Sutradara wanita pertama Indonesia.
Bermula dari almarhumah Ratna Asmara. Kesaksian sejarah film nasional mencatat, pemeran utama film "Djauh di Mata" dan "Anggrek Boelan" (1948) karya alm. Andjar Asmara itu, tampil sebagai pelopor wanita sutradara yang menggarap film "Sedap Malam" (1950). Langkah Ratna Asmara pun terdukung profesi suaminya, Andjar Asmara, yang membuka karier alm. Usmar Ismail sebagai asisten sutradara film "Gadis Desa" (1949). Kalaupun film karya Ratna Asmara tidak dibicarakan, nilai kepeloporannya terbingkai dalam sejarah perfilman.
Pengakuan atas kariernya makin layak dihargai, manakala seorang wanita mampu berprofesi sutradara, di tengah semangat perjuangan insan film merebut mimpi membangun industri perfilman nasional. Tonggak momentum Hari Film Nasional pun terpancang 10 Maret 1950, ditandai shooting awal film "Darah dan Doa" karya Usmar Ismail, produksi NV "Perfini" perusahaan film pertama milik pribumi. Direntang waktu sepuluh tahun kemudian, baru hadir lagi wanita sutradara kedua bersosok aktris film, alm. Sofia W.D.
Ratna Asmara pada tahun 1950. Dia adalah sutradara perempuan pertama di Indonesia, menyutradari karya film “Sedap Malam” (1950) ,”Musim Bunga Di Selabintana” (1951), “Dokter Samsi” (1952), “Nelajan” (1953) dan “Dewi dan Pemilihan Umum” (1954). Ketika itu kehadiran Ratna Asmara sebagai sutradara perempuan pertama di dunia perfilman Indonesia cukup mengagetkan sekaligus menakjubkan. Dan pada masa itu sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari kalangan perfilman sendiri, hingga akhirnya berlalu begitu saja. Namun, tonggak sejarah emansipasi wanita Indonesia di bidang perfilman telah dirintis oleh Ratna Asmara. Namanya pun akhirnya terukir sebagai perintis profesi sutradara perempuan di Indonesia. Lalu hadirlah nama Sofia W.D sepuluh tahun kemudian tahun 1960 setelah rekannya Ratna Asmara. Film yang pertama digarap olehnya sebagai sutradara ialah “Badai selatan” (1960).
Dulunya,
NAMA Ratna Asmara tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Seorang pemain wanita yang cukup mempunyai bakat. Nama itu sudah terdengar sejak dahulu, mulai dari “Dardanella” hingga kepada filmnya yang pertama “Dr Samsi” dan kini sebagai regiseur dari film “Musim Bunga di Salabintana”.
Ratna Asmara adalah baru satu-satunya wanita Indonesia yang menjadi regiseur pada sebuah film.
Ratna lahir dalam tahun 1913 di Sawah Lunto. Didikan yang diperolehnya ialah di Lagere School. Semenjak dari sekolah telah tampak bakat pada dirinya sebagai pemain.
Sejak tahun 1928 selalu kelihatan di papan tonil sebagai pemain amatir. Dan permainan-permainannya mendapat sambutan yang baik dari penonton.
Pembaca tentu maklum bahwa alam Minangkabau penuh dengan ranjau-ranjau adat oleh karena Ratna tentu tidak dapat dengan leluasa bertindak sebagai pemain tonil. Sekalian itu dapat menghalangi cita-citanya, kalau dia tidak berlaku tabah. Pihak orangtua dan sanak saudaranya tidak jarang memberi halangan kepada Ratna. Dan pernah pula ratna berhubungan dengan kepolisian hingga tiga kali sebagai tindakan yang diambil oleh sanak saudaranya. Tetapi polisi memutuskan bahwa Ratna telah cukup dewasa untuk menentukan langkah-langkah mana yang akan diambilnya.
Dalam tahun 1930, Ratna menjadi eigenares (tauke) dari Gezelschap “Suhara Opera”. Ratna dengan operanya bermaksud akan mengelilingi Indonesia.
Tatkala “Suhara Opera” bermain di Gombong, Andjar Asmara yang ketika itu memimpin Dardanella, mendengar hal ini. Dia datang ke Gombong dan menjumpai Ratna. Lalu mengadakan persahabatan. Kemudian Andjar mengusulkan supaya Suhara Opera digabungkan saja dengan Dardanella.
Anjuran itu diterima oleh Ratna, dengan mengingat akan mempertinggi mutu permainan. Maka dilenyapkanlah Suhara Opera dan pemain-pemainnya bergabung dengan Dardanella. Juga anjuran yang lain dari Andjar Asmara yang tak dapat ditolak untuk meningkat jenjang perkawinan. Sejak tanggal 7 April 1931, Ratna menjadi istri Andjar Asmara. Namanyapun bertambah menjadi Ratna Asmara.
