Tampilkan postingan dengan label WILDAN DJA'FAR / Mohamad Wildan Ja'far Tirtobesari 1950-1981. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WILDAN DJA'FAR / Mohamad Wildan Ja'far Tirtobesari 1950-1981. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Maret 2011

WILDAN DJA'FAR / Mohamad Wildan Ja'far Tirtobesari 1950-1981

WILDAN DJA'FAR
 Mohamad Wildan Ja'far Tirtobesari


Lahir Rabu, 21 Maret 1917 di Banjarnegara. Pendidikan : Tamat HIS tahun 1931. Pendidikan madrasah, kursus pemegang buku dan bahasa Inggris (1937), semua tidak sampai selesai. Sebelum masuk film, Wildan pernah bekerja sebagai pembantu pemegang buku (1936 - 1941); tenaga administrasi SK. "Asia Raya" (1943 - 1945), wartawan perang s.k. "Republik" (1946 - 1947) dan Wakil Pimpinan Redaksi berkala Komentar Indonesia merangkap Pimpinan Redaksi majalah "Republiken" (1947 - 1948). Berkenalan dengan film dimulai sebagai Pencatat merangkap Pemain pada NV. Indonesia Film Coy (1949 - 1951). Kemudian bekerja secara lepas sebagai pembantu sutradara dan anggota bagian skenario pada Perfini, lalu di Persari, kemudian pada Bintang Surabaya (1952 - 1963). Antara 1963 - 1965 kembali kerja di pers menjadi Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi s.k. "Gelora Minggu". Jabatan lain : pernah menjadi produser dari perusahaan "Dja'far Brothers" dengan menghasilkan film "Krisis Achlak" (1955); jadi impresario pertunjukan dalam dan luar negeri.
 
 Aneka, Nomor 22, Tahun VI, 1 Oktober, 1955

Oleh Wildan Dja’far
 
Di kala hendak mendirikan suatu Perusahaan Film Nasional, beberapa tokoh filem kala itu hampir semuanya bersemboyan:

    1.    Bahwa filem merupakan masalah yang maha penting di dalam lingkungan seni-budaya, teristimewa dalam Negara Republik Indonesia yang kini dalam pembangunan. Sebab, kecuali mempunyai sifat-sifat sebagai alat penghibur, alat pendidikan dan alat penerangan, pun ia (filem) dapat dianggap sebagai misi kebudayaan yang mempunyai penuh pertanggungan jawab bagi maju mundurnya suatu bangsa. Karena dengan cepat dan langsung ia dapat mempengaruhi serta menguasai perasaan dan pikiran diri pribadi orang-orang dan khalayak ramai. Lebih luas dari pers dan buku. Di samping ia dapat memberikan pendidikan dan teladan-teladan yang baik, ia (filem) pun dapat pula menyeret diri pribadi orang-orang ke jalan sesat dan buruk hingga ia dapat menambah bahaya pelanggaran dan ketentraman umum dan kesusilaan bangsa serta dapat pula menghancurkan kebudayaan, yang berarti merugikan negara.

    2.    Bahwa perusahaan-perusahaan Nasional yang telah berdiri hanya beberapa buah saja berarti masih sedikit sekali yang belum pula dapat dikatakan telah berjalan dengan stabil dan lancar, jika dibandingkan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan filem kepunyaan bangsa asing, di mana yang lebih menitikberatkan kepada mengejar keuntungan materieel sebanyak-banyaknya daripada hendak meninggikan nilai kesenian dan derajat para seniman/seniwati yang terdiri dari pada bangsa Indonesia.

    3.    Bahwa filem-filem Indonesia sudah mulai terkenal di luar negeri dan mendapat perhatian besar semenjak Si Pintjang (1951) mendapat hadiah dari Film Festival sehingga banyak negara-negara Eropa yang ingin mengadakan tukar-menukar filem.
    4.    Bahwa kelambatan dalam pembangunan menyebabkan kedudukan kita makin ketinggalan jauh hingga kita akan menghadapai kesulitan-kesulitan dalam mempertahankan diri (dalam hal ini Perusahaan Film Nasional).
    5.    Bahwa dengan dasar hendak ikut serta membikin negara yang kini dalam masa pembangunan yang mana hebat, dengan berusaha untuk menjunjung tinggi nilai pembikinan filem serta derajat seniman-seniwati khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, serta guna memenuhi panggilan filsafat Pancasila.
 
