MASUK KAMPUNG KELUAR KAMPUNG | 1955 | NJOO CHEONG SENG | Director | |
HABIS HUDJAN | 1955 | NJOO CHEONG SENG | Director | |
DJANTOENG HATI | 1941 | NJOO CHEONG SENG | Director | |
AIR MATA IBOE | 1941 | NJOO CHEONG SENG | Director | |
PANTJAWARNA | 1941 | NJOO CHEONG SENG | Director | |
KEBON BINATANG | 1955 | NJOO CHEONG SENG | Director | |
KRIS MATARAM | 1940 | NJOO CHEONG SENG | Director | |
ZOEBAIDA | 1940 | NJOO CHEONG SENG | Director |
Njoo Cheong Seng
Fred Young lah yang menarik Njoo masuk dalam film JIF, setelah ia meninggalkan Oriental film , sebagai tulang punggung Fred Young dalam penciptaannya. Njoo yang suaminya Fifi Young artis yang lagi terkenal saat itu dan banyak main film, mempunyai kecendrungan ingin membuat film yang dasyat, kolosal dan spektakluler. Dan Fred Young sendiri merasa cocok dengannya yang sama-sama memiliki tujan dan impian.
Dengan Majesti Pictures 2 film yang dihasilkan Djantoeng Hati dan Airmata Iboe, kedua film ini adalah drama penuh dengan airmata yang tragis dan parade hiburan nyanyian yang tidak kepalang tanggungnya. Bintangnya serba gemerlap yang terdiri dari kaum berpendidikan tinggi. Dan diharapkan juga sukses di penonton golongan atas dan berpendidikan. Karena pada tahun 1940 ciri paling dominan dari pembuat filmnya adalah usaha menggunakan resep Terang Boelan yang sukses dan tumbuhnya keinginan agar film bisa diterima oleh kalangan baik-baik, dan terpelajar. Hal ini karena sebagai upaya yang dilakukan untuk menyambut imbauan kemajuan yang dituntut oleh perkembangan pergerakan nasional saat itu.
Memasuki tahun 1941, orang film sudah merasa berat menghadapi tuntutan publik terpelajaran dan pers perjuangan. Apa yang mereka inginkan dianggap tidak proporsional. Sebaliknya, kalangan publik terpelajar terus saja meningkatkan harapannya, sesuai dengan meningkatnya dengan cepat tuntutan menyiapkan diri untuk menjadi bangsa yang merdeka.
Dalam tulisannya dengan nama samaran M.d'Amour ia mengeluhkan sikap pers dan publik yang mengharapkan terlalu berlebihan dan film nasional. Menurutnya, orang film sulit sekali untuk memenuhi keinginan kalangan bawah dan atas secara bersamaan, yang seleranya sangat jauh beda.
Sebagai reaksi terhadap pendapat Nyoo, RM Winarno (pimpinan harian Berita Oemoem) menulis,"tidak setuju kalau mempertimbangkan film Indonesia masih dalam taraf permulaan lalu boleh seenaknya saja, boleh seperti film Amerika pada tahap permulaan. Karena, selera, perasaan, dan pikiran orang sekarang sudah berkembang. Meski pun film Indonesia masih baru, namun harus disesuaikan dengan keadaan zaman. Dalam sejarah negara manasaja, sahamnya, untuk mempengaruhi, mendorong, mengalirkan semangat serta perasaan pada rakyat hingga cocok dengan panggilan waktu. Dizaman dulu hanya ada satrawan, pujangga, dan pelukis-pelukis, hingga kewajiban untuk membimbing dan menggolongkan perasaan umum itu cuma terletak pada pundak mereka, tetapi diwaktu sekarang ada orang-orang film, sutradara-sutradara, dan penulis-penulis film harus dapat turut memberikan bagiannya untuk melahirkan perasaan-perasaan baru guna turut membangun masyarakat baru."
Pada pertengahan 1941,konflik pemerintah anatar Hindia Belanda dengan Jepang, yang sebetulnya hanya dicari-cari saja oleh Jepang sudah hampir mencapai puncak.
ABOUT
Njoo Cheong Seng (Ejaan yang Disempurnakan: Nyoo Cheong Seng; Cina: 楊 章 生; pinyin: Yáng Zhāngshēng; Pe̍h-ōe-jī: Iûⁿ Chiong-seng; 6 November 1902 - 30 November 1962) adalah seorang dramawan dan sutradara film Tionghoa. Juga dikenal dengan nama pena Monsieur d'Amour, ia menulis lebih dari 200 cerita pendek, novel, puisi, dan drama panggung selama kariernya; Ia juga tercatat sebagai sutradara dan / atau menulis sebelas film. Dia menikah empat kali selama hidupnya dan menghabiskan beberapa tahun perjalanan di seluruh Asia Tenggara dan selatan dengan rombongan teater yang berbeda. Drama panggungnya dikreditkan dengan teater revitalisasi di Hindia.
