“FILMLAH satu-satunya yang membuat saya merasa hidup”.
Kata-kata ini diucapkan Wim Umboh bulan November 1981ketika ia tengah mempersiapkan film Putri Seorang Jendral.Padahal ia masih tertatih-tatih jalannya, karena sakit keras yangmembuatnya terkapar selama dua tahun di tengah pembuatanfilm Pengemis dan Tukang Becak (1978). Harap dicatat bahwaPutri Seorang Jendral adalah film ketiga sejak ia merasa “sehat”di tahun 1980. Saat itu ia baru seminggu mengalami perceraiandengan istri keduanya, almarhum Paula Rumokoy.Setelah itu, ia masih membuat 19 film lagi sebagai sutradara, dua filmsebagai editor, dan satu film tampil sebagai pemain.
Jadi, meski dalam keadaantak pernah sehat betul, selama 15 tahun terakhir ia sudah menyutradarai 22 film.Padahal sepanjang kariernya, sejak tahun 1955 (Kasih Ibu dan Di Balik Dinding),Wim Umboh telah menyutradarai 50 film. Artinya, dalam keadaan sehat (28 film) maupun sakit (22 film), ia sama produksinya. Sepanjang kariernya dalam film itu ia telah menerima lima piala Citrauntuk editing, tiga untuk film terbaik, dan satu untuk penyutradaraan. Catatanlain: hampir tidak ada filmnya yang “jatuh” di pasaran. Bahkan Pengantin Remaja(1971) dan Perkawinan (1972) merupakan film terlaris di zamannya dan dua filmyang mengorbitkan pasangan Sophan Sophian dan Widyawati sebagai bintanglaris hingga 20 tahun kemudian. Wim Umboh juga orang yang selalu ingin sebagai orang pertama. Iaadalah orang pertama yang membuat film berwarna pertama yang seluruhnyadikerjakan oleh tenaga Indonesia, yaitu sembilan (1967). Ia juga pertamamenggunakan film berukuran 70 mm dengan suara stereofonik enam jalur, yaituMama (1972).
Hingga saat jatuh sakit di tahun 1978, Wim Umboh memang selalumengebu-gebu. Selalu ingin nomor satu. Selalu ingin yang terbaik. Ini yangmembuatnya selalu kelihatan resah. Dalam peta perfilman tahun-tahun 70-andan 80-an itu, ada nama-namam seperti Syumanjaya, Teguh Karya,Djajakusumah, Asrul Sani, yang punya aura intelektual. Juga seperti Arifin C.Noor, Chaerul Umam di kemudiannya. Wim Umboh bukannya berasal dari lingkungannya seperti “saingannya” itu. Ia sudah menjadi yatim piatu sebelum berusia 10 tahun. Ia mulai karier filmnya di perusahaan Golden Arrow milik Chok Ching Shien sebagai tukang sapu dan pengantar surat panggilan shooting pada para pemain. Ini berarti Wim Umboh memulai karier filmnya dalam budaya“dagang”, budaya “anak wayang” yang merupakan kelanjutan dari budaya teater keliling Dardanella, atau film Terang Bulan. Sebuah budaya yang masih menjadiarus utama budaya film hingga sekarang, bahkan juga masuk ke televisi. Cirinyaantara lain adalah kebetulan yang sukar masuk akal, meratap-ratap, banyolan fisik.Agaknya karena menyadari kekurangan ini, maka Wim kemudian selalubekerja sama dengan orang lain dalam menuliskan gagasannya ke dalamskenario.
Misbach Yusa Biran, Syumanjaya dan Arifin C. Noer, adalah nama-nama yang juga ikut memberi warna pada film-filmnya.Wim di lokasi shoting mengarahkan pemain.