Demikianlah 5 (lima) pokok semboyan mereka dan tentu saja dengan catatan bahwa Perusahaan Film Nasional itu dijalankan secara Bedrijfs-economis (manajerial), Financieel- administratief (administratif keuangan) Cultureel-politis (budaya politis).

Memang! Kami pun insyaf dan sadar bahwa cita-cita yang seluhur itu tak dapat dicapai dengan mudah saja dan dalam waktu yang singkat. Namun demikian, gejala-gejala yang menghambat (kalau tidak boleh dikatakan akan menghancurluluhkan) perusahaan-perusahaan filem Nasional itu, kini tampak jelas dan terang. Lebih-lebih di waktu akhir-akhir ini, dengan membanjirnya filem-filem India, Filipina dan lain-lainnya yang bukan saja merupakan air bah yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan tanggul-tanggul perusahaan-perusahaan filem Nasional yang masih sangat lemah itu, di samping penyerbuan kebudayaan mereka yang dahsyat, hingga hampir seluruh lapangan bioskop dikuasai oleh filem-filem luar negeri, India teristimewanya.

Dalam hal ini, kami tak dapat menyalahkan para produser filem Indonesia—yang pada mulanya—telah  berdaya upaya untuk meninggikan derajat hasil produksi. Baik dengan memilih cerita yang bernilai dan dengan para pemain yang baik serta sebagainya, tapi kemudian mereka sendiri mendatangkan filem-filem India, Filipina dan lain-lainnya yang justru merupakan algojo bagi perusahaan filem Nasional. Mereka tak dapat disalahkan kata kami, sebab walaupun ceritanya terpilih dan para pemainnya cukup baik, namun alat-alat yang ada pada mereka sekarang ini tak mampu untuk melayarputihkannya dengan sempurna, dan menyebabkan kita tak dapat menikmati jalannya cerita yang baik itu. Untuk memindahkan ciptaan-ciptaan para pujangga yang bermutu ke dalam celluloid dengan baik, senantiasa akan kandas dan gagal jika alat-alat tekniknya masih tetap seperti yang ada sekarang ini. Alat-alat teknik, yang jika di Amerika/Eropa sudah diperdagangkan para tukang rombengan di pinggir jalan…..

Bila Amerika, India, Nippon (Jepang) dan lain-lain negara, mencari pasar untuk peredaran filem-filemnya di luar negeri bukanlah disebabkan mencari bekal untuk menutup ongkos produksinya saja, tapi untuk mencari tambahan keuntungan, di samping mereka menyebarkan (memperkenalkan) kebudayaannya. Sebab di dalam negeri sendiri cukup mendapatkan keuntungan besar. Para penontonnya sudah cukup luas dan meliputi segala aliran dan tingkatan. Dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Uang yang dikeluarkan oleh penontonnya sudah dapat disesuaikan dan mereka puas melihat apa yang di layarputihkan oleh perusahaan-perusahaan filem di negerinya itu. Ceritanya baik permainan bagus dan teristimewa dari sudut teknik yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tapi, bagaimana dengan kita di sini…??? Kita terpaksa menggelengkan kepala sambil menarik nafas panjang serta berkata: Masih jauh..

Kita tak boleh berteriak mengatakan bahwa para terpelajar kita masih belum insyaf, tidak mau menghargai hasil usaha sendiri dengan jalan menonton filem-filem Indonesia. Sebab apa perlunya membuang uang dan waktu jika apa yang ditontonnya itu tidak dapat memuaskan hatinya. Bahkan sebaliknya. Kejengkelan hanya yang didapatkan. Mereka datang ke bioskop dengan niat akan menghibur diri, bukan untuk mencari kekesalan hati.

Juga dari pihak penonton tidak boleh dengan sombong dan kasar menganjurkan agar produksi-produksi filem Indonesia harus disamakan dengan bikinan luar negeri dahulu, kalau mau ditonton orang. Sebab, selama alat-alat yang dipunyai oleh industri-industri filem Indonesia masih model keluaran zaman “Flash Gordon masih kecil”, maka selama itu pula janganlah diharapkan filem-filem made in Indonesia akan baik dan dapat memikat hati penonton dari segala lapisan. Dan akibat selanjutnya ialah satu demi satu perusahaan-perusahaan filem Nasional boleh menutup pintunya kembali.

Memang kita akui bahwa jumlah bioskop di Indonesia hampir setiap minggu bertambah, tapi apakah artinya itu kalau para penontonnya hanya itu-itu juga. Dan filem-filem luar negeri—India teristimewanya—masih tetap merajai di tanah air kita.

