Sensor oh sensor.
Susah susah gampang, sama pertanyaanya dengan perlu apa tidak sensor? Perlu-perlu tidak jawabnya. Di dalam sebuah negara biasanya ada tahap penyensoran film dilakukan, pengajuan skenario, shooting film di kontrol, hasil editing film juga. Jadi ada 3 tahap yang dilakukan pengecekan dari sensor. Beberapa negara ada yang menerapkan longgar, hanya di tahap editing final saja. Jadi menyerahkan film itu kesensor, dan sensor potong, lalu di serahkan ke pihak film dan pihak film akan menayangkan hal film hasil potongan itu. Beberapa negara seperti Mesir pengalaman saya malah gila, melakukan 3 tahap, skenario di cek, shooting lokasi juga di cek tanpa tertinggal satu scene sekali pun, hingga ke hasil jadi. Ini untuk menghindari pengeluaran biaya besar ketika di hasil akhir film yang ternyata tidak bisa tayang. Beberapa negara hanya memerlukan adegan sex-nya saja, atau politiknya saja, tapi bagi Indonesia, ada 3 faktor yang penting. Politik/stabitas nasional lah istilahnya dengan tidak boleh menampilkan Bad aparatur negara, Tidak ada isu sara/Agama, dan sex.
Tetapi saya punya pengalaman yang unik juga dengan sensor Indonesia, ketika film Promised Paradise di putar di Jiffest 2008. Film ini awalnya lulus sensor (agak aneh memang, festival International pakai sensor segala...hal yang terjadi adalah marahnya beberapa pihak pemilik film Asing yang filmnya di pinjamkan pada festival Jakarta ini dan di kembalikan dalam keadaan potong-potongan adegan yang hilang. Hal ini di siasati dengan menutup lensa proyektor bila adegan yang di sensor itu untuk dihilangkan, jadi di layar tampak blank saja, atau di out focuskan dengan lensa proyektot, hal ini untuk menghindari pemotongan film-film asing). Tetapi saat film Promise Paradise di tayangkan hari pertama, penonton penuh dan selanjutnya tidak ada pemutaran di hari ke 2 dan ke 3-nya. Artinya film itu di tarik kembali.
Apa alasannya? Bukan sex, bukan politik, bukan sara, tetapi adalah pernyataan Imam Samudra pelaku Boom Bali tentang ayat-ayat Al Quran yang menunjang motivasinya untuk melakukan hal itu. Sedangkan badan sensor ingin agar ayat itu di potong sehingga tampaknya Imam melakukan hal itu begitu saja tanpa ada dasar-nya. Seperti orang gila saja. Tetapi Ayat Al Quran itu memang ada. Tanpa harus mengecilkan Imam Samudra, maka film itu tidak boleh di putar karena kami tidak mau kompromi dengan badan sensor atas menghilangkan ayat itu. Karena, pertanggung jawaban pembuat film bukan hanya pada isi-nya saja, tetapi pada menjaga apa yang dilakukan para tokoh yang diangkat juga. Film ini dokumentar. Kita tidak berani menghilangkan ayat itu, dan kita tidak mau memfitnah Imam atas tidakannya itu, benar-atau salah tindakannya itu, kitalah yang harus merenungkannya.
PERSOALAN TENTANG SENSOR
Seluloid dalam Laci Sensor
"Setiap zaman menuliskan kisah muramnya sendiri." (Spike Lee, sutradara Malcom X)
Rambut, kumis, cambang, dan jenggot Judy Soebroto telah memutih. Usianya kini 61 tahun. Ia masih memendam rasa kecewa yang dalam. Film garapannya, Nyoman dan Presi-den-, 17 tahun lalu dilarang hanya karena ia me-nolak mengganti judul film menjadi Nyoman dan Me-rah Putih. Sampai kini ia masih tak paham benar me-ngapa Departemen Penerangan saat itu alergi ter-hadap pemakaian kata "Presiden" sebagai judul film.
Judy memperlihatkan setumpuk dokumen yang te-lah lusuh dimakan usia. Ia menunjukkan surat lolos sensor Badan Sensor Film pada 1989. Film itu telah dinyatakan lulus dengan judul Nyoman dan Presi-den. Dan menurut Judy, tak satu frame pun yang di-sensor dari film itu.
