CHAERUL UMAM
Sekali waktu, Sutradara D. Djajakusuma memintanya mengisi suara (dubbing) sebuah film. Biasa main band di SMA, Chaerul Umam tidak kikuk menghadapi mikrofon. ''Eh, tak tahunya dibayar,'' katanya. Jumlah bayaran sama dengan bila ia sekali main drama -- yang latihannya berbulan-bulan. ''Pikiran saya waktu itu, enak benar jadi orang film, duitnya banyak.''
Promosinya sebagai sutradara juga tanpa sengaja. Pada 1975, Asrul Sani menangani film Tiga Sekawan, produksi Kwartet Jaya pimpinan Eddy Sud. Dua minggu sebelum shooting, Asrul mendadak mengundurkan diri. Tiga sutradara -- Misbach Jusa Biran, Wahju Sihombing, dan Nya Abas Acub -- diminta menggantikannya. Semua menolak. Acub malah mengusulkan Chaerul, yang memang pernah melamar, sebagai pengganti Asrul. ''Dan jadilah saya sutradara,'' tutur anak Tegal, yang biasa dipanggil Mamang ini.
Chaerul Umam mulai dicatat sebagai sutradara yang baik lewat film Al Kautsar, 1977, produksi PT Sippang Jaya Film, dan Titian Serambut Dibelah Tujuh, 1983, produksi PT Kofina. Kedua film bernapaskan Islam itu tampil utuh. ''Mungkin karena lingkungan kecil saya bersuasana keagamaan,'' katanya. Al Kautsar meraih penghargaan dari Festival Film Asia di Bangkok untuk Film Budaya Sosial Terbaik dan Rekaman Suara Terbaik. Namun, lewat Gadis Marathon, 1981, Mamang juga membuktikan dirinya mampu menggarap tema nonagama.
Pengagum sutradara Jepang Akira Kurosawa ini mengaku belajar film dari Sjumandjaja, Motinggo Boesje, Teguh Karya, dan buku- buku. Dalam menerima ''order'', ia mensyaratkan skenario yang baik, misi yang jelas, dan tidak mau didikte. Ia pernah menolak membikin film komedi seks.
Anak ketiga dari empat bersaudara, Mamang kini ayah sepasang putra-putri. Dulu ia suka lari pagi, tetapi belakangan lebih sering malas. Ia juga dikenal sebagai pembaca cerita pendek yang baik, dan beberapa kali tampil di TIM, Jakarta.
(lahir di Tegal, Jawa Tengah, 4 April 1943; umur 66 tahun) adalah seorang sutradara Indonesia. Chaerul telah mendapatkan penghargaan maupun nominasi untuk karya-karyanya di berbagai acara penghargaan lokal maupun internasional.
Sekali waktu, Sutradara D. Djajakusuma memintanya mengisi suara (dubbing) sebuah film. Biasa main band di SMA, Chaerul Umam tidak kikuk menghadapi mikrofon. ''Eh, tak tahunya dibayar,'' katanya. Jumlah bayaran sama dengan bila ia sekali main drama -- yang latihannya berbulan-bulan. ''Pikiran saya waktu itu, enak benar jadi orang film, duitnya banyak.''
Promosinya sebagai sutradara juga tanpa sengaja. Pada 1975, Asrul Sani menangani film Tiga Sekawan, produksi Kwartet Jaya pimpinan Eddy Sud. Dua minggu sebelum shooting, Asrul mendadak mengundurkan diri. Tiga sutradara -- Misbach Jusa Biran, Wahju Sihombing, dan Nya Abas Acub -- diminta menggantikannya. Semua menolak. Acub malah mengusulkan Chaerul, yang memang pernah melamar, sebagai pengganti Asrul. ''Dan jadilah saya sutradara,'' tutur anak Tegal, yang biasa dipanggil Mamang ini.