Ratna merasa belum puas dengan film-film di mana dia turut bermain.
Tentang perkembangan Film Indonesia sekarang, Ratna Asmara berkata: “Saya belum dapat mengatakan bahwa permainan aktir-aktir kita telah mencapai tingkatan atas. Saya berharap saja supaya para terpelajar kita menumpahkan perhatiannya sepenuhnya kepada permainan film. Jangan separo hati ataupun hanya sekedar untuk iseng-iseng semata”.
Dalam permainan, Ratna suka membawakan rol yang berat-berat. Bintang-bintang film yang disukainya ialah: Greta Garbo, Barbara Stanwyck, Vivien Leigh dan greer Garson.
Film-filmnya ialah: Dr Sjamsi (dibuat di India), Kartinah, Ratna Mutu Manikam, Jauh di Mata.
Di luaran ada terdengar kabar bahwa Ratna dan Andjar telah berpisah dan tidak hidup serumah tangga lagi. Tentang ini Ratna berkata: “Kadang-kadang orang-orang di luaran terlampau lekas tahu, yang kami sendiri belum mengetahuinya. Perselisihan-perselisihan kecil yang terjadi dalam rumah tangga, oleh orang-orang luar terkadang dibesar-besarkan.”
Dewasa ini Ratna Asmara bertindak sebagai regiseur pada film “Musim Bunga di Selabintana” sebuah cerita karangan Andjar Asmara dan dibuat oleh Djakarta Film Coy.
Meskipun Ratna jarang muncul di layar putih, tetapi dia selalu juga tampak bermain sandiwara. Baru-baru ini Ratna turut bermain dengan sandiwara yang diadakan oleh Persari (Persatuan Artist Indonesia) di Jakarta dalam cerita “Baron Soebroto” dan “Kota Gede”.
Bermula dari almarhumah Ratna Asmara. Kesaksian sejarah film nasional mencatat, pemeran utama film "Djauh di Mata" dan "Anggrek Boelan" (1948) karya alm. Andjar Asmara itu, tampil sebagai pelopor wanita sutradara yang menggarap film "Sedap Malam" (1950). Langkah Ratna Asmara pun terdukung profesi suaminya, Andjar Asmara, yang membuka karier alm. Usmar Ismail sebagai asisten sutradara film "Gadis Desa" (1949). Kalaupun film karya Ratna Asmara tidak dibicarakan, nilai kepeloporannya terbingkai dalam sejarah perfilman.
Pengakuan atas kariernya makin layak dihargai, manakala seorang wanita mampu berprofesi sutradara, di tengah semangat perjuangan insan film merebut mimpi membangun industri perfilman nasional. Tonggak momentum Hari Film Nasional pun terpancang 10 Maret 1950, ditandai shooting awal film "Darah dan Doa" karya Usmar Ismail, produksi NV "Perfini" perusahaan film pertama milik pribumi. Direntang waktu sepuluh tahun kemudian, baru hadir lagi wanita sutradara kedua bersosok aktris film, alm. Sofia W.D.
Ratna Asmara pada tahun 1950. Dia adalah sutradara perempuan pertama di Indonesia, menyutradari karya film “Sedap Malam” (1950) ,”Musim Bunga Di Selabintana” (1951), “Dokter Samsi” (1952), “Nelajan” (1953) dan “Dewi dan Pemilihan Umum” (1954). Ketika itu kehadiran Ratna Asmara sebagai sutradara perempuan pertama di dunia perfilman Indonesia cukup mengagetkan sekaligus menakjubkan. Dan pada masa itu sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari kalangan perfilman sendiri, hingga akhirnya berlalu begitu saja. Namun, tonggak sejarah emansipasi wanita Indonesia di bidang perfilman telah dirintis oleh Ratna Asmara. Namanya pun akhirnya terukir sebagai perintis profesi sutradara perempuan di Indonesia. Lalu hadirlah nama Sofia W.D sepuluh tahun kemudian tahun 1960 setelah rekannya Ratna Asmara. Film yang pertama digarap olehnya sebagai sutradara ialah “Badai selatan” (1960).
Dulunya,
NAMA Ratna Asmara tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Seorang pemain wanita yang cukup mempunyai bakat. Nama itu sudah terdengar sejak dahulu, mulai dari “Dardanella” hingga kepada filmnya yang pertama “Dr Samsi” dan kini sebagai regiseur dari film “Musim Bunga di Salabintana”.