Njoo lahir di Jawa Timur pada 6 November 1902; Sinolog Indonesia Leo Suryadinata menulis bahwa ia dilahirkan di Surabaya, sementara penulis Sam Setyautama dan Suma Mihardja merekamnya sebagai orang yang dilahirkan di Malang. Ia menerima pendidikan dasar di sekolah Tiong Hoa Hwe Koan di Surabaya. Pada usia dini ia mulai berkontribusi pada surat kabar milik Cina; karya sastra pertamanya, Tjerita Penghidoepan Manoesia (Cerita tentang Kehidupan Manusia), diterbitkan dalam Sin Po pada tahun 1919.
Pada tahun 1920, Njoo mulai menulis secara ekstensif, sering dengan nama pena Monsieur d'Amour, nama pena lainnya termasuk N.C.S. dan N.Ch.S. Dia menulis banyak cerita untuk publikasi yang berbasis di Gresik, Hua Po pada tahun 1922, dan pada tahun 1925 dia membantu mendirikan majalah Penghidoepan. Karya yang diterbitkan selama waktu ini termasuk Menika dalem Koeboeran (Marry in the Grave) dan Gagal (Kegagalan), serta drama panggung Lady Yen Mei. Mereka umumnya memiliki banyak lokasi dan latar belakang budaya, dan sering berhubungan dengan kejahatan dan pekerjaan detektif.
Njoo menjadi aktif dengan rombongan Orion Miss Riboet di akhir tahun 1920, menulis beberapa drama panggung mereka, termasuk Kiamat (Apocalypse), Tengkorak (Skull), dan Tueng Balah. Pada tahun 1928 ia menikahi aktris Tan Kiem Nio, anggota rombongan yang berusia 14 tahun pada saat itu. Njoo melatihnya dalam akting dan meyakinkannya untuk mengambil nama panggung Fifi Young; Young adalah bahasa Mandarin yang setara dengan nama keluarga Hokkien dari Njoo, sementara Fifi dimaksudkan untuk mengingatkan pada aktris Prancis, Fifi D'Orsay.
Keduanya bergabung dengan beberapa rombongan teater lebih lanjut, termasuk Club Moonlight Crystal Follies di Penang (di bawah kepemimpinan Njoo) dan Dardanella, melakukan perjalanan di seluruh Asia tenggara dan selatan. Pada 1935 mereka telah membentuk kelompok mereka sendiri dengan Young sebagai bintang, Pagoda Fifi Young; Namun, ini runtuh dalam beberapa tahun.
Setelah keberhasilan Terang Boelan dari Albert Balink pada tahun 1937 dan The Teng Chun's Alang-Alang pada tahun 1939, empat studio film baru dimulai. Salah satunya, Film Oriental, ditandatangani Njoo dan Young; Njoo diambil sebagai penulis, sementara Young dimaksudkan untuk menjadi seorang aktris. Ini adalah bagian dari gerakan umum yang membawa personil panggung ke dalam industri film.
Njoo dan Young membuat debut film fitur mereka dengan Kris Mataram, kisah cinta terlarang, pada tahun 1940; Njoo mengarahkan dan menulis cerita, sementara Young bertindak.Ini diikuti oleh dua kolaborasi lebih lanjut, drama Zoebaida dan musikal Pantjawarna. Njoo kemudian meninggalkan perusahaan.
Ketika Njoo meninggalkan studio untuk bergabung dengan Majestic Pictures atas undangan Fred Young, Fifi Young pergi bersamanya. Dengan Majestic ia mengarahkan dua film. Yang pertama, Djantoeng Hati (Hati dan Jiwa; 1941), tidak membintangi Young karena dia sedang cuti karena alasan kesehatan, kemungkinan kehamilan. Young kembali untuk Air Mata Iboe (Mother's Tears; 1941), sebuah tragedi yang diikuti seorang pemuda yang membalas dendam pada saudara-saudaranya setelah mereka menolak untuk melindungi ibu mereka.
Pendudukan Jepang di Hindia menyebabkan semua kecuali satu studio film di negara itu ditutup; Njoo dan Young kembali ke teater, bergabung dengan rombongan Bintang Soerabaia. Pada tahun 1945 Njoo mendirikan kelompok Pantjawarna dan bercerai Muda - dengan siapa ia memiliki lima anak - untuk menikahi Mipi Malenka. Beberapa waktu setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945, Njoo mengambil nama Indonesia Munzik Anwar.
Njoo kembali ke industri film di negara itu pada tahun 1950, menulis atau menyutradarai enam film lebih lanjut sebelum kematiannya; salah satunya, Djembatan Merah (Jembatan Merah; 1950), dibuat kembali pada tahun 1973. Pada akhir 1950-an, Njoo tercatat memiliki istri keempat, Oei Lan Nio; Pasangan itu memiliki toko bunga bersama di Malang. Njoo meninggal di sana pada 30 November 1962.
Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran memuji Njoo dengan membantu Miss Riboet mendominasi industri teater tur di negara itu dari tahun 1929 hingga 1931. Hal ini dikumandangkan oleh kritikus sastra kiri Indonesia Bakri Siregar, yang menulis bahwa Njoo dan sesama dramawan panggung Andjar Asmara memainkan revitalisasi genre di Hindia dan membuat karya-karyanya lebih realistis. Namun, ia menganggap konflik dalam karya-karya ini telah dikembangkan dengan buruk. Guru sastra Doris Jedamski menggambarkannya sebagai "salah satu penulis Melayu-Tionghoa yang paling terkenal, paling kreatif, dan paling produktif pada abad ke-20", dengan mengejutkan bahwa sedikit penelitian telah dilakukan dalam hidupnya.
Kisah-kisah yang dibuat Njoo Cheong Seng selalu berakhir dengan kematian tokoh utama.
Di Kota Malang yang sejuk, bersama Huang Lin istrinya yang keempat, Njoo Cheong Seng merasakan sesuatu yang jarang dia alami: ketenangan. Ia menerima teman-temannya di rumah dan merayakan ulang tahun. Dulu, saat bersama istri-istri sebelumnya, ia terlampau sibuk di atas panggung.
Pasangan ini membuka toko bunga yang dinamai Malang Mignon. Cuaca Malang yang sejuk membuat bunga-bunga cantik tumbuh subur. Untuk setiap pesanan bunga dari pembeli, Njoo Cheong Seng menyertakan sepotong syair.
“Para pelanggan senang sekali pada syair-syairnya, sampai-sampai setelah Njoo Cheong Seng meninggal pun mereka masih sering minta syair untuk pesanan bunga mereka,” tulis Myra Sidharta dalam Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004).
Permintaan tersebut tentu saja tak bisa dipenuhi sebab istrinya tak dapat menulis syair—dan mesin foto copy belum ada.
Penyair jatmika ini lahir di Bangkalan, Madura, pada 6 November 1902. Sebagian sumber lain menyebutkan ia lahir di Malang. Semasa hidupnya, Njoo Cheong Seng menulis ratusan cerpen, novel, naskah drama, dan menyutradarai sejumlah judul film dan teater.
Pada usia 17 tahun, Njoo Cheong Seng menerbitkan ceritanya yang pertama. Dua tahun kemudian ia menulis cerita bersambung untuk harian Sin Po dan menjadi kontributor untuk majalah Hoa Po. Dalam catatan Myra Sidharta, ketika menginjak usia 21 tahun, Njoo Cheong Seng diangkat sebagai editor utama majalah bulanan Introcean.
“Meskipun Introcean sebenarnya adalah majalah bulanan bidang politik dan ekonomi, tetapi kecenderungan Njoo Cheong Seng ke kesastraan menjadi nyata setelah dua bulan, ketika ia menerbitkan nomor khusus untuk puisi berisi beberapa syair ciptaannya sendiri di samping karya Lie Kim Hok, serta terjemahan karya Shakespeare, Goethe, Tennyson, dan sebagainya,” terang Sidharta.
Ia bahkan sempat mengeluarkan edisi khusus pada Oktober dengan tema Cinta yang berisi sejumlah cerita cinta terjemahan dari bahasa Inggris dan Tionghoa, juga karya-karyanya sendiri.
Sebagai seorang penulis, ia dianggap memelopori penggunaan bahasa Indonesia yang tidak serampangan di kalangan para penulis Tionghoa. Ia juga disebut-sebut sebagai salah seorang yang merintis jalan bagi kebaikan bahasa Indonesia.
“Tak dapat disangkal bahwa Njoo Cheong Seng-lah yang merupakan pengarang dan wartawan pertama dalam kalangan Tionghoa yang senantiasa berjaga-jaga dan memilih-milihnya bahasa Indonesia yang indah dalam karangan-karangannya,” tulis Tan Sing Hwat dalam Majalah Aneka No.13 Tahun II, 1 Juli 1951.
Jika mengacu pada informasi yang disampaikan Huang Lin, istrinya yang keempat, penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu yang dipilih Njoo Cheong Seng barangkali didorong karena ia tak bisa berbahasa Mandarin dan baru mempelajarinya setelah mereka menikah. Sementara itu, dalam catatan Leo Suryadinata yang dikutip Myra Sidharta, Njoo Cheong Seng justru pernah sekolah di Tiong Hwa Hween yang memakai bahasa pengantar Mandarin.
