Lahir Rabu, 15 Mei 1912 di Tegal, Jawa Tengah. Pendidikan ; Tamat Europese Kweek School - Surabaya (1934), lulus dari Europese Hoofdacte & Sport Akademi di Amsterdam dan tamat dari Information and Education-Fort Slocum New York (1954).Sebelum ke film pernah menjadi Guru Sekolah Menengah, pendidik para Kadet Militer di Serangan (1946-1947)dan Pemimpin Cine Drama Institut -Kementerian Penerangan di Jogyakarta(1948). Tahun 1952 mulai memasuki dunia film, langsung menjadi Sutradara dalam pembuatan film "Penyelundup", produksi ALRI. Kemudian dilanjutkan dalam film "Djuara Sepatu Roda" ('58), "The Baby Dolls" (1959), "Peristiwa Tjikini" (1959). Tahun 1961 Iskak mendirikan perusahaan "Gaja Rama Film" (sekarang R. Iskak Film Corp) dan telah menghasilkan film "Masih Ada Hari esok" (1961), "Djantung Hati" (1961), "Daun Daun Emas" (1963),(kerja sama dengan PFN), "Djiwa Kolonial" (1964), "Peristiwa di Djatiroto" (1964), "Matahari Hampir Terbenam" (1971), "Badai Remadja" ('73), "Pelarian" (1973), Dalam film ini, disamping sebagai Produser, juga merangkap sebagai Sutradara dan Dekorator.Di luar film cerita, Iskak juga telah banyak memprodusir dan menyutradarai film2 dokumenter, antara lain : "Thousand Island of Jakarta", "Rice", "Kudus Kota Kretek", "Jagorawi High Way", dan lain2.Iskak pernah mendapat penghargaan dari Badan Sensor Indonesia untuk film dokumenternya "Scooter Indonesia". Sementara di tahun 1957 hingga tahun 1961 ia menjabat sebagai Direktur P.F.N. Kemudian tahun 1966 memimpin P.P.F.I. setelah Usmar Ismail mengundurkan diri dan tahun 1969 kembali menjadi Wakil Ketua P.P.F.I. hingga tahun 1975. Ia juga pernah mendirikan Pendidikan Sinematografi dan mengadakan Upgrading di PFN dalam bidang Scrip - writing dan Directing.
Suatu malam di tahun 1945, Iswahyudi mengapeli Suwarti. Dia rupanya sedang jatuh cinta kepada perempuan yang saat itu tinggal di rumah kakaknya di Tambaksari. Kakak Suwarti, Robert Maria Iskak alias Bob, dulunya pemain sepakbola dan pernah jadi guru olahraga Hollandsch Chinese School (HCS) Bubutan.
Kakak Suwarti yang serba bisa itu beristri perempuan Belanda bernama Alida van de Kuinder. Iskak alias Bob, putra dari pasangan Soemawi dan Soendari, menikahi Alida waktu bersekolah guru di Belanda. Perkawinan antarbangsa memang sudah terjadi sejak dulu dan bukan sesuatu yang layak dihebohkan lagi saat ini.
Kisah Bob dan Alida terdapat dalam blog www.freewebs.com yang menyebut mereka menikah pada 1938 di Hilversum, Belanda. Dari perkawinan itu lahirlah Robertus Armand Iskak alias Boy (1939), Indriati Gerard Bernardina alias Indriati (1942), Elizabeth Bebasari Iskak alias Alice (1947), dan Irwan Iskak.
Di malam ketika Iswahyudi mengapeli Suwarti, segerombolan pemuda bersenjata merangsek ke rumah Iskak. Rusaklah kemesraan dua sejoli itu.
Iskak dan Iswahyudi pun diciduk gerombolan pemuda dan jadilah mereka tawanan atas nama Revolusi.
Menurut Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik dalam Memoar Hario Kecik (1995), “[Iskak] menduga bahwa ia ditangkap karena istrinya adalah wanita Belanda” (hlm. 162).