Sebuah surat panggilan dari Departemen Pene-rangan kemudian meruntuhkan harapan Judy yang ingin menyaksikan filmnya diputar di bioskop-bioskop. Judy diminta mengganti judul film dengan lima judul lain: Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, dan Nyoman dan Indonesia. "Saya menolak karena kalau judulnya diganti akan menghilangkan makna seluruh film," ucapnya kepada Tempo pekan lalu.
Ia mengungkapkan, tak ada sama sekali hal yang bisa dianggap membahayakan negara dari filmnya. Ia tak menghina presiden, juga tak mengkultuskannya. Filmnya hanya bertutur tentang seorang bocah Bali berusia 11 tahun yang terobsesi ingin bertemu Presiden. Kalau tetap memakai judul itu, ucap Judy mengutip pejabat Departemen Penerangan yang me-nemuinya, film itu bisa merongrong kewibawaan lem-baga kepresidenan.
Lantaran ia tetap menolak mengganti judul, -Nyo-man- dan Presiden dilarang beredar di bioskop -ko-mer-sial. Peraih Piala Citra FFI 1978 sebagai -penata artistik ter-baik dalam film Jakarta-Jakarta itu pun se-ketika bangkrut. Ongkos produksi sekitar Rp 700 ju-ta melayang. "Saya benar-benar jatuh miskin," ucap-nya.
Selain Judy, ada puluhan sineas lain yang ber-nasib apes karena film mereka dilarang. Dalam seja-rah film Indonesia, lebih dari 60 film yang dilarang di-putar di bioskop, tertahan bertahun-tahun di laci ba-dan -sensor, atau ditarik dari peredaran karena protes masya-ra-kat.
Ratusan film dari total produksi film Indonesia yang mencapai 2.438 film harus berurusan de-ngan Departemen Penerangan dan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda)-ini lembaga pengawasan di daerah di bawah koordinasi Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di era Orde Baru-sejak saat skenario ditulis hingga revisi judul film sebelum beredar, seperti pada kasus Nyoman. Film-film itu masih harus menghadapi kejamnya gunting Badan Sensor Film (sekarang Lembaga Sensor Film) dan keputusan Jaksa Agung yang sewaktu-waktu bisa membatalkan peredaran film.
Hantu sensor itu mengganggu para pekerja film sejak Bapak Perfilman Usmar Ismail memprotes sensor terhadap film The Long March dan Antara Bumi dan Langit dalam tulisannya di Star News pada 25 September 1954. Film Asrul Sani, Pagar Kawat Berduri, bahkan tak cuma disensor, tapi juga diganyang oleh Partai Komunis Indonesia. Film itu hanya bisa diselamatkan oleh Presiden Soekarno, namun tetap tak bisa diputar di bioskop.
Pemerintahan Orde Baru kemudian menggali l-ebih dalam "kuburan" bagi pelbagai film, dari mulai Romusha (1972) hingga Nyoman dan Presiden (1989). Di masa ini ada sekitar 50 film yang terganjal atau ter-tahan di meja sensor. Fenomena sensor ter-akhir -dia-lami oleh film Buruan Cium Gue (2005) yang -di-protes dai Abdullah Gymnastiar dan Majelis Ul-a-ma Indonesia.
Sebagaimana Judy, produser Romusha Ny. Julies Rofi'ie juga tekor modal lantaran pelarangan. Ia telah mengeluarkan uang Rp 150 juta untuk membuat film yang mendeskripsikan kekejaman Jepang terhadap pekerja paksa pribumi di zaman prakemerdekaan. Badan Sensor Film pun sudah mengeluarkan surat lulus sensor. Namun, saat Julies hendak mengambil empat copy film di badan itu, sebuah larangan jatuh dari "langit". Bukan dari Badan Sensor, melainkan langsung dari Istana Presiden. Julie dipanggil oleh Sudjono Humardhani. Menurut Julies, Asisten Pribadi Presiden Soeharto itu mengatakan, "Film buatanmu itu bisa merusak hubungan dengan Jepang."
Jenderal Angkatan Udara itu, kata Julies, kemudian menjanjikan pihak Jepang akan mengganti biaya produksi. Sang jenderal menyebut angka Rp 1 miliar. Julies pun kontan mengangguk-angguk. Namun, bertahun-tahun kemudian, meski Julies telah bolak-balik ke kantor dan ke rumah Humardhani, uang tak kunjung turun. "Bagaimana ini, Pak? Saya bisa gulung tikar," ucap Julies kepada sang jenderal. Pecah-nya peristiwa Malari dan kemudian wafatnya Humar-dhani di Tokyo pada 1986 segera memupus segala harapan Julies hingga kini.