Manusia Panggung
Salah satu bidang kesenian Njoo Cheong Seng yang menonjol adalah dunia sandiwara. Benny G. Setiono mencatat dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), sejak 1926 Njoo Cheong Seng bergabung dengan rombongan sandiwara Miss Riboet’s Orion pimpinan Tio Tik Djien dan bertemu dengan seorang penari terkenal bernama Dewi Maria yang populer dengan sebutan Fifi Young.
Menurut Myra Sidharta dalam Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004), nama asli Fifi Young adalah Nonnie Tan Kiem Nio, seorang penari yang berayah Perancis dan beribu keturunan Tionghoa. Nama Fifi Young pertama kali muncul pada 29 April 1933 saat ia telah menjadi seorang aktris.
Kedua insan ini saling jatuh cinta dan menikah pada 1927. Bersama rombongan sandiwaranya, dua sejoli ini berkeliling ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera. Selain itu, mereka juga menyambangi beberapa negara di Asia.
“Akhirnya ia benar-benar terseret oleh dunia seni sandiwara dan dengan rombongannya merantau ke luar negeri, misalnya Tiongkok, Filipina, Indo-Cina, Siam, Burma, India, Ceylon, dan Tibet,” tulis Tan Sing Hwat dalam artikel bertajuk “Sedikit tentang Njoo Cheong Seng”.
Lebih lanjut, Myra Sidharta menerangkan bahwa selama aktif di rombongan sandiwara tersebut, Njoo Cheong Seng memperbaiki standar kelompok sandiwara secara radikal dengan mengubah teknik akting dan cara kerja sutradara. Sementara kerja-kerja jurnalistik yang pernah ia lakoni membuatnya mempunyai koneksi yang kuat dengan orang-orang media sehingga mendapat cukup publisitas dalam setiap pertunjukan.
Warsa 1932, Njoo Cheog Seng dan Fifi Young meninggalkan Miss Riboet’s Orion dan bergabung dengan Moonlight Crystal Folies di Penang, Malaysia. Dua tahun kemudian mereka bergabung dengan rombongan sandiwara Dardanella pimpinan A. Piedro dan bermain bersama Miss Dja atau Dewi Dja.
Memasuki tahun 1937, pasangan ini membentuk rombongan sandiwara sendiri bernama Fifi Young’s Pagoda. Popularitas Fifi Young telah begitu melambung. Nama yang diambil dari Fifi (bintang film Perancis bernama Fifi d’Orsay) dan Young dari kata Njoo ini amat populer di Kuala Lumpur.
Menurut Myra Sidharta, seorang gubernur Selangor yang rupanya penggemar Fifi Young kerap memimpin yel-yel saat aktris tersebut hendak tampil ke pentas.
“One, two, three, we want Fifi!” demikian seruan itu digemakan.
Bersama Fifi Young’s Pagoda, karya-karya Njoo Cheong Seng dipentaskan lalu digubah menjadi novel. Saat Jepang menduduki Indonesia, mereka bermain sandiwara bersama Bintang Soerabaja.
Pasca-pendudukan Jepang, tepatnya pada 1945, Njoo Cheong Seng mendirikan rombongan sandiwara Pantjawarna dan menikah dengan seorang aktrisnya.
Cerita yang Berakhir Bahagia Tak Realistis
Aktris itu bernama Mipi Malenka. Ia menjadi istri ketiga Njoo Cheong Seng. Sebelum menikah dengan Fifi Young, Njoo Cheong Seng pernah menikah mempunyai dua orang anak. Dari Fifi Young, ia dikaruniai lima orang anak.
Benny G. Setiono mencatat dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) menyebutkan bahwa sebelum menikah dengan Mipi Malenka, Njoo Cheong Seng terlebih dulu menceraikan Fifi Young. Hal ini sama dengan yang ditulis oleh Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008). Sementara Myra Sidharta mencatat justru pernikahan tersebut dilakukan atas restu dari Fifi Young dan mereka kemudian tinggal serumah.
“Dari pernikahan mereka (Mipi Malenka dan Njoo Cheog Seng) lahir seorang putra yang diberi nama Johnny. Tidak lama setelah itu rumah mereka bertambah satu penghuni lagi, yaitu ibunda Fifi. Sejak saat itu sering terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Sidharta.
Situasi itu mendorong Mipi Malenka pergi bersama anaknya. Setelah menjual rombongan sandiwaranya, Njoo Cheong Seng pergi ke Makassar untuk mencari Mipi beserta Johnny buah hatinya, tapi usahanya gagal. Peristiwa kepergian istri ketiganya itu ia tuliskan dalam novel Sjorga bukan sjorga tidak dengan Melinda.
Njoo Cheong Seng akhirnya berlabuh di Malang dan menikah dengan Huang Lin, istri keempatnya. Pada November 1962, tepatnya 28 hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-60, Njoo Cheong Seng meninggal dunia.