Jadi, satu-satunya jalan untuk menolong perusahaan-perusahaan filem Nasional yang hampir tergelincir ke jurang keruntuhan itu ialah pemerintah harus cepat-cepat mengulurkan tangannya. Lekas memberikan bantuan untuk memudahkan masuknya alat-alat teknik yang modern. Dengan crediet atau dengan jalan apa saja yang mudah dipikul. Teristimewa terhadap para independent producers yang kini harus cepat-cepat mendapatkan perawatan agar tidak menemui ajalnya. Dan di samping itu pemerintah harus membatasi masuknya filem-filem luar negeri yang merupakan algojo bagi perkembangan filem Nasional.

Teriakan kami seperti tersebut di atas itu sebenarnya telah lama didengungkan dan dilancarkan dengan melalui S.S.K dan majalah-majalah, tapi pemerintah-pemerintah yang lalu seolah-olah tidak mempunyai telinga atau tuli. Seolah-olah tidak mempunyai mulut, membisu senantiasa dengan seribu bahasa. Maka dengan ini—kepada Pemerintah Baru—kami ulang lagi jeritan dan teriakan yang telah berkumandang, dengan penuh harapan agar pemerintah sekarang sudi mendengarkan dan memperhatikan serta kemudian memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan. Sebab jika tidak, baik pemerintah maupun masyarakat jangan mengharapkan filem-filem baik, apalagi mengharapkan dapat merebut kejuaraan dalam film festival Asia bahkan dalam 1000 tahun yang akan datang lagi. Kita tak boleh menganggap bahwa industri filem Indonesia itu bisa tumbuh subur dengan sendirinya tanpa bantuan pemerintah seperti hidupnya rumput liar yang lebat.

Produksi filem Indonesia harus dapat dinikmati, baik oleh Pak Dul penjual oncom atau Mas Hasan directeur N.V atau Mbak Sri anggota parlemen maupun Bung Menteri juga yang dimuliakan. Dan ini hanya dapat dicapai jika alat-alat teknik untuk industri filem Nasional telah modern dan lengkap, permainan yang cukup baik, cerita yang berharga dan pimpinan (penyelenggara) yang benar-benar mengerti. Jika para pengusaha filem Indonesia pada masa ini membikin filem-filem dengan cara TJAP DJADI (asal jadi) saja, kita pun tak dapat menyalahkan mereka benar-benar. Sebab mereka berpendirian bahwa toh tidak akan berhasil dengan memuaskan walaupun para pemainnya baik cerita hebat, tapi kalau keadaan teknik tak mengizinkan, apa guna? Cukuplah dengan pemain-pemain yang hanya mau menonjolkan tampang, cerita-cerita gado-gado saja. Sebab dengan begitu ongkos pembikinan sedikit dan bisa kembali modal, dapat memungut keuntungan sekedarnya untuk menjutkan usaha. Ya… walaupun tidak semua perusahaan berbuat demikian.

Sekarang! Jika ada yang bertanya, mengapa diantara peroduser filem Indonesia—dan yang terkenal pun pada berteriak setinggi langit “memohon” agar filem-filem dari Negara Tetangga dibendung, supaya industri filem Nasional dapat bergerak maju—tapi kemudian merekalah yang kini aktif “memohon” kepada pemerintah agar diberi izin (permohonan mereka kini sudah banyak dikabulkan W. Dj) untuk mendatangkan filem-filem India dan lain-lainnya yang padahal merupakan hantu berbahaya yang setiap detik dapat menerkam leher filem Nasional dengan sekali pukul. Dan kenapa kita tidak “menuntut” ucapan para beliau gembong-gembong filem Nasional tersebut…???

Maka jawaban kami adalah seperti apa yang diterangkan di atas. Mereka tak dapat disalahkan demi untuk keselamatan perusahaan.

Dan kalau cita-cita sebagian besar para produser Indonesia yang terkandung dalam lima pokok semboyan tersebut di awal tulisan ini dianggap baik, maka kepada pemerintah (dengan tiada bosan-bosannya) kami harapkan bantuannya. Agar cita-cita mereka itu tiada merupakan fatamorgana belaka….
 