Ratna Asmara adalah baru satu-satunya wanita Indonesia yang menjadi regiseur pada sebuah film.
Ratna lahir dalam tahun 1913 di Sawah Lunto. Didikan yang diperolehnya ialah di Lagere School. Semenjak dari sekolah telah tampak bakat pada dirinya sebagai pemain.
Sejak tahun 1928 selalu kelihatan di papan tonil sebagai pemain amatir. Dan permainan-permainannya mendapat sambutan yang baik dari penonton.
Pembaca tentu maklum bahwa alam Minangkabau penuh dengan ranjau-ranjau adat oleh karena Ratna tentu tidak dapat dengan leluasa bertindak sebagai pemain tonil. Sekalian itu dapat menghalangi cita-citanya, kalau dia tidak berlaku tabah. Pihak orangtua dan sanak saudaranya tidak jarang memberi halangan kepada Ratna. Dan pernah pula ratna berhubungan dengan kepolisian hingga tiga kali sebagai tindakan yang diambil oleh sanak saudaranya. Tetapi polisi memutuskan bahwa Ratna telah cukup dewasa untuk menentukan langkah-langkah mana yang akan diambilnya.
Dalam tahun 1930, Ratna menjadi eigenares (tauke) dari Gezelschap “Suhara Opera”. Ratna dengan operanya bermaksud akan mengelilingi Indonesia.
Tatkala “Suhara Opera” bermain di Gombong, Andjar Asmara yang ketika itu memimpin Dardanella, mendengar hal ini. Dia datang ke Gombong dan menjumpai Ratna. Lalu mengadakan persahabatan. Kemudian Andjar mengusulkan supaya Suhara Opera digabungkan saja dengan Dardanella.
Anjuran itu diterima oleh Ratna, dengan mengingat akan mempertinggi mutu permainan. Maka dilenyapkanlah Suhara Opera dan pemain-pemainnya bergabung dengan Dardanella. Juga anjuran yang lain dari Andjar Asmara yang tak dapat ditolak untuk meningkat jenjang perkawinan. Sejak tanggal 7 April 1931, Ratna menjadi istri Andjar Asmara. Namanyapun bertambah menjadi Ratna Asmara.
Ratna merasa belum puas dengan film-film di mana dia turut bermain.
Tentang perkembangan Film Indonesia sekarang, Ratna Asmara berkata: “Saya belum dapat mengatakan bahwa permainan aktir-aktir kita telah mencapai tingkatan atas. Saya berharap saja supaya para terpelajar kita menumpahkan perhatiannya sepenuhnya kepada permainan film. Jangan separo hati ataupun hanya sekedar untuk iseng-iseng semata”.
Dalam permainan, Ratna suka membawakan rol yang berat-berat. Bintang-bintang film yang disukainya ialah: Greta Garbo, Barbara Stanwyck, Vivien Leigh dan greer Garson.
Film-filmnya ialah: Dr Sjamsi (dibuat di India), Kartinah, Ratna Mutu Manikam, Jauh di Mata.
Di luaran ada terdengar kabar bahwa Ratna dan Andjar telah berpisah dan tidak hidup serumah tangga lagi. Tentang ini Ratna berkata: “Kadang-kadang orang-orang di luaran terlampau lekas tahu, yang kami sendiri belum mengetahuinya. Perselisihan-perselisihan kecil yang terjadi dalam rumah tangga, oleh orang-orang luar terkadang dibesar-besarkan.”
Dewasa ini Ratna Asmara bertindak sebagai regiseur pada film “Musim Bunga di Selabintana” sebuah cerita karangan Andjar Asmara dan dibuat oleh Djakarta Film Coy.
Meskipun Ratna jarang muncul di layar putih, tetapi dia selalu juga tampak bermain sandiwara. Baru-baru ini Ratna turut bermain dengan sandiwara yang diadakan oleh Persari (Persatuan Artist Indonesia) di Jakarta dalam cerita “Baron Soebroto” dan “Kota Gede”.
DEWI DAN PEMILIHAN UMUM | 1954 | RATNA ASMARA | Director | |
DJAUH DIMATA | 1948 | ANDJAR ASMARA | Actor | |
KARTINAH | 1940 | ANDJAR ASMARA | Actor | |
RATNA MOETOE MANIKAM | 1941 | SUSKA | Actor | |
NOESA PENIDA | 1941 | ANDJAR ASMARA | Actor | |
SEDAP MALAM | 1950 | RATNA ASMARA | Director | |
DR. SAMSI | 1952 | RATNA ASMARA | Actor Director | |
MUSIM BUNGA DI SELABINTANA | 1951 | RATNA ASMARA | Director | |
NELAJAN | 1953 | RATNA ASMARA | Director |