Nama-nama itu yangbersama Wim Umboh berhasil mengembangkan budaya tadi menjadi lebih baik.Tahun 70-an itu boleh dikatakan adalah puncak dari kariernya, karena setelah iajatuh sakit, maka Wim boleh dikatakan tinggal mengulang saja akan apa yangpernah dibuatnya. Sejak itu, kondisinya boleh dikatakan kondisi bertahan saja.Kerja sama dengan syumanjaya tidak hanya menghasilkan PengantinRemaja yang pop, manis dan laris, tapi juga Mama yang lebih bersifateksperimental. Film terakhir ini dibuat tanpa skenario yang rapi terlebih dahulu.Skenario ditulis oleh Syumanjaya bersamaan dengan rekaman gambar di tempat shooting. Struktur penceritaannya juga agak aneh, karena sebenarnya ada duacerita yang berlangsung tanpa hampirbersinggungan satu dengan yang lain.Dengan Arifin C. Noor, Wim menghasilkan percobaan seperti Senyum di Pagi Bulan Desember dan Sesuatu Yang Indah, yang punya warna “dongeng” dan sedikit surelistis, karena tempat kejadiannya dan fotografinya seolah takmenyarankan tempat yang jelas. Percobaan-percobaannya memang kemudian tak berlanjut. Tapi adaorang lain yang meneruskannya. Slamet Rahardjo dengan Rembulan danMatahari, maupun Garin Nugroho dengan Surat untuk Bidadari dan BulanTertusuk Ilalang adalah penerus percobaan-percobaan itu. Yang disayangkandari percobaan-percobaan itu adalah bahwa film-film itu belum sempat bergaungdan memberi warna pada arus utama perfilman nasional.
MESKI demikian Wim Umboh bukan hanya meninggalkan kisah-kisahcobanya. Yang jauh lebih penting adalah Wim Umboh yang boleh dikata seorangotodidak telah mendirikan sebuah “mashab” tersendiri dalam perfilman nasional,justru dari film-film “cinta” yang melodramatik. Dalam jenis ini, ia berhasil“menyempurnakan” jenis melodrama dari zaman-zamansebelumnya. Dalamjenis inilah sebetulnya keberhasilan Wim Umboh. Kisah percobaannya, bolehdikatakan adalah usahanya untuk lebih memberi bobot “intelektual” pada film-filmnya, dan karenanya juga lebih terasa sebagai sebuah percobaan dan kurangterasa “jujur”. Pergulatan Wim Umboh sebenarnya lebih pergulatan atas bentukbukan atas isi. Pengaruh film-film melodramanya itu sampai sekarang bisa dilihat dalamratusan sinetron yang bertebaran di siaran-siaran televisi, maka ia bisa disebutsebagai sebuah “mashab”. Cirinya antara lain adalah hampir tidak adanyamaster shot, atau sebuah rekaman adegan yang menyeluruh. Filmnya, 80persen terdiri dari rangkaian gambar medium shot dan close up. Rangkaian tadi dimanipulasikan sedemikian rupa dalam editing, hingga penonton mendapatkan kesan seperti yang dimauinya. Puncak dari permainan editingnya mungkin dari film Sesuatu yang Indah, dimana hampir separuh film dibuat hampir tanpa dialog. Gaya ini dipadukan dengan fotografi yang “lebih indah dari aslinya”,hingga penonton mendapat kesenangan terendiri dalam menonton.
Gaya demikian ini kemungkinan besar disebabkan karena Wim berangkat sebagai editor pertama-tama, hingga ia mempunyai ingatan fotografis yangsangat kuat akan rekaman gambar yang pernah dibuatnya dan yang akan dibuatnya. Daya ingat ini yang membuat para asistennya selalu terkagum-kagum. Ia seolah sudah memiliki film dalam otaknya sebelum film dibuat, hingga rekaman gambar hanyalah sebuah pelaksanaan saja. Daya ingat demikian ini yang tak pernah surut dari dirinya, meski fisiknya tidak pernah pulih karenasakitnya di tahun 1978.Gaya ini tidak hanya mempengaruhi banyak sutradara lain (Sophan Sophian yang kemudian terkenal sebagai sutradara boleh dikata adalah salah satu pengikutnya), tapi juga dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh semacamTeguh Karya dan Arifin C. Noor. Mungkin gaya inilah yang disumbangkan oleh Wim Umboh dalam perfilman nasional. Mungkin ada baiknya jika ada studi yang cukup serius terhadap gaya Wim Umboh ini, hingga menjadi lebih jelas tempatnya dalam perfilman nasional. Untuk perkembangan perfilman nasional sendiri, studi demikian ini juga diperlukan, karena jangan-jangan itulah salah satuciri film Indonesia.
