SOLO
Setelah bioskop masuk kota Batavia pada tahun 1900 & menjadikan pertunjukan baru ini menjadi cepat terkenal..Kurang dari 1 dekade jenis pertunjukan baru ini juga cepat sekali merebak di kota2 besar di pemerintahan Hindia Belanda tsb..Seperti Bandung, Semarang, Magelang, Jogyakarta, Malang, Surabaya dst. Tentu saja pertunjukan bioskop ini juga masuk ke kota Solo dalam kurun waktu tsb. Pada saat itu masyarakat luas menyebut jenis hiburan baru yang cepat sekali masyur ini dengan istilah "gambar hidup". Sampai pada penghujung tahun 194'an masyarakat masih sangat lazim menyebut pertunjukan film bioskop dengan gambar hidup. Seperti tampak terlihat pada karcis karcisnya masih tercetak & terbaca "Gambar-Hidup". Yang mempelopori masuknya pertunjukan gambar hidup (bioskop) di kota Solo pada masa jauh sebelum kemerdekaan RI ternyata cukup banyak. Karena letak geografis kota Solo, citra kota plesiran & pelancongan (kota yang indah & nyaman untuk berwisata) serta kultur masyarakatnya yang sangat potensial mendukung majunya industri pertunjukan ini. Puluhan nama bioskop tercatat pernah menghiasi & menghibur masyarakat kota Solo seperti Schouwburg Bioscoop, Alhambra Bioscoop, Sriwedari Bioscoop, Het Centrum Bioscoop, Rex Bioscoop, Star Bioscoop, Grand Bioscoop, De Capitol Bioscoop dll.
Pada saat itu bioskop bioskop awal di kota Solo ini sudah cukup dinamis & hidup. Hal ini bisa dilihat dari film film yang diputar, baik era film bisu ataupun yang sudah bersuara tidak kalah dengan film film yang diputar di bioskop bioskop kota besar lain yang ada pada saat itu. Animo publik sangatlah bagus. Disamping bioskop bioskop di kota Solo juga menempati gedung gedung yang megah & nyaman untuk menikmati pertunjukan gambar hidup. Pada era revolusi & pasca kemerdekaan RI film film yang masuk ke tanah air pun sangat bervariasi. Karena banyaknya pengusaha importir film & kemudahan distribusi film, maka menjadikan film film yang masuk pun sangat beragam & banyak alternatif pilihan. Film produksi dari berbagai negara seperti Eropa, Amerika, China, India, Timur Tengah, Philipina, Malaysia & Singapura termasuk film film buatan dalam negeri dengan segala dinamikanya ikut mewarnai industri film & bioskop di tanah air. Tidak terkecuali di kota Solo, hingga di penghujung tahun 1950'an. Menjadikan bioskop bisa hidup, karena raupan karcis dari penonton cukup memuaskan.
Pada sisi lain, perjalanan bioskop di tanah air (era sebelum kemerdekaan) mulai mengalami perkembangan. Yakni sebuah konsep pemutaran film alternatif. Dengan maraknya pemutaran film secara terbuka di lapangan atau tanah yang luas menjadi catatan & kenangan tersendiri. Yang kelak orang menyebut pertunjukan ini dengan istilah layar tancap. Pertunjukan layar tancap ini pada awalnya hanya memutar film untuk keperluan penerangan & penyuluhan..Bukan film jenis hiburan. Melainkan film film tentang bahaya wabah penyakit seperti penyakit pes & malaria. Pemrakarsanya pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Karena sifatnya sebagai "film layanan masyarakat" maka pertunjukan ini tidak dipungut biaya. Dengan tujuan agar masyarakat pribumi berbondong bondong datang menonton & menjadikannya sadar akan kebersihan, kesehatan & hal hal lain yang informatif & perlu diketahui publik hingga ke akar rumput.
Tidak semua pertunjukan layar tancap hanya melulu memutar film tentang penyuluhan & penerangan. Akan tetapi acap kali juga memutar film yang bersifat propaganda & berkonten kepentingan politik pemerintahan Hindia Belanda. Begitu terkenalnya pemutaran film penyuluhan & penerangan ini (karena sering diputar berulang kali & gratis) ditambah momentum wabah penyakit pes yang sering melanda masyarakat pada saat itu, maka masyarakat awam menyebut pertunjukan layar tancap ini dengan istilah *Film Pes*. Maksudnya film penerangan & penyuluhan tentang penyakit pes.
