TELANJANG untuk Siapa?
PEMAIN wanita yang telanjang bulat itu berjalan ke arah pemain lelaki yang menantinya dengan tenang. Berpelukan, wanita bugil itu perlahan-lahan dibaringkan. Sudah itu gelap. "Untuk konsumsi Indonesia, adegan ini akan dipotong", begitu sutradara Syarifuddin menjelaskan salah satu adegan dari film terbarunya. Manajer Hotel. Kalau toh akan dipotong - sebab pasti kan digunting oleh Badan Sensor Film (BSF) -- mengapa adegan itu toh dipotret? Dan Syarifuddin (film-filmnya: Hidup Cinta dan Air Mata, Tiada Maaf Bagimu) menjawab: "Itu kehendak produsen. Adegan-adegan itu dimaksudkan untuk konsumsi ekspor". Sang produser, Herman Samadikun SH, membenarkan keterangan Syarifuddin. "Kami akan minta sensor agar tidak usah menggunting film yang akan diekspor. Adegan semacam itu di luar negeri belum apa-apa", kata Samadikun kepada Syarif Hidayat dari TEMPO. Tapi justru karena "belum apa-apa" itulah maka banyak produser dan sutradara film Indonesia enggan membuat film sex. Nico Pelamonia, misalnya, ia mengaku tahu betul bahwa film-film kita yang tanggung itu akan kalah total dengan film sex buatan Eropa. Dan jika ingin film kita laku di pasaran luar, resep Wim Umboh boleh dinilai cukup menyenangkan sembari juga mengentengkan kerja BSF. "Bikin film-film yang berlatar belakang kebudayaan kita. Orang asing senang". Harus Lolos Dulu Bicara mengenai sensor, ribut-ribut para produser untuk merebut pasaran di luar negeri. Ternyata juga bikin pusing anggota BSF maupun pihak Direktorat Bina Film Deppen. Mestinya "film Indonesia, yang diedarkan dalam negeri atau yang akan diekspor, semua harus lolos sensor dulu", begitu Haji Abdul Karim sekretaris BSF memberi penjelasan. Tapi karena film-film Indonesia sekarang ini dikerjakan di laboratorium luar negeri - Hongkong di Tokyo - maka banyak kali terjadi ekspor dilakukan tidak lewat Indonesia, melainkan langsung saja dari Tokyo atau Hongkong ke negara pembeli. Kebocoran demikian, menurut Karim, akan sulit diatasi selama di Indonesia belum ada laboratorium. Karena itulah maka BSF dan Deppen sangat bergembira mendengar kabar bakal dibukanya laboratorium film berwarna milik Nyoo Han Siang serta milik Perusahaan Film Negara (PFN). "Kelak jika lab PFN dan milik Nyoo sudah bekerja, kebocoran tadi tentu bisa ditekan. Sebelum diserahkan kepada pemiliknya, film-film yang diproses di dua lab itu harus diserahkan dulu kepada BSF", tambah Karim pula. Menanti beberapa tahun, hingga hari ini belum seorang juga yang sanggup memastikan saat diprosesnya semua film berwarna di dalam negeri. Sementara itu film-film dengan adegan sex makin banyak saja dibuat di negeri ini. Dalam peredaran di bioskop-bioskop Indonesia, adegan-adegan yang hangat itu memang sulit ditemukan. Tapi di luar negeri dan di kantor BSF tidak sulit menikmati "kehebatan" bermain di ranjang Yatti Octavia dengan Yan Bastian (Sentuhan Cinta), sampai-sampai suami artis itu terkejut melihat kebolehan isterinya di atas ranjang (film). Menantu Musim film berani macam Manajer Hotel dan Sentuhan Cinta itu tiba-tiba membangkitkan kembali kenangan orang film pada kisah-kisah tante girang yang masyhur di tahun enam puluhan. Nah, lahirlah film Tante & Sex. Siapa pula yang memainkannya kalau bukan Tuty S.? Dan sutradaranya tidak lain dari Bay Isbhahy, anak menantu artis kawakan itu. Yang menarik dari film ini bukan saja cerita dan penampilannya, tetapi juga produsernya. Washi Dipa, dulu pernah mengungkapkan bahwa ia tidak bakal membuat film-film yang berbau sex, "sebab itu bertentangan dengan pesan orang tuanya". Tapi film Tante & Sex ini kemudian dibikinnya juga lantaran "broker-broker meminta saya membuat film sex yang katanya sedang disenangi oleh para penonton, terutama di daerah-daerah". Berbeda dengan Herman Samadikun Washi membuat adegan sex dengan harapan ada pasar dalam negeri. Meski ia tetap juga akan menjual filmnya ke Hongkong, tempat film-film itu diproses, sehingga guntingan sensor Indonesia masih tetap bisa ditolong oleh lab Hongkong yang mempunyai kopi guntingan tadi. Gope Samtani (PT Rapi Film, pembuat seri Ateng Sok Tahu, Ateng The Godfather) sependapat dengan Washi dalam hal pasaran. Menurut Gope: "Pasaran film Indonesia di dalam negeri, terutauna di daerah pada umumnya baik". Karena baik itulah maka Gope tidak suka bikin film sex, sebab film itu - karena diguntingi oleh sensor - akan tiba di mata penonton dalam keadaan tidak utuh. "Ini akan sangat mengecewakan para penonton dan kalau mereka sudah kecewa bisa berabe akibatnya", kata Gope pula. Karena itu Gope bersama sutradara Has Manan, sibuk terus dengan Ateng. Iskak dan Vivi Sumanti. Sampai tua?