FILM telah membuat Wim Umboh merasa hidup. Ia merasa hidup kalau membuat film, karena diluar itu baginya hidup tak ada artinya. Ini lanjutan dara kata-kata yang diucapkannya di atas. Ternyata film juga yang kemungkinan besar membuatnya meninggal. Sudah empat tahun ia tidak membuat film lagi, karena tidak ada lagi produser yang memintanya jadi sutradara, di sampingkarena begitu surutnya jumlah produksi sekarang ini. Tahun 1995 kemungkinan tidak lebih dari 15 film dibuat, tak sampai separuh dari tahun sebelumnya.Tahun 1991 adalah tahun kejayaan terakhir film Indonesia, karena sejak itu merosot dengan sangat tajam, dan tinggal film-film seks dan kekerasan yang dibuat sangat gampang, murahan dan menginjak-nginjakestetika sinema yang antara lain diperjuangkan dan dikembangkan oleh Wim Umboh. Seperti juga kebanyakan orang film, Wim Umboh lalu beralih ke televisi.Pahlawan tak Dikenal dan Apsari adalah dua serial televisi yang dibuatnya. Ia juga ikut-ikutan mendirikan rumah produksi meski belum sempat berproduksi ,sementara ia tengah mempersiapkan seri lain dan merencanakan pembuatan dokumentasi tentang riwayat hidupnya. Meski sama-sama berbentuk audiovisual, film televisi tampaknya hanya sekedar agar ia bisa bertahan hidup, karena seperti diketahui sakitnya juga membuat perusahaan dan keuangannya berantakan. Hal ini juga tak pernah bisa diraihnya kembali. Ia hanya bisa menghuni sebuah rumah sederhana di Perumnas Depok Utara. Di samping itu,umum diketahui bahwa film televisi tidak pernah bisa menandingi kehebatan film. Belum pernah ada sebuah film televisi yang menjadi “abadi” dan dikenang orang.
Jakarta, 24 Januari Sutradara film kawakan, Wim Umboh (63 tahun), Rabu pagi pukul 05.15 meninggal dunia di RS Husada, Jakarta Pusat, setelah dua malam dirawat karena diabetes. Jenazahnya dibawa ke rumah duka, Jalan Cengkeh No. 93 Depok Utara. Jenazah dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Pekerjaan film yang selama kariernya telah mengumpulkan 49 piala Citra (di antaranya 9 atas karyanya sendiri di bidang penyutradaraan, editing dan skenario), selepas tahun baru 1996 nampak sehat. Wim yang terakhir lebih suka dipanggil Achmad Salim, memang pernah menderita sakit ketika menggarap film “Pengemis dan Tukang Becak” (1979), dan kesehatannya kadang-kadang menurun. “Sekarang saya betul-betul sehat”, kata Wim Umboh ketika dijumpai Pembaharuan Rabu (3/1) malam dalam acara ulang tahun isteri ketiganya, Inne, yang dinikahinya tahun 1984 dan memberikan seorang putra, William (9 tahun). Wim Umboh menikah tiga kali. Dari yang pertama memperoleh putri, Maria, yang telah memberinya dua cucu. Pernikahannya yang kedua dengan aktris Paula Rumokoy (almarhumah), tanpa anak. Pengakuannya tentang kesehatannya itu oleh Wim ditunjukkan lewat semangatnya untuk berkiprah di bidang penyutradaraan sinetron. Wim yang mengawali karier di bidang penyutradaraan sebagai asisten dalam film “Tiga Benda Ajaib” (1952), terakhir menggarap film layar lebar “Ayu Genit” (1990). Ketika orang film banyak yang beralih menggarap sinetron, Wim juga menggarap serial “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang dibintangi oleh Lenny Marlina dan ditayangkan di TPI. Ketika berbincang dalam suasana santai tiga minggu lalu, Wim Umboh menyatakan keprihatinannya terhadap dunia film Indonesia. Dengan kalimat yang agak kurang jelas dia menuturkan, “Sebetulnya film nasional bisa bangun kalau kita masih punya semangat untuk bersaing, dengan televisi atau film impor. Saya yang masih punya semangat, tapi tidak didukung oleh orang-orang (maksudnya, karyawan film). Jadi ide saya terbengkalai. Laboratorium Film Almarhum yang kelahiran Watulinei, Sulawesi Utara, bukan cuma aktif sebagai pekerja film. Bersama Nyoo Han Siang (almarhum, pemilik Inter Studio Film), tahun 1972 mendirikan perusahaan laboratorium film kedua di Pasar Minggu, yang dilengkapi peralatan mutahir dan tenaga ahli dari Jepang. Lewat tangan kedua almarhum itu pula, didirikan suatu lembaga pendidikan artis yang melahirkan bintang-bintang baru. Ditengah ramainya produksi film. Inter Studio juga sempat memproduksi lima film sekaligus, diantaranya digarap oleh Teguh Karya, Wim Umboh dan Yung Indrajaya. Dia juga terkenal sebagai sutradara spesialis film percintaan. Dari tangannya pula muncul pasangan bintang Sophan Sophiaan - Widyawati yang diorbitkannya lewat film “Pengantin Remaja” yang ceritanya diakui diilhami dari film “Love Story”. Karena film itu sukses di perbioskopan nasional, Wim kemudian lebih tertarik mengangkat tema percintaan, antara lain “Perkawinan”, “Cinta”, dan “Sesuatu Yang Indah”. Padahal, menurut rekan terdekatnya, SM Ardan, pada dekade 1960-an almarhum lebih suka menggarap tema-tema kaum pinggiran. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman kerja almarhum, yang dimulai sebagai pembantu umum (yang melayani kebutuhan artis) di studio Golden Arrow sampai menjadi produser di PT Aries Angkasa Internasional Film.
