Siapa yang tidak tahu film Catatan Si Boy, film yang sempat menghebohkan sekali. Lihat saja film ini di buat seri hingga ke 5. Catatan Si Boy adalah satu fenomena menarik di kalangan anak muda Jakarta, walaupun ini diangkat dari sandiwara radio yang cukup populer. Lalu populer juga filmnya, berarti sang sutradara sangat pintar dalam hal adaptasi ini.
Ongky adalah sosok idola anak muda saat itu, semua menginginkan seperti Si Boy, bahkan gaya dan ciri khas dia diikuti oleh hampir sumua anak muda di kota-kota besar di Indonesia. Dan yang paling heboh lagi adalah sosok Emon yang dimainkan Didi Petet, semua orang pasti ingat dan sangat terkesan dengan peran didi dalam emon. Banyak yang bilang kalau tidak ada emon, si boy bisa garing filmnya. Dan dengan si emon inilah didi sukses dalam berakting, selain juga menjadi si Kabayan.
Dulu idolah penonton banyak sekali, ada Roy Martien, Rano Karno dan Lydia Kandau, ada Ongky dengan si Boy, Ada Ryan Hidayat dalam lupus, mungkin yang terakhir adalah Nicolas dan Dian sastro.
Nasri Cheppy (lahir di Banda Aceh, 16 Oktober 1950; umur 59 tahun) adalah sutradara Indonesia. Ia sebagai sutradara banyak menyutradarai film-film drama remaja. Filmnya yang paling tekenal yaitu Catatan Si Boy dan sekaligus mengangkat nama aktor Onky Alexander. Di dalam film lainnya yang disutradarai diperankan
antara lain oleh Meriam Bellina, Paramitha Rusady, Nurul Arifin, dan Didi Petet.
Ongky adalah sosok idola anak muda saat itu, semua menginginkan seperti Si Boy, bahkan gaya dan ciri khas dia diikuti oleh hampir sumua anak muda di kota-kota besar di Indonesia. Dan yang paling heboh lagi adalah sosok Emon yang dimainkan Didi Petet, semua orang pasti ingat dan sangat terkesan dengan peran didi dalam emon. Banyak yang bilang kalau tidak ada emon, si boy bisa garing filmnya. Dan dengan si emon inilah didi sukses dalam berakting, selain juga menjadi si Kabayan.
Dulu idolah penonton banyak sekali, ada Roy Martien, Rano Karno dan Lydia Kandau, ada Ongky dengan si Boy, Ada Ryan Hidayat dalam lupus, mungkin yang terakhir adalah Nicolas dan Dian sastro.
Nasri Cheppy (lahir di Banda Aceh, 16 Oktober 1950; umur 59 tahun) adalah sutradara Indonesia. Ia sebagai sutradara banyak menyutradarai film-film drama remaja. Filmnya yang paling tekenal yaitu Catatan Si Boy dan sekaligus mengangkat nama aktor Onky Alexander. Di dalam film lainnya yang disutradarai diperankan
antara lain oleh Meriam Bellina, Paramitha Rusady, Nurul Arifin, dan Didi Petet.
Nama :Nasri Cheppy
Lahir :Banda Aceh, NAD,16 Oktober 1950
Pendidikan : SMA (1971),Akademi Teater & Film (1973)
Profesi : Sutradara Film,
Ia mempunyai hobi nonton film sejak kecil, setelah dewasa giat di teater. Grupnya menang dalam Festival Teater (remaja) 1973 tingkat Jakarta Timur, dan tingkat DKI Jakarta pada 1978. tapi telah ikutan dalm produksi film, sebagai pengurus pakaian dalam Pencopet (1973). Menjadi pencatat skrip dalam Sesuatu Yang Indah (1976). Sebagai asisten sutradara dalam film Yang (1983), menjadi sutradara dalam film Ranjau-Ranjau Cinta (1984).
Sukses komersial dicapai lewat film Catatan Si Boy (1987), Menulis skenario sinetron bukanlah hal baru bagi sutradara Nasri Cheppy. Tapi menulis sekaligus menyutradarai, baru ia lakukan pada sinetron Istri Idaman. Menurut Nasri, menulis sambil menyutradarai, ada enak dan tidaknya. Misalnya, ia dengan mudah memangkas adegan-adegan yang tidak sesuai dengan settingan gambar, meski sudah tertulis di skenario. Namun karena ditulis sendiri, apalagi kejar tayang, setiap pulang syuting, ia harus langsung menulis kembali skenario untuk dua atau tiga hari ke depan.
Sukses dalam film Eiffel I'm in Love membawa untung lain baginya. “Saya ditawari menyutradarai film Jerman,” katanya. Ceritanya berawal ketika ia bersama kru filmnya melakukan syuting film tersebut di Paris, Prancis. Sewaktu rehat sambil minum kopi, seorang pria yang mengaku sebagai produser asal Jerman mendekatinya. Rupanya dia sudah mengamati kegiatan syutingnya selama beberapa hari di Paris
Produser itu tertarik oleh cara kerja Nasri yang dinilainya sangat efisien. Klop dengan keinginannya membuat film dalam waktu dua bulan. Nasri pun langsung menerima tawaran itu. “Saya tertarik banget, selain bisa menambah pengalaman, honornya juga lumayan besar,” katanya.
CATATAN SI BOY III | 1989 | NASRI CHEPPY | Director | |
CATATAN SI BOY IV | 1990 | NASRI CHEPPY | Director | |
CATATAN SI BOY V | 1991 | NASRI CHEPPY | Director | |
CATATAN SI EMON | 1991 | NASRI CHEPPY | Director | |
3 DALAM 1 | 1992 | NASRI CHEPPY | Director | |
BILUR-BILUR PENYESALAN | 1987 | NASRI CHEPPY | Director | |
CATATAN SI BOY II | 1988 | NASRI CHEPPY | Director | |
CATATAN SI BOY | 1987 | NASRI CHEPPY | Director | |
RANJAU-RANJAU CINTA | 1984 | NASRI CHEPPY | Director | |
EIFFEL I'M IN LOVE | 2003 | NASRI CHEPPY | Director | |
DI DADAKU ADA CINTA | 1986 | NASRI CHEPPY | Director | |
BERCINTA DALAM MIMPI | 1989 | NASRI CHEPPY | Director | |
PESONA NATALIA | 1986 | NASRI CHEPPY | Director | |
HATIKU BUKAN PUALAM | 1985 | NASRI CHEPPY | Director | |
NAMUKU... JOE | 1988 | NASRI CHEPPY | Director | |
DEMI CINTA BELAHLAH DADAKU | 1991 | NASRI CHEPPY | Director |
NEWS-NEWS of Nasri Cheppy
Nasri Cheppy
Skenario Sinetron Nasri MENULIS skenario sinetron bukanlah hal baru bagi sutradara Nasri Cheppy (48). Tapi menulis sekaligus menyutradarai, baru ia lakukan pada sinetron Istri Idaman yang ditayangkan Trans TV. Kenapa mau tulis cerita mengenai konflik rumah tangga, bukannya anda cukup sukses dengan film remaja seperti Eiffell... I'm in Love? "Obsesi aja, kayaknya kepingin nulis kayak gitu," jawabnya singkat. Sinetron yang dibintangi Ferry Salim ini menceritakan kisah suami yang berselingkuh, namun sang istri mau memaafkan dan menerima kembali suaminya. Apakah ceritanya berdasarkan pengalaman pribadi sutradara yang mencuat dengan film Catatan Si Boy ini? "Kalau pengalaman, saya harus ngalamin kan. Tapi ini obsesi aja," ujar Nasri, yang mengaku obsesinya ini muncul sejak mengalami tiga kali menikah ini. Menurutnya, menulis sambil menyutradarai, ada enak dan tidaknya. Misalnya, ia dengan mudah memangkas adegan-adegan yang tidak sesuai dengan settingan gambar, meski sudah tertulis di skenario. Namun karena ditulis sendiri, apalagi kejar tayang, setiap pulang syuting, ia harus langsung menulis kembali skenario untuk dua atau tiga hari ke depan. "Pulang syuting saya tulis. Jadi, setiap hari saya tidur jam 4 pagi, bangun jam 7 pagi," keluhnya. Nasri menjelaskan bahwa kekuatan dari sinetronnya itu adalah pesan moralnya. Moral dari seorang wanita yang mampu memaafkan, bahkan mencintai kembali suaminya. Karena dia tahu, suaminya telah berselingkuh. Sutradara kelahiran 16 Oktober 1956 ini kepada Gatra.com menjelaskan bahwa setelah enam episode (dari 26 episode sinetron yang dikontrak Trans TV ini), ia akan menyerahkan tugas penyutradaraan kepada sutradara lain, karena ia akan mengerjakan film layar lebar Catatan Si Boy In The Movie produksi Millennium. "Saat ini masih dalam pengerjaan skenario. Jika sudah rampung, siap casting. Ya... itung-itung sekalian reuni," katanya. [EL]
Nasri Cheppy
Skenario Sinetron Nasri MENULIS skenario sinetron bukanlah hal baru bagi sutradara Nasri Cheppy (48). Tapi menulis sekaligus menyutradarai, baru ia lakukan pada sinetron Istri Idaman yang ditayangkan Trans TV. Kenapa mau tulis cerita mengenai konflik rumah tangga, bukannya anda cukup sukses dengan film remaja seperti Eiffell... I'm in Love? "Obsesi aja, kayaknya kepingin nulis kayak gitu," jawabnya singkat. Sinetron yang dibintangi Ferry Salim ini menceritakan kisah suami yang berselingkuh, namun sang istri mau memaafkan dan menerima kembali suaminya. Apakah ceritanya berdasarkan pengalaman pribadi sutradara yang mencuat dengan film Catatan Si Boy ini? "Kalau pengalaman, saya harus ngalamin kan. Tapi ini obsesi aja," ujar Nasri, yang mengaku obsesinya ini muncul sejak mengalami tiga kali menikah ini. Menurutnya, menulis sambil menyutradarai, ada enak dan tidaknya. Misalnya, ia dengan mudah memangkas adegan-adegan yang tidak sesuai dengan settingan gambar, meski sudah tertulis di skenario. Namun karena ditulis sendiri, apalagi kejar tayang, setiap pulang syuting, ia harus langsung menulis kembali skenario untuk dua atau tiga hari ke depan. "Pulang syuting saya tulis. Jadi, setiap hari saya tidur jam 4 pagi, bangun jam 7 pagi," keluhnya. Nasri menjelaskan bahwa kekuatan dari sinetronnya itu adalah pesan moralnya. Moral dari seorang wanita yang mampu memaafkan, bahkan mencintai kembali suaminya. Karena dia tahu, suaminya telah berselingkuh. Sutradara kelahiran 16 Oktober 1956 ini kepada Gatra.com menjelaskan bahwa setelah enam episode (dari 26 episode sinetron yang dikontrak Trans TV ini), ia akan menyerahkan tugas penyutradaraan kepada sutradara lain, karena ia akan mengerjakan film layar lebar Catatan Si Boy In The Movie produksi Millennium. "Saat ini masih dalam pengerjaan skenario. Jika sudah rampung, siap casting. Ya... itung-itung sekalian reuni," katanya. [EL]
'Si Boy looked at Johnny: Indonesian Screen at the Turn of the Decade'By: Krishna Sen
Film budaya yang tepat membuat, menulis Trinh Minh-ha, "biasanya berarti bahwa Afrika menunjukkan Afrika, Asia Asia dan Euro-Amerika, dunia." 1 Sejak tahun 1950-an hampir setiap film Asia yang telah memasuki wacana Anglo-Amerika di bioskop utama, telah mempertaruhkan reputasinya pada sejauh mana ia mewakili 'otentik' Asia. Keberhasilan baru-baru ini, seperti Bumi Kuning, Merah dan Sorgum Salaam Bombay, tidak kurang dari para pendahulu mereka seperti Rashomon 1950 dan Trilogi Apu, membuat kelas untuk kritikus film barat berdasarkan akses mereka berikan ke, dinyatakan tersembunyi 'nyata Asia.