Film layar tancap keliling yang memutar film film penerangan ini lah yang nanti mengilhami para pengusaha bioskop lokal untuk "menjajakan" film secara berkeliling. Bukan film film tentang penerangan & penyuluhan, melainkan film yang bertemakan hiburan. Mereka berkeliling dari kota ke kota & di daerah daerah untuk menjaring penonton kelas bawah. Tanpa atap tanpa dinding & tanpa kursi atau alas duduk. Bioskop seperti ini kendalanya jika cuaca yang tidak mendukung seperti angin & hujan. Maka para penontonpun faham dengan konsekwensi ini. Mereka akan lari meninggalkan arena pertunjukan & berteduh untuk menghindari hujan. Dengan senyum (kecut) mereka pun akan maklum. Bioskop layar tancap ini kemudian terkenal dengan istilah ‘BIOSKOP MISBAR’ yang maknanya bioskop yang jika gerimis penonton pun akan bubar. Satu lagi perjuangan mengenalkan bioskop & film ke masyarakat umum yang patut mendapat perhatian & apresiasi pada masa revolusi hingga pasca kemerdekaan yakni tentang bioskop yang meminjam konsep "ketoprak tobong" atau "wayang tobong".
Unik, ulet & berpfihak ke semua lapisan masyarakat. Mereka juga berkeliling dari kota ke kota & di berbagai daerah, berpindah pindah dalam kurun waktu tertentu. Membangun bangunan sementara dari papan kayu & bambu beratap kajang (anyaman daun kelapa) sebagai wahana menonton pertunjukan film yang mereka putar. Agar lebih "aman" dari gangguan cuaca yang tidak mendukung. Bioskop semi permanen atau boleh dibilang darurat tsb jelas mengurangi banyak cost (sewa gedung misalnya) & memberikan cukup kenyamanan bagi para penonton bioskop kelas bawah saat itu. Yang sebenarnya menonton film di bioskop masihlah sebagai sebuah kebutuhan yang mewah & sangat prestise. Dan konsep bioskop seperti ini adalah solusi yang menarik & cukup masuk akal. Dengan harga karcis yang cukup terjangkau, menjadikan film bener bener bisa dinikmati semua masyarakat. Hal ini juga termaktub dalam salah satu cerita di buku "Patjitan djilid l terbitan J.B. Wolters Groningen - Djakarta. Salah satu buku bacaan sekolah & cukup masyur pada eranya. Yang di salah satu babnya menceritakan proses & aktifitas bioskop keliling. Mulai dari membangun bangunan darurat (khas ketoprak & wayang tobong) hingga proses pemutaran pemutaran film.
Bioskop Kota Solo Era Pendudukan Jepang
Pada era ini semua infrastruktur penting di Indonesia dikuasi oleh Jepang. Satu tahun setelah pendudukan, tepatnya tahun 1943 semua nama & istilah yang berbau barat harus diganti dengan bahasa Indonesia..Demikian halnya fasilitas publik termasuk bioskop wajib mengganti nama. Apa lagi semua bioskop di Jawa telah diambil alih & dikuasai Jepang. Termasuk import & distribusi filmnya. Maka gedung gedung bioskop di kota Solo pun ikut terkena imbasnya. Sebagai contoh Schouwburg Bioscoop menjadi Bioskop Indra & kelak menjadi Fadjar Theatre. Lantas Alhambra Bioscoop - Lodjie Wetan berubah menjadi Dewi Theatre. Sementara Rex Bioscoop - Waroeng Pelem menjadi Restu Theatre. Demikian pula Star Bioscoop - Widuran menjadi Widuri Theatre dll.
Bukan hanya nama & istilah berbau barat saja yang diganti. Pemutaran film film impor yang akan diputar pun juga harus berganti kiblat. Yang dulu barometernya film Eropa & Amerika harus drastis ganti memutar film film produksi Jepang & film film produksi dalam negeri. Yang nota bene mayoritas film film tsb sangat pekat nuansa propagandanya..Sesuai kebijakan politik pemerintah Jepang. Bagi Jepang fungsi bioskop di Indonesia cuma satu. Hanya untuk keperluan ‘propaganda’. Setiap film pun secara konten terawasi ketat di bawah sensor pemerintahan Jepang, termasuk film film produksi Jepang sendiri. Penggantian nama bioskop di tanah air diikuti pelarangan pemutaran film film barat & pemboikotan semua yang berbau barat juga terjadi pada tahun 1960'an lantaran kebijakan politik Presiden Soekarno yang anti-barat.
Bioskop Kota Solo Setelah Era Kemerdekaan RI
Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke ll atau setelah kemerdekaan Republik Indonesia kehidupan bioskop di kota Solo kembali menggeliat & muncul lah bioskop bioskop "baru" seperti :
UP Theatre (Ura Patria dari bahasa latin yang berarti Untuk Pahlawan), Srikaton Theatre* (terakhir menjadi Trisakti Theatre) & Dhady Theatr* yang rumors awalnya akan bernama Plaza Theatre & ternyata urung. Bioskop bioskop baru tsb kelak menjadi bioskop bioskop yang sangat legendaris & ikonik di kota Solo. Pada era ini bioskop bioskop di Solo sangat berwarna. Animo & antusiasme penonton sangat luar biasa. Bukan hanya karena (kembali) memutar beragam film film yang bagus & sesuai selera pasar..Bioskop bioskop seperti Star Theatre, Dewi Theatre (ex Alhambra), Rex Theatre, Sriwedari Theatre, UP Theatre & Sriwedari Theatre ini punya "persekutuan" yang kuat.