TENANG MENANTI 1952 WILDAN DJA'FAR
Director
CHANDRA DEWI 1952 FRED YOUNG
Director
IRAWATY 1950 TOUW TING IEM
Actor Director
BUDI SATRIA 1950 WILDAN DJA'FAR
Director
BERCANDA DALAM DUKA 1981 ISMAIL SOEBARDJO
Actor
DHARMA BAKTI 1955 WILDAN DJA'FAR
Director
KUNANTI DI BOROBUDUR 1955 WILDAN DJA'FAR
Director
BUKAN ISTRI PILIHAN 1981 EDUART P. SIRAIT
Actor

BUDI SATRIA / 1950

IRAWATY (Aju Kesuma) / 1950

IRAWATY

AJU KESUMA

Di sutradarai bersama
WILDAN DJA'FAR dan TOUW TING IEM

Karena ada perubahan cerita, penulis cerita menarik diri. Penyutradaraan juga ganti. Judul semula Aju Kesuma berubah menjadi Irawaty.

TENANG MENANTI / 1952

TENANG MENANTI

 

Salmah (Roostiaty) ingin menikahkan anak tirinya Hartini (Marlia Hardi) dengan Rusman (Wahid Chan), tapi Hartini memilih Luthfi (Tovani) yang disetujui ayah kandungnya, Dahlan (Chaidir Sakti). Karena dendam, Rusman berusaha menyingkirkan suami Hartini. Atas ulah Rusman itu Luthfi dipecat, dan pindah ke Bandung. Lalu Rusman coba membujuk Hartini, namun selalu tak mendapat tanggapan. Timbul pertengkaran dengan buntut Rusman terbunuh dan Luthfi masuk penjara. Setelah lepas dari penjara, dan menjadi pengusaha sukses di Solo, Luthfi coba mendekati Lastuti (RA Sumarni). Untunglah Lastuti adalah teman Hartini. Maka didoronglah Luthfi agar kembali kepada Hartini yang "tenang menanti".
 


1952, Aneka.
Mengenal WAHID CHAN,oleh Wim Umboh
BANYAK bintang film yang ternama dan bakal ternama telah saya temui akan belajar kenal dengan mereka. Akan tetapi belum pernah saya jumpai Wahid Chan seorang bintang film baru (new comer) yang menurut ANEKA baru saja selesai dengan filmnya “TENANG MENANTI”  produksi pertama dari SURYA FILM COY.

WAHID CHAN, demikianlah namanya, membikin aku teringat kepada seorang bintang film Hollywood Charley Chan, yang bermain dalam film “SHANGHAY COBRA”. Entah dia seorang Tiongkok Totok, atau peranakan Tionghoa yang beragama Islam, tak tahu aku (mengingat namanya).

Akhirnya pada suatu hari aku bertemu juga padanya. Pertemuan itu, sungguh tidak kuduga semula. Suatu hari, yakni hari Minggu, entah karena apa, aku tertarik ke luar rumah (biasanya hari Minggu aku tidur sepanjang hari) bersama dengan seorang teman. Setelah letih berjalan-jalan, kami singgah di salah satu bar yaitu di Balai Prajurit Nusantara (di sebelah kantor Surja Film Coy) kami masuk, dan membestel dua gelas vat bier dan makanan.  Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang pemuda yang sedang berlatih pique kopstoot di meja bilyard. Sungguh tak kusangka, dia adalah orang yang telah lama kucari-cari, yang hendak kutemui. Saudara Wahid Chan (raut mukanya aku kenal dari majalah ANEKA bergambar bersama S. Sumarni), ia terus asyik mengapur tongkat bilyardnya. Dan pikirannya tertumpah pada bilyard terbukti kedatangan kami, tak dihiraukannya. Di dada kemejanya jelas tertulis “CHAN”. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya, sambil mengangguk mempersilahkan kami main. Terus terang kami menolak karena diantara kami berdua tak seorangpun jua yang pandai bermain bilyar. Kami berjabat tangan, otomatis keluar perkataanku: “Sungguh serius Bung, menikam bola…”

“Ah.. tidak. Iseng-iseng saja,” katanya.

Perkenallan  kami terganggu sebentar. Karena seorang pelayan memberi isyarat dengan ibu jarinya bahwa makanan telah tersedia. Kami persilahkan saudara Wahid Chan turut serta. Ia tak menampik. Di tengah-tengah makan, ia bercerita serba-serbi, melulu berisi humor, hingga terpaksa bier-pun di “doubleer”. Sedang kami asyik menggempur bihun, sebentar-sebentar ia mengangguk pada tetamu yang keluar-masuk di bar tersebut.. disertai kata-kata lucu yang lazim dipakai pemuda Jakarta sehari-hari, jelas bagiku bahwa Saudara Wahid Chan seorang yang banyak bergaul dan pandai menaklukkan hati kawan. Malah, ada beberapa orang asing berseru “Morning teacher”. Aku bertanya apa maksudnya orang-orang asing tersebut, “Ah…. Tidak bermaksud apa-apa. Mereka saya pergauli di meja Bilyar” sembari menunjukkan beberapa stoot bilyar yang belum mereka ketahui.

