AZWAR AN
Lahir di Palembang, Kamis, 06 Agustus 1942
Pendidikan: SMA, Asdrafi. Sebelum terjun ke film ia aktif di teater. Bersama WS Rendra mendirikan Bengkel Teater. Pertama kali terjun ke film langsung jadi asisten sutradara dalam Bing Slamet Koboi Cengeng (1974). Pernah juga jadi penulis skenario, selain merangkap jadi astrada, yakni dalam Kampus Biru (1976). Dan mulai jadi sutradara dalam Gara-Gara Janda Kaya (1977). Selain didalam ia juga aktif di organisasi, dengan menjabat Ketua Cabang Parfi Yogyakarta. Dan masih sempat juga jadi dosen teater pada ISI serta Ketua Teater Alam Yogyakarta. Masuk juga ke dunia sinetron dengan menyutradarai Nyi Mas Mirah (1986) produksi TVRI.
Pendidikan: SMA, Asdrafi. Sebelum terjun ke film ia aktif di teater. Bersama WS Rendra mendirikan Bengkel Teater. Pertama kali terjun ke film langsung jadi asisten sutradara dalam Bing Slamet Koboi Cengeng (1974). Pernah juga jadi penulis skenario, selain merangkap jadi astrada, yakni dalam Kampus Biru (1976). Dan mulai jadi sutradara dalam Gara-Gara Janda Kaya (1977). Selain didalam ia juga aktif di organisasi, dengan menjabat Ketua Cabang Parfi Yogyakarta. Dan masih sempat juga jadi dosen teater pada ISI serta Ketua Teater Alam Yogyakarta. Masuk juga ke dunia sinetron dengan menyutradarai Nyi Mas Mirah (1986) produksi TVRI.
AZWAR ANWAR, baru saja kembali dari Hongkong setelah beberapa hari di
sana untuk prosessing film terbarunya “Tante Soendari”. Kini setibanya
di Jakarta, ia sibuk mempersiapkan “kuda-kuda” bersama advocatnya untuk
mengajukan sebuah perkara di mejahijau.
Azwar termasuk “pemberontak” yang paling tidak suka dianak-tirikan.
Itulah sifat yang banyak mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Dalam
demonstrasi gundul kepala yang dilakukan oleh Faroek Affero di ujung
tahun 1973 yang lalu, orang belum begitu kenal siapa itu Azwar padahal
dia tidak kalah pentingnya dalam demonstrasi anti film asing itu.
Jauh hari setelah demonstrasi itu, nama Azwar memang tidak banyak
kedengaran lagi. Ia tenggelam dalam berbagai kesibukan lain, teater,
film, rumah tangga, dan sebagainya. Di bidang film ia harus sibuk
mempelajari seluk beluk pembuatan film dengan sejumlah sutradaranya,
Njak Abbas Acub, Pietradjaja Burnama, Asrul Sani, dan Ami Prijono.
Dalam hubungan itu, Azwar mengakui ia tidak akan pernah melupakan
sutradara Nja Abbas Acub. Karena Njak Abbas banyak memberikan
dasar-dasar pengetahuan directing untuknya. Azwar menjabat sebagai
asisten Njak Abbas Acub dalam 2 film., “Koboi Cengeng” dan “Ateng Minta
Kawin”.
Anak Minang yang mengaku lahir di Palembang pada awal Agustus 1943
ini mungkin karena khilafnya mengatakan kepada seorang wartawan lain, ia
lahir di Lampung. Tidak jelas mana yang benar, tetapi yang pasti Azwar
dibesarkan di Pulau Jawa dan menamatkan sekolahnya di Akademi Seni Drama
dan Film (ASDRAFI) Yogyakarta.
SEBELUM terjun ke film, di tahun 1973, Azwar dikenal sebagai pelawak
panggung, sering muncul dalam pementasan bersama Moh, Suhud dan Herman.
Kariernya ini tidak bertahan lama karena pada suatu ketika ia ikut
mendirikan “BENGKEL TEATER” dan aktif di sana selama beberapa tahun.
Sekarang ia mengundurkan diri dari Bengkel Teater dan membentuk group barunya yang diberi nama “Teater Alam”.