Titah, bisikan atau celoteh pejabat yang ber-pe-ngaruh di zaman Orde Baru bisa menghentikan pe-r-edar-an sebuah film. Dengan cukup angkat telepon, i-mpian sineas bisa buyar seketika. Inilah sensor di atas sensor. Di atas Badan Sensor Film dan Departemen Pe-nerangan-Direktur Bina Film menjadi titik kekuasa-an absolut-masih ada lapisan sensor lain yang se-waktu-waktu bisa mengintervensi masalah estet-ika film. "Sensor tidak satu pintu. Pihak lain tak berhubungan dengan film bisa mempengaruhi," kata S.M. Ardan, kurator film.
Sikap pengawasan berlebihan itu, kata Ardan, menja-di ironis di kala pemerintah pada 1970-an meng-gen-carkan produksi film dengan memberikan suntikan- se-besar Rp 7,5 juta untuk setiap produksi film. P-ada kurun waktu 19701980 itu pun produksi melo-njak menjadi sekitar 604 judul film. "Produ-ser dibe-ri pin-jam-an tanpa bunga. Ramai-ramai buat film. Kasar-nya, tukang cabe pun bisa bikin film." kata Ardan.
Tapi Menteri Penerangan kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 224 Tahun 1977. Surat ini dianggap sebagai penyebab lesunya produksi film nasio-nal. Konsep "kultural edukatif" yang mesti dipunyai oleh sebuah film, sebagaimana diatur dalam surat itu, dianggap tak jelas. Definisi "kultural eduka-tif" pada akhirnya dimonopoli oleh tafsir sepihak Departemen Penerangan.
Sutradara Jasso Winarto, misalnya, menjadi ko-r-ban tafsir sepihak itu. Film Bandot Tua (1978) arahan-nya dilarang beredar hanya karena kata "Bandot" dinilai bermakna negatif. Film ini beredar setelah dipangkas habis dan berganti judul menjadi Cinta Biru. "Bandot menjadi film pertama dan terakhir saya," ujar Jasso yang kemudian banting setir mendirikan lembaga riset Sigma Research Institute, Jakarta.
Bukan cuma sekali itu Jasso kepentok. Dalam Wasdri (1977), skenario yang ia tulis dicorat-coret Direktur Bina Film Deppen. Izin produksi kemudian tak dikeluarkan. Alasannya, skenario Jasso bisa me-nyinggung pejabat Jaksa Agung. Wasdri diangkat dari kisah nyata buruh angkut di Pasar Senen. "Dalam cerita, Wasdri hanya dibayar jasanya Rp 10 oleh Ibu Jaksa, sete-ngah dari tarif biasa yang ia terima," kata Jasso.
Kasus Wasdri menjadi kasus besar setelah ratus-an seniman menandatangani petisi Melawan Pema-sungan Kreativitas. Para seniman juga mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat, tapi pemerintah kukuh melarang.
Beberapa judul film lain tertahan di laci Badan Sensor, seperti Saijah dan Adinda, Yang Muda yang Bercinta, Bung Kecil, Jurus Maut, Kuda-kuda Binal, Cinta Biru, dan Petualang-petualang. Film lain bahkan dicabut karena membuat heboh seperti Tiada Jalan Lain (1972) dengan produser Robby Tjahjadi-ia terlibat kasus penyelundupan mobil mewah masa itu-dan Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) yang mengeksploitasi seks.
Intervensi Deppen terhadap perubahan judul juga muncul dalam film Inem Pelayan Seksi yang semula berjudul Inem Babu Seksi. Max Havelaar ber-alih menjadi Saijah dan Adinda. Bahkan judul kom-edi Warkop, Kanan Kiri OK, adalah hasil perubahan dari Kiri Kanan OK. "Kalau kata 'Kiri' didulukan, kesannya PKI. Pokoknya asal omong," ujar Ardan geleng-geleng kepala.
Pengalaman Sophan Sophiaan lain lagi. Saat membuat film Tinggal Landas, yang diangkat dari novel Bondan Winarno, ia disarankan oleh Dirjen Radio Televisi dan Film waktu itu untuk menambahkan kata "Buat Kekasih". "Kata Tinggal Landas itu tak boleh dipakai karena Indonesia sedang berada dalam masa tinggal landas," kata pria asal Makassar itu seraya terbahak.