Terbaru Satyajit Ray Inggris biografi Andrew Robinson menulis: "Dengan standar sutradara paling tidak sangat banyak terjadi di sebagian besar film Ray, namun masing-masing tampaknya untuk mewujudkan bagian dari Bengali masyarakat; bersama-sama seperti film Kurosawa mereka menggambarkan budaya '2. dalam banyak cara yang sama, Amerika Donald Richie menulis tentang Sorgum Merah bahwa itu "tidak untuk bioskop Cina apa yang Rashomon lakukan untuk Jepang ... itu membuka seluruh dunia mitos dan keindahan." 3 Metafora dari 'membuka' budaya ini terus-menerus melalui tulisan kritis barat di bioskop 'serius' Asia. Tindakan penting Richie pada film yang membuka apa yang mungkin dianggap sebagai 'orientasi ajaib' dari sebuah wacana kolonial lama dan 'tertutup masyarakat komunis' perang dingin baru satu. Para kritikus film sekarang dapat melakukan sesuatu dari fungsi tradisional antropolog. Hanya sekarang 'lapangan' datang ke rumah, jika tidak ke teater lokal pinggiran kota Anda, kemudian adegan festival film metropolitan.
Tapi film yang menarik minat para kritikus tidak penting bagi penonton negara-negara Asia, mayoritas dari mereka telah secara konsisten menolak film-film yang aesthetes barat dan nasional (yang terakhir sering mengikuti petunjuk dari mantan) telah menyatakan sebagai film terbaik dari mereka lands.4
Makalah ini menjalin antara kritik film 'pakar' dan resepsi populer, mencoba untuk melihat pola di kedua. Para unpicking desain ahli rentang spekulasi atas pembacaan bioskop dunia ketiga selama 30 tahun terakhir atau lebih, sementara upaya untuk memahami tanggapan khalayak populer 'terletak di akhir 1980-an di Indonesia. Hal ini nyaman untuk berebut global dan lokal ini diharuskan sebagian oleh keterpinggiran ekstrim hampir semua bioskop dan televisi nasional Asia, dan khususnya Indonesia satu, dalam wacana akademik utama di Australia. Ini bergerak yang diperlukan, juga, untuk menunjukkan bahwa ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang harus dijawab dalam kaitannya dengan media populer di Asia, yang saat ini teorisasi sinema dunia ketiga tidak mulai bertanya.
Film budaya yang tepat membuat, menulis Trinh Minh-ha, "biasanya berarti bahwa Afrika menunjukkan Afrika, Asia Asia dan Euro-Amerika, dunia." 1 Sejak tahun 1950-an hampir setiap film Asia yang telah memasuki wacana Anglo-Amerika di bioskop utama, telah mempertaruhkan reputasinya pada sejauh mana ia mewakili 'otentik' Asia. Keberhasilan baru-baru ini, seperti Bumi Kuning, Merah dan Sorgum Salaam Bombay, tidak kurang dari para pendahulu mereka seperti Rashomon 1950 dan Trilogi Apu, membuat kelas untuk kritikus film barat berdasarkan akses mereka berikan ke, dinyatakan tersembunyi 'nyata Asia.
Terbaru Satyajit Ray Inggris biografi Andrew Robinson menulis: "Dengan standar sutradara paling tidak sangat banyak terjadi di sebagian besar film Ray, namun masing-masing tampaknya untuk mewujudkan bagian dari Bengali masyarakat; bersama-sama seperti film Kurosawa mereka menggambarkan budaya '2. dalam banyak cara yang sama, Amerika Donald Richie menulis tentang Sorgum Merah bahwa itu "tidak untuk bioskop Cina apa yang Rashomon lakukan untuk Jepang ... itu membuka seluruh dunia mitos dan keindahan." 3 Metafora dari 'membuka' budaya ini terus-menerus melalui tulisan kritis barat di bioskop 'serius' Asia. Tindakan penting Richie pada film yang membuka apa yang mungkin dianggap sebagai 'orientasi ajaib' dari sebuah wacana kolonial lama dan 'tertutup masyarakat komunis' perang dingin baru satu. Para kritikus film sekarang dapat melakukan sesuatu dari fungsi tradisional antropolog. Hanya sekarang 'lapangan' datang ke rumah, jika tidak ke teater lokal pinggiran kota Anda, kemudian adegan festival film metropolitan.
Tapi film yang menarik minat para kritikus tidak penting bagi penonton negara-negara Asia, mayoritas dari mereka telah secara konsisten menolak film-film yang aesthetes barat dan nasional (yang terakhir sering mengikuti petunjuk dari mantan) telah menyatakan sebagai film terbaik dari mereka lands.4
Makalah ini menjalin antara kritik film 'pakar' dan resepsi populer, mencoba untuk melihat pola di kedua. Para unpicking desain ahli rentang spekulasi atas pembacaan bioskop dunia ketiga selama 30 tahun terakhir atau lebih, sementara upaya untuk memahami tanggapan khalayak populer 'terletak di akhir 1980-an di Indonesia. Hal ini nyaman untuk berebut global dan lokal ini diharuskan sebagian oleh keterpinggiran ekstrim hampir semua bioskop dan televisi nasional Asia, dan khususnya Indonesia satu, dalam wacana akademik utama di Australia. Ini bergerak yang diperlukan, juga, untuk menunjukkan bahwa ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang harus dijawab dalam kaitannya dengan media populer di Asia, yang saat ini teorisasi sinema dunia ketiga tidak mulai bertanya.
Authentic Asian or Native Narratives
Karena kritikus Barat menemukan bioskop Asia di tahun 1950-an, banyak keterlibatan kritis mereka telah dengan film tidak populer di negara asal mereka, yang telah diidentifikasi sebagai kemudian menjadi bioskop Asia yang baik. Pada tahun 1950 film-film ini dinilai pada skala realis tergantung pada sejauh mana film mengungkapkan realitas diasumsikan dari Cina, India dan sebagainya. Ini praduga realitas diperbolehkan penolakan dari kedua film spektakuler populer seperti film Bombay, dan film-film terang-terangan politik Komunis Cina.
Realisme telah meninggal kematian yang lambat dalam sinema Asia daripada di teori film secara keseluruhan, sebagian karena alasan setidaknya sarjana Asianist untuk keberadaan adalah untuk menemukan Asia, secara simultan yang berbeda dari dan diakses ke barat. Juga, para birokrat Asia dan kritikus telah mempertahankan gagasan realis kolonial bioskop, dan telah menolak untuk membuat pergeseran dari "realisme sebagai yang mencerminkan dunia nyata" untuk "realisme sebagai cara berbicara tentang dunia." 6
Pada 1980-an, pencarian yang lebih tua untuk realitas Asia di bioskop-bioskop Asia telah menjadi agak ketinggalan zaman. Para penonton barat kontemporer mencari representasi otentik dari budaya Asia, untuk 'budaya benar' karya seni. "Dunia Ketiga Perwakilan masyarakat modern yang canggih berusaha idealnya adalah murni Afrika, Asia, atau asli nyata - benar-benar berbeda ... '6 cari sekarang bukanlah untuk Asia nyata, tetapi untuk sebuah narasi asli, lebih lanjut dari tradisi realis klasik barat bioskop yang lebih baik.
Bagaimana kemudian jarak ini diukur? Tampaknya kepada saya bahwa ada dua barometer metodologi untuk analisis ini. Pertama, dan yang paling umum, metode yang membaca teks layar Asia terutama dalam kaitannya ke Hollywood, Jullianne Burton panggilan bioskop Afro-Asia dan Amerika Latin "bioskop marjinal" yang perlu dijelaskan dalam hal "kontestasi mereka implisit dan eksplisit dari mainstream ( baca barat) budaya "7 Robert Kolker menulis bahwa" pada kenyataannya, tidak dibagi langsung antara pembuatan film di Amerika dan di tempat lain ada. Ada lebih merupakan interaksi di mana gaya yang dominan / s film-film Amerika selalu hadir untuk ditolak., diperluas atas, memeluk dan ditolak, hanya untuk dipeluk lagi ".8 Hal ini sulit untuk berpikir tentang banyak bioskop Asia sebagai marjinal. Film-film populer Hong Kong atau Bombay tidak, tentu saja, marjinal di semua kehidupan budaya jutaan penonton di selatan, timur dan tenggara Asia-Tapi kemudian Kolker dan Burton berurusan dengan baik bioskop terlibat politik atau bioskop 'seni', yang sebagian besar tidak signifikan untuk khalayak ini. Terutama dalam kasus Kolker itu, film seni dia khawatir dengan sering yang dibuat dengan kritikus film internasional, bukan penduduk lokal, dalam pikiran.
Metode analisis kedua dimulai tidak dari Hollywood, tapi dari mitologi lokal kuno. Sekarang ada tubuh substansial dan sangat menarik dari literatur menganalisis bioskop Cina dan India dalam hal teks-teks klasik. Para Sininity atau Indianness bioskop ini kemudian dilihat sebagai tergantung pada sejauh mana mereka mereproduksi seperangkat mitologis tropes.9 Vijay Mishra menulis, misalnya,
Dalam memeriksa film Bombay sebagai praktek menandakan tertentu dan suatu bentuk seni budaya spesifik kami ingin untuk mengklaim bahwa epos India sendiri (Ramayana dan Mahabharata) merupakan 'grand-Sintagma', suatu bentuk narasi besar yang mengatur segmen individual dari India filmis teks. 10Semacam ini telah membaca persuasif dalam konteks akademik teorisasi Film barat, sebagian saya kira, karena duplikat pembangunan Timur tidak berubah, terikat oleh kuno dan mitos. Bioskop budaya benar maka menjadi sebuah permintaan yang Anda ingat dan mereproduksi masa lalu pra-kolonial, repositori dari narasi India atau Cina benar.Posisi ini memiliki keuntungan bahwa kunci pas tradisi film Asia jauh dari ketergantungan permanen di Hollywood. Tetapi ia melakukannya hanya dengan mengorbankan membuat mereka secara permanen tergantung pada teks-teks klasik, diasumsikan repositori budaya nasional. Tapi apakah ini murni kuno, pra-kolonial dalam arti tersedia untuk penonton populer? Di India, di mana para dewa baru masih sedang dibuat, dan di Indonesia, di mana setan kuno dan dewa-badut naik sepeda motor Punakawans dan menggunakan bahasa Inggris atau Belanda dalam repertoar wayang, bagaimana berguna adalah untuk membaca teks kontemporer terhadap sebuah narasi kuno? Apakah itu sebenarnya tidak lebih berguna untuk melihat bagaimana media kontemporer telah mengubah pembacaan teks kuno? Apakah popularitas Ramayana atau televisi yang membuat televisi mingguan Ramayana serial televisi terpanjang India? Untuk membaca teks layar India atau Indonesia dengan epos besar dalam pikiran, bukan sejarah kolonial, negara kontemporer dan, pada tingkat yang paling langsung, struktur industri media, juga dapat berarti bahwa kita jatuh ke dalam suatu esensialis (dan dalam hal ini Kasus dasarnya orientalis) posisi menekankan kontinuitas dan universalities, sehingga kita kehilangan apa yang lebih signifikan - perubahan, interupsi dan gangguan.Meskipun hal penilaian bioskop Asia telah bergeser dari 'mewakili-the-real-Asia, untuk' membangkitkan-Asia-budaya ', film dikategorikan sebagai mantan 1950-an dan 60-an memiliki sesuatu yang sama dengan mereka pada 1980-an dikategorikan sebagai yang terakhir. Hal ini dimungkinkan untuk mengidentifikasi gambar dan suara yang, untuk penonton canggih di barat, bahwa Asia merupakan esensial dan dasarnya berbeda.Dalam kursus di bioskop Asia di Universitas Murdoch, saya mencoba untuk mendapatkan siswa (termasuk sejumlah orang Asia tenggara) untuk membandingkan berbagai teks layar Asia.
Karena kritikus Barat menemukan bioskop Asia di tahun 1950-an, banyak keterlibatan kritis mereka telah dengan film tidak populer di negara asal mereka, yang telah diidentifikasi sebagai kemudian menjadi bioskop Asia yang baik. Pada tahun 1950 film-film ini dinilai pada skala realis tergantung pada sejauh mana film mengungkapkan realitas diasumsikan dari Cina, India dan sebagainya. Ini praduga realitas diperbolehkan penolakan dari kedua film spektakuler populer seperti film Bombay, dan film-film terang-terangan politik Komunis Cina.