Kesibukan di Safari Film yang selama ini mempercayakan
produksi-produksinya kepadanya: “Cewek Indian” “Janda Kaya”, “Sisa
Feodal”, dan “Tante Soendari” membuat Azwar ssering berpisah dengan
istri dan anak-anaknya yang masih berdomisili di Yogyakarta.
Bagaimana dengan Teater Alam? Tidak terlantas, karena istrinya Titiek dipercayakan untuk terus membina dan memeliharanya.
Sampai saat ini Azwar masih beranggapan teater dan film adalah
dunianya. Keduanya dicintainya sehingga tidak ada yang dapat
dikorbankan. Bahkan ia mengharap orang-orang teater lain yang belakangan
banyak muncul di film tidak begitu saja melupakan teater. Dia bangga
rekan-rekan ex ATNI tahun lalu masih mementaskan “MONTSERRAT” di Teater
Terbuka TIM.
Sebagai bekas dramawan Azwar mengaku tidak merasa ada perbedaan
teater dengan film. “Biasa saja karena saya sudah banyak sekali
menyutradarai drama, jadi di film tidak ada keistimewaannya,” ujarnya.
“Profesi sutradara bukanlah istimewa, dia hanya pengarah cerita dalam
gambar, dia cuma pelahir ide-ide saja,” lanjutnya mengakhiri
keterangan.
TEATER ALAM
Minggu pagi, tak kurang dari 20 eksponen Teater Alam pun berkumpul.
Bang Azwar, begitu ia biasa disapa, bahagia bukan kepalang. Dalam usia
yang ke-81, secara fisik Azwar tampak sehat. Hanya saja, daya ingatnya
memang mulai menurun. Ketika didaulat berbicara, terasa benar luapan
emosinya. Rasa bahagia yang membuncah, ucapan banyak terima kasih dalam
nada bergetar, dan nyaris menjatuhkan air mata. Beruntung, celetukan
dari orang per orang, segera mencairkan suasana.
“Saya harap, kalian melanjutkan Teater Alam. Sekali-kali,
berkumpulah, bikin pementasan. Kumpulkan dan libatkan teman-teman yang
kini tersebar di mana-mana, baik di Indonesia maupun yang berada di
mancanegara,” harap Azwar AN, pendiri Bengkel Teater Yogyakarta dan ayah
tiga orang anak itu.
Tokoh senior lain yang hadir adalah Tertib Suratmo (78). Sahabat
Azwar AN sejak di Bengkel Teater, begitu antusias menghadiri acara yang
diberi tagline “Kangen-kangenan Karo Bang Azwar AN”. Udik Supriyanta,
generasi bontot Teater Alam, yang ‘kedapuk’ menjemput Suratmo,
mengisahkan dengan gaya jenakanya. “Waktu saya datang, Mas Tertib
Suratmo sedang nyungging wayang. Lalu saya ceritakan tentang pertemuan
ini, dia langsung mengemasi wayang dan alat tatahnya, ganti baju, dan
segera mengajak berangkat ke Wirokerten ini,” kata Udik, yang siang itu
memandu jalannya acara.
Benar. Teater Alam sudah melahirkan banyak seniman teater di
Indonesia, tidak sedikit juga yang kemudian merambah bidang lain. Hari
itu, selain hadir anggota Teater Alam yang masih bergiat di dunia teater
di Kota Gudeg, hadir juga murid-murid Azwar yang secara khusus datang
dari luar kota Yogyakarta.
Tapi Usai Bang Azwar dan Mas Ratmo meluapkan rasa bahagianya, Udik
segera menggilir peserta temu kangen untuk berbicara. Meritz Hindra,
pendiri sekaligus angkatan pertama Teater Alam, langsung antusias
menyambut harapan Azwar untuk “pentas reuni Teater Alam”.
Seniman berambut gondrong yang sudah malang-melintang di dunia
teater, film, dan seni rupa itu, juga menyegarkan suasana dengan
ungkapan kenangan masa lalu.
“Saya tidak habis pikir sama anak-anak teater Alam. Datang didiamkan
berhari-hari, berminggu-minggu, tapi balik lagi. Latihan salah dilempar
sandal, balik lagi. Disuruh lari-lari di tengah hujan, balik lagi.
Di-munyuk-munyuk-kan (munyuk = monyet-red), tetap saja balik lagi,” ujar
lelaki kelahiran Solo, 22 April 1949 itu.