Sebagai sutradara, prestasi Wim Umboh luar biasa. Menghasilkan sejumlah film, ia juga sutradara pertama dengan karya film berwarna, dan film 70 mm. Karya-karyanya menawarkan kisah cinta – yang tak sempat dinikmatinya dalam kehidupan pribadi. SUTRADARA besar film Indonesia, Wim Umboh, Rabu pagi subuh lalu berpulang di RS Husada Jakarta dalam usia 63 tahun, setelah mengalami koma selama dua hari akibat stroke dan penyakit gula. Setelah disemayamkan di rumah, Depok Utara, dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Kedua penyakit berat itu memang sudah akrab dengan almarhum sejak 17 tahun silam. Gara-gara penyakit itu pula, ketika menggarap film “Pengemis dan Tukang Becak” (1978), Wim pingsan selama 11 hari. Meski sejak itu kondisinya terus merosot, pelan-pelan ia bangkit kembali menyutradarai film. Menurut Sophan Sophiaan, bintang film yang diorbitkan almarhum, Wim adalah sutradara terbesar Indonesia. Dia bahkan pelopor di bidang penyutradaraan yang benar-benar membuat karya film untuk meningkatkan mutu perfilman Indonesia. “Almarhum adalah sutradara film pertama membuat film berwarna, film 70 mm, dan film yang brlokasi di luar negeri”, tambah Sophan Sophiaan yang bermain dalam “Pengantin remaja” (1972). Sementara itu pengamat perfilman nasional,
Salim Said, menyatakan bahwa Wim Umboh merupakan profil yang jelas dari dunia film Indonesia. Ia memulai karirnya dari bawah. Yang menarik dari dirinya ialah kemampuannya yang besar dalam membuat film. “Dia selalu membuat film baru dengan bintang yang baru, dan bisa dipastikan film itu laris di pasaran”, ujar ketua Dewan Kesenian Jakarta itu. Wim, menurut Salim, bukan hanya membuat film yang bertema cerita serba manis atau cerita cinta saja, tetapi juga film yang bertema sosial, bahkan film eksperimental, seperti “Mama” (1972). Ketika masih menjadi wartawan dan kritikus film di Majalah Berita Mingguan TEMPO, Salim dipercaya tampil sebagai asisten sutradara dalam pembuatan film tersebut. Semangat dan stamina almarhum memang luar biasa. Meski dalam keadaan sakit, ia sempat membuat film “Pengemis dan Tukang Becak” (1974). Setiap kali memuat film, Wim biasanya sudah hafal arahan penyutradaraannya, begitu pula jalan ceritanya, hingga para pemain tidak dapat membohonginya. “Ia sutradara yang terampil dan editor terbagus yang pernah kita miliki. Ia memperlakukan film bukan seperti barang dagangan, jadi tidak bisa harus cepat selesai. Ia selalu mementingkan penyempurnaan teknis. Ketika sakit, ternyata ia masih survive, masih mampu membuat film yang didasarkan pada endapan hati nuraninya yang paling dasar”, tambah Salim Said. Almarhum dilahirkan di Manado, 26 Maret 1933 sebagai anak bungsu dari 11 bersaudara. Sudah yatim piatu sejak usia 6 tahun, ia sempat menjadi tukang sepatu. Setelah lulus SMA berangkat ke Jakarta (1952), Wim melamar di studio Golden Arrow milik Chok Chien Shien. Ia memulai karir sebagai tukang sapu, kemudian penerjemah film dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia, lalu sebagai editor. Di samping bahasa Cina, ia juga menguasai bahasa Inggris dan Belanda.