Gonjang-Ganjing Revolusi
Di masa Revolusi, sentimen anti-Belanda sedang jadi demam nasional. Benci Belanda ibarat tiket menuju surga. Tentu saja Iskak jadi pusing. Tapi Iskak bertambah pusing lagi karena tuduhan terhadapnya sangat serius: mata-mata Belanda.
Sementara itu, Iswahyudi juga dapat tuduhan yang kira-kira sama. Kepada Hario Kecik, yang kala itu perwira penting Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Surabaya, tempat Iswahyudi dan Iskak ditahan, Iswahyudi bercerita soal masa lalunya. Ia mengaku pernah terlibat dalam armada Sekutu melawan Jepang dalam Perang Dunia II.
Sebelum Jepang mendarat di Indonesia, Iswahyudi angkat kaki dari sekolah kedokteran NIAS Surabaya untuk latihan penerbangan di Vrijwilligers Vliegers Corps (Korps Penerbang Sukarela) di Kalijati, Subang. Mardanus Sofwan dalam Iswahyudi (1983) menyebut, “Iswahyudi berhasil memperoleh Klien Militarie Brevet” (hlm. 16).
Pemuda lain yang dapat brevet itu adalah Agustinus Adisutjipto dan Sambujo Hurip. Iswahyudi termasuk anggota militer yang dibawa ke Australia pada 1942 dan pada 1944 ditugaskan masuk Indonesia dengan kapal selam.
Mereka mendarat di Blitar Selatan untuk memata-matai Jepang. Apesnya, Iswahyudi tertangkap Jepang tidak lama setelah mendarat. Namun, akhirnya nasib baik berpihak padanya. Dia dibebaskan setelah jadi tawanan dan dipekerjakan di kantor Gubernur Surabaya. Setelah bebas itulah Iswahyudi bertemu Suwarti.
Waktu dalam tahahan PTKR, Iskak dan Iswahyudi bertemu Soerjoatmodjo alias Suyanto alias Soerjo, bekas tetangga Hario Kecik. Soerjo juga pernah ke Belanda. Sebagai wakil dari Nederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIVP), Soerjo bersalaman dengan Ratu Wilhelmina dan terekam dalam sebuah foto yang selalu disimpan Soerjo.
Foto itu jadi sumber malapetaka bagi Soerjo. Lumayan untuk meyakinkan para pemuda sumbu pendek zaman Revolusi bahwa Soerjo adalah mata-mata Belanda.
Orang yang sangat percaya pada foto itu sebagai dalih bahwa Soerjo adalah mata-mata, menurut Drs. Moekhardi dalam R. Mohamad Dalam Revolusi 1945 Surabaya (1993), adalah Bodin alias Mayor Sabaruddin Nasution. Dia adalah salah satu komandan PTKR Surabaya yang dikenal karena kebrutalannya di garis belakang front Surabaya (hlm. 125).
Sabaruddin sebenarnya kawan lama Soerjo waktu jadi perwira PETA, tapi Sabaruddin juga membencinya. Di asrama PETA, Sabaruddin merasa dianaktirikan Daidancho Mohammad—yang mengizinkan Soerjo untuk ikut latihan jadi chudancho (setara kapten), sementara Sabaruddin tetap syodancho (setara letnan) saja. Sabaruddin tak hanya kalah dalam urusan asrama. Dalam urusan asmara, Soerjo telah memenangkan hati Indriyati anak Bupati Sidoardjo.
Dengan keadaan macam itu, tentu saja nyawa Soerjo dalam ancaman besar.
“Saya menganggap keikutsertaan Suryo di dalam NIVP bukan pengkhianatan,” aku Hario Kecik yang terpelajar itu.
Di zaman Jepang, Soerjo adalah chudanco dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Sidoarjo. Dia bawahan dari Daidancho (setara mayor dan letnan kolonel) Mohamad Mangunprojo, ayah dari Letnan Jenderal Himawan Sutanto, yang jadi Pahlawan Nasional. Kepada tiga tahanan itu Hario Kecik mengaku kasihan dan ingin membebaskan mereka.