Adalah PERPEXBI singkatan dari Perserikatan Perusahaan Exploitasi Bioskop Indonesia. Sebuah wadah yang dibentuk dengan maksud tujuan untuk kesehatan & kenyamanan iklim usaha industri bioskop, serta mencegah 'konkurensi' antar bioskop di kota Solo. Sinergi management mereka juga berhasil meningkatkan mutu & pelayanan bagi penontonnya. Hal hal seperti perbaikan kursi penonton, perbaikan fasilitas lobby & ruang tunggu, tempat parkir sepeda yang lebih luas, mendatangkan film usulan penonton dari surat pembaca, mengganti proyektor baru untuk mendukung film film yang sudah berformat "technicolor" dll.
Dinamika tsb dahulu banyak dilihat & dijumpai di bioskop bioskop di kota Solo. Dari sisi promosi juga sudah setara layaknya promosi pada bioskop bioskop modern. Yang sebagian promosi tsb melanjutkan tradisi bioskop bioskop awal di kota Solo (Alhambra, Schouwburg, Sriwedari & De Capitol) ketika era tahun 1925 hingga tahun 1940. Pada kurun waktu tsb mereka sudah mempunyai bulletin sendiri. Yang di antaranya Capitol News, Berita Sriwedari & satu lagi bulletin atau majalah yang secara fisik terlihat ekslusif bernama KINO .Hal tsb terus berlanjut hingga era bioskop bioskop setelah kemerdekaan ini.
Pada tahun 1950 mereka mencetak & menyebar majalah (lebih tepatnya bulletin) yang salah satunya bernama FILMGOERS yang terbit berkala. Disusul kemudian tahun 1952, berturut turut mereka menerbitkan majalah majalah seperti Star News & Indra Movie News. Yang masih spesifik berkonten 90% tentang film & 10% tentang musik & lagu yang berhubungan dengan film tertentu. Ungkapan lain dari "OST" (Original Sound Track). Artikelnya up to date, padat berisi, ulasannya cerdas, kritis & tajam. Tidak kalah dengan majalah majalah sejenis, yang juga berkonten seputar film terbitan Belanda. Seperti Cine-Roman, Film Wereld, Movie Land atau Doenia Film. Jika bulletin hanya untuk konsumsi publik kota Solo maka majalah majalah ini untuk konsumsi umum, bagi penggemar film di seluruh Indonesia. Bulletin & majalah ini berisikan kumpulan sinopsis sinopsis film, kritik film, jadwal pemutaran film, berita artist terbaru, berita film film terbaru dll. Media media ini berhasil mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari para pembacanya. Bisa menjadi kitab sakti bagi para penggemar film yang kritis, juga bisa berarti buku panduan penting bagi para penonton film awam karena kontennya yang informatif & edukatif.
Pada tahun 1950'an ini, para penggemar fanatik film bioskop di Solo sudah begitu akrab dengan nama nama produsen film yang tersohor di dunia. Dan hafal betul ke bioskop apa film produksi mereka nanti bakal diputar..Sebagai contoh film produksi MGM (Metro Goldwyn Mayer) & Eagle Lion pasti mereka akan lari ke bioskop Sriwedari Theatre. Jika ingin menonton film produksi Republik Paramount (Republic Pictures + Paramount Pictures), Frieder & Intra maka mereka akan ke bioskop Star Theatre. Jika ingin menonton film produksi RKO (Radio Keith Orpheum), Paramount Pictures, UA (United Artist) penonton akan tergiring ke bioskop Indra Theatre (ex Schouwburg Bioscoop & kelak berganti Fadjar Theatre). Dan jika ingin menonton film film produksi UI/UA (United International Pictures/United Artist) & Gong Cyndicaat mereka akan mengantri karcis di bioskop Dewi Theatre - Lodjie Wetan (ex Alhambra). Lain halnya dengan film film produksi Warner Bros maka penonton akan berbondong bondong ke bioskop Rex Theatre - Waroeng Pelem. Demikian pula untuk film produksi *20 th.Century Fox, Columbia Pictures & Gong Cyndicaat* maka bioskop UP Theatre lah yang harus mereka tuju.