Almarhum merupakan sutradara yang banyak menciptakan ide-ide inovatif. Ia juga seorang otodidak yang berhasil mendirikan “mazhab film” tersendiri yaitu “cinta yang melodramatik”.
Dalam film-film yang bertemakan cinta itu, ia berusaha memberi bobot nilai yang besar. Metode dan eksperimen- eksperimen yang dilakukannya, banyak ditiru oleh sutradara-sutradara muda. Prestasinya sungguh luar biasa. Ia meraih 27 Piala Citra, dan masih tetap sebagai sutradara yang harus dipertimbangkan untuk film-film bertemakan cinta. Ketika tahu bahwa FFI 1984 di Yogyakarta tidak menghasilkan film terbaik, ia gusar. “Bagaimanapun harus dipilih, mana yang terbaik dan terjelek”, katanya. Ia sendiri menyertakan film Yohanna, yang dinilainya belum sempurna. Film-filmnya ialah “Sepiring Nasi” (1955), “Istana yang Hilang dan Mendung Senja Hari” (1961), “Bintang Kecil” (1963), “Apa yang Kau Tangisi” (1964), “Macan Kemayoran” (1965 dengan lensa sinemaskop), “Sembilan” (film berwarna pertama), dan “Bunga-bunga Berguguran” (1970), “Mama” (1972, film pertama ukuran 70 mm), “Pengantin Remaja” (film terbaik FFA 1972), “Tokoh”dan “Perkawinan”(Piala Citra untuk film, sutradara dan editor terbaik dalam FFI 1973), “Senyum Dipagi Bulan Desember” dan “Kugapai Cintamu” (1974), “Cinta” (1975, Piala Citra untuk film dan editor terbaik dalam FFI 1976), “Sesuatu yang Indah” (1977, Piala Citra untuk editor terbaik dalam FFI 1977), “Laki-laki tak Bernama” dan “Pengemis dan Tukang Becak” (1978, meraih film terbaik dalam FFA 1978), “Kembang-kembang Plastik” (1978), “Yohanna” (1982), “Permata Biru” (1983), “Kabut Perkawinan” (1984). Tapi karirnya yang gemilang, tak diimbangi dengan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Rumah tangganya dua kali berantakan. Perkawinan dengan RO Sunarsih (1955), dikaruniai seorang anak perempuan, Lisa Maria, kini 40 tahun, patah di tengah jalan, mereka bercerai pada tahun 1957. Tujuh belas tahun kemudian, ia mempersunting bintang orbitannya sendiri, Paula Rumokoy, tapi mereka bercerai pada tahun 1982.
Sebelumnya tahun 1978, Wim yang perokok berat, menderita ginjal, lever dan maag. Ia merasa ditinggalkan oleh para sahabatnya, termasuk Paula. Belakangan, ia bertemu dengan Inne Ermina Chomid di Interstudio, Jakarta. Wim pun menikah dengan dara Sunda itu, meski usia mereka terpaut 28 tahun. Dan di tahun 1984 itu Wim pun memeluk agama Islam dengan nama baru, Achmad Salim. “Saya memeluk Islam semata karena Allah”, katanya usai upacara pengislaman, disaksikan Syumanjaya dan Misbach Jusa Biran. Dari pernikahannya ini almarhum dikaruniai seorang putra, William Umboh Ikhsan Salim, kini 10 tahun. Ketika film layar mulai sepi, maka seperti kebanyakan orang film lainnya, Wim juga beralih ke televisi. Dua sinetron yang telah digarapnya, Pahlawan tak Dikenal, ditayangkan TPI (1992-1993)dan Apsari ditayangkan SCTV (1994). Di akhir hayatnya, ia tengah mempersiapkan produksi sinetron Wibawa dan Tantangan yang akan ditayangkan di ANTeve