Realisme telah meninggal kematian yang lambat dalam sinema Asia daripada di teori film secara keseluruhan, sebagian karena alasan setidaknya sarjana Asianist untuk keberadaan adalah untuk menemukan Asia, secara simultan yang berbeda dari dan diakses ke barat. Juga, para birokrat Asia dan kritikus telah mempertahankan gagasan realis kolonial bioskop, dan telah menolak untuk membuat pergeseran dari "realisme sebagai yang mencerminkan dunia nyata" untuk "realisme sebagai cara berbicara tentang dunia." 6
Pada 1980-an, pencarian yang lebih tua untuk realitas Asia di bioskop-bioskop Asia telah menjadi agak ketinggalan zaman. Para penonton barat kontemporer mencari representasi otentik dari budaya Asia, untuk 'budaya benar' karya seni. "Dunia Ketiga Perwakilan masyarakat modern yang canggih berusaha idealnya adalah murni Afrika, Asia, atau asli nyata - benar-benar berbeda ... '6 cari sekarang bukanlah untuk Asia nyata, tetapi untuk sebuah narasi asli, lebih lanjut dari tradisi realis klasik barat bioskop yang lebih baik.
Bagaimana kemudian jarak ini diukur? Tampaknya kepada saya bahwa ada dua barometer metodologi untuk analisis ini. Pertama, dan yang paling umum, metode yang membaca teks layar Asia terutama dalam kaitannya ke Hollywood, Jullianne Burton panggilan bioskop Afro-Asia dan Amerika Latin "bioskop marjinal" yang perlu dijelaskan dalam hal "kontestasi mereka implisit dan eksplisit dari mainstream ( baca barat) budaya "7 Robert Kolker menulis bahwa" pada kenyataannya, tidak dibagi langsung antara pembuatan film di Amerika dan di tempat lain ada. Ada lebih merupakan interaksi di mana gaya yang dominan / s film-film Amerika selalu hadir untuk ditolak., diperluas atas, memeluk dan ditolak, hanya untuk dipeluk lagi ".8 Hal ini sulit untuk berpikir tentang banyak bioskop Asia sebagai marjinal. Film-film populer Hong Kong atau Bombay tidak, tentu saja, marjinal di semua kehidupan budaya jutaan penonton di selatan, timur dan tenggara Asia-Tapi kemudian Kolker dan Burton berurusan dengan baik bioskop terlibat politik atau bioskop 'seni', yang sebagian besar tidak signifikan untuk khalayak ini. Terutama dalam kasus Kolker itu, film seni dia khawatir dengan sering yang dibuat dengan kritikus film internasional, bukan penduduk lokal, dalam pikiran.
Metode analisis kedua dimulai tidak dari Hollywood, tapi dari mitologi lokal kuno. Sekarang ada tubuh substansial dan sangat menarik dari literatur menganalisis bioskop Cina dan India dalam hal teks-teks klasik. Para Sininity atau Indianness bioskop ini kemudian dilihat sebagai tergantung pada sejauh mana mereka mereproduksi seperangkat mitologis tropes.9 Vijay Mishra menulis, misalnya,
Dalam memeriksa film Bombay sebagai praktek menandakan tertentu dan suatu bentuk seni budaya spesifik kami ingin untuk mengklaim bahwa epos India sendiri (Ramayana dan Mahabharata) merupakan 'grand-Sintagma', suatu bentuk narasi besar yang mengatur segmen individual dari India filmis teks. 10Semacam ini telah membaca persuasif dalam konteks akademik teorisasi Film barat, sebagian saya kira, karena duplikat pembangunan Timur tidak berubah, terikat oleh kuno dan mitos. Bioskop budaya benar maka menjadi sebuah permintaan yang Anda ingat dan mereproduksi masa lalu pra-kolonial, repositori dari narasi India atau Cina benar.Posisi ini memiliki keuntungan bahwa kunci pas tradisi film Asia jauh dari ketergantungan permanen di Hollywood. Tetapi ia melakukannya hanya dengan mengorbankan membuat mereka secara permanen tergantung pada teks-teks klasik, diasumsikan repositori budaya nasional. Tapi apakah ini murni kuno, pra-kolonial dalam arti tersedia untuk penonton populer? Di India, di mana para dewa baru masih sedang dibuat, dan di Indonesia, di mana setan kuno dan dewa-badut naik sepeda motor Punakawans dan menggunakan bahasa Inggris atau Belanda dalam repertoar wayang, bagaimana berguna adalah untuk membaca teks kontemporer terhadap sebuah narasi kuno? Apakah itu sebenarnya tidak lebih berguna untuk melihat bagaimana media kontemporer telah mengubah pembacaan teks kuno? Apakah popularitas Ramayana atau televisi yang membuat televisi mingguan Ramayana serial televisi terpanjang India? Untuk membaca teks layar India atau Indonesia dengan epos besar dalam pikiran, bukan sejarah kolonial, negara kontemporer dan, pada tingkat yang paling langsung, struktur industri media, juga dapat berarti bahwa kita jatuh ke dalam suatu esensialis (dan dalam hal ini Kasus dasarnya orientalis) posisi menekankan kontinuitas dan universalities, sehingga kita kehilangan apa yang lebih signifikan - perubahan, interupsi dan gangguan.Meskipun hal penilaian bioskop Asia telah bergeser dari 'mewakili-the-real-Asia, untuk' membangkitkan-Asia-budaya ', film dikategorikan sebagai mantan 1950-an dan 60-an memiliki sesuatu yang sama dengan mereka pada 1980-an dikategorikan sebagai yang terakhir. Hal ini dimungkinkan untuk mengidentifikasi gambar dan suara yang, untuk penonton canggih di barat, bahwa Asia merupakan esensial dan dasarnya berbeda.Dalam kursus di bioskop Asia di Universitas Murdoch, saya mencoba untuk mendapatkan siswa (termasuk sejumlah orang Asia tenggara) untuk membandingkan berbagai teks layar Asia.
Di satu sisi, mereka melihat Pather Draupadi (Kidung Jalan Kecil), film pertama dalam trilogi Apu, yang terlempar India Ray Satyajit untuk ketenaran internasional pada 1950-an, dan Bumi Kuning, yang melakukan hal yang sama untuk China Cheng Kaige , pada akhir 1980-an. Di sisi lain, mereka menonton sebuah film Indonesia yang populer percintaan remaja, seorang remaja film, genre bahasa Indonesia yang paling populer untuk setidaknya satu dekade terakhir. Seluruhnya dalam perjanjian dengan para ahli internasional dan kritikus kelas jelas diidentifikasi Pather Draupadi dan Bumi Kuning sebagai teks-teks khas Asia, sementara menolak film remaja Indonesia sebagai salinan kurang lebih kasar dari media populer Barat, mencerminkan preferensi semacam marjinal 'kebarat-baratan' unsur-unsur negara. Banyak yang sedikit terkejut untuk menemukan bahwa film percintaan remaja, mencerminkan apa yang mereka lihat sebagai 'kebarat-baratan' nilai-nilai, pada kenyataannya sangat sukses dengan khalayak populer di Indonesia, sedangkan Bumi Kuning gagal di box office China, dan Pather Draupadi mengembangkan kultus berikut di antara elite India berpendidikan, hanya setelah para kritikus Barat telah menyatakan kebesaran. 11
Para siswa sendiri membongkar apa yang mereka lihat sebagai Asia atau Barat pada produk layar Asia cukup mengungkapkan. Pada tingkat yang paling jelas, dalam roman remaja Indonesia, pakaian karakter, dan sekitarnya, rumah, mobil, jalan raya semua tampak akrab dan mirip dengan hal-hal Australia. Di sisi lain pakaian identifiably berbeda dalam Pather Draupadi dan Kuning bumi Asianness ditandakan. Ruang-ruang kosong, lambatnya kamera dan starkness pemandangan terlihat bersamaan sebagai tanda dari pedesaan dan Asia. Para perkotaan, ternyata, disamakan dengan 'Asia tidak otentik', sedangkan narasi dan fotografi foregrounding kemiskinan di Pather Draupadi dan Kuning bumi diidentifikasi sebagai khas Asia.
Pather Draupadi dan Kuning bumi memiliki unsur lain yang kurang nyata dalam umum. Kedua film membangun masa lalu bangsa. Di Bumi Kuning terang-terangan dengan menggunakan tanggal awal film, di Pather Draupadi dengan membuat seluruh film kenangan masa kecil, perangkat narasi tertentu digunakan untuk menunjukkan 'cerita ini bukan dari sekarang'. Tetapi melawan citra Asia sebagai orang miskin, pedesaan dan historis (dan karena itu tidak berubah, karena masa lalu tidak bisa berubah), kita perlu mengakui bahwa beberapa masyarakat Asia seperti Singapura hampir seluruhnya perkotaan. Dan India memiliki kelas menengah perkotaan banyak kali ukuran seluruh populasi Australia. Modal di Indonesia Jakarta sendiri memiliki penduduk 12 juta. Tidak peduli seberapa kecil proporsi dari total populasi Asia ini merupakan, sektor perkotaan yang berkembang pesat merupakan penonton film utama dari negara-negara ini. Apakah kita kemudian mencabut hak mereka cepat berubah realitas hidup dan budaya dengan otentikasi hanya semacam tertentu dari teks layar Asia?
Para siswa sendiri membongkar apa yang mereka lihat sebagai Asia atau Barat pada produk layar Asia cukup mengungkapkan. Pada tingkat yang paling jelas, dalam roman remaja Indonesia, pakaian karakter, dan sekitarnya, rumah, mobil, jalan raya semua tampak akrab dan mirip dengan hal-hal Australia. Di sisi lain pakaian identifiably berbeda dalam Pather Draupadi dan Kuning bumi Asianness ditandakan. Ruang-ruang kosong, lambatnya kamera dan starkness pemandangan terlihat bersamaan sebagai tanda dari pedesaan dan Asia. Para perkotaan, ternyata, disamakan dengan 'Asia tidak otentik', sedangkan narasi dan fotografi foregrounding kemiskinan di Pather Draupadi dan Kuning bumi diidentifikasi sebagai khas Asia.
Pather Draupadi dan Kuning bumi memiliki unsur lain yang kurang nyata dalam umum. Kedua film membangun masa lalu bangsa. Di Bumi Kuning terang-terangan dengan menggunakan tanggal awal film, di Pather Draupadi dengan membuat seluruh film kenangan masa kecil, perangkat narasi tertentu digunakan untuk menunjukkan 'cerita ini bukan dari sekarang'. Tetapi melawan citra Asia sebagai orang miskin, pedesaan dan historis (dan karena itu tidak berubah, karena masa lalu tidak bisa berubah), kita perlu mengakui bahwa beberapa masyarakat Asia seperti Singapura hampir seluruhnya perkotaan. Dan India memiliki kelas menengah perkotaan banyak kali ukuran seluruh populasi Australia. Modal di Indonesia Jakarta sendiri memiliki penduduk 12 juta. Tidak peduli seberapa kecil proporsi dari total populasi Asia ini merupakan, sektor perkotaan yang berkembang pesat merupakan penonton film utama dari negara-negara ini. Apakah kita kemudian mencabut hak mereka cepat berubah realitas hidup dan budaya dengan otentikasi hanya semacam tertentu dari teks layar Asia?
Si Boy of Jakarta
Dengan semua account, jumlah penonton film semakin meningkat di Indonesia. Hal ini terjadi walaupun prediksi cemas di kalangan film di pertengahan 1980-an bahwa boom VCR, dan khususnya ketersediaan mudah dan murah akibatnya disensor film bahasa Inggris, telah ditakdirkan industri film lokal. Pada akhir tahun 1989, bagaimanapun, AMPEA (American Motion Pictures Ekspor Asosiasi) itu tampak khawatir dengan sejauh mana produk lokal secara konsisten mengalahkan impor. Para peneliti pasar yang digunakan oleh AMPEA untuk menyelidiki pasar film Indonesia (yang juga kebetulan bekerja untuk beberapa industri Amerika lainnya yang terlibat dalam bisnis di Indonesia) berkomentar bahwa konsumen pasar Indonesia untuk semua jenis barang dan jasa berkembang sekarang ke mana itu membuat Indonesia sebuah "prospek yang menarik untuk bisnis Amerika", termasuk film dan produser televisi. AMPEA konsultan di Jakarta mengatakan kepada saya bahwa penelitian mereka telah menyimpulkan bahwa praktek-praktek perdagangan yang tidak adil di sektor distribusi film Indonesia sebagian besar bertanggung jawab atas pertumbuhan yang rendah pangsa Hollywood memperluas pasar film.