Dalam pengantar dalam salah satu bukunya, Njoo Cheong Seng sempat mengutarakan bahwa ia dikritik karena kisah-kisah yang ia buat selalu berakhir dengan kematian tokoh utama. Menurutnya, justru itulah yang terjadi dalam kehidupan: kematian adalah sesuatu yang alami dan merenggut kebahagiaan. Baginya, kisah-kisah yang berakhir bahagia tidak realistis.
Fred Young lah yang menarik Njoo masuk dalam film JIF, setelah ia meninggalkan Oriental film , sebagai tulang punggung Fred Young dalam penciptaannya. Njoo yang suaminya Fifi Young artis yang lagi terkenal saat itu dan banyak main film, mempunyai kecendrungan ingin membuat film yang dasyat, kolosal dan spektakluler. Dan Fred Young sendiri merasa cocok dengannya yang sama-sama memiliki tujan dan impian.
Dengan Majesti Pictures 2 film yang dihasilkan Djantoeng Hati dan Airmata Iboe, kedua film ini adalah drama penuh dengan airmata yang tragis dan parade hiburan nyanyian yang tidak kepalang tanggungnya. Bintangnya serba gemerlap yang terdiri dari kaum berpendidikan tinggi. Dan diharapkan juga sukses di penonton golongan atas dan berpendidikan. Karena pada tahun 1940 ciri paling dominan dari pembuat filmnya adalah usaha menggunakan resep Terang Boelan yang sukses dan tumbuhnya keinginan agar film bisa diterima oleh kalangan baik-baik, dan terpelajar. Hal ini karena sebagai upaya yang dilakukan untuk menyambut imbauan kemajuan yang dituntut oleh perkembangan pergerakan nasional saat itu.
Memasuki tahun 1941, orang film sudah merasa berat menghadapi tuntutan publik terpelajaran dan pers perjuangan. Apa yang mereka inginkan dianggap tidak proporsional. Sebaliknya, kalangan publik terpelajar terus saja meningkatkan harapannya, sesuai dengan meningkatnya dengan cepat tuntutan menyiapkan diri untuk menjadi bangsa yang merdeka.
Dalam tulisannya dengan nama samaran M.d'Amour ia mengeluhkan sikap pers dan publik yang mengharapkan terlalu berlebihan dan film nasional. Menurutnya, orang film sulit sekali untuk memenuhi keinginan kalangan bawah dan atas secara bersamaan, yang seleranya sangat jauh beda.
Sebagai reaksi terhadap pendapat Nyoo, RM Winarno (pimpinan harian Berita Oemoem) menulis,"tidak setuju kalau mempertimbangkan film Indonesia masih dalam taraf permulaan lalu boleh seenaknya saja, boleh seperti film Amerika pada tahap permulaan. Karena, selera, perasaan, dan pikiran orang sekarang sudah berkembang. Meski pun film Indonesia masih baru, namun harus disesuaikan dengan keadaan zaman. Dalam sejarah negara manasaja, sahamnya, untuk mempengaruhi, mendorong, mengalirkan semangat serta perasaan pada rakyat hingga cocok dengan panggilan waktu. Dizaman dulu hanya ada satrawan, pujangga, dan pelukis-pelukis, hingga kewajiban untuk membimbing dan menggolongkan perasaan umum itu cuma terletak pada pundak mereka, tetapi diwaktu sekarang ada orang-orang film, sutradara-sutradara, dan penulis-penulis film harus dapat turut memberikan bagiannya untuk melahirkan perasaan-perasaan baru guna turut membangun masyarakat baru."
Pada pertengahan 1941,konflik pemerintah anatar Hindia Belanda dengan Jepang, yang sebetulnya hanya dicari-cari saja oleh Jepang sudah hampir mencapai puncak.
ABOUT
Njoo Cheong Seng (Ejaan yang Disempurnakan: Nyoo Cheong Seng; Cina: 楊 章 生; pinyin: Yáng Zhāngshēng; Pe̍h-ōe-jī: Iûⁿ Chiong-seng; 6 November 1902 - 30 November 1962) adalah seorang dramawan dan sutradara film Tionghoa. Juga dikenal dengan nama pena Monsieur d'Amour, ia menulis lebih dari 200 cerita pendek, novel, puisi, dan drama panggung selama kariernya; Ia juga tercatat sebagai sutradara dan / atau menulis sebelas film. Dia menikah empat kali selama hidupnya dan menghabiskan beberapa tahun perjalanan di seluruh Asia Tenggara dan selatan dengan rombongan teater yang berbeda. Drama panggungnya dikreditkan dengan teater revitalisasi di Hindia.
