Benarkah Pahlawan Nasional Bung Tomo sebetulnya orang yang rasialis dan sangat membenci warga Tionghoa di Indonesia? Pidato-pidato Bung Tomo pada masa revolusi kemerdekaan 1945 atau tulisan-tulisannya pada masa awal Orde Baru, memang akan muncul kesan seperti itu. Pada 17 Maret 1973, misalnya, ia menulis surat terbuka kepada pemimpin Republik Rakyat Cina Mao Tse Tung dan pemimpin Taiwan Chiang Kai-shek. Intinya, dia meminta perhatian kedua pemimpin itu untuk membantu menarik sekitar 2 juta warga Tionghoa dari Indonesia kembali ke negara masing-masing. "Apakah Tuan-tuan tidak malu bangsa Tuan-tuan diberi nama julukan parasit-parasit demikian itu? Saya rasa Tuan-tuan pun malu. Oleh karena itu, demi nama baik kita semua, saya usulkan agar Tuan-tuan suka memikirkan kemungkinan untuk mengadakan repatriasi bagi orang-orang Cina asing di Indonesia." Bila Mao dan Chiang dapat melaksanakan pemulangan 2 juta warga itu ke RRC atau Taiwan, tulis Bung Tomo, kedua tokoh itu niscaya bakal tercatat dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh Asia yang berhasil melenyapkan kolonialisme di Indonesia. "Berilah orang-orang Cina itu makan di negeri Cina sendiri."
Pada masa perang kemerdekaan, November 1945, lewat corong radio, Bung Tomo juga kerap melontarkan pidato yang dinilai bersikap rasialis karena anti-Tionghoa.
PAO AN TUI
Chalmers A. Johnson, dalam Peasant nationalism and communist power: the emergence of revolutionary China, menulis kata Pao An Tui (PAT) — sering disebut Poh An Tui, Bao An Dui, dan Belanda menyebutnya Pau An Tui dan Pan An Tui — kali pertama digunakan untuk milisi distrik (hsien) di daratan Cina, sebelum kedatangan Jepang.
Chalmers A. Johnson, dalam Peasant nationalism and communist power: the emergence of revolutionary China, menulis kata Pao An Tui (PAT) — sering disebut Poh An Tui, Bao An Dui, dan Belanda menyebutnya Pau An Tui dan Pan An Tui — kali pertama digunakan untuk milisi distrik (hsien) di daratan Cina, sebelum kedatangan Jepang.
Sejak kemunculannya, PAT — sering diartikan Barisan Penjaga Lingkungan — menimbulkan kebingungan konstan. Resminya, PAT berada di bawah pemerintahan nasional pimpinan Chiang Kai Sek. Ketika Jepang datang, PAT sempat disebut pasukan boneka Nippon.
Chalmers A. Johnson menemukan bukti, Jepang membentuk pasukan boneka di T’ungchou Officers School di pinggiran Beijing, dan diberi nama PAT. Di Shantung, PAT menjaga desa-desa yang di luar kontrol pasukan Jepang.
Di Indonesia, tidak ada informasi valid kapan dan kelompok Tionghoa mana yang kali pertama membentuk PAT. Sebagai gambaran, sebelum kedatangan Jepang, masyarakat Tionghoa terpecah menjadi tiga; Kelompok Sinpo yang berorientasi ke negeri leluhur, Chung Hua Hui pro-Belanda, dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pro Indonesia.
Jepang membubarkan semuanya dan membentuk Hua Chiao Tsung Hui (HCTH). Pada 15 Okt 1945, atau setelah Jepang meyerah kepada sekutu, masyarakat Tionghoa di Jakarta membentuk Chung Hwa Tsung Hui (CHTH) yang pro Kuomintang.
Kaum peranakan kaya-raya tidak tergabung ke dalam CHTH, tapi tidak ada informasi mereka membangkitkan lagi Chung Hua Hui. Sulit pula untuk tidak mengatakan mereka berharap Belanda kembali berkuasa di tanah jajahannya.
Kedatangan kembali Belanda memicu perlawanan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Setiap kelompok masyarakat seolah punya hak menjadi serdadu, meski tak bersenjata.
Para penjahat membentuk laskar liar; tak berinduk ke mana pun, dan bergerak sesuka hati. Mereka membiayai diri dengan cara apa saja. Jumlah mereka sangat banyak, dan terdapat di semua wilayah.
Di Tangerang, terbentuk Laskar Hitam — milisi Muslim keturunan Arab yang berusaha melawan Belanda dan Republik — yang bertujuan membentuk negara Islam. Laskar Hitam, yang menculik Menteri Pertahanan Otto Iskandar Dinata dan membunuhnya di Pantai Mauk, adalah cikal bakal DI/TII.
Sebuah informasi yang sulit diklarifikasi menyebutkan Chung Hua Hui Tangerang membentuk PAT sebagai sayap militer, dan para tuan tanah membentuk tentara. Keduanya punya tujuan sama; membentuk negara Capitanate of Tangerang, dengan dukungan Belanda.
Ketegangan etnis Tionghoa dan pribumi belum terjadi pada pekan-pekan pertama setelah Proklamasi 17 Agustus. Namun setelah Pertempuran 10 Nopember 1945, pribumi dan laskar liar mulai menyerang etnis Tionghoa di kota-kota mereka.