Tidak ada keraguan bahwa pembatasan, legal dan ilegal, tidak menghalangi operasi pasar bebas di Indonesia, di semua barang, material dan simbolik. Apa riset pasar tersebut tidak menjelaskan meskipun adalah mengapa James terbaru film Bond, yang dibuka di tengah-tengah blitz iklan besar di Jakarta, dilaporkan keluar-kotor oleh Boy Bahasa Indonesia menjual atas Film Catatan Si 111 (Boy Journal III) .12 Sebuah set film elit di pinggiran Jakarta dan di California di Amerika Serikat, Si Boy 111 bukan kritikus film yang Indonesia telah diambil serius. Juga bukan jenis film yang kritik internasional akan melihat. Direktur Si Boy, Nasri Cheppy, mengatakan dalam sebuah wawancara:. "Aku terus bertanya pada diri sendiri, mengapa bahwa film-film yang memenangkan Citra (penghargaan film nasional Indonesia) hanya pernah dilihat oleh beberapa orang ... saya menganalisis situasi Kemudian saya membuat film ... Tampaknya, bahwa masyarakat membutuhkan film-film seperti ini. " 13
Si Boy adalah dengan semua account film Indonesia kedua yang paling populer untuk saat ini, setelah Saur Sepu, yang juga dibuat pada waktu yang sama. Oleh karena itu, pembacaan seri Si Boy (ada empat film 1987-1990) dalam kaitannya dengan kondisi spesifik yang beroperasi di industri, memungkinkan kita untuk memahami beberapa kekuatan membentuk teks layar kontemporer Indonesia dan khalayak nasional mereka.
Indonesia's Displaced Ads
Di media barat, radio dan televisi bukan film adalah media pengiklan. Ketika film adalah diputar di bioskop, mungkin ada beberapa iklan selama interval, ketika setengah penonton keluar membeli popcorn, tetapi akan biasa untuk melihat film (kecuali di TV) yang baik putus setiap begitu sering untuk pesan sponsor ', atau menggabungkan sejumlah besar merek iklan langsung dalam cerita. Botol dan merek dagang dari Coca-cola dan Pepsi membentuk bagian yang sangat menonjol dari mise-en-adegan Si Boy, bahkan menurut standar Indonesia, di mana meskipun kontroversi sejumlah pesan 'sponsor' 'dalam film-film telah menjadi diterima sejak 1970-an.
Di Indonesia, perluasan pasar konsumen di tahun 1970 berarti perluasan khalayak radio dan televisi. Sementara televisi diperkenalkan pada tahun 1962, tidak sampai awal 1970-an bahwa siapa pun mengambil medium terlalu serius. Pada tahun-tahun segera setelah perang sipil 1965-1966, Menteri Informasi dianggap radio sebagai instrumen utama untuk memenangkan orang kepada pemerintah militer baru. l4 tahun 1970-an, bagaimanapun, ada banyak orang menonton televisi sebagai sedang mendengarkan radio, sekitar 60% penduduk di atas all.15 Sebagai jam transmisi diperluas dalam saluran televisi hanya dan milik negara, begitu pula jumlah iklan. Tapi pada tahun 1981 pemerintah mulai pentahapan keluar iklan televisi, dengan alasan bahwa iklan itu sebagian bertanggung jawab atas kerusuhan sosial yang disebabkan oleh ekspektasi konsumen meningkat di antara bagian penduduk miskin, terutama di daerah pedesaan.
Industri periklanan segera merespon dengan mencari jalan audiovisual lainnya untuk memberikan konsumen untuk pengecer. Pengiklan mengadakan perjanjian dengan unit film bergerak untuk membayar untuk skrining bebas dari film di daerah pedesaan sebagai imbalan untuk memasukkan iklan-panjang menerobos masuk ke dalam penyaringan. Layar Tancep (harfiah 'layar terjebak di tanah') telah menjadi modus paling umum menonton film di daerah pedesaan Indonesia sejak kedatangan bioskop di negara itu. Puluhan terdaftar (dan mungkin banyak lagi yang tidak terdaftar) perusahaan beroperasi dengan sebuah truk, layar, generator dan sebuah proyektor, yang mereka dapat mengatur di wilayah udara terbuka komunal desa dan film menunjukkan dibayar oleh pengiklan, yang mengambil sebagai pesan banyak waktu sebagai film, sehingga memberikan hiburan malam gratis untuk penduduk desa. Tidak ada statistik diandalkan mengenai jumlah penonton di bioskop ini mobile. Menurut angka yang dihasilkan oleh Biro Pusat Statistik, di bawah 4% dari penduduk film arloji pedesaan dalam setiap minggu yang diberikan, sementara lebih dari 50% menonton televisi. Di sisi lain seorang petugas dari Asosiasi Bioskop Mobile (PERBIKI) memperkirakan bahwa pada tahun 1980 bioskop mobile yang mengunjungi 80% dari desa-desa secara teratur. 16 Pada tahun 1982 ini dianggap seperti modus efektif untuk menjangkau penduduk pedesaan, bahwa produksi film perusahaan yang dimiliki oleh petugas polisi senior dan film propaganda memproduksi sekitar Soeharto sedang mempertimbangkan mendirikan Film sendiri unit mobile, yang yakin akan dibayar oleh pengiklan, dan pada saat yang sama melakukan propaganda pemerintah menjadi bagian-bagian terpencil di pedesaan Indonesia, di mana tidak ada bioskop. 17
Sebuah perangkat baru untuk mengambil audio-visual iklan untuk rumah tangga yang relatif kaya VCR memiliki muncul pada tahun 1988, ketika dua perusahaan mendapat izin untuk memulai 'majalah video ", yang berisi semua bahan yang normal dari program majalah televisi, termasuk sejumlah besar iklan. 18 Sebuah versi yang sedikit berbeda dan sebelumnya menggunakan VCR sebagai pengganti untuk televisi adalah narasi yang sangat murah diproduksi serial di video, dimana konsumen bisa menyewa secara teratur, dan mengikuti cerita episodik dalam banyak cara yang sama bahwa para penggemar sinetron ikuti . Sebuah saluran yang lebih signifikan dari akses ke warga Jakarta dibuka dengan kedatangan televisi berbayar swasta di tahun 1988. Pertama swasta Indonesia stasiun televisi RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), yang dimiliki oleh Presiden Bambang Trihatmojo putra, awalnya diharapkan untuk menyiarkan hanya untuk elit kaya kecil Jakarta. Subsription untuk siaran RCTI itu sangat mahal, membutuhkan decoder dan antena senilai sekitar US $ 2000, ditambah berlangganan tahunan sebesar $ 500. 19 "Ini akan membeli pemirsa tarif hiburan 85% -. Terutama AS acara TV ... dan beberapa film" Dan iklan. "Masyarakat iklan" salah satu eksekutif dilaporkan mengatakan "sangat gembira". Bahkan sebelum memulai transmisi RCTI, 70% dari slot iklan perdana terjual habis. RCTI diharapkan perusahaan multinasional besar yang beroperasi di Indonesia untuk meningkatkan anggaran iklan mereka untuk Indonesia sebagai respon terhadap akses baru-ditemukan untuk konsumen. 20
Majalah baik video dan terutama TV swasta waktu bertahun-tahun untuk bernegosiasi dan membangun. Tapi sementara perubahan-perubahan struktural jangka panjang untuk media Indonesia sedang dinegosiasikan, opera sabun sedang diciptakan kembali di industri film Indonesia. Sinetron mulai memainkan radio sebagai serial dengan Olahpesan tentang produk rumah tangga dibangun ke mereka. Nama merek, merek dagang dan produk konsumen segera diidentifikasi mulai muncul di film-film tertentu cukup sering pada awal tahun 1980. Menurut dua produsen saya wawancarai, para pemasang iklan "sponsor" film dan memberikan kontribusi jumlah tertentu untuk produksi. Kemudian salinan terburu-buru dapat diperiksa untuk bekerja di luar jumlah paparan produk mereka cenderung untuk menerima dalam film, dan pembayaran dinegosiasikan lebih lanjut atas dasar itu.
Pada pertengahan 1980-an, 1.700 bioskop di Indonesia terdaftar menjual sekitar 120-140000000 tiket tahun, 35-40% dari bersama oleh 70 atau film sehingga bahasa Indonesia yang diproduksi setiap year.2l Ini bukan jangkauan yang sangat besar per film dari sudut pengiklan pandang. Sebuah cerita serial, yang dapat tergantung pada berikut biasa, jauh lebih cocok, baik dari segi menargetkan bagian tertentu dari populasi, dan memiliki akses reguler untuk mereka.
Saur Sepu dan Boy Si, yang ternyata menjadi film terlaris atas, keduanya serial, tetapi diarahkan kepada audiens yang jelas berbeda. Ditujukan terutama untuk audiens pedesaan dan ditetapkan dalam zaman prasejarah, Saur Sepu adalah petualangan seorang pahlawan yang rides pada Garuda burung besar mitos, ajaib menghancurkan musuh-musuhnya. Bukan cerita yang sangat cocok line untuk menampilkan barang-barang konsumen modern, tapi itu memang memiliki sponsor dari sebuah perusahaan farmasi Indonesia yang produknya diiklankan pada awal setiap pemutaran film. 22
Si Boy telah dimulai sebagai serial, mingguan selama satu jam radio di tahun 1985, di sebuah stasiun yang memainkan 'top 40' dan memiliki pengikut di kalangan muda Jakarta yang kuat. Cerita berpusat di sekitar anak, pintar cerdas tinggi-sekolah dari keluarga super-kaya, Boy, dan teman-temannya. Ini adalah alur cerita yang sempurna di mana gambar dari semua jenis barang konsumen, diarahkan terutama pada remaja dan dewasa muda, bisa disertakan. Terasa, selera karakter 'dalam merek rokok dan minuman ringan mengubah antara film pertama dan ketiga dari seri. Coke tampaknya telah mensponsori pertama dan Pepsi ketiga. Keberhasilan dari setiap uang iklan berarti lebih banyak tersedia dan barang pengiklan lebih menonjol ditampilkan pada layar. Sebuah seri radio sehingga berubah menjadi sebuah opera sabun, dalam arti asli dari istilah, dimana iklan digabung menjadi narasi. Struktur dan kendala dari televisi dan kebutuhan industri ritel kemudian bisa dilihat sebagai satu kekuatan dalam membentuk genre film baru di Indonesia, dan salah satu yang sangat sukses.
Dengan semua account, jumlah penonton film semakin meningkat di Indonesia. Hal ini terjadi walaupun prediksi cemas di kalangan film di pertengahan 1980-an bahwa boom VCR, dan khususnya ketersediaan mudah dan murah akibatnya disensor film bahasa Inggris, telah ditakdirkan industri film lokal. Pada akhir tahun 1989, bagaimanapun, AMPEA (American Motion Pictures Ekspor Asosiasi) itu tampak khawatir dengan sejauh mana produk lokal secara konsisten mengalahkan impor. Para peneliti pasar yang digunakan oleh AMPEA untuk menyelidiki pasar film Indonesia (yang juga kebetulan bekerja untuk beberapa industri Amerika lainnya yang terlibat dalam bisnis di Indonesia) berkomentar bahwa konsumen pasar Indonesia untuk semua jenis barang dan jasa berkembang sekarang ke mana itu membuat Indonesia sebuah "prospek yang menarik untuk bisnis Amerika", termasuk film dan produser televisi. AMPEA konsultan di Jakarta mengatakan kepada saya bahwa penelitian mereka telah menyimpulkan bahwa praktek-praktek perdagangan yang tidak adil di sektor distribusi film Indonesia sebagian besar bertanggung jawab atas pertumbuhan yang rendah pangsa Hollywood memperluas pasar film.