Anak opseter ini dididik dalam ketaatan beragama oleh ibunya, seorang muballighat. Walaupun bercita-cita menjadi polisi, si kecil Mamang gemar berteater di desa kelahirannya. Lewat grup Ababalu yang dibentuknya, ia merekrut para tetangganya -- tukang krupuk, tukang obat, pembatik -- untuk main sandiwara.Pindah ke Yogyakarta, jebolan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini membentuk grup Pentas Cuwiri, bersama Syu'bah Asa (kelak wartawan Tempo) dan Abdurrachman Saleh (terakhir pengacara). Ia juga bergabung dengan Teater HMI, kemudian tiga tahun mengikuti Bengkel Teater pimpinan Rendra.
Chaerul Umam mulai dicatat sebagai sutradara yang baik lewat film Al Kautsar, 1977, produksi PT Sippang Jaya Film, dan Titian Serambut Dibelah Tujuh, 1983, produksi PT Kofina. Kedua film bernapaskan Islam itu tampil utuh. ''Mungkin karena lingkungan kecil saya bersuasana keagamaan,'' katanya. Al Kautsar meraih penghargaan dari Festival Film Asia di Bangkok untuk Film Budaya Sosial Terbaik dan Rekaman Suara Terbaik. Namun, lewat Gadis Marathon, 1981, Mamang juga membuktikan dirinya mampu menggarap tema nonagama.
Pengagum sutradara Jepang Akira Kurosawa ini mengaku belajar film dari Sjumandjaja, Motinggo Boesje, Teguh Karya, dan buku- buku. Dalam menerima ''order'', ia mensyaratkan skenario yang baik, misi yang jelas, dan tidak mau didikte. Ia pernah menolak membikin film komedi seks.
Anak ketiga dari empat bersaudara, Mamang kini ayah sepasang putra-putri. Dulu ia suka lari pagi, tetapi belakangan lebih sering malas. Ia juga dikenal sebagai pembaca cerita pendek yang baik, dan beberapa kali tampil di TIM, Jakarta.
SEORANG DUBBER
BEBERAPA tahun lalu, nama Imam Setyantono, Chaerul Umam, sehari-hari dipanggil Mamang, identik dengan dubber (pengisi suara) top suaranya yang bernada bariton itu, antara lain bisa didengar lewat dialog pemeran kepala stasiun dalam film Koboi Sutra Ungu. Kini ia menyandang predikat lain: sutradara terkemuka. Baru saja melewati usia 40 tahun, April silam, Mamang sudah magang untuk profesi sutradara sejak 10 tahun berselang. Potensinya menyata dalam film Al-Kautsar (1977) dan Gadis Marathon (1982). Kuat dugaan dalam FFI tahun ini, filmnya Titian Serambut Dibelah Tujuh (TSDT) akan terpilih sebagai film terbaik. Di rumahnya yang "sering kebanjiran kalau hujan", sutradara kelahiran Tegal ini, pada suatu malam pekan silam, berbincang santai dengan James Lapian dari TEMPO
Beberapa petikan: Mengapa Anda tertarik memfilmkan kembali TSDT? Tahun 1973 saya membaca skenario TSDT di Sinematek dan menemukan dua hal yang menarik. Pertama, plot cerita yang dipakainya bergaya western yaitu plot linear. Kedua tema cerita menyodorkan kritik sosial dalam masyarakat Islam. Benarkah Anda mengubah skenario? Perubahan pertama justru dilakukan Asrul Sani, penulisnya sendiri. Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kembali dengan perkembangan masyarakat. Kemudian, baru saya mengadakan perubahan untuk skenario yang telah direvisi itu. Tapi sedikit, sekitar 10-20%. Itu pun terbatas pada masalah interpretasi terhadap skenario tersebut. Adakah semata-mata pesan "kebatilan pasti kalah" yang ingin Anda sampaikan lewat TSDT? Tidak. Justru saya ingin mengetengahkan masalah "kepemimpinan", tepatnya lagi, pudarnya keberanian untuk memimpin. Ini saya ungkapkan melalui tokoh Ibrahim. Kabut yang Anda hadirkan dalam TSDT, adakah dimaksudkan untuk lebih memberi tekanan pada setting desa yang terpencil? Kabut tidak punya hubungan dengan desa yang saya tempatkan terpencil di sela-sela pebukitan. Kabut hanya metafora yang melambangkan adanya selubung. Yakni selubung terhadap masalah yang ditampilkan. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyelubungi, tapi saya sadar itu ada. Saya tidak menyalahkan Anda yang melihat itu sebagai kabut. Bagaimana dengan desa, simbol juga? Kesederhanaan desa yang belum dijamah teknologi -- Anda bisa langsung tahu ini karena tidak adanya tiang listrik di sana sebenarnya melambangkan republik kita ini. Untuk ini saya tidak memberi warna lokal, karena desa seperti itu bisa ditemui di mana-mana. Namun saya sadar untuk menghilangkan warna lokal juga sulit sedangkan pengimbuhannya tidak selalu diharuskan.