URA PATRIA
Theatre -Bioskop Legendaris Kota Solo
Adalah PERPEXBI singkatan dari Perserikatan Perusahaan Exploitasi Bioskop Indonesia. Sebuah wadah yang dibentuk dengan maksud tujuan untuk kesehatan & kenyamanan iklim usaha industri bioskop, serta mencegah 'konkurensi' antar bioskop di kota Solo. Sinergi management mereka juga berhasil meningkatkan mutu & pelayanan bagi penontonnya. Hal hal seperti perbaikan kursi penonton, perbaikan fasilitas lobby & ruang tunggu, tempat parkir sepeda yang lebih luas, mendatangkan film usulan penonton dari surat pembaca, mengganti proyektor baru untuk mendukung film film yang sudah berformat "technicolor" dll.
Dinamika tsb dahulu banyak dilihat & dijumpai di bioskop bioskop di kota Solo. Dari sisi promosi juga sudah setara layaknya promosi pada bioskop bioskop modern. Yang sebagian promosi tsb melanjutkan tradisi bioskop bioskop awal di kota Solo (Alhambra, Schouwburg, Sriwedari & De Capitol) ketika era tahun 1925 hingga tahun 1940. Pada kurun waktu tsb mereka sudah mempunyai bulletin sendiri. Yang di antaranya Capitol News, Berita Sriwedari & satu lagi bulletin atau majalah yang secara fisik terlihat ekslusif bernama KINO .Hal tsb terus berlanjut hingga era bioskop bioskop setelah kemerdekaan ini.
Pada tahun 1950 mereka mencetak & menyebar majalah (lebih tepatnya bulletin) yang salah satunya bernama FILMGOERS yang terbit berkala. Disusul kemudian tahun 1952, berturut turut mereka menerbitkan majalah majalah seperti Star News & Indra Movie News. Yang masih spesifik berkonten 90% tentang film & 10% tentang musik & lagu yang berhubungan dengan film tertentu. Ungkapan lain dari "OST" (Original Sound Track). Artikelnya up to date, padat berisi, ulasannya cerdas, kritis & tajam. Tidak kalah dengan majalah majalah sejenis, yang juga berkonten seputar film terbitan Belanda. Seperti Cine-Roman, Film Wereld, Movie Land atau Doenia Film. Jika bulletin hanya untuk konsumsi publik kota Solo maka majalah majalah ini untuk konsumsi umum, bagi penggemar film di seluruh Indonesia. Bulletin & majalah ini berisikan kumpulan sinopsis sinopsis film, kritik film, jadwal pemutaran film, berita artist terbaru, berita film film terbaru dll. Media media ini berhasil mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari para pembacanya. Bisa menjadi kitab sakti bagi para penggemar film yang kritis, juga bisa berarti buku panduan penting bagi para penonton film awam karena kontennya yang informatif & edukatif.
Pada tahun 1950'an ini, para penggemar fanatik film bioskop di Solo sudah begitu akrab dengan nama nama produsen film yang tersohor di dunia. Dan hafal betul ke bioskop apa film produksi mereka nanti bakal diputar..Sebagai contoh film produksi MGM (Metro Goldwyn Mayer) & Eagle Lion pasti mereka akan lari ke bioskop Sriwedari Theatre. Jika ingin menonton film produksi Republik Paramount (Republic Pictures + Paramount Pictures), Frieder & Intra maka mereka akan ke bioskop Star Theatre. Jika ingin menonton film produksi RKO (Radio Keith Orpheum), Paramount Pictures, UA (United Artist) penonton akan tergiring ke bioskop Indra Theatre (ex Schouwburg Bioscoop & kelak berganti Fadjar Theatre). Dan jika ingin menonton film film produksi UI/UA (United International Pictures/United Artist) & Gong Cyndicaat mereka akan mengantri karcis di bioskop Dewi Theatre - Lodjie Wetan (ex Alhambra). Lain halnya dengan film film produksi Warner Bros maka penonton akan berbondong bondong ke bioskop Rex Theatre - Waroeng Pelem. Demikian pula untuk film produksi *20 th.Century Fox, Columbia Pictures & Gong Cyndicaat* maka bioskop UP Theatre lah yang harus mereka tuju.
DEWI THEATRE
Alhambra Bioscoop - Lodjie Wetan berubah menjadi Dewi Theatre.
URA PATRIA
Theatre -Bioskop Legendaris Kota Solo
Di pasar Pon, Solo 1936, sempat bertahan dengan model gedung berbeda sampai 1989.
Ura Patria (UP) Theatre terletak di
Jalan Brigjen Slamet Riyadi No. 100 Solo tepatnya di sebelah barat
laut perempatan Pasar Pon Solo. Bioskop ini menempati bekas gedung
kesenian jawa atau gedung ketoprak yang diberi nama “Gedung Sono
Harsono”.