Tidak ada keraguan bahwa pembatasan, legal dan ilegal, tidak menghalangi operasi pasar bebas di Indonesia, di semua barang, material dan simbolik. Apa riset pasar tersebut tidak menjelaskan meskipun adalah mengapa James terbaru film Bond, yang dibuka di tengah-tengah blitz iklan besar di Jakarta, dilaporkan keluar-kotor oleh Boy Bahasa Indonesia menjual atas Film Catatan Si 111 (Boy Journal III) .12 Sebuah set film elit di pinggiran Jakarta dan di California di Amerika Serikat, Si Boy 111 bukan kritikus film yang Indonesia telah diambil serius. Juga bukan jenis film yang kritik internasional akan melihat. Direktur Si Boy, Nasri Cheppy, mengatakan dalam sebuah wawancara:. "Aku terus bertanya pada diri sendiri, mengapa bahwa film-film yang memenangkan Citra (penghargaan film nasional Indonesia) hanya pernah dilihat oleh beberapa orang ... saya menganalisis situasi Kemudian saya membuat film ... Tampaknya, bahwa masyarakat membutuhkan film-film seperti ini. " 13
Si Boy adalah dengan semua account film Indonesia kedua yang paling populer untuk saat ini, setelah Saur Sepu, yang juga dibuat pada waktu yang sama. Oleh karena itu, pembacaan seri Si Boy (ada empat film 1987-1990) dalam kaitannya dengan kondisi spesifik yang beroperasi di industri, memungkinkan kita untuk memahami beberapa kekuatan membentuk teks layar kontemporer Indonesia dan khalayak nasional mereka.
Indonesia's Displaced Ads
Di media barat, radio dan televisi bukan film adalah media pengiklan. Ketika film adalah diputar di bioskop, mungkin ada beberapa iklan selama interval, ketika setengah penonton keluar membeli popcorn, tetapi akan biasa untuk melihat film (kecuali di TV) yang baik putus setiap begitu sering untuk pesan sponsor ', atau menggabungkan sejumlah besar merek iklan langsung dalam cerita. Botol dan merek dagang dari Coca-cola dan Pepsi membentuk bagian yang sangat menonjol dari mise-en-adegan Si Boy, bahkan menurut standar Indonesia, di mana meskipun kontroversi sejumlah pesan 'sponsor' 'dalam film-film telah menjadi diterima sejak 1970-an.
Di Indonesia, perluasan pasar konsumen di tahun 1970 berarti perluasan khalayak radio dan televisi. Sementara televisi diperkenalkan pada tahun 1962, tidak sampai awal 1970-an bahwa siapa pun mengambil medium terlalu serius. Pada tahun-tahun segera setelah perang sipil 1965-1966, Menteri Informasi dianggap radio sebagai instrumen utama untuk memenangkan orang kepada pemerintah militer baru. l4 tahun 1970-an, bagaimanapun, ada banyak orang menonton televisi sebagai sedang mendengarkan radio, sekitar 60% penduduk di atas all.15 Sebagai jam transmisi diperluas dalam saluran televisi hanya dan milik negara, begitu pula jumlah iklan. Tapi pada tahun 1981 pemerintah mulai pentahapan keluar iklan televisi, dengan alasan bahwa iklan itu sebagian bertanggung jawab atas kerusuhan sosial yang disebabkan oleh ekspektasi konsumen meningkat di antara bagian penduduk miskin, terutama di daerah pedesaan.
Industri periklanan segera merespon dengan mencari jalan audiovisual lainnya untuk memberikan konsumen untuk pengecer. Pengiklan mengadakan perjanjian dengan unit film bergerak untuk membayar untuk skrining bebas dari film di daerah pedesaan sebagai imbalan untuk memasukkan iklan-panjang menerobos masuk ke dalam penyaringan. Layar Tancep (harfiah 'layar terjebak di tanah') telah menjadi modus paling umum menonton film di daerah pedesaan Indonesia sejak kedatangan bioskop di negara itu. Puluhan terdaftar (dan mungkin banyak lagi yang tidak terdaftar) perusahaan beroperasi dengan sebuah truk, layar, generator dan sebuah proyektor, yang mereka dapat mengatur di wilayah udara terbuka komunal desa dan film menunjukkan dibayar oleh pengiklan, yang mengambil sebagai pesan banyak waktu sebagai film, sehingga memberikan hiburan malam gratis untuk penduduk desa. Tidak ada statistik diandalkan mengenai jumlah penonton di bioskop ini mobile. Menurut angka yang dihasilkan oleh Biro Pusat Statistik, di bawah 4% dari penduduk film arloji pedesaan dalam setiap minggu yang diberikan, sementara lebih dari 50% menonton televisi. Di sisi lain seorang petugas dari Asosiasi Bioskop Mobile (PERBIKI) memperkirakan bahwa pada tahun 1980 bioskop mobile yang mengunjungi 80% dari desa-desa secara teratur. 16 Pada tahun 1982 ini dianggap seperti modus efektif untuk menjangkau penduduk pedesaan, bahwa produksi film perusahaan yang dimiliki oleh petugas polisi senior dan film propaganda memproduksi sekitar Soeharto sedang mempertimbangkan mendirikan Film sendiri unit mobile, yang yakin akan dibayar oleh pengiklan, dan pada saat yang sama melakukan propaganda pemerintah menjadi bagian-bagian terpencil di pedesaan Indonesia, di mana tidak ada bioskop. 17
Sebuah perangkat baru untuk mengambil audio-visual iklan untuk rumah tangga yang relatif kaya VCR memiliki muncul pada tahun 1988, ketika dua perusahaan mendapat izin untuk memulai 'majalah video ", yang berisi semua bahan yang normal dari program majalah televisi, termasuk sejumlah besar iklan. 18 Sebuah versi yang sedikit berbeda dan sebelumnya menggunakan VCR sebagai pengganti untuk televisi adalah narasi yang sangat murah diproduksi serial di video, dimana konsumen bisa menyewa secara teratur, dan mengikuti cerita episodik dalam banyak cara yang sama bahwa para penggemar sinetron ikuti . Sebuah saluran yang lebih signifikan dari akses ke warga Jakarta dibuka dengan kedatangan televisi berbayar swasta di tahun 1988. Pertama swasta Indonesia stasiun televisi RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), yang dimiliki oleh Presiden Bambang Trihatmojo putra, awalnya diharapkan untuk menyiarkan hanya untuk elit kaya kecil Jakarta. Subsription untuk siaran RCTI itu sangat mahal, membutuhkan decoder dan antena senilai sekitar US $ 2000, ditambah berlangganan tahunan sebesar $ 500. 19 "Ini akan membeli pemirsa tarif hiburan 85% -. Terutama AS acara TV ... dan beberapa film" Dan iklan. "Masyarakat iklan" salah satu eksekutif dilaporkan mengatakan "sangat gembira". Bahkan sebelum memulai transmisi RCTI, 70% dari slot iklan perdana terjual habis. RCTI diharapkan perusahaan multinasional besar yang beroperasi di Indonesia untuk meningkatkan anggaran iklan mereka untuk Indonesia sebagai respon terhadap akses baru-ditemukan untuk konsumen. 20
Majalah baik video dan terutama TV swasta waktu bertahun-tahun untuk bernegosiasi dan membangun. Tapi sementara perubahan-perubahan struktural jangka panjang untuk media Indonesia sedang dinegosiasikan, opera sabun sedang diciptakan kembali di industri film Indonesia. Sinetron mulai memainkan radio sebagai serial dengan Olahpesan tentang produk rumah tangga dibangun ke mereka. Nama merek, merek dagang dan produk konsumen segera diidentifikasi mulai muncul di film-film tertentu cukup sering pada awal tahun 1980. Menurut dua produsen saya wawancarai, para pemasang iklan "sponsor" film dan memberikan kontribusi jumlah tertentu untuk produksi. Kemudian salinan terburu-buru dapat diperiksa untuk bekerja di luar jumlah paparan produk mereka cenderung untuk menerima dalam film, dan pembayaran dinegosiasikan lebih lanjut atas dasar itu.
Pada pertengahan 1980-an, 1.700 bioskop di Indonesia terdaftar menjual sekitar 120-140000000 tiket tahun, 35-40% dari bersama oleh 70 atau film sehingga bahasa Indonesia yang diproduksi setiap year.2l Ini bukan jangkauan yang sangat besar per film dari sudut pengiklan pandang. Sebuah cerita serial, yang dapat tergantung pada berikut biasa, jauh lebih cocok, baik dari segi menargetkan bagian tertentu dari populasi, dan memiliki akses reguler untuk mereka.
Saur Sepu dan Boy Si, yang ternyata menjadi film terlaris atas, keduanya serial, tetapi diarahkan kepada audiens yang jelas berbeda. Ditujukan terutama untuk audiens pedesaan dan ditetapkan dalam zaman prasejarah, Saur Sepu adalah petualangan seorang pahlawan yang rides pada Garuda burung besar mitos, ajaib menghancurkan musuh-musuhnya. Bukan cerita yang sangat cocok line untuk menampilkan barang-barang konsumen modern, tapi itu memang memiliki sponsor dari sebuah perusahaan farmasi Indonesia yang produknya diiklankan pada awal setiap pemutaran film. 22
Si Boy telah dimulai sebagai serial, mingguan selama satu jam radio di tahun 1985, di sebuah stasiun yang memainkan 'top 40' dan memiliki pengikut di kalangan muda Jakarta yang kuat. Cerita berpusat di sekitar anak, pintar cerdas tinggi-sekolah dari keluarga super-kaya, Boy, dan teman-temannya. Ini adalah alur cerita yang sempurna di mana gambar dari semua jenis barang konsumen, diarahkan terutama pada remaja dan dewasa muda, bisa disertakan. Terasa, selera karakter 'dalam merek rokok dan minuman ringan mengubah antara film pertama dan ketiga dari seri. Coke tampaknya telah mensponsori pertama dan Pepsi ketiga. Keberhasilan dari setiap uang iklan berarti lebih banyak tersedia dan barang pengiklan lebih menonjol ditampilkan pada layar. Sebuah seri radio sehingga berubah menjadi sebuah opera sabun, dalam arti asli dari istilah, dimana iklan digabung menjadi narasi. Struktur dan kendala dari televisi dan kebutuhan industri ritel kemudian bisa dilihat sebagai satu kekuatan dalam membentuk genre film baru di Indonesia, dan salah satu yang sangat sukses.
Open Ends and Generation Gaps
Si Boy II berakhir dengan rencana Boy untuk pergi ke universitas di Amerika Serikat. Film berikutnya dimulai dengan pengalaman Boy di AS, di mana ia dengan cepat bergabung dengan Vera pacarnya dan Emon sahabat, dari Indonesia, yang telah datang untuk menghabiskan akhir mereka liburan sekolah. Sebagian besar film ini diambil dengan menonton televisi Amerika, dan melihat lokasi wisata dari California dengan beberapa pertempuran dengan sekelompok preman setempat, yang dipimpin oleh seorang laki-laki Indonesia, yang ternyata menjadi anak-mantan teman Vera. Para preman yang mendorong obat. Sedikit sebelum Vera sampai ke California, Boy berhasil menyelamatkan seorang wanita Filipina-Indonesia dari cengkeraman mereka. Dia membuat melewati di kedua Boy dan Vera, yang dalam adegan terakhir dari film berencana untuk menjodohkannya dengan Emon yang sangat feminin "karena keduanya hanya sedikit off!" Deraan sekitar di sebuah taman, Emon didorong ke danau. Akhir dari film - tapi bukan dari cerita. Tidak diragukan lagi dalam episode berikutnya lebih dari masa lalu karakter 'bisa dikeruk untuk menambah petualangan kecil sampai sekarang sangat menyenangkan.
Si Boy setiap segmen berakhir dengan kemungkinan awal lain. Ini tidak begitu banyak ls bahwa narasi memiliki berakhir terbuka, bukan bahwa film ini berhenti pada titik tertentu dalam cerita yang kita tahu terus terjadi. Seperti sabun televisi, dan seperti asal-usul radio, film-film Si Boy yang di masa sekarang terus menerus, bukan di perfect tense konvensional masa lalu sebuah film narasi, atau bahkan serial yang umumnya mulai dengan krisis yang telah diselesaikan di akhir episode. Dalam Si Boy menandai perubahan dari remaja filem (film remaja), genre yang paling populer dari Indoneisian bioskop sejak pertengahan 1970-an, dan yang Boy Si adalah bagian dalam hal pengaturan, gambar, bintang, karakter dan penonton.