PEMAIN wanita yang telanjang bulat itu berjalan ke arah pemain lelaki yang menantinya dengan tenang. Berpelukan, wanita bugil itu perlahan-lahan dibaringkan. Sudah itu gelap. "Untuk konsumsi Indonesia, adegan ini akan dipotong", begitu sutradara Syarifuddin menjelaskan salah satu adegan dari film terbarunya. Manajer Hotel. Kalau toh akan dipotong - sebab pasti kan digunting oleh Badan Sensor Film (BSF) -- mengapa adegan itu toh dipotret? Dan Syarifuddin (film-filmnya: Hidup Cinta dan Air Mata, Tiada Maaf Bagimu) menjawab: "Itu kehendak produsen. Adegan-adegan itu dimaksudkan untuk konsumsi ekspor". Sang produser, Herman Samadikun SH, membenarkan keterangan Syarifuddin. "Kami akan minta sensor agar tidak usah menggunting film yang akan diekspor. Adegan semacam itu di luar negeri belum apa-apa", kata Samadikun kepada Syarif Hidayat dari TEMPO. Tapi justru karena "belum apa-apa" itulah maka banyak produser dan sutradara film Indonesia enggan membuat film sex. Nico Pelamonia, misalnya, ia mengaku tahu betul bahwa film-film kita yang tanggung itu akan kalah total dengan film sex buatan Eropa. Dan jika ingin film kita laku di pasaran luar, resep Wim Umboh boleh dinilai cukup menyenangkan sembari juga mengentengkan kerja BSF. "Bikin film-film yang berlatar belakang kebudayaan kita. Orang asing senang". Harus Lolos Dulu Bicara mengenai sensor, ribut-ribut para produser untuk merebut pasaran di luar negeri. Ternyata juga bikin pusing anggota BSF maupun pihak Direktorat Bina Film Deppen. Mestinya "film Indonesia, yang diedarkan dalam negeri atau yang akan diekspor, semua harus lolos sensor dulu", begitu Haji Abdul Karim sekretaris BSF memberi penjelasan. Tapi karena film-film Indonesia sekarang ini dikerjakan di laboratorium luar negeri - Hongkong di Tokyo - maka banyak kali terjadi ekspor dilakukan tidak lewat Indonesia, melainkan langsung saja dari Tokyo atau Hongkong ke negara pembeli. Kebocoran demikian, menurut Karim, akan sulit diatasi selama di Indonesia belum ada laboratorium. Karena itulah maka BSF dan Deppen sangat bergembira mendengar kabar bakal dibukanya laboratorium film berwarna milik Nyoo Han Siang serta milik Perusahaan Film Negara (PFN). "Kelak jika lab PFN dan milik Nyoo sudah bekerja, kebocoran tadi tentu bisa ditekan. Sebelum diserahkan kepada pemiliknya, film-film yang diproses di dua lab itu harus diserahkan dulu kepada BSF", tambah Karim pula. Menanti beberapa tahun, hingga hari ini belum seorang juga yang sanggup memastikan saat diprosesnya semua film berwarna di dalam negeri. Sementara itu film-film dengan adegan sex makin banyak saja dibuat di negeri ini. Dalam peredaran di bioskop-bioskop Indonesia, adegan-adegan yang hangat itu memang sulit ditemukan. Tapi di luar negeri dan di kantor BSF tidak sulit menikmati "kehebatan" bermain di ranjang Yatti Octavia dengan Yan Bastian (Sentuhan Cinta), sampai-sampai suami artis itu terkejut melihat kebolehan isterinya di atas ranjang (film). Menantu Musim film berani macam Manajer Hotel dan Sentuhan Cinta itu tiba-tiba membangkitkan kembali kenangan orang film pada kisah-kisah tante girang yang masyhur di tahun enam puluhan. Nah, lahirlah film Tante & Sex. Siapa pula yang memainkannya kalau bukan Tuty S.? Dan sutradaranya tidak lain dari Bay Isbhahy, anak menantu artis kawakan itu. Yang menarik dari film ini bukan saja cerita dan penampilannya, tetapi juga produsernya. Washi Dipa, dulu pernah mengungkapkan bahwa ia tidak bakal membuat film-film yang berbau sex, "sebab itu bertentangan dengan pesan orang tuanya". Tapi film Tante & Sex ini kemudian dibikinnya juga lantaran "broker-broker meminta saya membuat film sex yang katanya sedang disenangi oleh para penonton, terutama di daerah-daerah". Berbeda dengan Herman Samadikun Washi membuat adegan sex dengan harapan ada pasar dalam negeri. Meski ia tetap juga akan menjual filmnya ke Hongkong, tempat film-film itu diproses, sehingga guntingan sensor Indonesia masih tetap bisa ditolong oleh lab Hongkong yang mempunyai kopi guntingan tadi. Gope Samtani (PT Rapi Film, pembuat seri Ateng Sok Tahu, Ateng The Godfather) sependapat dengan Washi dalam hal pasaran. Menurut Gope: "Pasaran film Indonesia di dalam negeri, terutauna di daerah pada umumnya baik". Karena baik itulah maka Gope tidak suka bikin film sex, sebab film itu - karena diguntingi oleh sensor - akan tiba di mata penonton dalam keadaan tidak utuh. "Ini akan sangat mengecewakan para penonton dan kalau mereka sudah kecewa bisa berabe akibatnya", kata Gope pula. Karena itu Gope bersama sutradara Has Manan, sibuk terus dengan Ateng. Iskak dan Vivi Sumanti. Sampai tua?