semua selamat
dan syutingnya sukses.
Ada
alasan khusus kenapa Anda memilih tinggal di Magelang? Sengaja menyepi
dari keriuhan Jakarta agar bisa lebih menghayati peran-peran misteri?
Ah,
tidak juga. Sebetulnya saya ini pulang kampung. Nenek-moyang saya
turun-temurun, sudah sekitar 150 tahun, tinggal di sini, dan sekarang
anak-cicitnya sudah tersebar ke lima benua.
Ini juga karena
permintaan saudara-saudara yang kangen. Dulu, sewaktu sibuk main film,
banyak saudara dan sahabat saya yang jengkel karena saya begitu susah
ditemui. Akhirnya saya kembali ke sini bersama Cliff. Kadang kami
mendaki gunung, berkebun, dan bertani kecil-kecilan.
Capek memang, harus bolak-balik Jakarta-Magelang. Tapi capek ndak perlu dirasain. Yang penting happy.