Suatu malam, Hario Kecik perintahkan salah satu anggota PTKR—yang kebetulan mantan murid Iskak—untuk membebaskan mereka bertiga. Atas kehendaknya, Soerjo minta langsung pergi dari sel. Kecik mengiyakan.
Sementara Iskak dan Iswahyudi tetap tinggal di ruangan Kecik. Mereka berdua disamarkan dalam seragam dan dinyatakan sebagai anggota PTKR. Untuk sementara mereka berdua sepakat untuk tidak kemana-mana.
Esoknya Soerjo tertangkap kesatuan Pemuda Republik Indonesia (PRI) di dekat Penjara Kalisosok. Soerjo pun dijemput Kecik dengan sepeda motor. Sebagai rasa terima kasih pada Kecik, Soerjo memberi tahu persembunyian senapan mesin berat. Kecik lalu berpisah dengan Soerjo.
Sorenya, Bodin mendatangi Kecik untuk mencari Soerjo, tapi Soerjo tidak ditemukan. Namun, beberapa hari setelahnya sampai kabar ke telinga Kecik. Soerjo sudah dihabisi Bodin alias Sabaruddin yang kalah dalam urusan asrama dan asmara itu.
Iskak dan Iswahyudi masih bernyawa. Mereka berdua belakangan ke Yogyakarta, yang jadi ibu kota Republik. Iswahyudi dengan pengalaman penerbangan militer masuk jawatan penerbangan udara dan Iskak jadi kapten Angkatan Laut. Sepengakuan Hoegeng Imam Santoso dalam Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (1993: 138), Iskak ikut mengurusi bagian hiburan di radio militer ALDO (Angkatan Laoet Darat Oedara).
Iskak punya bakat seni dan bisa menggubah lagu. Salah satunya "Tanah Airku". Sementara itu, hubungan Iswahyudi dengan adik Iskak terus berlanjut. Suwarti dinikahi Iswahyudi di Purbalingga, tempat tinggal orang tua Iskak dan Suwarti.
Kemampuan terbang Iswahyudi diakui hebat. Salah satunya karena sebuah kecelakaan pesawat Cureng di Maguwo. Waktu itu, seperti ditulis Mardanus Sofwan, tanggal 14 Januari 1946, Iswahyudi menerbangkan pesawat Cureng yang ditumpangi Wiriadinata. Pesawat itu sempat mengalami masalah di udara, namun mereka bisa mendarat dengan selamat berkat kelihaian Iswahyudi (hlm. 21).
Iswahyudi pernah ditugasi memimpin Pangkalan Udara Maospati, Madiun. Setelahnya dia pernah bertugas di Bukittinggi pada 1947. Tapi nahas kemudian mendatangi Iswahyudi. Ketika dirinya bersama Abdul Halim Perdanakusuma membawa pesawat Avro Anson VH-BBY RI-003 pada 14 Desember 1947, pesawat mereka dinyatakan hilang di Tanjung Hantu akibat cuaca buruk. Setelah kematiannya, Iswahyudi dijadikan nama pangkalan udara yang pernah dipimpinnya di Maospati.
Terjun ke Dunia Film
Sementara itu, Iskak, selama beberapa tahun sempat pula bekerja di Angkatan Laut dengan pangkat terakhir kapten. Dia juga merintis pasukan katak di matra tersebut.
Setelah itu ia terjun ke dunia film sebagai sutradara. Pada 1952, Iskak menjadi sutradara film Penjelundup. Film-film Iskak yang lain adalah Krisis Achlak (1953), Harimau dan Merpati (1953) dan Bawang Merah Bawang Putih (1955). Buku Apa Siapa Orang Film Indonesia, 1926-1978 (1979) mencatat, di tahun 1961 Iskak mendirikan Gaja Rama Film (hlm. 406).