Satu hal lagi yang tidak kalah seru & unik pada era ini. Adalah sebuah ide bagian promosi bioskop UP Theatre (konon ide & inisiatif ini muncul langsung dari pimpinan pengelola UP Theatre). Keunikan tsb adalah saat beberapa petugas promosi bioskop mencarter (sewa) andong. Demikian masyarakat Solo menyebutnya. Yakni kereta berkuda beroda empat. Salah satu alat transportasi serba guna di jamannya. Karena bisa diperuntukkan memuat penumpang & berbagai barang. Namun bagi bioskop UP Theatre fungsi andong bisa bertambah 1 lagi. Dengan dilengkapi poster film berbahan kain yang dipasang di sisi kanan & kiri andong, dilengkapi sound sistem sederhana & corong speaker yang dipasang dengan pengikat tali pada bagian depan & belakang atap mereka berkeliling kota mempromosikan film yang sedang diputar. Seorang bertugas cuap cuap lantang berpromosi & seorang petugas lain menyebar flyer (poster kecil seukuran buku tulis atau 2X buku tulis) bergambar film tertentu yang dipromosikan) pada titik titik keramaian masyarakat, di sepanjang jalan jalan kota yang mereka lalui. Luar biasa. Kreatif, unik, lucu & sangat produktif. Hal ini terus berlanjut. Apa lagi pada tahun 1970'an hingga tahun 1990'an promosi seperti ini menjadi hal yang wajib hukumnya & jamak dilakukan oleh semua pengelola bioskop. Karena terbukti efektif menarik animo masyarakat Bedanya pada tahun tahun tsb peran andong sudah digantikan dengan mobil promosi. Oleh masyarakat Solo, terlebih lebih bagi anak anak yang suka memungut (berebut) flyer promosi film yang disebar, pada akhirnya mobil promosi tsb kondang dengan julukan "mobil halloo halloo…"
Keunikan lain yang tak kalah menggelitik dari promosi UP Theatre adalah komentar pendek atau tagline tentang film yang sedang diputar. Tagline tagline tsb sangat ikonik, khas UP Theatre. Masyarakat kota Solo pada rentang waktu tahun 1975 hingga 1990'an pasti akan ingat beberapa tagline khas UP Theatre seperti : "OTOT KAWAT BALUNG WESI" personifikasi dari tokoh Gatot Kaca. Padahal film yang diputar adalah film Terminator yang dibintangi Arnold Schwarzenegger. Siapapun yang melihat tagline ini pasti bakal tertawa atau setidaknya tersenyum geli & geleng geleng kepala. Apa lagi yang melihat & membaca adalah wong Solo. Pastilah faham. Coba simak tagline lain seperti : "NGGEGIRISI..!!!" kata yang berkonotasi gawat, berbahaya membuat bergidik. Diskripsi karakter John Rambo di film *Rambo - First Blood part ll (Sylvester Stallone) atau "RAWE RAWE RANTAS MALANG MALANG PUTUNG" untuk film film sejenis, bertema aksi laga. Ada lagi : "MAHA KOLOSAL YANG MEGAH MEGAH'KE" untuk film kolosal Indonesia yang berjudul Babad Tanah Leluhur. Lantas untuk film film Indonesia yang bertema sex. Mereka cukup memberi tagline : "SEX", "HOT" atau "PANAS" atau "GAWE SUMUK". Dengan huruf capital yang besar. Lugas & jelas.
Usut punya usut ternyata jurus ini sudah menjadi tradisi bioskop yang menempati lahan ex gedung pertunjukan kesenian Sonoharsono sejak awal kelahiranya di kota Solo pada tahun 1950. Pada awal tahun tahun tsb. Saat Three Stooges film bergenre komedi yang sangat sukses luar biasa di seluruh dunia & sedang diputar bioskop ini. Juga sudah dibuatkan tagline yang cukup memikat & provokatif. Tepat di depan pintu masuk bioskop UP Theatre. Tagline tsb dibuat menyerupai tanda rambu lalu lintas. Bentuknya bundar tertulis "STOP" digabungkan dengan papan besar persegi empat bertuliskan "TEMPAT KETAWA TERUS" & disertai tanda panah besar yang mengarah masuk ke gedung bioskop. Bahasa iklan yang sangat mengagumkan & menyita perhatian publik pada jaman itu. Dan masih banyak lagi tagline seru & menghibur yang dibuat bioskop kenamaan ini. Yang pasti banyak membuat kepincut untuk menonton filmnya & membekas bagi siapa saja yang pernah membacanya.
