Gatot (Dicky Zulkarnaen), wartawan, ditugasi menyelidik gerakan subeversif yang akan mengacaukan dunia perminyakan Indonesia. Gerakan itu berhasil menyusup ke perusahaan minyak negara (Pertamina), dan menyuruh anak buahnya, Susy (Rahayu Effendi) memotret dokumen-dokumen perusahaan. Sewaktu memotret ini, Susy ketahuan anggota intel yang juga menyusupkan anak buahnya ke dalam gerakan. Seorang anggota gerombolan lain dikirim ke Balikpapan, meski kemudian tak jelas apa yang terjadi di sana. Sementara di Jakarta, orang asing bernama Lopez (Hamidy T. Djamil), digerebek ketika sedang melakukan pertemuan dengan Susy. Markas gerakan kemudian digrebek. Berhasil.
NEWS
11 Maret 1972
Sepai en jurnalisi
UNTUNGLAH belum banjak (belum ada) wartawan Indonesia jang hidup dan bekerdja seperti Gatot (D. Zulkarnaen), wartawan Utusan Indonesia jang diimpikan Hidajat Rahardjo - bekas pemimpin harian Utusan Indonesia jang asli - dalam film berdjudul Inggeris jang agak asing: Spy and Journalist.
Sebab djika demikian halnja, bakal banjak intel jang menganggur, dan koran-koran djadi terlantar karena para wartawan pada asjik berintel. Tentu sadja kenjataan seperti itu tidak dengan sendirinja harus dipatuhi film Indonesia, jang kebanjakan ahli dalam melukiskan hal-hal jang tidak pernah dan tidak bakal ada.
Maka dalam film jang kisahnja ditjiptakan oleh Hidajat Rahardjo itu, kenjataan djuga tidak amat berbitjara: selain korannja tetap hidup, tokoh wartawan dalam film ini dihormati intel, dan seperti biasanja, hidupnja djuga tjukup mewah. Bahwa wartawan tersebut lebih sibuk daripada intel pemerintah itupun bisa dimengerti, sebab djika tidak demikian, film tidak begitu seru, biarpun untuk itu sang wartawan terpaksa tidak perlu digambarkan sebagai wartawan. Elektronis.
Tapi bukan tjuma sang wartawan jang tidak digambarkan sebagaimana lainnja, para intelpun digambarkan dengan gaja sedikit istimewa. Ini seharusnja membikin mongkok dada para wartawan, sebab sarnbil menggambarkan Gatot sebagai patriot jang memberantas pengchianat negara, kesibukan para intel digambarkan sedikit diatas kesibukan para Hansip dikampung. Hanja dalam film ini ada mainan elektronis matjam walkie-talkie, baik jang dengan antenne, maupun jang dipasang dalam djam tangan dan tjintjin berpermata indah. Sungguh peralatan jang luarbiasa dan pasti mahal, meskipun dalam kamar operasi Amirulah (Kusno Sudjarwadi), Kepala Intel Negara, peta jang dipakai adalah peta jang kadang-kadang tergantung dalam ruang klas sekolah menengah. Maka adalah pula gerombolan subversi jang menurut dialog para anggotanja setiara beramai-ramai orang-orang itu berhadjat menghantjurkan instalasi-instalasi Pertamina serta melantjarkan sabotase terhadap pengeboran-pengeboran baru jang direntjanakan oleh penanam modal asing. Ini gerombolan konon berpangkalan diluar negeri, tapi begitu lihai sehingga sanggup menjusupkan orang-orang mereka keposisi penting dalam Pertamina.
Maka adalah usaha pentjurian dokumen (tidak perlu diketahui penonton isi dan djenisnja), jang alhamdulillah bisa diselamatkan oleh para intel jang entah bagaimana mendapatkan keterangan tentang saat penjerahan mikrofilm. Kedjadian terachir ini memang tjukup seru, sebah disiang bolong, didepan gedung Pertamina, Telah terdjadi perkelahian sengit antara Susy (Rahayu Effendi), sebagai agen subversi, dengan seorang intel. Djakarta begitu sibuk rupanja, sehingga meskipun kemudian ada terdengar beberapa tembakan plus darah memerahi kemedja, toh sutradara Fortunatus Sutrisno tetap bisa mentjegah orang-orang lain muntjul didepan kameranja, termasuk djuga pengawal ataupun portir jang setiap harinja menurut kenjataan dan menurut logika bisa ditemukan dipintu masuk kantor Pertamina, ketjuali hari Ahad dan hari-hari besar lainnja. Lopez. Karena di Balikpapan ada pula kilang Pertamina, seorang anggota gerombolan subfersi djuga dikirim kesana. Tjukup dramatis dan sedikit pening mengawasi tangki-tangki minjak jang bergetar ketika dilihat dari udara Tapi tidak djelas kemudian apa jang terdjadi di Balikpapan. Lalu di Djakarta djuga ada orang asing jang termasuk gerombolan subversi. Orang ini bernama Lopez (Hamidi Djamil), lantjar berbahasa Indonesia, terlalu mentjurigai kamarnja di Hotel Indonesia sehingga pertemuannja dengan Susy harus dilakukan dikolam renang hotel. Karena urusan intel, maka sembari kekolam renang, tas samsonite didjindjing djuga meskipun Hamidi tjuma memakai tjelana renang jang indah. Sudah bisa dibajangkan kalau Amirulah djuga sudah menanti dalam kolam, sehingga laporannja melalui radio jang bersatu dalam arlodjinja, dengan mudah ditangkap oleh mobil unit intel (jang bekerdja setjara terbuka bagaikan mobil unit Deppen).
Maka jang membuat hati setiap patriot Indonesia tenteram pada saat menonton film ini adalah bahwa pada achirnja Pertamina tidak mengalami kebotjoran satu pipapun oleh sabotase. Tidak seluruhnja oleh kegesitan wartawan harian Utusan Indonesia jang memang fantastis itu, tapi disamping keinginan keras anak buah Amirulah, soalnja djuga terpulang pada apa jang disebut gerombolan subversi tersebut. Selain dialog dan mainan elektronis mereka jang hebat, gerombolan itu sendiri lebih mengingatkan penonton pada gang-gang anak muda jang baru sadja diurusi oleh larangan Kopkamtib. Tidak pernah kelihatan Suatu kegiatan hebat gerombolan subversi itu ketjuali usahanja untuk mentjulik wartawan Gatot, jang dengan perkasa bisa pula lolos.
Pendeknja, Hidajat Rahardjo sebagai pengarang tjerita memang kaja akan fantasi jang hebat-hebat, begitu rupa hingga logika tjerita entah kemana perginja. Irama. Sebagai penulis skenalio, A. Sjafiuddin djuga tidak begitu bisa dipudjikan kebolehannja. Selain urutan tjerita kurang menarik adanja, djuga terlalu banjak tokoh jang berseliweran sehingga besar harapan bahwa sedjumlah penonton akan minta waktu untuk merenung sebelum menebak keinginan jang empunja hikajat. Sutradara F. Sutrisno-pun tidak kelihatan berbuat tjukup untuk membuat irama film, apalagi mengawasi permainan tokoh-tokohnja. Dan dalam keadaan demikian, sangat masuk-akal djika permainan siapapun dalam film ini seharusnja tidak usah memberi andil pada kemungkinan lahirnja keketjewaan, apalagi kalau teknik pengisian suara jang kurang tjermat itu tidak bisa diperbaiki. Jang terachir ini tjukup menarik, sebab disana ada adegan polisi djadi seperti dibentak wartawan.