Anak-anak Iskak juga terjun ke dunia film. Boy Iskak pernah main film Masih ada Hari Esok (1961) dan Indriati terkenal lewat film Tiga Dara (1957). Tak hanya anak-anaknya, cucu-cucu Iskak pun ada yang terjun dan terkenal di dunia film, yaitu Reynaldi Iskak dan Gary Iskak.
Selain beripar dengan Iswahyudi, Iskak juga berkerabat dengan perwira AU yang lain. Putrinya yang bintang film dan sarjana psikologi Universitas Indonesia, Indriati, menikah dengan perwira Angkatan Udara bernama Moh. Makki Perdanakusuma, yang berpangkat terakhir marsekal muda. Makki tak lain adalah adik kandung Halim Perdanakusuma, yang gugur bersama Iswahyudi, paman Indriati.
Suatu malam di tahun 1945, Iswahyudi mengapeli Suwarti. Dia rupanya sedang jatuh cinta kepada perempuan yang saat itu tinggal di rumah kakaknya di Tambaksari. Kakak Suwarti, Robert Maria Iskak alias Bob, dulunya pemain sepakbola dan pernah jadi guru olahraga Hollandsch Chinese School (HCS) Bubutan.
Kakak Suwarti yang serba bisa itu beristri perempuan Belanda bernama Alida van de Kuinder. Iskak alias Bob, putra dari pasangan Soemawi dan Soendari, menikahi Alida waktu bersekolah guru di Belanda. Perkawinan antarbangsa memang sudah terjadi sejak dulu dan bukan sesuatu yang layak dihebohkan lagi saat ini.
Kisah Bob dan Alida terdapat dalam blog www.freewebs.com yang menyebut mereka menikah pada 1938 di Hilversum, Belanda. Dari perkawinan itu lahirlah Robertus Armand Iskak alias Boy (1939), Indriati Gerard Bernardina alias Indriati (1942), Elizabeth Bebasari Iskak alias Alice (1947), dan Irwan Iskak.
Di malam ketika Iswahyudi mengapeli Suwarti, segerombolan pemuda bersenjata merangsek ke rumah Iskak. Rusaklah kemesraan dua sejoli itu.
Iskak dan Iswahyudi pun diciduk gerombolan pemuda dan jadilah mereka tawanan atas nama Revolusi.
Menurut Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik dalam Memoar Hario Kecik (1995), “[Iskak] menduga bahwa ia ditangkap karena istrinya adalah wanita Belanda” (hlm. 162).
Gonjang-Ganjing Revolusi
Di masa Revolusi, sentimen anti-Belanda sedang jadi demam nasional. Benci Belanda ibarat tiket menuju surga. Tentu saja Iskak jadi pusing. Tapi Iskak bertambah pusing lagi karena tuduhan terhadapnya sangat serius: mata-mata Belanda.
Sementara itu, Iswahyudi juga dapat tuduhan yang kira-kira sama. Kepada Hario Kecik, yang kala itu perwira penting Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Surabaya, tempat Iswahyudi dan Iskak ditahan, Iswahyudi bercerita soal masa lalunya. Ia mengaku pernah terlibat dalam armada Sekutu melawan Jepang dalam Perang Dunia II.
Sebelum Jepang mendarat di Indonesia, Iswahyudi angkat kaki dari sekolah kedokteran NIAS Surabaya untuk latihan penerbangan di Vrijwilligers Vliegers Corps (Korps Penerbang Sukarela) di Kalijati, Subang. Mardanus Sofwan dalam Iswahyudi (1983) menyebut, “Iswahyudi berhasil memperoleh Klien Militarie Brevet” (hlm. 16).
Pemuda lain yang dapat brevet itu adalah Agustinus Adisutjipto dan Sambujo Hurip. Iswahyudi termasuk anggota militer yang dibawa ke Australia pada 1942 dan pada 1944 ditugaskan masuk Indonesia dengan kapal selam.