Saya telah menyatakan di tempat lain bahwa bagaimana sebuah cerita berakhir sangat penting untuk film Indonesia, karena cara penyensoran beroperasi. Waktu dan lagi Dewan Sensor telah menentukan urutan akhir dari film untuk memastikan 'secara moral benar' (baca politcally nyaman) interpretasi. Aturan-aturan dan konvensi tentang akhir beroperasi baik sebagai kendala dan kontingensi. Sebuah film dapat berisi (dalam arti baik membawa dan membatasi) gambar perdebatan dan ide-ide, selama itu mencapai 'benar' kesimpulan. Dan penonton, menyadari konvensi-konvensi tersebut, dapat membaca film tanpa atau melawan narasi closure.23 Para remaja Film, yang tergantung pada pembangunan remaja diegetik (dan penonton) visual, linguistik dan sosial sebagai kelompok yang berbeda, selalu menyimpulkan dengan asimilasi remaja ke dunia orang dewasa, baik melalui para pecinta remaja menikah (yang sama dengan lulus menjadi dewasa) atau melalui resolusi konflik remaja 'dengan orang tua mereka, atau keduanya. Melalui genre sebagai remaja, utuh kemudian, dan pemuda datang ke didefinisikan sebagai fase alamiah dari kehidupan, di mana manusia berperilaku dengan cara yang khas, sehingga konflik yang diselesaikan oleh integrasi ke dalam kehidupan dewasa. Perangkat narasi simultan mengakui dan menyangkal perbedaan generasi dan konflik.
Dengan menghindari penutupan Si Boy lolos kebutuhan untuk mendefinisikan remaja sebagai fase sementara kehidupan, dan dengan demikian menghindari harus menerima perspektif dewasa dan praktek (seperti perkawinan dan keluarga) karena keduanya benar dan alami. Ini dimulai untuk menentukan gaya hidup khas laki-laki dan perempuan muda perkotaan sebagai sebuah fenomena sosial Indonesia kontemporer. Wacana seksualitas dalam film ini adalah contoh yang baik. Karena tidak harus menyimpulkan, film ini mampu membangun seksualitas tanpa merujuk pada pernikahan, tapi tanpa hukuman moral yang melekat pada s ~ mantan luar nikah dalam teks-teks bahasa Indonesia layar konvensional. Referensi untuk homoseksualitas adalah sangat menarik. Homoseksualitas selalu didefinisikan sebagai suatu penyimpangan yang perlu disembuhkan (dalam film yang luar biasa sangat sedikit itu ditoleransi karena beberapa kelemahan manusia atau cacat), atau terpinggirkan sebagai lelucon. Dalam Si, homoseksualitas Boy, baik laki-laki dan perempuan, dapat disebut hanya sebagai aspek lain dari seksualitas. Bentuk kisah tak berujung dapat di peta efek segala macam perilaku menyimpang dikutuk sebagai minoritas dalam ideologi dominan, tanpa harus langsung menghadapi struktur dominasi.
Para intrudes generasi tua pada foto dan dialog-dialog remaja jarang, dan kemudian terutama sebagai sumber uang, yang membeli remaja gaya hidup mereka. Dalam film ketiga dari seri misalnya, orang tua Boy muncul hanya sebentar menjelang akhir. Vera dan orang tua Emon yang hanya muncul pada dua urutan di mana mereka memberikan anak-anak mereka dengan dana untuk pergi ke California, kemudian melihat mereka turun di bandara. Kehidupan remaja tidak dijelaskan bertentangan dengan kehidupan 'normal' dewasa, tetapi dalam istilah sendiri. Keterpinggiran dari orang tua untuk kemajuan film juga memungkinkan gaya hidup berdasarkan usia untuk dieksplorasi tanpa mengacu kepada masalah sosial yang lebih luas dari kesenjangan kekayaan dan kekuasaan yang dengan sendirinya membuat mungkin bahwa gaya hidup mobil Mercedes dan perjalanan asing. Pertanyaan akuisisi kekayaan yang dikedepankan secara singkat dalam film pertama, di mana ayah dari pacar pertama Boy (bukan Vera), seorang birokrat yang jujur, berhenti padanya dari melihat Boy dengan alasan bahwa ayahnya adalah pengusaha korup. Putrinya berpendapat keras bahwa Boy tidak dapat bertanggung jawab atas tindakan ayahnya. Ini tidak berarti bahwa satu argumen menang atas yang lain, tetapi bahwa mereka berdua ditiadakan dan menjadi tidak signifikan.
Ini dispensasi yang diberikan dalam film anak-anak dari elit di Jakarta yang korup diduplikasi dalam percakapan nyata dalam cara yang menarik. Seorang teman antropolog, yang menonton film dengan saya di Jakarta, mengatakan kepada saya setelah itu dari percakapan dia dengan seorang pengusaha Jakarta muda tentang akses ke bisnis menguntungkan yang tersedia untuk anak-anak Soeharto. Para pengusaha muda mengatakan "Tommy (Hutomo, putra bungsu Presiden) benar-benar pintar dengan bisnisnya Dia tidak dapat membantu jika ayahnya adalah Presiden.." Bahkan lebih luar biasa, mantan tahanan politik rezim Soeharto berkomentar kepada saya dalam converstion santai: "Suharto tidak akan membiarkan saya mendapatkan pekerjaan Tapi anak saya bekerja untuk perusahaan putranya Anda lihat, pertarungan antara kami, tidak di.. generasi berikutnya. " Si Boy kemudian membentuk bagian dari wacana legitimasi akses terhadap kekayaan di Indonesia Orde Baru, legitimasi dari gaya hidup yang sangat mewah, dapat diakses hanya untuk beberapa, namun banyak diterima.
Legitimasi ini hanya mungkin dengan mengeluarkan generasi yang cnmes dan korupsi menghasilkan kekayaan besar dari kelas atas perkotaan kontemporer. Hal ini hanya mungkin melalui pemisahan konsumsi kekayaan dari produksi.
Stasiun radio Prambors, di mana Si Boy pertama kali disusun, telah "menolak untuk tumbuh" (sebagai salah satu direktur berkomentar) sejak awal sebagai operasi halaman belakang ilegal pada tahun 1967. Ongky Alexander 24 yang bermain Boy di film-film sekarang berencana dengan beberapa teman untuk menarik diri dari festival film Indonesia, "di mana juri semua tua dan tidak memiliki pemahaman tentang gerakan dan bahasa orang muda," dan karena penghargaan pergi ke histoncal film dan tidak untuk film remaja. Pemuda budaya, erat terkait dengan konstruksi iklan tentang konsumen muda, sekarang mencari ruang dilegitimasi di layar, seperti yang telah berhasil membangun di bidang cetak dan radio.
Pada saat yang sama, akhir terbuka daun pilihan politcal terbuka untuk karakter film dan penonton dalam cara yang tekanan konstan untuk menyelesaikan konflik dalam mendukung generasi yang lebih tua dan pendirian tidak. EPRI mahasiswa, dua puluh tiga tahun, "berambut panjang, babyfaced" sebagai salah satu jurnalis Indonesia dia menjelaskan, yang awalnya dimainkan Boy di radio, menggambarkan kesamaan antara dirinya dan alter-ego sebagai "hobinya, ngtrend", yang adalah 'hobi favorit, sedang trendi! " Bahwa bahasa 'Engdonesian', sangat banyak bahasa film, adalah menarik dalam dirinya sendiri sebagai bahasa khusus dari kelompok kelas dan usia terikat. 'Ngtrend' menggambarkan tindakan yang 'dalam', apakah itu di pakaian, musik atau politik.
Boy dan teman-temannya dapat berubah dengan penonton, mengikuti tren dalam setiap aspek perilaku. Perspektif politik bisa berubah Si Boy cukup dramatis tanpa resiko kehilangan penggemar atau pendapatan iklan. Memang, Boy harus berubah dalam rangka untuk menjaga penonton muda terus berubah dan dengan demikian ia merupakan indikator perubahan sosial di Indonesia.
Post-colonial Joke-fantasy
Boy memiliki akses ke lebih banyak kekayaan daripada pahlawan film Indonesia lain saya telah ditemukan di sekitar 300 film. Rumah tempat adegan keluarga ditembak dilaporkan kediaman Sudwikatmono, sepupu Presiden Soeharto, dan salah satu orang terkaya di Indonesia. Boy memiliki rumah, penuh dari setiap barang mewah yang mungkin dan tentara hamba. Dan garasi penuh atas mobil model berkisar olahraga terbaru. Ongky Alexander, yang memainkan Boy, mulai universitas di Amerika Serikat pada pertengahan-1988. Dalam episode berikutnya, Boy diikuti. Hampir tiga perempat dari film ditembak di Amerika Serikat-, sebagian besar di Los Angeles.
Awal tahun 1990, di Sumatera Barat, memantul bersama di jalan-jalan banjir, di belakang sebuah truk kecil diubah menjadi kendaraan penumpang, saya mencoba untuk meminta orang-orang muda dari kota-kota kecil mengapa mereka mengikuti eksploitasi Boy, apa yang mereka sukai tentang film. "Karena itu film yang bagus"; "~ arena ia kaya dan pintar, tapi masih Sopan" (yang baik moral dan berperilaku baik); "karena film Indonesia biasanya tidak berkualitas tinggi seperti film-film Amerika, seperti Anak Si adalah" .
Tidak ada cara, tentu saja, bahwa Anda dapat menilai kualitas teknis film pada saat itu sampai ke pedesaan Sumatera. Bahkan di desa-desa dekat dengan ibukota Jakarta, cetak mungkin robek tiga kali dalam skrining panjang rata-rata, dan tidak biasa untuk atap bocor saat hujan datang. Bioskop kebanyakan bobrok, dan peralatan begitu lama yang Clint Eastwood bisa terdengar seperti Mickey Mouse. Saat aku mengejar masalah 'kualitas tinggi', menjadi semakin jelas bahwa ini bukan masalah suara atau kualitas gambar, namun ikon film berisi barat, masyarakat teknologi. Para sportscars, kulkas dengan stiker magnet mereka (kebetulan, selalu membawa nama merek barang-barang konsumsi), yang soundsystems, dan bahkan panjang iklan Pepsi penuh pada program TV Amerika simulasi, semua diterjemahkan sebagai 'kualitas tinggi'. Kualitas, maka, bukan kualitas film, tapi kualitas hidup, yang menjadi simbolis diakses oleh khalayak melalui film.
Dalam Si Boy III, bukan hanya sebuah 'standar Amerika kualitas', tapi Amerika sendiri, menjadi tersedia bagi penonton Indonesia, sebagai film bergerak di luar negeri. Hubungan kolonial simbolis terbalik, tidak hanya karena kamera indonesian visual menguasai pemandangan Amerika dan suara (dalam banyak cara yang sama bahwa Hollywood telah diterobos pada Asia dan Afrika), namun lebih signifikan, karena dalam hal hubungan sosial Amerika diegetik secara harfiah hamba karakter sentral Indonesia. Adegan yang paling mencolok adalah ketika Boy pertama tiba di Amerika dan pergi untuk tinggal dengan pamannya yang sangat kaya yang tinggal di Los Angeles. Sebuah tinggi, pirang, wanita kulit putih membawa teh. Perintah pamannya di Indonesia sopan, dia merespon tinggi Jawa "ya, Tuan". Jawa digunakan justru karena dalam bahasa Indonesia seperti budak adalah mustahil untuk mereproduksi. Tentu saja, adegan setengah bercanda, setengah-fantasi, tetapi jelas lelucon postkolonial. Hal ini hanya mungkin karena memori kolonial yang kuat, penjajah Belanda yang kejam, yang mendominasi semua representasi fiksi Indonesia Barat selama bertahun-tahun setelah kemerdekaan, telah memudar dan hanya menjadi cerita lain Bahasa Indonesia, mengatakan dalam genre lain, seperti film sejarah dan memainkan , dan dikeruk di televisi setiap tahun pada hari kemerdekaan.