Njoo lahir di Jawa Timur pada 6 November 1902; Sinolog Indonesia Leo Suryadinata menulis bahwa ia dilahirkan di Surabaya, sementara penulis Sam Setyautama dan Suma Mihardja merekamnya sebagai orang yang dilahirkan di Malang. Ia menerima pendidikan dasar di sekolah Tiong Hoa Hwe Koan di Surabaya. Pada usia dini ia mulai berkontribusi pada surat kabar milik Cina; karya sastra pertamanya, Tjerita Penghidoepan Manoesia (Cerita tentang Kehidupan Manusia), diterbitkan dalam Sin Po pada tahun 1919.
Pada tahun 1920, Njoo mulai menulis secara ekstensif, sering dengan nama pena Monsieur d'Amour, nama pena lainnya termasuk N.C.S. dan N.Ch.S. Dia menulis banyak cerita untuk publikasi yang berbasis di Gresik, Hua Po pada tahun 1922, dan pada tahun 1925 dia membantu mendirikan majalah Penghidoepan. Karya yang diterbitkan selama waktu ini termasuk Menika dalem Koeboeran (Marry in the Grave) dan Gagal (Kegagalan), serta drama panggung Lady Yen Mei. Mereka umumnya memiliki banyak lokasi dan latar belakang budaya, dan sering berhubungan dengan kejahatan dan pekerjaan detektif.
Njoo menjadi aktif dengan rombongan Orion Miss Riboet di akhir tahun 1920, menulis beberapa drama panggung mereka, termasuk Kiamat (Apocalypse), Tengkorak (Skull), dan Tueng Balah. Pada tahun 1928 ia menikahi aktris Tan Kiem Nio, anggota rombongan yang berusia 14 tahun pada saat itu. Njoo melatihnya dalam akting dan meyakinkannya untuk mengambil nama panggung Fifi Young; Young adalah bahasa Mandarin yang setara dengan nama keluarga Hokkien dari Njoo, sementara Fifi dimaksudkan untuk mengingatkan pada aktris Prancis, Fifi D'Orsay.
Keduanya bergabung dengan beberapa rombongan teater lebih lanjut, termasuk Club Moonlight Crystal Follies di Penang (di bawah kepemimpinan Njoo) dan Dardanella, melakukan perjalanan di seluruh Asia tenggara dan selatan. Pada 1935 mereka telah membentuk kelompok mereka sendiri dengan Young sebagai bintang, Pagoda Fifi Young; Namun, ini runtuh dalam beberapa tahun.
Setelah keberhasilan Terang Boelan dari Albert Balink pada tahun 1937 dan The Teng Chun's Alang-Alang pada tahun 1939, empat studio film baru dimulai. Salah satunya, Film Oriental, ditandatangani Njoo dan Young; Njoo diambil sebagai penulis, sementara Young dimaksudkan untuk menjadi seorang aktris. Ini adalah bagian dari gerakan umum yang membawa personil panggung ke dalam industri film.
Njoo dan Young membuat debut film fitur mereka dengan Kris Mataram, kisah cinta terlarang, pada tahun 1940; Njoo mengarahkan dan menulis cerita, sementara Young bertindak.Ini diikuti oleh dua kolaborasi lebih lanjut, drama Zoebaida dan musikal Pantjawarna. Njoo kemudian meninggalkan perusahaan.
Ketika Njoo meninggalkan studio untuk bergabung dengan Majestic Pictures atas undangan Fred Young, Fifi Young pergi bersamanya. Dengan Majestic ia mengarahkan dua film. Yang pertama, Djantoeng Hati (Hati dan Jiwa; 1941), tidak membintangi Young karena dia sedang cuti karena alasan kesehatan, kemungkinan kehamilan. Young kembali untuk Air Mata Iboe (Mother's Tears; 1941), sebuah tragedi yang diikuti seorang pemuda yang membalas dendam pada saudara-saudaranya setelah mereka menolak untuk melindungi ibu mereka.
Pendudukan Jepang di Hindia menyebabkan semua kecuali satu studio film di negara itu ditutup; Njoo dan Young kembali ke teater, bergabung dengan rombongan Bintang Soerabaia. Pada tahun 1945 Njoo mendirikan kelompok Pantjawarna dan bercerai Muda - dengan siapa ia memiliki lima anak - untuk menikahi Mipi Malenka. Beberapa waktu setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945, Njoo mengambil nama Indonesia Munzik Anwar.
Njoo kembali ke industri film di negara itu pada tahun 1950, menulis atau menyutradarai enam film lebih lanjut sebelum kematiannya; salah satunya, Djembatan Merah (Jembatan Merah; 1950), dibuat kembali pada tahun 1973. Pada akhir 1950-an, Njoo tercatat memiliki istri keempat, Oei Lan Nio; Pasangan itu memiliki toko bunga bersama di Malang. Njoo meninggal di sana pada 30 November 1962.
Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran memuji Njoo dengan membantu Miss Riboet mendominasi industri teater tur di negara itu dari tahun 1929 hingga 1931. Hal ini dikumandangkan oleh kritikus sastra kiri Indonesia Bakri Siregar, yang menulis bahwa Njoo dan sesama dramawan panggung Andjar Asmara memainkan revitalisasi genre di Hindia dan membuat karya-karyanya lebih realistis. Namun, ia menganggap konflik dalam karya-karya ini telah dikembangkan dengan buruk. Guru sastra Doris Jedamski menggambarkannya sebagai "salah satu penulis Melayu-Tionghoa yang paling terkenal, paling kreatif, dan paling produktif pada abad ke-20", dengan mengejutkan bahwa sedikit penelitian telah dilakukan dalam hidupnya.
Kisah-kisah yang dibuat Njoo Cheong Seng selalu berakhir dengan kematian tokoh utama.
Di Kota Malang yang sejuk, bersama Huang Lin istrinya yang keempat, Njoo Cheong Seng merasakan sesuatu yang jarang dia alami: ketenangan. Ia menerima teman-temannya di rumah dan merayakan ulang tahun. Dulu, saat bersama istri-istri sebelumnya, ia terlampau sibuk di atas panggung.
Pasangan ini membuka toko bunga yang dinamai Malang Mignon. Cuaca Malang yang sejuk membuat bunga-bunga cantik tumbuh subur. Untuk setiap pesanan bunga dari pembeli, Njoo Cheong Seng menyertakan sepotong syair.
“Para pelanggan senang sekali pada syair-syairnya, sampai-sampai setelah Njoo Cheong Seng meninggal pun mereka masih sering minta syair untuk pesanan bunga mereka,” tulis Myra Sidharta dalam Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004).
Permintaan tersebut tentu saja tak bisa dipenuhi sebab istrinya tak dapat menulis syair—dan mesin foto copy belum ada.
Penyair jatmika ini lahir di Bangkalan, Madura, pada 6 November 1902. Sebagian sumber lain menyebutkan ia lahir di Malang. Semasa hidupnya, Njoo Cheong Seng menulis ratusan cerpen, novel, naskah drama, dan menyutradarai sejumlah judul film dan teater.
Pada usia 17 tahun, Njoo Cheong Seng menerbitkan ceritanya yang pertama. Dua tahun kemudian ia menulis cerita bersambung untuk harian Sin Po dan menjadi kontributor untuk majalah Hoa Po. Dalam catatan Myra Sidharta, ketika menginjak usia 21 tahun, Njoo Cheong Seng diangkat sebagai editor utama majalah bulanan Introcean.
“Meskipun Introcean sebenarnya adalah majalah bulanan bidang politik dan ekonomi, tetapi kecenderungan Njoo Cheong Seng ke kesastraan menjadi nyata setelah dua bulan, ketika ia menerbitkan nomor khusus untuk puisi berisi beberapa syair ciptaannya sendiri di samping karya Lie Kim Hok, serta terjemahan karya Shakespeare, Goethe, Tennyson, dan sebagainya,” terang Sidharta.
Ia bahkan sempat mengeluarkan edisi khusus pada Oktober dengan tema Cinta yang berisi sejumlah cerita cinta terjemahan dari bahasa Inggris dan Tionghoa, juga karya-karyanya sendiri.
Sebagai seorang penulis, ia dianggap memelopori penggunaan bahasa Indonesia yang tidak serampangan di kalangan para penulis Tionghoa. Ia juga disebut-sebut sebagai salah seorang yang merintis jalan bagi kebaikan bahasa Indonesia.
“Tak dapat disangkal bahwa Njoo Cheong Seng-lah yang merupakan pengarang dan wartawan pertama dalam kalangan Tionghoa yang senantiasa berjaga-jaga dan memilih-milihnya bahasa Indonesia yang indah dalam karangan-karangannya,” tulis Tan Sing Hwat dalam Majalah Aneka No.13 Tahun II, 1 Juli 1951.
Jika mengacu pada informasi yang disampaikan Huang Lin, istrinya yang keempat, penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu yang dipilih Njoo Cheong Seng barangkali didorong karena ia tak bisa berbahasa Mandarin dan baru mempelajarinya setelah mereka menikah. Sementara itu, dalam catatan Leo Suryadinata yang dikutip Myra Sidharta, Njoo Cheong Seng justru pernah sekolah di Tiong Hwa Hween yang memakai bahasa pengantar Mandarin.
Manusia Panggung
Salah satu bidang kesenian Njoo Cheong Seng yang menonjol adalah dunia sandiwara. Benny G. Setiono mencatat dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), sejak 1926 Njoo Cheong Seng bergabung dengan rombongan sandiwara Miss Riboet’s Orion pimpinan Tio Tik Djien dan bertemu dengan seorang penari terkenal bernama Dewi Maria yang populer dengan sebutan Fifi Young.