Waktu yang dua jam kami bercakap dengan Saudara Wahid Chan itu, serasa hanya dua menit, karena tutur katanya yang lancar berirama, tak pernah membosankan. Apalagi melihat gerak-geriknya tak ubah dengan cara ia berlaku di depan kamera. Waktu kutanya, “Apakah sebabnya biografi Saudara tidak pernah dimuat di majalah-majalah, misalnya majalah Aneka?”

Jawabnya dengan seyum berarti: “karena banyak artis film yang telah diumumkan biografienya beranggapan dirinya telah “super” dan karena itu merasa segan bergaul dengan umum. Sedangkan dalam pergaulan itulah kita dapat mempelajari berbagai masalah penambah isi dan bakat dalam kesenian.

Kurang lebih seminggu aku mencari keterangan pada teman-teman akrabnya, barulah dapat aku sajikan sedikit ringkasan riwayat hidupnya.

Nama penuhhnya A. Wahid Chaniago (jadi ia bukan orang Tionghoa atau [eranakan Tionghoa). Chaniago adalah gelar atau nama sukunya. Ia lahir pada tanggal 14 Juli 1921. Brasal dari Matur (BT). Lahir dan dibesarkan di Kutaradja (Atjeh). Pernah kubaca dari karangannH. Bunge tentang Astrologia bahwa prang yang dilahirkan pada tanggal 14 Juli berbakat seni)Mungkin inilah yang memberanikan dirinya meninggalkan Sumatra menuju Jakarta mengadu untung dalam seni film.

Bersaudara tiga, dan ia yang penutup (bungsu), pendidikan HIS Taman Dewasa, Taman Siswa, tapi kakinya yang senantiasa gatal menyepak bola tak mau mengijinkan meneruskan pelajarannya dan ia bercita-cita ingin menjadi bintang lapangan hijau. Tetapi karena kecelakaan pada lututnya, cita-citanya untuk menjadi bintang lapangan hijau itu gagal. Olah raga lainnya yang digemarinya ialah tenis, pingpong, berenang dan tinju.

SEMENJAK tahun 1937 ia bekerja di berbagai tempat, melompat-lompat tiada tetap, lebih tepat kalau dikatakan mengembara. Disamping itu, sandiwara adalah sebagai sorga baginya, dan ia berhasrat akan menceburkan diri ke dunia film. Kuranglebih 10 tahun belajar dan bermain di berbagai sandiwara di Sumatra, baru sesudah KMB ia melampaui selat sunda, meninggalkan Sumatra menempuh Jakarta. Ia ke Jakarta dalam keadaan yang amat menyedihkan. Pakaian yang dibawanya hanya sepasang bekas gerilya, dan uang tak lebih dari Rp. 10. Berbulan-bulan, lapar-haus, tak dihiraukannya, dan diberbagai studio ia ditolak.”Ach, ini semua percobaan” katanya……

“Selagi matahari masih bersinar, harapanku tak akan pudar, karena dibalik awan yang tebal, matahari tetap bercahaya,”

Barulah di studio Golden Arrow ia diterima oleh Tuan Chang San dan R. Ariffien (sutradara). “Ternyata bahwa tuduhan orang bahwa perusahaan-perusahaan film bangsa asing hanya mementingkan orang yang cantik saja, tidak beralasan terbukti dengan diterimanya saya menjadi pemain film dari perusahaan Golden Arrow”

Peran pertama ialah dalam cerita: BUDI UTAMA sebagai seorang seniman tua. Lima cerita berturut dari Golden Arrow yaitu: BUDI UTAMA, PEMBALASAN, SIMPANG DJALAN, SERUNI LAJU, dan MEREBUT KASIH. Kemudian dalam MUSIM MELATI, dari Semeru Film Co. DI TEPI BENGAWAN SOLO dan NJIUR MELAMBAI produksi Asiatic Film Coy. Dan baru saja selesai ialah TENANG MENANTI dari Surja Film Co. Menurut katanya, dalam “TENANG MENANTI”lah ia baru merasa sedikit puas, karena leluasa bergerak dan berlaku. Selain itu ia merasa mendapat sutradara dan teman-teman yang betul-betul “nuchter” dalam segala hal. Pada produksi kedua Surja Film Co, ia diserahkan membuat cerita dengan pimpinan dan bantuan Tuan R.S. Madhy yang berkalimat MATI SEBELUM SENDJA. Beberapa reel cerita sudah diopname, tetapi sekarang terpaksa ditunda untuk beberapa bulan karena satu dan hal lain.

