Tampilkan postingan dengan label KEJAYAAN PERFILMAN DI SUMATRA UTARA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KEJAYAAN PERFILMAN DI SUMATRA UTARA. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Maret 2020

KEJAYAAN PERFILMAN DI SUMATRA UTARA

Medan. Sumatera Utara 

Pernah sangat diperhitungkan dalam industri film tanah air. Itu terjadi dalam kurun waktu tahun 1950-1980-an. Kala itu banyak film yang dihasilkan oleh pegiat film di daerah ini.

Film-film itu diproduksi oleh Production House (PH) lokal maupun PH dari Jakarta. Antara lain, Kuala Deli (1954), film musikal Tandjung Katung (1957), Sungai Ular (1961), Nelajan dari Pantai Seberang (1961), A Sing Sing So (1963), Daun Emas (1963), Ordipa (1964), Air Mata Darah (1964), Mutiara Hitam (1967), Disela-Sela Kelapa Sawit (1967), Catatan Seorang Gadis (1972), Perempuan di Jakarta (1973), Butet(1974), Setulus Hatimu (1974), Senyum dan Tangis (1974), Batas Impian (1974), Buaya Deli (1978), Sigura-Gura (1980), Sorta (1982), Musang Berjanggut (1983),dan Secangkir Kopi Pahit (1985). Film-film ini diputar di bioskop-bioskop. Film Setulus Hatimu yang dibintangi Tanti Yoseva dan didukung beberapa wartawan Medan, salah satunya Tanty Yoseva yang berhasil merebut gelar aktris terbaik FFI 1975.

Tidak hanya itu saja, Sumut ikut menyemarakkan perfilman nasional di era 1950-an hingga awal 1980-an. Film Turang (Rentjong Film) berhasil meraih Piala Citra di FFI ke-2 tahun 1960 untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Pemeran Pembantu Pria Terbaik, dan Tata Artistik Terbaik. Di event yang sama Kunanti Di Djogdja (Radial Film) meraih Piala Citra kategori Skenario Terbaik. Radial Film didirikan tahun 1953 oleh Mohammad Said, Amir Jusuf, dan Edisaputro. Film-film lain yang pernah diproduksi PH ini adalah Peristiwa Di Danau Toba (1955), Serampang XII (1956), Kunanti Di Djogdja (1958), Memburu Hantu (1961), dan Putri Hidjau (1961; tidak sempat beredar).
Hal ini diungkapkan pegiat film, Sihar Emiry kepada Medanbisnisdaily.com. Sihar yang pernah melakukan riset film yang diproduksi di Sumatera Utara ini menemukan banyak fakta yang mengejutkan.

“Sumatera Utara, khususnya Medan tidak hanya banjir film kala itu, namun juga menjadi magnet bagi insa perfilman Tanah Air. Banyak tokoh-tokoh film dari Jakarta pernah terlibat di film produksi Sumut ini. Mereka sekarang telah menjadi aktor dan aktris yang populer,” kata Sihar yang pernah bergabung di PH Media Identitas ini.

Beberapa di antaranya adalah Camelia Malik WD. Mochtar, Tatik Tito (Batas Impian) Nurhafni, Rizaldi Siagian (Butet) Roy Marten, Sukarno M.Noor (Musang Berjanggut), ungkap Sihar.

Hal yang sama juga pernah diungkapkan pengamat film Sumatera Utara, dr. Daniel Irawan dalam sebuah seminar film di Medan yang digelar sebuah komunitas film di Medan, belum lama ini. Beberapa film produksi Sumatera Utara, kini telah menjadi film yang paling banyak diburu penggemar film. Seperti film Butet, Musang Berjanggut, Buaya Deli. Bahkan ada yang sampai dibuat dalam bentuk komik. Selain itu, Medan juga pernah menjadi tuan rumah Festival Film Indonesia (FFI) yakni pada 1975 dan 1983.

Masyarakat Mendirikan Studio
Animo yang tinggi dari masyarakat membuat insan perfilman menggagas untuk mendirikan sebuah studio film. Para pegiat film itu menyampaikan gagasan itu kepada Gubernur Sumatera Utara. Kala itu dijabat oleh Marah Halim Harahap.

Pertemuan itu menyepakati bahwa untuk dana pendirian studio film itu berasal dari penambahan karcis bioskop sebesar Rp 25 sampai Rp 50 per karcis. Penambahan harga karcis bioskop tersebut berlaku selama dua tahun terhitung tahun 1975-1977. Dana penambahan harga karcis bioskop itu disetor langsung kepada Biro Keuangan Kantor Gubernur Sumut.

Selama dua tahun itu berhasil dikumpulkan uang sebesar Rp 350 juta. Uang itu digunakan untuk mendirikan studio film di Sunggal. Sejak itu, studio film Sunggal menjadi saksi bagaimana gigihnya insan-insan film di Sumatera Utara memproduksi film mereka. Studio film ini tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Utara, namun juga masyarakat pecinta film di Indonesia. Studio film Sunggal menjadi satu-satunya studio film di luar Jakarta, di masa itu.

Namun seiring waktu studio ini mulai ditinggalkan. Bangunannya mulai tidak terawat. Peralatannya mulai berhilangan. Pada tahun-tahun 1990-an, lahan studio ini pun mulai dipertanyakan sertifikatnya. Para pegiat film lalu mengurus sertifikat melalui tim inventarisasi.

Selain itu juga diterbitkan sebuah buku yang berjudul “Latar Belakang Sejarah Pendirian Studio Film Sunggal. Dari tahun ke tahun masalah tanah studio film tersebut terus dibicarakan tetapi belum ada kesimpulan. Sampai kemudian, lahan eks studio film Sunggal ini sudah dikuasai pihak swasta. Hingga saat ini para insan film di daerah ini berjuang untuk merebut kembali lahan itu untuk kembali dijadikan studio film seperti di masa lalu.