Menurut Myra Sidharta dalam Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004), nama asli Fifi Young adalah Nonnie Tan Kiem Nio, seorang penari yang berayah Perancis dan beribu keturunan Tionghoa. Nama Fifi Young pertama kali muncul pada 29 April 1933 saat ia telah menjadi seorang aktris.
Kedua insan ini saling jatuh cinta dan menikah pada 1927. Bersama rombongan sandiwaranya, dua sejoli ini berkeliling ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera. Selain itu, mereka juga menyambangi beberapa negara di Asia.
“Akhirnya ia benar-benar terseret oleh dunia seni sandiwara dan dengan rombongannya merantau ke luar negeri, misalnya Tiongkok, Filipina, Indo-Cina, Siam, Burma, India, Ceylon, dan Tibet,” tulis Tan Sing Hwat dalam artikel bertajuk “Sedikit tentang Njoo Cheong Seng”.
Lebih lanjut, Myra Sidharta menerangkan bahwa selama aktif di rombongan sandiwara tersebut, Njoo Cheong Seng memperbaiki standar kelompok sandiwara secara radikal dengan mengubah teknik akting dan cara kerja sutradara. Sementara kerja-kerja jurnalistik yang pernah ia lakoni membuatnya mempunyai koneksi yang kuat dengan orang-orang media sehingga mendapat cukup publisitas dalam setiap pertunjukan.
Warsa 1932, Njoo Cheog Seng dan Fifi Young meninggalkan Miss Riboet’s Orion dan bergabung dengan Moonlight Crystal Folies di Penang, Malaysia. Dua tahun kemudian mereka bergabung dengan rombongan sandiwara Dardanella pimpinan A. Piedro dan bermain bersama Miss Dja atau Dewi Dja.
Memasuki tahun 1937, pasangan ini membentuk rombongan sandiwara sendiri bernama Fifi Young’s Pagoda. Popularitas Fifi Young telah begitu melambung. Nama yang diambil dari Fifi (bintang film Perancis bernama Fifi d’Orsay) dan Young dari kata Njoo ini amat populer di Kuala Lumpur.
Menurut Myra Sidharta, seorang gubernur Selangor yang rupanya penggemar Fifi Young kerap memimpin yel-yel saat aktris tersebut hendak tampil ke pentas.
“One, two, three, we want Fifi!” demikian seruan itu digemakan.
Bersama Fifi Young’s Pagoda, karya-karya Njoo Cheong Seng dipentaskan lalu digubah menjadi novel. Saat Jepang menduduki Indonesia, mereka bermain sandiwara bersama Bintang Soerabaja.
Pasca-pendudukan Jepang, tepatnya pada 1945, Njoo Cheong Seng mendirikan rombongan sandiwara Pantjawarna dan menikah dengan seorang aktrisnya.
Cerita yang Berakhir Bahagia Tak Realistis
Aktris itu bernama Mipi Malenka. Ia menjadi istri ketiga Njoo Cheong Seng. Sebelum menikah dengan Fifi Young, Njoo Cheong Seng pernah menikah mempunyai dua orang anak. Dari Fifi Young, ia dikaruniai lima orang anak.
Benny G. Setiono mencatat dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) menyebutkan bahwa sebelum menikah dengan Mipi Malenka, Njoo Cheong Seng terlebih dulu menceraikan Fifi Young. Hal ini sama dengan yang ditulis oleh Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008). Sementara Myra Sidharta mencatat justru pernikahan tersebut dilakukan atas restu dari Fifi Young dan mereka kemudian tinggal serumah.
“Dari pernikahan mereka (Mipi Malenka dan Njoo Cheog Seng) lahir seorang putra yang diberi nama Johnny. Tidak lama setelah itu rumah mereka bertambah satu penghuni lagi, yaitu ibunda Fifi. Sejak saat itu sering terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Sidharta.
Situasi itu mendorong Mipi Malenka pergi bersama anaknya. Setelah menjual rombongan sandiwaranya, Njoo Cheong Seng pergi ke Makassar untuk mencari Mipi beserta Johnny buah hatinya, tapi usahanya gagal. Peristiwa kepergian istri ketiganya itu ia tuliskan dalam novel Sjorga bukan sjorga tidak dengan Melinda.
Njoo Cheong Seng akhirnya berlabuh di Malang dan menikah dengan Huang Lin, istri keempatnya. Pada November 1962, tepatnya 28 hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-60, Njoo Cheong Seng meninggal dunia.
Dalam pengantar dalam salah satu bukunya, Njoo Cheong Seng sempat mengutarakan bahwa ia dikritik karena kisah-kisah yang ia buat selalu berakhir dengan kematian tokoh utama. Menurutnya, justru itulah yang terjadi dalam kehidupan: kematian adalah sesuatu yang alami dan merenggut kebahagiaan. Baginya, kisah-kisah yang berakhir bahagia tidak realistis.