Tagline tagline bioskop ini pada perkembanganya juga terlihat melintang di depan poster super jumbo berbahan kain bergambar film utama yang sedang diputar. Terkadang membentang bebas di atas teras pada dinding luar gedung bioskop. Tetap terkesan lugas, naif, hiperbola & menggelitik, namun sangat tepat mendiskripsikan konten film film tsb. Motif promosi hanya satu : menarik perhatian publik & membeli produknya. Dan UP Theatre tergolong sangat berhasil dengan jurus ini. Pada saat film bioskop mengalami kelesuan karena imbas Video, VCD, LD & TV nasional yang gencar menggempur menayangkan film film laris bioskop. Ditambah berbagai kendala tekhnis yang mendera bioskop UP Theatre di tahun tahun terakhir perjalanan karirnya. Seperti kontrak & pasokan film (hanya memutar film lokal), lesu & merosotnya kwalitas film nasional dll. Akan tetapi promosi khas UP theatre ini masih punya andil besar dalam menggaet penonton. Hal tsb sebagai ujud nyata "Defense Mechanism" & tetap menjadi magnet tersendiri bagi kekuatan market bioskop ini. Terbukti nyata mayarakat Solo masih suka & tidak sedikit yang ketagihan dengan gaya bahasa yang "nylekethe" (tidak lazim & bikin geli) namun membuat "nyantol" (membekas) di benak masyarakat Solo sampai kapanpun. Ide ide baru yang segar & kreatifitas bioskop UP Theatre yang ikonik terus dipertahankan demi para penonton setianya hingga bioskop legendaris ini benar benar wafat.
Masa Kejayaan Bioskop Kota Solo
Kembali ke perkembangan bioskop di kota Solo. Pada saat memasuki tahun 1970 hingga awal tahun 1990'an industri bioskop di kota Solo semakin tumbuh menjamur. Dari bioskop kelas atas, kelas menengah, sampai bioskop kelas bawah. Bioskop-bioskop baru ini banyak membidik berbagai segmentasi pasar..Saking maraknya, bioskop bioskop baru ini bisa tumbuh subur. Bahkan masuk hingga ke lingkup kelas kelurahan..Bioskop baru kelas atas yang muncul seperti President Theatre (Purwosari) & Angkasa Theatre (Kompleks RRI Surakarta). Untuk bioskop baru kelas menengah muncul Galaxy Theatre (Laweyan Purwosari). Sedangkan bioskop bioskop baru "papan bawah" lebih banyak lagi. Sebut saja : Remaja Theatre (Sudiroprajan), Dewi Theatre (Kampung Baru), Kartika Theatre (Timur Gapura Gladak), Rama Theatre (Barat perempatan Panggung), Jaya Theatre / Wijaya / Regent (Timur perempatan Gemblegan), Rahayu Theatre / Pemuda Theatre (Sambeng), Patriot Theatre (Purwosari), Nusukan Theatre (Nusukan), Fortuna Theatre (Gandekan Tengen), Cemani Theatre (Cemani). Nama nama tsb belum termasuk bioskop bioskop baru yang berlokasi di pinggir kota Solo. Dari sisi timur ada Palur Jaya Theatre (Palur), di selatan ada Golden Theatre - Grogol (Selatan Gapura Batas kota) & Studio Theatre (Selatan Pasar Sukoharjo), di sebelah barat di seputaran Kartasura muncul Kartasura Theatre, Royal Theatre, Surya Theatre, Mandala Theatre, Studio Theatre dan pada sisi utara kota ada Sari Theatre - Gemolong, dll.
Bioskop bioskop baru ini sepertinya sengaja hadir menerapkan prinsip market "jemput bola" dengan sasaran bidik penonton yang berlatar ekonomi menengah ke bawah. Maka lokasi lokasi yang dipilih pun sangat dekat & mudah diakses dari domisili para penontonnya. Ditambah harga karcis yang merakyat & sangat terjangkau dengan perbandingan 4 - 5X lebih murah dari harga karcis bioskop kelas A, tentunya semakin memberikan rangsangan masyarakat untuk menonton film di bioskop bioskop tsb. Hanya saja film yang diputar di bioskop kelas menengah & bawah ini adalah "film balen". Istilah orang Solo untuk film film lama yang kembali diputar tayang. Dengan selisih waktu antara 1 - 3 tahun dari awal pemutaran di bioskop kelas A. Maka penonton kelas menengah ke bawah ini harus bersabar menunggu film "baru" itu diputar tayang kembali. Sungguh luar biasa perkembangan bioskop di kota Solo pada era tahun 1970 hingga awal 1990'an ini. Dan bisa dibilang inilah masa kejayaan Bioskop kota Solo.
Gedung gedung bioskop jaman dulu juga sangat lazim memberlakukan kelas tempat duduk..Biasanya dibagi dalam 2 atau 3 kelas tempat duduk. Kelas VIP untuk gedung bioskop yang mempunyai balcon, kelas l yang jamak disebut ‘loge’ untuk kursi deretan tengah hingga ke belakang & kelas ll untuk deretan kursi dari tengah ke depan mendekati layar bioskop. Bahkan jika gedung bioskop berkapasitas besar & bisa menampung lebih dari 500 tempat duduk, maka akan diberlakukan pembagian hingga lll kelas tempat duduk. Oleh sebagian orang kelas tempat duduk terakhir atau yang paling dekat dengan layar ini dahulu lazim disebut ‘karcis kelas kambing’. Harga karcis yang "berkasta" & tampak diskriminatif tsb memang cukup beralasan. Karena tempat duduk sangat lah menentukan kenyamanan mata & telinga ketika menonton pertunjukan film bioskop.