Waktu belakangan ini, sering ia kami lihat di Studio Bintang Surabaja, Golden Arrow, Persari, di mana ia akan berlaku, Wallahu alam. Karena ia pemain yang tidak terikat (free-lancer). Pula hampir setiap gambar bertukar ia hadir, terkadang sampai tiga kali berturut-turut menonton satu cerita, apabila gambar itu menarik hatinya. Bintang pujaannya ialah Glenn Ford, Joseph Cotton, Humphrey Bogart, Gregory Peck, dan seluruh pemain watak dari Amerika. Menurut salah seorang temannya yang dekat, sekali ia hampir putus asa, dan akan mengundurkan diri dari “Dunia Film” disebabkan sempitnya ekonomi, dan kurangnya perhatian produser film terhadap artis film baru (new comer). Untung beberapa sahabat studentnya dapat menentramkan kembali pikirannya dan mengurungkan niatnya dengan perkataan: “Jangan mundur karena kapasitasmu besar, hanya perusahaan film Indonesia yang kecil. Anggaplah pembayaran yang tak seimbang dengan jerih payahmu itu sebagai uang saku kepada seorang pelajar film. Dan jangan lupa, tinjaulahkembali keadaan beberapa puluh tahun yang lampau, sewaktu kita menonton film-film bisu dari Amerika. Gambar-gambar itu dipertunjukkan di gedung-gedung, di bawah skycrapers (pencakar langit), dengan mendapat perhatian penuh dari bangsa Amerika, khususnya, dan dunia umumnya. Pesatnya kemajuan mereka melulu bantuan moril bangsanya, pula berpuluh negara lain termasuk negeri jajahan lainnya, memuji dan membangga, malah memperdebatkan jago dari film tersebut. Bukanlah ini contoh yang tepat. Dan segala ocehan bangsa kita sendiri yang merendahkan mutu film Indonesia, anggaplah mereka belum masak pengertian.”

Ia amat suka berjalan kaki berjam-jam lamanya, sambil mempelajari penghidupan masyarakat yang 1001 corak itu. Hormat dan santunnya tiada berbeda kepada siapapun walau ningrat ataupun gembel.

Demikianlah sedikit ringkasan riwayat hidup A. Wahid Chaniago, seorang new comer yang sedang naik bintangnya. Baiklah kita tunggu….

DHARMA BAKTI / 1955

 

Biar telah 7 tahun berumah tangga, Abdulmunir (Samidi) dan Zaenab (Suginah) belum punya anak. Mereka putuskan memungut anak. Tiga tahun kemudian mereka punya anak sendiri. Anak angkat Taufik (S. Effendy) dan anak kandung Samsuri (Boes Boestami) hidup bersama bagaikan saudara kandung. Taufik cerdas dan rajin, sebaliknya Samsuri malas, bodoh, dan senangnya berfoya-foya. Setelah tahu dari Badar (Mansur Saleh), pembantu yang dibikin mabok, diketahui oleh Samsuri bahwa Taufik itu anak angkat. Samsuri memfitnah Taufik hingga masuk penjara. Belakangan Samsuri yang masuk penjara karena terlibat perampokan bersama Jenuri (Alberto Marwan). Anak angkat dapat menolong orangtua angkat yang bangkrut, sementara anak kandung dikirim ke Nusakambangan.
  Z. HANAN FILM

KUNANTI DI BOROBUDUR / 1955


Z. HANAN FILM

Kamis, 03 Februari 2011

CHANDRA DEWI / 1952

CHANDRA DEWI 


Sutradarai bersama WILDAN DJA'FAR & FRED YOUNG
Setelah kerajaan direbut, dan raja dipenjarakan, maka pemimpin perampok Changgi (AN Alcaff) mengangkat diri sebagai raja. Ia tetap kejam dalam memerintah. Perwira yang tetap setia, Lelawangsa (Rd. Soekarno), bersama kekasihnya Chandra Dewi (Dhalia), berusaha mengembalikan kerajaan Langka Puri. Lewat kecerdikan Chandra Dewi dan keberanian Lelawangsa, kerajaan Langka Puri berhasil dibebaskan dari Changgi.