Presiden Soekarno punya banyak kisah menarik semasa hidupnya. Baik saat muda, maupun saat dia menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Salah satu kisah menarik Soekarno yakni ketika dia dan seorang sahabatnya bernama Sukarmini akan menonton bioskop di Mojokerto. Di masa muda Soekarno, tentu tak ada bioskop seperti yang berkembang saat ini.
Saat itu, tak ada gedung luas dengan kursi empuk yang tersusun rapi plus AC. Tak ada pula layar raksasa dengan suara yang double stereo yang menggema di seisi ruangan. Yang ada hanya bioskop sederhana. Meski sederhana, bioskop itu tetap banyak peminatnya. Tak kecuali dengan Soekarno dan Sukarmini.
Dalam suatu kisah yang dimuat di buku berjudul Kisah Istimewa Bung Karno yang ditulis oleh Hery Triatmono, diceritakan kalau dua sahabat itu ingin mengusir kebosanan dengan mencari hiburan. Tentu saja karena mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu, mau tidak mau hiburan yang dipilih harus cocok dengan kantong, alias murah meriah.
"Menjadi anggota klub sepak bola masih berat iurannya. Apalagi klub tenis, renang dan sebagainya. Kawan-kawan serumah, termasuk Soekarno mengalami nasib yang sama," cerita Sukarmini.
Mereka tak ingin kehilangan masa mudanya sekalipun uang pas-pasan. Agar sesuai dengan uang jajan yang ada di kantong, akhirnya mereka memilih bioskop kelas IV.
Seperti apa bioskop kelas IV? Kelas ini disebut juga kelas kambing. Penonton yang memilih bioskop kelas IV tempat duduknya terletak di belakang layar. Mereka duduk di atas deretan papan kayu kasar.
Salah satu kisah menarik Soekarno yakni ketika dia dan seorang sahabatnya bernama Sukarmini akan menonton bioskop di Mojokerto. Di masa muda Soekarno, tentu tak ada bioskop seperti yang berkembang saat ini.
Saat itu, tak ada gedung luas dengan kursi empuk yang tersusun rapi plus AC. Tak ada pula layar raksasa dengan suara yang double stereo yang menggema di seisi ruangan. Yang ada hanya bioskop sederhana. Meski sederhana, bioskop itu tetap banyak peminatnya. Tak kecuali dengan Soekarno dan Sukarmini.
Dalam suatu kisah yang dimuat di buku berjudul Kisah Istimewa Bung Karno yang ditulis oleh Hery Triatmono, diceritakan kalau dua sahabat itu ingin mengusir kebosanan dengan mencari hiburan. Tentu saja karena mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu, mau tidak mau hiburan yang dipilih harus cocok dengan kantong, alias murah meriah.
"Menjadi anggota klub sepak bola masih berat iurannya. Apalagi klub tenis, renang dan sebagainya. Kawan-kawan serumah, termasuk Soekarno mengalami nasib yang sama," cerita Sukarmini.
Mereka tak ingin kehilangan masa mudanya sekalipun uang pas-pasan. Agar sesuai dengan uang jajan yang ada di kantong, akhirnya mereka memilih bioskop kelas IV.
Seperti apa bioskop kelas IV? Kelas ini disebut juga kelas kambing. Penonton yang memilih bioskop kelas IV tempat duduknya terletak di belakang layar. Mereka duduk di atas deretan papan kayu kasar.
"Harga karcisnya tidak lebih dari sebelas sen gulden. Termasuk satu sen termasuk pajak tontonan. Nah, di situlah tempat duduk kami termasuk Soekarno," ujar Sukarmini.
Bioskop di masa itu, hanya menayangkan film bisu. Artinya, hanya ada gambar dan teks tanpa suara. "Karena bisu, penonton mengetahui jalan ceritanya dari teks yang disorotkan di layar putih. Hal biasa bagi penonton yang duduk di depan layar," tambahnya.
Sebenarnya, kondisi menonton dari belakang layar sangat menyulitkan mereka. Bagaimana tidak, penonton harus membaca teks terbalik dari kiri ke kanan dan itu tidak gampang. Tapi apa mau dikata, isi kantong hanya cukup untuk bioskop fasilitas demikian. "Tidak gampang, karena huruf-hurufnya terbalik. Tetapi lama kelamaan, kesulitan itu bisa di atasi dengan membiasakan diri," katanya.
Hal tak lazim lainnya yang mereka rasakan saat menikmati film dari belakan layar, ketika semua adegan yang dilakoni pemain seolah menggunakan tangan kiri alias kidal. "Mereka menulis dengan tangan kiri, bersalaman dengan tangan kiri, pegang sendok dengan tangan kiri dan seterusnya," kisahnya.
Sukarmini punya cerita lucu saat menonton di bioskop kelas IV. Saat itu dia sedang menyaksikan film tinju kelas berat antara Jack Johnson dan Jeffries. Usai menonton film, Sukarmini sempat berdebat dengan temannya soal arah pukulan Jack Johnson yang membuat Jeffries kalah KO.
Teman Sukarmini yang berkebangsaan Belanda yakin pukulan itu dilayangkan dengan tangan kanan, sedangkan Sukarmini yakin pukulan itu datang dari tangan kiri. Setelah lama berdebat, akhirnya Sukarmini sadar kalau posisi duduknya di belakang layang yang membuat gerakan maupun teks yang ditampilkan di film itu terkesan dari kiri ke kanan.
"Karena malu, saya lekas-lekas meninggalkan teman itu. Jangan-jangan ketahuan nanti bahwa saya nonton film itu dari kelas kambing (belakang layar)," tandasnya.