BIOSKOP REX
BIOSKOP STAR
Bioskop Star terletak di Jalan Widuran No. 64 Solo. Bioskop ini berdiri pada tanggal 22 Desember 1970.
DHADY THEATRE
Dhady Theatre terletak di Jalan Brigjen
Slamet Riyadi No. 96 Solo tepatnya di sebelah timur laut perempatan
Pasar Pon Solo. Bioskop ini berdiri pada tanggal 27 Desember 1951
menempati bekas gedung pertunjukan kesenian tradisional yang namanya
“Tonil Stik” yang dipertunjukkan adalah tari-tarian anak-anak, termasuk
Koor atau nyanyi-nyanyian dan juga dagelan.
GALAXY THEATRE
Galaxy Theatre terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Purwosari, Solo
SOLO THEATRE
Solo Theatre terletak di Kompleks Taman
Sriwedari, Jalan Brigjen Slamet Riyadi No. 235b Solo. Bioskop ini
berdiri pada tanggal 7 September 1972. Bangunan bekas bioskop Solo
Theatre saat ini beralihfungsi menjadi Gedung Kesenian Solo.
FAJAR THEATRE
Schouwburg Bioscoop menjadi Bioskop Indra & kelak menjadi Fadjar Theatre. Fajar Theatre terletak di utara Balaikota Solo. Bekas bangunan bioskop beralifungsi menjadi ruko dan perkantoran.
Studio Theatre terletak di Plaza Singosaren Solo atau sekarang dibangun kembali menjadi Pasar Modern Singosaren.
NASUKAN THEATRE
Nusukan Theatre terletak di Jalan
Nusukan Solo. Bioskop ini berdiri pada bulan November 1974 dan termasuk
bioskop golongan “C” di Solo.
Regent Theatre terletak di Jalan Veteran Solo
GOLDEN THEATRE
Golden Theatre terletak di Wingko Solo.
Bioskop Trisakti terletak di Jalan Sraten No. 91 Solo tepatnya disebelah barat Panggung Jebres. Bioskop ini berdiri pada tanggal 15 Agustus 1968.
PRESIDENT THEATRE
President Theatre terletak di sebelah Barat Panggung Jebres Solo
RAMA THEATRE
Rama Theatre terletak di sebelah Barat Panggung Jebres Solo
BIOSKOP KARTIKA
Bioskop Kartika di Beteng atau daerah Sangkrah Solo
PEMUDA THEATRE
SUKOHARJO
Gedung Cemani Theatre (bioskop) yang berada di Jl. Sidomukti, Kampung
Jati Baru, Desa Cemani, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, saat ini
dimanfaatkan sebagai toko dan gudang elektronik.
“Pemutaran film berlangsung selama dua jam. Jadi dalam satu hari bisa memutar film sebanyak empat kali. Biaya masuk untuk melihat film pada saat itu yakni Rp250-Rp300,”
Sebelum digunakan untuk bioskop, Ika menyebut bangunan Cemani Theatre
itu milik perseorangan. Kemudian, bangunan itu disewa perseorangan juga
untuk dibuat gedung bisokop. Tetapi, munculnya sederet stasiun televisi
swasta pada 1995 membuat bioskop itu sepi.
“Waktu itu hanya ada TVRI saja, kemudian banyak channel
TV yang hadir membuat penonton film di gedung tersebut menjadi sepi dan
akhirnya tutup. Jadi tidak ada 10 tahun bukanya,” beber Ika.
Sejak
1995 hingga 2019 gedung Cemani Theater mangkrak. Kemudian, gedung bekas
bioskop itu pun difungsikan sebagai toko dan gudang mebel yang saat ini
belum genap berusia setahun.
“Itu tokonya baru buka sekitar delapan bulan. Kadang buka pukul 09.00 WIB kadang buka pukul 13.00 WIB,” kata Ika.
Salah
seorang warga sekitar bernama Karsi mengaku sering menonton film India
di Cemani Theatre. Menurutnya bioskop itu sempat ramai seperti yang ada
di mal saat ini.
“Dulu saya sering menonton di gedung bioskop
tersebut. Terutama jika yang diputar film India, karena saya suka. Dulu
yang menonton banyak. Di dalamnya seperti bisokop saat ini, kursinya
berjejer ke atas dengan layar lebar di depan,” terang Karsi.