Mengapa Anda cenderung pada Islam sebagai latar? Karena itu yang paling saya ketahui. Kegagalan saya dalam Sepasang Merpati karena saya tidak mengenal lingkungan yang jdi landasan cerita. Demikian juga dengan Gadis Marathon yang tertolong skenario (ditulis oleh Sjumaridjaya -- red.) yang kuat. Kalau saja saya mengenal dunia olah raga, atletik khususnya, film itu pasti lebih baik. Adakah hal lain yang ingin Anda ungkapkan sehubungan dengan penyutradaraan TSDT? Ya. Saya bebas dari campur-tangan pihak produser (Dewan Film). Berarti saya bertanggung jawab penuh atas buruk baiknya film tersebut. Dan saya tidak bisa berlindung di balik alasan "tekanan produser yang mengharuskan begini dan begitu." * * * Bupati Sosroningrat, yang dalam film R.A. Kartini diperankan Wisnoe Wardhana, memang penuh dengan konflik. Sebagai seorang bupati, ia sudah selayaknya patuh pada adat yang turun-temurun. Misalnya saja, ia harus memasang tembok pemisah antara R.A. Kartini, anaknya, dan Mas Ayu Ngasirah, ibu kandung Kartini. Maka ketika Kartini di suatu hari kemudian meminta kepada bapaknya agar ibu kandungnya diundang makan bersama, bisa dibayangkan apa yang berkeaamuk dalam sanubarinya: antara mempertahankan adat dan memenuhi tuntutan kemanusiaan anaknya. Sosok yang penuh konflik itu ternyata dihadirkan oleh aktor Wisnoe Wardhana dengan bagus. Apa resepnya
"Wah tak ada resep-resepan, saya main, ya main begitu saja," kata penari yang kini sedang menyiapkan disertasi di IKIP Yogyakarta. Tapi memang ada yang dilakukan Wisnoe. Dengan tekun ia mempelajari skenario Kartini selama setengah bulan. Ia pun selama itu berusaha menghafal dialog-dialog yang harus dilakukannya. Akhirnya muncul keyakinan dalam dirinya bahwa "kehidupan Bupati Sosroningrat yang harus saya perankan tak jauh berbeda dengan keluarga saya sendiri." Wisnoe, memang dilahirkan di dalam dinding keraton Yogya, 1929. Neneknya, Ratna Djuwita, dipersunting Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Peran Sosroningrat, kemudian dibawakannya dengan sangat wajar. Boleh dikata suasana kejawaan Kartini terbentuk antara lain berkat permainan Wisnoe. Lelaki dengan tinggi 172 cm dan berat 72 kg itu bukan orang baru dalam dunia film. Film pertamanya Roda Revolusi (1965) kemudian ia sempat bermain dalam beberapa film. November 1828, dan Al-Kautsar, antara lain. Diakuinya perannya dalam Kartini memang menantang. Tak mengherankan bila ia berusaha keras untuk membawakannya dengan baik. Adapun Sjumandjaya, sutradara Kartini, menjatuhkan pilihan pada Wisnoe karena "saya suka posturnya." Maksud Sjuman, "untuk membawakan seorang bupati Jawa yang progresif saya kira yang paling tepat ya Wisnoe." Sjuman telah rnengenal Wisnoe ketika main dalam sandiwara, ketika ia menari, dan ketika ia main dalam film. Toh, bagi Wisnoe sendiri film Kartini tidak sepenuhnya memuaskan. "Saya menyesal mengapa bukan suara saya sendiri dalam film itu, tapi suara Maruli Sitompul," katanya kepada TEMPO. Padahal kegagalan saya waktu dubbing, hanya karena saya belum diberi kesempatan maksimal