Di judul film Buah Hati Mama, karya Sophan selanjutnya, Deppen menyoal dialog seorang kakek yang pintar menyanyi karena berteman dengan Hoegeng (mantan Kapolri). Dialog itu digunting habis. Kala itu, Hoegeng yang populer lewat acara Hawaiian Senior di TVRI dianggap sensitif di zaman Soeharto.
Penyair W.S. Rendra yang baru menghirup u-dara kebebasan "diincar" ketika main film bersama Yati Octavia dalam Yang Muda yang Bercinta. Karya sutradara Syuman Djaja itu tak boleh beredar di wi-layah hukum Kodam Jaya. Waktu itu -Kepala -Pe-nerangan Laksusda Jaya, Letkol Anas Malik, memberi keterangan, film itu mengakomodasi teori revo-lusi dan kontradiksi paham komunis yang di-larang di Indonesia.
Tak hanya menyangkut isi, judul film bisa berubah total. Ditambah, atau dibolak-balik. Apalagi, bila ada adegan yang menyinggung pejabat yang berkuasa, jangan diharap film tersebut bisa melenggang mulus ke layar bioskop.
Pengawasan serba ketat itu bagi insan film merupa-kan awal dari kemunduran film Indonesia masa depan. "Zaman dulu, film Indonesia sudah dibatasi kreativitasnya, makanya jadi jelek sampai sekarang," kata Sophan pesimistis.
Kini zaman berubah. Masa lalu, meminjam ucapan Spike Lee, "Mungkin telah menuliskan kisah muramnya sendiri." Di saat angin kebebasan berhembus, para sineas masa kini bisa menuangkan ide-ide mereka kepada publik. Dan publik dapat menerima-nya dengan bijak.
Yos Rizal S., Evieta Fadjar P., Kurie Suditomo, Nurdin Kalim
Dua yang Terpasung
Nyoman dan Presiden Pemain: Putu Wijaya, Yatti Surachman, Dewa Gde Badung Sumartha Sutradara: Judy Soebroto Produksi: PT Jantera Sidha Dyatmika Film, Jakarta, 1989
Namanya Nyoman. Usianya sebelas tahun. Anak itu lahir dari keluarga miskin di Bali: ayahnya sopir truk (diperankan Putu Wijaya) dan ibunya (Yatti Surachman) adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Mereka hidup di sebuah desa terpencil di selatan Pulau Dewata.
Tapi Nyoman (Dewa Gde Badung Sumartha) cukup unik. Ia sangat mengagumi sosok kepala negara, termasuk Presiden Soeharto. Di dinding kamarnya yang lusuh terpampang sebidang papan ditempeli guntingan gambar-gambar presiden sejumlah negara, yang diambilnya dari koran. Mata Nyoman terus lekat memanda-ngi guntingan gambar itu dengan se-gumpal khayalan dan impian.
Tatkala Lebaran tiba, Nyoman berkirim surat kepada Presiden Soeharto. Tak dinyana, selang beberapa waktu kemudian datang surat balasan, berisi foto Presiden dan ucapan Selamat Galungan. Su-rat itu bikin geger seluruh warga desa. Sampai-sampai, kepala desa merasa terusik dan kemudian menyita surat itu.
Akhirnya, melalui lika-liku ce-rita, Nyoman pergi Yogyakarta untuk menemui Soeharto yang te-ngah meresmikan Monumen Yogya Kembali. Nyoman berteriak memanggil-manggil Presiden. Di layar, Soeharto tampak menoleh seraya tersenyum kepadanya. Dan seketika kamera stop motion, lalu adegan cepat berpindah ke Bali. Keluarga Nyoman yang tengah bekerja di sawah tampak tertawa bahagia.
Ini peristiwa lama, tapi selalu diingat Judy Soebroto, 61 tahun, sebagai sesuatu yang menyedih-kan. Lebih tepatnya sebagai kenangan yang me-ngecewakan. Film garapannya, Nyoman dan Presiden, 17 tahun lalu dilarang beredar oleh Departemen Penerangan. Sebab, penampilan Presi-den Soeharto di film itu dianggap tak relevan dan terkesan hanya tempelan. Lembaga ini khawatir film tersebut dapat mengganggu kewibawaan lembaga kepresidenan secara luas. Judy diminta mengganti judul, tapi ia menolak, dan film itu pun akhirnya dilarang diputar di bioskop.