Si Boy tentu bukan film Indonesia pertama kali di barat kontemporer. Sejak sekitar pertengahan-70s, sejumlah offilm remaja telah ditembak sebagian di Eropa atau Amerika. Dan meskipun pembangunan tertentu Amerika sebagai selalu bermain peran bawahan Indonesia tidak biasa (misalnya tidak ada adegan yang melibatkan universitas Boy kelas, yang dibayangkan mungkin berisi Amerika sebagai guru) itu tidak begitu banyak konstruksi tertentu, tetapi penegasan hak Indonesia untuk simbolis merekonstruksi hubungan mereka ke barat yang paling menarik. Ada, aneh bahkan mungkin berbahaya, semacam pembangunan 'Indonesia kita' dalam kaitannya dengan ousider Barat sini, di mana para penonton, yang berbagi hampir tidak ada dari gaya hidup protagonis ', yang terlibat, dan sedemikian rupa sehingga pedesaan, kelas bawah Sumatera penonton dapat melihat anak-anak kaya yang manja Jakarta sebagai bagian dari yang dibayangkan 'kita', bukan sebuah, eksploitatif kuat, korup, kelas minoritas atas.
End of a Story?
Televisi swasta telah menyebar dengan cepat melalui kota-kota Indonesia sejak pembukaan RCTI pada bulan Agustus 1988 di Jakarta. Sebuah televisi swasta kedua, SCTV (Surabaya Central Televisi), sebagian besar dimiliki oleh Presiden sepupu Sudwikatmono, mulai trial nya dijalankan di Surabaya, kota kedua terbesar di Indonesia, pada bulan Januari 1990. Pada pertengahan 1990, RCTI telah memperluas operasinya ke Bandung, dan SCTV mulai siaran di Bali. Kota-kota lain diharapkan untuk mengikuti karena pemerintah sekarang telah setuju untuk mengizinkan stasiun televisi swasta di semua ibukota propinsi. 25
Pemerintah tampaknya kurang yakin juga tentang argumen sendiri sebelumnya tentang hubungan antara iklan di televisi dan kerusuhan sosial di kalangan kelas bawah. Meskipun oposisi dari televisi negara TVRI pada 14 Juli 1990, "memberi Kepala Bangsa izin untuk RCTI untuk menyiarkan tanpa decoder" .26 Tanpa decoder mahal, eksekutif RCTI yang diharapkan (dan karenanya pengiklan ') mencapai audiens untuk memperbanyak secara dramatis, dari sekitar 125.000 rumah tangga dengan dekoder, untuk sekitar 6 juta orang. Beberapa orang akan mengatakan bahwa iklan itu diambil dari televisi negara justru untuk memberikan putra presiden awal yang sempurna untuk membangun kerajaan media.
Sebagai menyebar televisi swasta, baik horizontal dan vertikal, melalui Indonesia, kondisi spesifik dari industri media yang menghasilkan Si Boy berubah secara substansial. Dengan prime time di RCTI yang diambil hampir secara eksklusif dengan program berjudul 'Benson dan Kantor Hedges Kotak' dan 'Dunhill Double, dan menampilkan film-film Amerika yang sukses, sabun dan musik-video menunjukkan, 27 pengiklan segera dapat berharap untuk mencapai sebagian besar dari Si Boy penonton tanpa Boy.
Si Boy IV, dirilis pada pertengahan 1990, namun tidak tampaknya telah kehilangan pendapatan iklan. Satu review film mengatakan: "Kemanapun ia pergi, Boy harus menunjukkan kemampuannya untuk membawa beban iklan '2 s Meskipun demikian, tampaknya ada tanda-tanda dari suatu jumlah tertentu down-grading dari seri secara keseluruhan Yang sangat.! komedian dibayar, Didi pepet, yang bermain teman Boy terbaik dalam tiga film pertama, telah meninggalkan pemain film terakhir ditembak di Bali, daripada di beberapa lokasi Eropa atau Amerika yang lebih eksotis dan mahal.. Sulit untuk memprediksi bagaimana Boy cerita akan berlangsung. Jika cerita tidak berakhir, seperti iklan televisi mengembang, Boy mungkin harus membuat beberapa penyesuaian yang serius dalam hal target dan sifat dari produk yang ia menjual.
Saya membaca Si Boy, meskipun tidak berarti lengkap, bertentangan, dalam arti bahwa saya melihatnya sebagai menantang dominasi sistem tertentu, sementara mereproduksi lain. Namun justru untuk melihat kontradiksi-kontradiksi yang salah satu kebutuhan untuk membaca teks populer yang kompleks (aku menegaskan semua teks layar populer adalah kompleks) dalam kaitannya dengan banyak relasi politik dan sosial interlinking. Pembacaan yang berbeda, dalam hubungannya dengan konteks yang berbeda, mengungkapkan bagaimana, untuk apa gelar dan di mana, ideologi dominan sedang diperebutkan. Tapi itu akan membantu sedikit untuk memeriksa apakah atau seberapa jauh itu mereproduksi beberapa praktek budaya klasik Indonesia, untuk menanyakan apakah itu bahasa Indonesia kultural otentik, karena apa yang bahasa Indonesia itu sendiri merupakan area kontestasi. Namun, jika kita menghormati penilaian penonton populer, dan menerima bahwa semua karya budaya populer adalah entah bagaimana baik Indonesia dan milik sekarang, kita mungkin bisa mendapatkan selangkah lebih dekat dengan budaya Indonesia yang terus berubah.
Si Boy II berakhir dengan rencana Boy untuk pergi ke universitas di Amerika Serikat. Film berikutnya dimulai dengan pengalaman Boy di AS, di mana ia dengan cepat bergabung dengan Vera pacarnya dan Emon sahabat, dari Indonesia, yang telah datang untuk menghabiskan akhir mereka liburan sekolah. Sebagian besar film ini diambil dengan menonton televisi Amerika, dan melihat lokasi wisata dari California dengan beberapa pertempuran dengan sekelompok preman setempat, yang dipimpin oleh seorang laki-laki Indonesia, yang ternyata menjadi anak-mantan teman Vera. Para preman yang mendorong obat. Sedikit sebelum Vera sampai ke California, Boy berhasil menyelamatkan seorang wanita Filipina-Indonesia dari cengkeraman mereka. Dia membuat melewati di kedua Boy dan Vera, yang dalam adegan terakhir dari film berencana untuk menjodohkannya dengan Emon yang sangat feminin "karena keduanya hanya sedikit off!" Deraan sekitar di sebuah taman, Emon didorong ke danau. Akhir dari film - tapi bukan dari cerita. Tidak diragukan lagi dalam episode berikutnya lebih dari masa lalu karakter 'bisa dikeruk untuk menambah petualangan kecil sampai sekarang sangat menyenangkan.
Si Boy setiap segmen berakhir dengan kemungkinan awal lain. Ini tidak begitu banyak ls bahwa narasi memiliki berakhir terbuka, bukan bahwa film ini berhenti pada titik tertentu dalam cerita yang kita tahu terus terjadi. Seperti sabun televisi, dan seperti asal-usul radio, film-film Si Boy yang di masa sekarang terus menerus, bukan di perfect tense konvensional masa lalu sebuah film narasi, atau bahkan serial yang umumnya mulai dengan krisis yang telah diselesaikan di akhir episode. Dalam Si Boy menandai perubahan dari remaja filem (film remaja), genre yang paling populer dari Indoneisian bioskop sejak pertengahan 1970-an, dan yang Boy Si adalah bagian dalam hal pengaturan, gambar, bintang, karakter dan penonton.
Saya telah menyatakan di tempat lain bahwa bagaimana sebuah cerita berakhir sangat penting untuk film Indonesia, karena cara penyensoran beroperasi. Waktu dan lagi Dewan Sensor telah menentukan urutan akhir dari film untuk memastikan 'secara moral benar' (baca politcally nyaman) interpretasi. Aturan-aturan dan konvensi tentang akhir beroperasi baik sebagai kendala dan kontingensi. Sebuah film dapat berisi (dalam arti baik membawa dan membatasi) gambar perdebatan dan ide-ide, selama itu mencapai 'benar' kesimpulan. Dan penonton, menyadari konvensi-konvensi tersebut, dapat membaca film tanpa atau melawan narasi closure.23 Para remaja Film, yang tergantung pada pembangunan remaja diegetik (dan penonton) visual, linguistik dan sosial sebagai kelompok yang berbeda, selalu menyimpulkan dengan asimilasi remaja ke dunia orang dewasa, baik melalui para pecinta remaja menikah (yang sama dengan lulus menjadi dewasa) atau melalui resolusi konflik remaja 'dengan orang tua mereka, atau keduanya. Melalui genre sebagai remaja, utuh kemudian, dan pemuda datang ke didefinisikan sebagai fase alamiah dari kehidupan, di mana manusia berperilaku dengan cara yang khas, sehingga konflik yang diselesaikan oleh integrasi ke dalam kehidupan dewasa. Perangkat narasi simultan mengakui dan menyangkal perbedaan generasi dan konflik.
Dengan menghindari penutupan Si Boy lolos kebutuhan untuk mendefinisikan remaja sebagai fase sementara kehidupan, dan dengan demikian menghindari harus menerima perspektif dewasa dan praktek (seperti perkawinan dan keluarga) karena keduanya benar dan alami. Ini dimulai untuk menentukan gaya hidup khas laki-laki dan perempuan muda perkotaan sebagai sebuah fenomena sosial Indonesia kontemporer. Wacana seksualitas dalam film ini adalah contoh yang baik. Karena tidak harus menyimpulkan, film ini mampu membangun seksualitas tanpa merujuk pada pernikahan, tapi tanpa hukuman moral yang melekat pada s ~ mantan luar nikah dalam teks-teks bahasa Indonesia layar konvensional. Referensi untuk homoseksualitas adalah sangat menarik. Homoseksualitas selalu didefinisikan sebagai suatu penyimpangan yang perlu disembuhkan (dalam film yang luar biasa sangat sedikit itu ditoleransi karena beberapa kelemahan manusia atau cacat), atau terpinggirkan sebagai lelucon. Dalam Si, homoseksualitas Boy, baik laki-laki dan perempuan, dapat disebut hanya sebagai aspek lain dari seksualitas. Bentuk kisah tak berujung dapat di peta efek segala macam perilaku menyimpang dikutuk sebagai minoritas dalam ideologi dominan, tanpa harus langsung menghadapi struktur dominasi.
Para intrudes generasi tua pada foto dan dialog-dialog remaja jarang, dan kemudian terutama sebagai sumber uang, yang membeli remaja gaya hidup mereka. Dalam film ketiga dari seri misalnya, orang tua Boy muncul hanya sebentar menjelang akhir. Vera dan orang tua Emon yang hanya muncul pada dua urutan di mana mereka memberikan anak-anak mereka dengan dana untuk pergi ke California, kemudian melihat mereka turun di bandara. Kehidupan remaja tidak dijelaskan bertentangan dengan kehidupan 'normal' dewasa, tetapi dalam istilah sendiri. Keterpinggiran dari orang tua untuk kemajuan film juga memungkinkan gaya hidup berdasarkan usia untuk dieksplorasi tanpa mengacu kepada masalah sosial yang lebih luas dari kesenjangan kekayaan dan kekuasaan yang dengan sendirinya membuat mungkin bahwa gaya hidup mobil Mercedes dan perjalanan asing. Pertanyaan akuisisi kekayaan yang dikedepankan secara singkat dalam film pertama, di mana ayah dari pacar pertama Boy (bukan Vera), seorang birokrat yang jujur, berhenti padanya dari melihat Boy dengan alasan bahwa ayahnya adalah pengusaha korup. Putrinya berpendapat keras bahwa Boy tidak dapat bertanggung jawab atas tindakan ayahnya. Ini tidak berarti bahwa satu argumen menang atas yang lain, tetapi bahwa mereka berdua ditiadakan dan menjadi tidak signifikan.
Ini dispensasi yang diberikan dalam film anak-anak dari elit di Jakarta yang korup diduplikasi dalam percakapan nyata dalam cara yang menarik. Seorang teman antropolog, yang menonton film dengan saya di Jakarta, mengatakan kepada saya setelah itu dari percakapan dia dengan seorang pengusaha Jakarta muda tentang akses ke bisnis menguntungkan yang tersedia untuk anak-anak Soeharto. Para pengusaha muda mengatakan "Tommy (Hutomo, putra bungsu Presiden) benar-benar pintar dengan bisnisnya Dia tidak dapat membantu jika ayahnya adalah Presiden.." Bahkan lebih luar biasa, mantan tahanan politik rezim Soeharto berkomentar kepada saya dalam converstion santai: "Suharto tidak akan membiarkan saya mendapatkan pekerjaan Tapi anak saya bekerja untuk perusahaan putranya Anda lihat, pertarungan antara kami, tidak di.. generasi berikutnya. " Si Boy kemudian membentuk bagian dari wacana legitimasi akses terhadap kekayaan di Indonesia Orde Baru, legitimasi dari gaya hidup yang sangat mewah, dapat diakses hanya untuk beberapa, namun banyak diterima.