Tapi Sjuman punya pendapat sendiri: "Wisnoe seorang dalang juga, yang disiplin dlalognya tidak tepat untuk keperluan dubbing. Gara-gara suaranya diisi orang lain, sekalipun mainnya bagus, maka Wisnoe tak berhak untuk mendapat Citra. Sayang, memang. * * * Bagi Dewi Irawan, anak pertama almarhum aktor Bambang Irawan, perannya sebagai Halimah dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh memang baru. "Saya ingin mengubah gambaran bahwa saya cuma cocok untuk peran gadis binal," katanya kepada TEMPO ketika ditemui di Pusat Perfilman Usmar Ismail. Aktris yang kini berusia 20 tahun ini mengaku membaca skenario TSDT dengan tekun. Penafsirannya terhadap tokoh Halimah berubah setelah pengambilan gambar dimulai. Mula-mula Dewi menafsirkan si Halimah memang gila. "Tapi kemudian saya sadar bahwa Halimah sebenarnya belum gila," kata Dewi. "Semua perilakunya untuk menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak bersalah." Atas dasar penafsiran itulah ia bermain dengan gemilang, menandingi El Manik yang menjadi lawan mainnya. Pengagum Jane Fonda ini pertama kali terjun dalam film pada usia 9 tahun, membawakan peran kecil dalam Hanya Satu Jalan (1972). Selang dua tahun kemudian baru ia mendapat porsi agak besar dalam film Belas Kasih yang disutradarai ayahnya. Adakah Dewi memimpikan Citra? "Bukan Citra-nya yang penting, tapi kontrak filmnya," kata mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta itu terus terang. "Untuk ngebiayain sekolah gue.
Beberapa petikan: Mengapa Anda tertarik memfilmkan kembali TSDT? Tahun 1973 saya membaca skenario TSDT di Sinematek dan menemukan dua hal yang menarik. Pertama, plot cerita yang dipakainya bergaya western yaitu plot linear. Kedua tema cerita menyodorkan kritik sosial dalam masyarakat Islam. Benarkah Anda mengubah skenario? Perubahan pertama justru dilakukan Asrul Sani, penulisnya sendiri. Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kembali dengan perkembangan masyarakat. Kemudian, baru saya mengadakan perubahan untuk skenario yang telah direvisi itu. Tapi sedikit, sekitar 10-20%. Itu pun terbatas pada masalah interpretasi terhadap skenario tersebut. Adakah semata-mata pesan "kebatilan pasti kalah" yang ingin Anda sampaikan lewat TSDT? Tidak. Justru saya ingin mengetengahkan masalah "kepemimpinan", tepatnya lagi, pudarnya keberanian untuk memimpin. Ini saya ungkapkan melalui tokoh Ibrahim. Kabut yang Anda hadirkan dalam TSDT, adakah dimaksudkan untuk lebih memberi tekanan pada setting desa yang terpencil? Kabut tidak punya hubungan dengan desa yang saya tempatkan terpencil di sela-sela pebukitan. Kabut hanya metafora yang melambangkan adanya selubung. Yakni selubung terhadap masalah yang ditampilkan. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyelubungi, tapi saya sadar itu ada. Saya tidak menyalahkan Anda yang melihat itu sebagai kabut. Bagaimana dengan desa, simbol juga? Kesederhanaan desa yang belum dijamah teknologi -- Anda bisa langsung tahu ini karena tidak adanya tiang listrik di sana sebenarnya melambangkan republik kita ini. Untuk ini saya tidak memberi warna lokal, karena desa seperti itu bisa ditemui di mana-mana. Namun saya sadar untuk menghilangkan warna lokal juga sulit sedangkan pengimbuhannya tidak selalu diharuskan.