Penyebabnya adalah orasi radio Bung Tomo beberapa hari selepas pertempuran 10 Nopember 1945. Bung Tomo menuduh Tionghoa memihak Belanda. Ia mengobarkan sentimen anti-Tionghoa.
Bung Tomo tak sekadar menuduh. Ia mendengar laporan Soemarsono — pemimpin Pemuda Republik — yang pasukannya berhadapan dengan Pao An Tui. Soemarsono menuliskan semua itu dalam memoirnya.
Siaw Giok Tjhan, pejuang kemerdekaan Indonesia dari etnis Tionghoa, sempat marah dan menuduh Bung Tomo fasis. Ia mengutus orang-orangnya untuk menemui Bung Tomo dan menjelaskan posisi etnis Tionghoa.
Orasi Bung Tomo didengar banyak orang, menimbulkan luka, dan memicu gelombang serangan terhadap etnis Tionghoa. Situasi ini membuat etnis Tionghoa berada dalam posisi sulit. Dwicipta mengangkat suasana ini dalam sebuah cerpen berjudul Pao An Tui.
Pertanyaannya, sejak kapan etnis Tionghoa Surabaya membentuk PAT?
Andjarwati Noordjanah, dalam Komunitas Tionghoa di Surabaya, menulis masa-masa setelah proklamasi ditandai oleh aktivitas pembentukan kembali perkumpulan Tionghoa di Surabaya. Belanda terlibat dalam aktivitas ini.
Sebagian tokoh Tiongoa Surabaya berpihak ke Republik. Lainnya tidak. Saat pembentukan PAT yang disponsori Belanda, kelompok pro-Republik memboikot.
Stigma pro-Belanda telah menempel di kening etnis Tionghoa. Di Medan, laskar liar — dibantu oknum TKR — menggunakannya untuk membantai etnis Tionghoa sepanjang Desember 1945. Puluhan orang tewas dalam peristiwa ini.
Respon masyarakat Tionghoa Medan hanya satu; membentuk PAT. Awalnya, anggota PAT Medan sangat sedikit, bersenjata ala kadarnya, dan miskin pengalaman tempur. Mereka gagal melindungi masyarakatnya.
AJ Van Veen — seorang anggota polisi militer Belanda — menulis; “Pada Desember 1945, komunitas Tionghoa berinisiatif melawan serangan. Mereka membentuk PAT, dengan Lim Seng sebagai komandan. Maret 1946, PAT mendekati Inggris untuk memperoleh senjata.”
Akhir Januari 1946, setelah serangkaian pembantaian mengerikan, 12 ribu Tionghoa Medan turun ke jalan untuk memprotes pembantaian. Mereka membawa spanduk bertuliskan Republik Mengkhianati Kami.
Abdul Baqir Zein, dalam Etnis Cina dalam potret pembauran di Indonesia, menulis Jenderal Ted Kelly — komandan pasukan Inggris — melatih 110 pemuda Tionghoa. Hanya dalam waktu singkat PAT menjadi milisi andal. Mereka menguasai taktik perang kota dan memiliki senjata lengkap, yang membuat laskar rakyat kewalahan.
Kwee Thiam Tjing menulis; PAT Medan menjadikan wijk (permukiman) Tionghoa sebagai wilayah aman. Namun berembus kabar Jenderal Ted Kelly juga menggunakan mereka sebagai informan dan mata-mata.
Yang terjadi kemudian adalah aksi balas dendam. PAT, yang merasa kuat, menyerbu Bagan Siapi-api, mereka meneror dan membantai pribumi. Komandan Divisi I Tebing Tinggi Achmad Tahir naik pitam, dan memerintahkan pasukan Djamin Ginting membalas. Lim Seng terdesak dan mundur ke Medan.
Di Tangerang, pembantaian Tionghoa terjadi pada 3 Juni 1946. Informasi penyebab kerusuhan simpang siur. Rosihan Anwar menulis penyebabnya adalah penurunan bendera merah putih yang dilakukan etnis Tionghoa pro Belanda. Informasi lainnya Laskar Hitam mengobarkan perang suci.
Sekitar 600 orang terbantai di Tangerang, ribuan lainnya mengungsi ke gedung Sin Ming Hui di Jl Gajah Mada. Koran-koran menulis PAT berupaya membalas serangan itu, tapi kalah jumlah dan terbantai. Laporan lain menyebutkan PAT hanya berupaya membantu rakyat mengungsi.
Pada bulan-bulan berikut sampai pertengahan 1947, pembantaian juga terjadi di berbagai kota di Jawa; Jember, Salatiga, Bobotsari, Purbalingga, Cilacap, Gombong, Lumajang, Tegal, Pekalongan, Jalaksana, Purwokerto, dan Malang.
Khusus Pembantaian Tangerang, Siaw Giok Tjhan dan Liem Koen Hian menolak manyalahkan Republik. Ia menuduh Belanda melakukan semua itu. Kwee Kek Beng yang anti-Republik, mengkritik keras pemerintahan Soekarno.
Republik tahu tidak seluruh etnis Tionghoa pro-Belanda, tapi bagaimana mengidentifikasi mereka yang pro-Indonesia dan bukan. Di lapis bawah, rakyat hanya tahu Tionghoa antek Belanda.
Dalam suasana seperti ini, Tionghoa di Jawa menjadi defenceless minority. Solusi satu-satunya bagi mereka adalah membentuk Pao An Tui di setiap kota di Jawa.