Legitimasi ini hanya mungkin dengan mengeluarkan generasi yang cnmes dan korupsi menghasilkan kekayaan besar dari kelas atas perkotaan kontemporer. Hal ini hanya mungkin melalui pemisahan konsumsi kekayaan dari produksi.
Stasiun radio Prambors, di mana Si Boy pertama kali disusun, telah "menolak untuk tumbuh" (sebagai salah satu direktur berkomentar) sejak awal sebagai operasi halaman belakang ilegal pada tahun 1967. Ongky Alexander 24 yang bermain Boy di film-film sekarang berencana dengan beberapa teman untuk menarik diri dari festival film Indonesia, "di mana juri semua tua dan tidak memiliki pemahaman tentang gerakan dan bahasa orang muda," dan karena penghargaan pergi ke histoncal film dan tidak untuk film remaja. Pemuda budaya, erat terkait dengan konstruksi iklan tentang konsumen muda, sekarang mencari ruang dilegitimasi di layar, seperti yang telah berhasil membangun di bidang cetak dan radio.
Pada saat yang sama, akhir terbuka daun pilihan politcal terbuka untuk karakter film dan penonton dalam cara yang tekanan konstan untuk menyelesaikan konflik dalam mendukung generasi yang lebih tua dan pendirian tidak. EPRI mahasiswa, dua puluh tiga tahun, "berambut panjang, babyfaced" sebagai salah satu jurnalis Indonesia dia menjelaskan, yang awalnya dimainkan Boy di radio, menggambarkan kesamaan antara dirinya dan alter-ego sebagai "hobinya, ngtrend", yang adalah 'hobi favorit, sedang trendi! " Bahwa bahasa 'Engdonesian', sangat banyak bahasa film, adalah menarik dalam dirinya sendiri sebagai bahasa khusus dari kelompok kelas dan usia terikat. 'Ngtrend' menggambarkan tindakan yang 'dalam', apakah itu di pakaian, musik atau politik.
Boy dan teman-temannya dapat berubah dengan penonton, mengikuti tren dalam setiap aspek perilaku. Perspektif politik bisa berubah Si Boy cukup dramatis tanpa resiko kehilangan penggemar atau pendapatan iklan. Memang, Boy harus berubah dalam rangka untuk menjaga penonton muda terus berubah dan dengan demikian ia merupakan indikator perubahan sosial di Indonesia.
Post-colonial Joke-fantasy
Boy memiliki akses ke lebih banyak kekayaan daripada pahlawan film Indonesia lain saya telah ditemukan di sekitar 300 film. Rumah tempat adegan keluarga ditembak dilaporkan kediaman Sudwikatmono, sepupu Presiden Soeharto, dan salah satu orang terkaya di Indonesia. Boy memiliki rumah, penuh dari setiap barang mewah yang mungkin dan tentara hamba. Dan garasi penuh atas mobil model berkisar olahraga terbaru. Ongky Alexander, yang memainkan Boy, mulai universitas di Amerika Serikat pada pertengahan-1988. Dalam episode berikutnya, Boy diikuti. Hampir tiga perempat dari film ditembak di Amerika Serikat-, sebagian besar di Los Angeles.
Awal tahun 1990, di Sumatera Barat, memantul bersama di jalan-jalan banjir, di belakang sebuah truk kecil diubah menjadi kendaraan penumpang, saya mencoba untuk meminta orang-orang muda dari kota-kota kecil mengapa mereka mengikuti eksploitasi Boy, apa yang mereka sukai tentang film. "Karena itu film yang bagus"; "~ arena ia kaya dan pintar, tapi masih Sopan" (yang baik moral dan berperilaku baik); "karena film Indonesia biasanya tidak berkualitas tinggi seperti film-film Amerika, seperti Anak Si adalah" .
Tidak ada cara, tentu saja, bahwa Anda dapat menilai kualitas teknis film pada saat itu sampai ke pedesaan Sumatera. Bahkan di desa-desa dekat dengan ibukota Jakarta, cetak mungkin robek tiga kali dalam skrining panjang rata-rata, dan tidak biasa untuk atap bocor saat hujan datang. Bioskop kebanyakan bobrok, dan peralatan begitu lama yang Clint Eastwood bisa terdengar seperti Mickey Mouse. Saat aku mengejar masalah 'kualitas tinggi', menjadi semakin jelas bahwa ini bukan masalah suara atau kualitas gambar, namun ikon film berisi barat, masyarakat teknologi. Para sportscars, kulkas dengan stiker magnet mereka (kebetulan, selalu membawa nama merek barang-barang konsumsi), yang soundsystems, dan bahkan panjang iklan Pepsi penuh pada program TV Amerika simulasi, semua diterjemahkan sebagai 'kualitas tinggi'. Kualitas, maka, bukan kualitas film, tapi kualitas hidup, yang menjadi simbolis diakses oleh khalayak melalui film.
Dalam Si Boy III, bukan hanya sebuah 'standar Amerika kualitas', tapi Amerika sendiri, menjadi tersedia bagi penonton Indonesia, sebagai film bergerak di luar negeri. Hubungan kolonial simbolis terbalik, tidak hanya karena kamera indonesian visual menguasai pemandangan Amerika dan suara (dalam banyak cara yang sama bahwa Hollywood telah diterobos pada Asia dan Afrika), namun lebih signifikan, karena dalam hal hubungan sosial Amerika diegetik secara harfiah hamba karakter sentral Indonesia. Adegan yang paling mencolok adalah ketika Boy pertama tiba di Amerika dan pergi untuk tinggal dengan pamannya yang sangat kaya yang tinggal di Los Angeles. Sebuah tinggi, pirang, wanita kulit putih membawa teh. Perintah pamannya di Indonesia sopan, dia merespon tinggi Jawa "ya, Tuan". Jawa digunakan justru karena dalam bahasa Indonesia seperti budak adalah mustahil untuk mereproduksi. Tentu saja, adegan setengah bercanda, setengah-fantasi, tetapi jelas lelucon postkolonial. Hal ini hanya mungkin karena memori kolonial yang kuat, penjajah Belanda yang kejam, yang mendominasi semua representasi fiksi Indonesia Barat selama bertahun-tahun setelah kemerdekaan, telah memudar dan hanya menjadi cerita lain Bahasa Indonesia, mengatakan dalam genre lain, seperti film sejarah dan memainkan , dan dikeruk di televisi setiap tahun pada hari kemerdekaan.
Si Boy tentu bukan film Indonesia pertama kali di barat kontemporer. Sejak sekitar pertengahan-70s, sejumlah offilm remaja telah ditembak sebagian di Eropa atau Amerika. Dan meskipun pembangunan tertentu Amerika sebagai selalu bermain peran bawahan Indonesia tidak biasa (misalnya tidak ada adegan yang melibatkan universitas Boy kelas, yang dibayangkan mungkin berisi Amerika sebagai guru) itu tidak begitu banyak konstruksi tertentu, tetapi penegasan hak Indonesia untuk simbolis merekonstruksi hubungan mereka ke barat yang paling menarik. Ada, aneh bahkan mungkin berbahaya, semacam pembangunan 'Indonesia kita' dalam kaitannya dengan ousider Barat sini, di mana para penonton, yang berbagi hampir tidak ada dari gaya hidup protagonis ', yang terlibat, dan sedemikian rupa sehingga pedesaan, kelas bawah Sumatera penonton dapat melihat anak-anak kaya yang manja Jakarta sebagai bagian dari yang dibayangkan 'kita', bukan sebuah, eksploitatif kuat, korup, kelas minoritas atas.
End of a Story?
Televisi swasta telah menyebar dengan cepat melalui kota-kota Indonesia sejak pembukaan RCTI pada bulan Agustus 1988 di Jakarta. Sebuah televisi swasta kedua, SCTV (Surabaya Central Televisi), sebagian besar dimiliki oleh Presiden sepupu Sudwikatmono, mulai trial nya dijalankan di Surabaya, kota kedua terbesar di Indonesia, pada bulan Januari 1990. Pada pertengahan 1990, RCTI telah memperluas operasinya ke Bandung, dan SCTV mulai siaran di Bali. Kota-kota lain diharapkan untuk mengikuti karena pemerintah sekarang telah setuju untuk mengizinkan stasiun televisi swasta di semua ibukota propinsi. 25
Pemerintah tampaknya kurang yakin juga tentang argumen sendiri sebelumnya tentang hubungan antara iklan di televisi dan kerusuhan sosial di kalangan kelas bawah. Meskipun oposisi dari televisi negara TVRI pada 14 Juli 1990, "memberi Kepala Bangsa izin untuk RCTI untuk menyiarkan tanpa decoder" .26 Tanpa decoder mahal, eksekutif RCTI yang diharapkan (dan karenanya pengiklan ') mencapai audiens untuk memperbanyak secara dramatis, dari sekitar 125.000 rumah tangga dengan dekoder, untuk sekitar 6 juta orang. Beberapa orang akan mengatakan bahwa iklan itu diambil dari televisi negara justru untuk memberikan putra presiden awal yang sempurna untuk membangun kerajaan media.
Sebagai menyebar televisi swasta, baik horizontal dan vertikal, melalui Indonesia, kondisi spesifik dari industri media yang menghasilkan Si Boy berubah secara substansial. Dengan prime time di RCTI yang diambil hampir secara eksklusif dengan program berjudul 'Benson dan Kantor Hedges Kotak' dan 'Dunhill Double, dan menampilkan film-film Amerika yang sukses, sabun dan musik-video menunjukkan, 27 pengiklan segera dapat berharap untuk mencapai sebagian besar dari Si Boy penonton tanpa Boy.
Si Boy IV, dirilis pada pertengahan 1990, namun tidak tampaknya telah kehilangan pendapatan iklan. Satu review film mengatakan: "Kemanapun ia pergi, Boy harus menunjukkan kemampuannya untuk membawa beban iklan '2 s Meskipun demikian, tampaknya ada tanda-tanda dari suatu jumlah tertentu down-grading dari seri secara keseluruhan Yang sangat.! komedian dibayar, Didi pepet, yang bermain teman Boy terbaik dalam tiga film pertama, telah meninggalkan pemain film terakhir ditembak di Bali, daripada di beberapa lokasi Eropa atau Amerika yang lebih eksotis dan mahal.. Sulit untuk memprediksi bagaimana Boy cerita akan berlangsung. Jika cerita tidak berakhir, seperti iklan televisi mengembang, Boy mungkin harus membuat beberapa penyesuaian yang serius dalam hal target dan sifat dari produk yang ia menjual.
Saya membaca Si Boy, meskipun tidak berarti lengkap, bertentangan, dalam arti bahwa saya melihatnya sebagai menantang dominasi sistem tertentu, sementara mereproduksi lain. Namun justru untuk melihat kontradiksi-kontradiksi yang salah satu kebutuhan untuk membaca teks populer yang kompleks (aku menegaskan semua teks layar populer adalah kompleks) dalam kaitannya dengan banyak relasi politik dan sosial interlinking. Pembacaan yang berbeda, dalam hubungannya dengan konteks yang berbeda, mengungkapkan bagaimana, untuk apa gelar dan di mana, ideologi dominan sedang diperebutkan. Tapi itu akan membantu sedikit untuk memeriksa apakah atau seberapa jauh itu mereproduksi beberapa praktek budaya klasik Indonesia, untuk menanyakan apakah itu bahasa Indonesia kultural otentik, karena apa yang bahasa Indonesia itu sendiri merupakan area kontestasi. Namun, jika kita menghormati penilaian penonton populer, dan menerima bahwa semua karya budaya populer adalah entah bagaimana baik Indonesia dan milik sekarang, kita mungkin bisa mendapatkan selangkah lebih dekat dengan budaya Indonesia yang terus berubah.