Mengapa Anda cenderung pada Islam sebagai latar? Karena itu yang paling saya ketahui. Kegagalan saya dalam Sepasang Merpati karena saya tidak mengenal lingkungan yang jdi landasan cerita. Demikian juga dengan Gadis Marathon yang tertolong skenario (ditulis oleh Sjumaridjaya -- red.) yang kuat. Kalau saja saya mengenal dunia olah raga, atletik khususnya, film itu pasti lebih baik. Adakah hal lain yang ingin Anda ungkapkan sehubungan dengan penyutradaraan TSDT? Ya. Saya bebas dari campur-tangan pihak produser (Dewan Film). Berarti saya bertanggung jawab penuh atas buruk baiknya film tersebut. Dan saya tidak bisa berlindung di balik alasan "tekanan produser yang mengharuskan begini dan begitu." * * * Bupati Sosroningrat, yang dalam film R.A. Kartini diperankan Wisnoe Wardhana, memang penuh dengan konflik. Sebagai seorang bupati, ia sudah selayaknya patuh pada adat yang turun-temurun. Misalnya saja, ia harus memasang tembok pemisah antara R.A. Kartini, anaknya, dan Mas Ayu Ngasirah, ibu kandung Kartini. Maka ketika Kartini di suatu hari kemudian meminta kepada bapaknya agar ibu kandungnya diundang makan bersama, bisa dibayangkan apa yang berkeaamuk dalam sanubarinya: antara mempertahankan adat dan memenuhi tuntutan kemanusiaan anaknya. Sosok yang penuh konflik itu ternyata dihadirkan oleh aktor Wisnoe Wardhana dengan bagus. Apa resepnya
"Wah tak ada resep-resepan, saya main, ya main begitu saja," kata penari yang kini sedang menyiapkan disertasi di IKIP Yogyakarta. Tapi memang ada yang dilakukan Wisnoe. Dengan tekun ia mempelajari skenario Kartini selama setengah bulan. Ia pun selama itu berusaha menghafal dialog-dialog yang harus dilakukannya. Akhirnya muncul keyakinan dalam dirinya bahwa "kehidupan Bupati Sosroningrat yang harus saya perankan tak jauh berbeda dengan keluarga saya sendiri." Wisnoe, memang dilahirkan di dalam dinding keraton Yogya, 1929. Neneknya, Ratna Djuwita, dipersunting Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Peran Sosroningrat, kemudian dibawakannya dengan sangat wajar. Boleh dikata suasana kejawaan Kartini terbentuk antara lain berkat permainan Wisnoe. Lelaki dengan tinggi 172 cm dan berat 72 kg itu bukan orang baru dalam dunia film. Film pertamanya Roda Revolusi (1965) kemudian ia sempat bermain dalam beberapa film. November 1828, dan Al-Kautsar, antara lain. Diakuinya perannya dalam Kartini memang menantang. Tak mengherankan bila ia berusaha keras untuk membawakannya dengan baik. Adapun Sjumandjaya, sutradara Kartini, menjatuhkan pilihan pada Wisnoe karena "saya suka posturnya." Maksud Sjuman, "untuk membawakan seorang bupati Jawa yang progresif saya kira yang paling tepat ya Wisnoe." Sjuman telah rnengenal Wisnoe ketika main dalam sandiwara, ketika ia menari, dan ketika ia main dalam film. Toh, bagi Wisnoe sendiri film Kartini tidak sepenuhnya memuaskan. "Saya menyesal mengapa bukan suara saya sendiri dalam film itu, tapi suara Maruli Sitompul," katanya kepada TEMPO. Padahal kegagalan saya waktu dubbing, hanya karena saya belum diberi kesempatan maksimal