Jasso Winarto, kini 63 tahun, juga pernah meng-alami nasib yang hampir sama dengan Judy, terkait dengan perfilman dan larangan aparat. Film Wasdri belum lagi dibuat, skenario yang ia tulis sudah dilarang terlebih dulu. Isi skenario dinilai bisa memojokkan aparat. Jasso enggan menuruti anjuran pemerintah. Wasdri yang mestinya dirilis awal 1977 itu pun urung diproduksi.
Karena kecewa, baik Judy maupun Jasso kemudian banting setir. Judy kini menjadi pengajar di lembaga pendidikan film SDM Citra. Sedangkan Jasso berkutat dengan angka-angka di lembaga riset Sigma Research Institute. Berikut petikan wawancara dengan keduanya.
Jasso Winarto Pejabat Merasa Dipermalukan
Mengapa Anda tertarik mem-filmkan kasus Wasdri?
Karena kisah nyata itu sendi-ri sudah sangat dahsyat. Kasus Wasdri adalah kasus orang kecil-kuli pasar yang menolak dibayar murah oleh ibu jaksa yang memakai jasanya-yang mendapat perhatian pers dan masyarakat. Lewat film ini, sa-ya hanya ingin memotret bagaimana hipokrisi begitu membudaya dalam masyarakat, terutama di kalang-an pejabat dan aparat.
Apa yang membuat skenario Wasdri dilarang?
Menurut pemerintah, jika Wasdri jadi difilmkan, akan ada banyak pihak, para aparat dan pejabat, yang tersinggung dan merasa dipermalukan.
Membuat film di era Soeharto itu memang banyak aturan. Skenario harus lolos seleksi dari Departemen Penerangan. Setelah proses produksi selesai, film masuk lagi ke Badan Sensor Film. Nah, skenario Wasdri itu macet di Departemen Penerangan. Mereka minta skenario diubah dan jangan memakai judul Wasdri. Tapi kami tidak mau. Waktu itu saya dan sutradara (Nico Pelamonia) bertekad tak mengubah skenario Wasdri sedikit pun.
Pemerintah menilai skenario Wasdri tak sesuai de-ngan kejadian aslinya....
Skenario Wasdri itu memang bukan tulisan seperti laporan seorang wartawan yang harus memuliakan fakta. Ini karya film yang merupakan perpaduan antara fakta dan fiksi, sehingga besar kemungkinan terjadi improvisasi-improvisasi.
Judy Soebroto Menolak Mengganti Judul
Film Anda dilarang karena faktor judul atau isi ceritanya?
Itu yang sampai sekarang saya tak mengerti. Memang waktu itu Departemen Penerangan mengusulkan beberapa judul, antara lain Nyoman, Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Merah Putih. Saya tak mau mengganti judul. Judul Nyoman dan Merah Putih ternyata tak disukai aparat Korps Polisi Militer. Saya dimarahi kalau memakai judul itu. Katanya, judul itu sangat berbau PKI .
Departemen Penerangan melarang judul Nyoman dan Presiden, sedangkan CPM gerah dengan judul Nyoman dan Merah Putih?
Ya. Yang menarik, ketika film itu diputar di kalangan pejabat Departemen Penerangan, ibu-ibu pejabat, dan aparat di Cilangkap (ditonton sekitar 30 perwira tinggi) semua mengatakan film itu bagus. Bahkan ketika diputar di depan ibu-ibu pejabat Dewan Film, mereka memberikan standing applause yang meriah.
Mengapa Anda ngotot mempertahankan judul itu?
Karena saya mengerti banget apa maksud judul itu. Kalau diganti, sangat tidak pas dengan cerita-nya. Film itu sebetulnya menggambarkan perjalanan anak manusia mencapai Tuhannya, istilahnya moksa. Pre-siden di situ sekadar simbol, yakni simbol keutamaan mencapai mo-ksa. Depar-temen Pene-rangan a-khirnya memberi judul Nyoman dan Merah Putih. Tapi saya menolak.
Film itu sempat diputar di bioskop?
Tak pernah. Tapi kita putar di desa-desa di Bali. Saya da-tang ke sana membawa proyektor.
Setelah Nyo-man dan Pre-si-den-, An-da tak pernah bikin film lagi?