SRAGEN
SRAGEN
Bioskop yang berdiri pada 1970-an dan kini sudah sirna itu bernama
Garuda Theater. Garuda Theater yang bersaing dengan National Theatre
kala itu fokus menayangkan film-film sekelas box office hingga film India.
"Baik
National Theater atau Garuda Theater itu dibuka pada malam hari. Mulai
pukul 19.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Khusus malam Minggu ada midnight. Film midnight diputar mulai pukul 00.00 WIB, harga tiketnya bisa dua kali lipat. Tapi, ada tambahan doorprize untuk penonton. Kalau beruntung bisa membawa pulang sepeda atau kipas angin, "Menonton film di bioskop pada waktu itu dilakukan dengan duduk di atas kursi yang terbuat dari besi.Pedagang
asongan masih bebas keluar masuk bioskop menawarkan camilan. Karena
menghuni bangunan tua, terkadang muncul kelelawar yang beterbangan di
langit-langit bioskop. Tayangan layar bioskop juga terkadang tidak
berjalan lancar karena ada masalah teknis. "Kalau tayangan putus
di tengah jalan yang disoraki penonton. Itu sudah biasa. Mungkin karena
kasetnya rusak karena sudah sering diputar di bioskop di kota sebelumnya
seperti Madiun dan Ngawi," Garuda Theater gulung tikar
karena dianggap kurang memberikan pelayanan prima kepada penonton.
"Mungkin karena menggunakan bangunan tua, Garuda Theater itu terkesan
agak kumuh. Pengelola tidak memperhatikan keluhan penonton sehingga
lama-lama ya ditinggalkan,"
Gedung yang semula dipakai untuk Garuda Theater tidak berbekas. Gedung itu sudah direnovasi total hingga kini dimanfaatkan sebagai toko roti, toko sepeda, toko sepatu dan tas, toko mainan anak, dan warung makan.
Kini, nama Garuda justru dikenal sebagai nama sungai yang berada di dekat bioskop tersebut. Sungai Garuda Sragen yang namanya diambil dari nama bioskop kini juga kondang sebagai sarang ular piton, khusunya yang berada di Kampung/Kelurahan Plumbungan, Karangmalang, Kabupaten Sragen.
ATRIUM 21 SRAGEN
Lokasi ada di sebelah selatan Alon alon Sragen. Sekitar tahun 2008, masih beroperasi namun sekarang sudah tidak beroperasi lagi.
gambar hidup/film bisa
di Surakarta pada 1914, hingga akhirnya mulai berkembang dengan film
bersuara pada 1928.
Tercatat, bioskop pertama yang ada di Surakarta adalah Alhambra Bioscoop
yang sekarang terletak di Pasar Kliwon Surakarta. Sampai sekarang
bangunan itu masih ada, namun telah dialihfungsikan.
"Awalnya dari Alhambra Bioscoop kemudian berkembang dan berkembang
muncul bioskop lainnya ketika animo masyarakat mulai naik," Kata Ari
Headbang
Setelah itu, muncul Sriwedari Bioscoop dan Schowburg Bioscoop. Minat
masyarakat yang terus meningkat akan hadirnya film, membuat sejumlah
pengusaha mulai membuka bioskop-bioskop dengan berbagai fasilitas.
Perkembangan film dan bioskop di solo juga terus meningkat. Pihak
bioskop juga mempunyai ide untuk memberitahukan film yang diputar atau
akan ditayangkan kepada masyarakat.
Mereka mulai membuat baliho dan flyer atau mini poster sebagai media
pemasaran film-film tersebut. Selain itu, ada juga bioskop yang
mengeluarkan buletin dan majalah film.
"Schowburg Bioscoop misalnya membuat buletin untuk mempromosikan
film-film yang akan tayang," ujar Ari.
Konsep ini merupakan cara paling jitu untuk menarik minta masyarakat.
Mereka lebih paham mengenai perkembangan zaman dari film-film yang akan
diputar pada masa itu.
Bahkan ketika film populer sedang tayang, ramainya seperti orang yang
punya gawe "nikahan", karena banyaknya poster-poster hingga kerumunan
orang yang luar biasa.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Bioskop Tua di Surakarta, dari Poster Film hingga Karakter Penonton", https://regional.kompas.com/read/2019/03/22/13024641/mengenang-bioskop-tua-di-surakarta-dari-poster-film-hingga-karakter-penonton?page=all.
Penulis : Aswab Nanda Prattama
Editor : Bayu Galih
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Bioskop Tua di Surakarta, dari Poster Film hingga Karakter Penonton", https://regional.kompas.com/read/2019/03/22/13024641/mengenang-bioskop-tua-di-surakarta-dari-poster-film-hingga-karakter-penonton?page=all.
Penulis : Aswab Nanda Prattama
Editor : Bayu Galih