Gege Hang Andhika, Senior teater Alam yang juga adik ipar Azwar AN
ini dikenal easy going dan jenaka. Lelaki berperawakan tinggi berkulit
putih belum lagi habis bicara, ketika ada yang nyeletuk “klinthing”.
Klinthing adalah suara logam yang jatuh ke lantai. Apa pasal celetukan
itu membuat semua hadirin tertawa.
Syahdan, ketika Gege memerankan Oidipus dalam lakon Oidupus Rex
(Oidipus Sang Raja) karya Sophocles, ia lupa dialog dan terucap kata
“klinthing”. Kata “klinthing” jelas tidak ada dalam naskah. Apa boleh
buat, Gege memang lupa, dan “lupa dialog” sudah menjadi “nama tengah”
Gege, alias biasa.
Hebatnya, sebagai aktor kawakan, Gege bisa dengan mudah
berimprovisasi, dan tidak merusak keseluruhan repertoar. “Itulah
hebatnya anak-anak Teater Alam. Semua jago improvisasi,” kata Gege.
Makan siang tidak tertolak, ketika perut semakin lapar dan sepertinya
semua sudah bicara. Meski kebanyakan yang hadir awalnya bertekad,
“Pokoknya tidak mau ngomong program atau gagasan, maunya ger-geran
saja,” tidakk urung ngomong ide dan rencana juga.
Meritz Hindra, Daru Maheldaswara dan yang aktif di Yogyakarta,
seperti Puntung CM Pudjadi (yang kebetulan tidak hadir) diminta
menyiapkan naskah dan memproduksi pentas reuni Teater Alam.
Sampai bubar acara ketika matahari sudah tergelincir ke barat,
sekelompok kecil hadirin yang tersisa masih asyik membicarakan rencana
itu.
Meritz Hindra memandu jalannya diskusi ringan, membahas rencana
produksi secara umum. “Segera setelah dapat naskah dari Daras, kita
ketemuan untuk bedah naskah, adaptasi naskah dan rencana produksi lebih
lanjut,” ujar Meritz menunjuk Roso Daras yang tinggal di Jakarta untuk
men-copy dan mengirim naskah drama “Ketika Bumi tak Beredar” karya Frans
Rahardjo ke markasTeater Alam.
TERGODA RAYUAN | 1984 | EDDY G. BAKKER | Actor | |
BANTENG MATARAM | 1983 | BAY ISBAHI | Actor | |
BRAHMA MAGGALA | 1988 | JIMMY ATMAJA | Actor | |
ARYA PENANGSANG | 1983 | BAY ISBAHI | Actor | |
BING SLAMET KOBOI CENGENG | 1974 | NYA ABBAS AKUP | Actor | |
TANTE SUNDARI | 1977 | AZWAR AN | Director | |
LARA JONGGRANG | 1983 | JIMMY ATMAJA | Actor | |
PENGINAPAN BU BROTO | 1987 | WAHYU SIHOMBING | Actor | |
ATENG MATA KERANJANG | 1975 | ASRUL SANI | Actor | |
DJAGO | 1990 | ABDI WIYONO | Actor | |
KEJAMNYA IBU TIRI TAK SEKEJAM IBU KOTA | 1981 | AZWAR AN | Director | |
BAYANG-BAYANG KELABU | 1979 | FRANK RORIMPANDEY | Actor | |
GARA-GARA JANDA KAYA | 1977 | AZWAR AN | Director | |
SUSUK NYI RORO KIDUL | 1993 | AZWAR AN | Actor Director | |
CINTA SEMALAM | 1983 | I.M. CHANDRA ADI | Actor | |
SISA FEODAL | 1977 | AZWAR AN | Director | |
TIGA CEWEK INDIAN | 1976 | AZWAR AN | Director | |
SI KABAYAN DAN ANAK JIN | 1991 | HENKY SOLAIMAN | Actor | |
HIDUNG BELANG KENA BATUNYA | 1982 | EDUART P. SIRAIT | Actor | |
JANUR KUNING | 1979 | ALAM SURAWIDJAJA | Actor | |
KENIKMATAN | 1984 | NICO PELAMONIA | Actor | |
KAMPUS BIRU | 1976 | AMI PRIJONO | Director |