Tapi Sjuman punya pendapat sendiri: "Wisnoe seorang dalang juga, yang disiplin dlalognya tidak tepat untuk keperluan dubbing. Gara-gara suaranya diisi orang lain, sekalipun mainnya bagus, maka Wisnoe tak berhak untuk mendapat Citra. Sayang, memang. * * * Bagi Dewi Irawan, anak pertama almarhum aktor Bambang Irawan, perannya sebagai Halimah dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh memang baru. "Saya ingin mengubah gambaran bahwa saya cuma cocok untuk peran gadis binal," katanya kepada TEMPO ketika ditemui di Pusat Perfilman Usmar Ismail. Aktris yang kini berusia 20 tahun ini mengaku membaca skenario TSDT dengan tekun. Penafsirannya terhadap tokoh Halimah berubah setelah pengambilan gambar dimulai. Mula-mula Dewi menafsirkan si Halimah memang gila. "Tapi kemudian saya sadar bahwa Halimah sebenarnya belum gila," kata Dewi. "Semua perilakunya untuk menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak bersalah." Atas dasar penafsiran itulah ia bermain dengan gemilang, menandingi El Manik yang menjadi lawan mainnya. Pengagum Jane Fonda ini pertama kali terjun dalam film pada usia 9 tahun, membawakan peran kecil dalam Hanya Satu Jalan (1972). Selang dua tahun kemudian baru ia mendapat porsi agak besar dalam film Belas Kasih yang disutradarai ayahnya. Adakah Dewi memimpikan Citra? "Bukan Citra-nya yang penting, tapi kontrak filmnya," kata mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta itu terus terang. "Untuk ngebiayain sekolah gue.
SEPASANG MERPATI | 1979 | CHAERUL UMAM | Director | |
AL KAUTSAR | 1977 | CHAERUL UMAM | Director | |
NADA DAN DAKWAH | 1991 | CHAERUL UMAM | Director | |
BOSS CARMAD | 1990 | CHAERUL UMAM | Director | |
RAMADHAN DAN RAMONA | 1992 | CHAERUL UMAM | Director | |
JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA | 1990 | CHAERUL UMAM | Director | |
BINTANG KEJORA | 1986 | CHAERUL UMAM | Director | |
FATAHILLAH | 1996 | CHAERUL UMAM | Director | |
JOE TURUN KE DESA | 1989 | CHAERUL UMAM | Director | |
TERAN BULAN DI TENGAH HARI | 1988 | CHAERUL UMAM | Director | |
KEJARLAH DAKU KAU KUTANGKAP | 1985 | CHAERUL UMAM | Director | |
OOM PASIKOM | 1990 | CHAERUL UMAM | Director | |
CINTA PUTIH | 1977 | CHAERUL UMAM | Director | |
NARROW BRIDGE, THE | 19-- | CHAERUL UMAM | Director | |
KELUARGA MARKUM | 1986 | CHAERUL UMAM | Director | |
TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH | 1982 | CHAERUL UMAM | Director | |
BETAPA DAMAI HATI KAMI | 1981 | CHAERUL UMAM | Director | |
GADIS MARATHON | 1981 | CHAERUL UMAM | Director | |
TIGA SEKAWAN | 1975 | CHAERUL UMAM | Director | |
MALIOBORO | 1989 | CHAERUL UMAM | Director | |
HATI YANG PERAWAN | 1984 | CHAERUL UMAM | Director | |
SAMA JUGA BO HONG | 1986 | CHAERUL UMAM | Director | |
SAMA JUGA BOHONG | 1986 | CHAERUL UMAM | Director |