Mereka mendarat di Blitar Selatan untuk memata-matai Jepang. Apesnya, Iswahyudi tertangkap Jepang tidak lama setelah mendarat. Namun, akhirnya nasib baik berpihak padanya. Dia dibebaskan setelah jadi tawanan dan dipekerjakan di kantor Gubernur Surabaya. Setelah bebas itulah Iswahyudi bertemu Suwarti.
Waktu dalam tahahan PTKR, Iskak dan Iswahyudi bertemu Soerjoatmodjo alias Suyanto alias Soerjo, bekas tetangga Hario Kecik. Soerjo juga pernah ke Belanda. Sebagai wakil dari Nederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIVP), Soerjo bersalaman dengan Ratu Wilhelmina dan terekam dalam sebuah foto yang selalu disimpan Soerjo.
Foto itu jadi sumber malapetaka bagi Soerjo. Lumayan untuk meyakinkan para pemuda sumbu pendek zaman Revolusi bahwa Soerjo adalah mata-mata Belanda.
Orang yang sangat percaya pada foto itu sebagai dalih bahwa Soerjo adalah mata-mata, menurut Drs. Moekhardi dalam R. Mohamad Dalam Revolusi 1945 Surabaya (1993), adalah Bodin alias Mayor Sabaruddin Nasution. Dia adalah salah satu komandan PTKR Surabaya yang dikenal karena kebrutalannya di garis belakang front Surabaya (hlm. 125).
Sabaruddin sebenarnya kawan lama Soerjo waktu jadi perwira PETA, tapi Sabaruddin juga membencinya. Di asrama PETA, Sabaruddin merasa dianaktirikan Daidancho Mohammad—yang mengizinkan Soerjo untuk ikut latihan jadi chudancho (setara kapten), sementara Sabaruddin tetap syodancho (setara letnan) saja. Sabaruddin tak hanya kalah dalam urusan asrama. Dalam urusan asmara, Soerjo telah memenangkan hati Indriyati anak Bupati Sidoardjo.
Dengan keadaan macam itu, tentu saja nyawa Soerjo dalam ancaman besar.
“Saya menganggap keikutsertaan Suryo di dalam NIVP bukan pengkhianatan,” aku Hario Kecik yang terpelajar itu.
Di zaman Jepang, Soerjo adalah chudanco dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Sidoarjo. Dia bawahan dari Daidancho (setara mayor dan letnan kolonel) Mohamad Mangunprojo, ayah dari Letnan Jenderal Himawan Sutanto, yang jadi Pahlawan Nasional. Kepada tiga tahanan itu Hario Kecik mengaku kasihan dan ingin membebaskan mereka.
Suatu malam, Hario Kecik perintahkan salah satu anggota PTKR—yang kebetulan mantan murid Iskak—untuk membebaskan mereka bertiga. Atas kehendaknya, Soerjo minta langsung pergi dari sel. Kecik mengiyakan.
Sementara Iskak dan Iswahyudi tetap tinggal di ruangan Kecik. Mereka berdua disamarkan dalam seragam dan dinyatakan sebagai anggota PTKR. Untuk sementara mereka berdua sepakat untuk tidak kemana-mana.
Esoknya Soerjo tertangkap kesatuan Pemuda Republik Indonesia (PRI) di dekat Penjara Kalisosok. Soerjo pun dijemput Kecik dengan sepeda motor. Sebagai rasa terima kasih pada Kecik, Soerjo memberi tahu persembunyian senapan mesin berat. Kecik lalu berpisah dengan Soerjo.
Sorenya, Bodin mendatangi Kecik untuk mencari Soerjo, tapi Soerjo tidak ditemukan. Namun, beberapa hari setelahnya sampai kabar ke telinga Kecik. Soerjo sudah dihabisi Bodin alias Sabaruddin yang kalah dalam urusan asrama dan asmara itu.
Iskak dan Iswahyudi masih bernyawa. Mereka berdua belakangan ke Yogyakarta, yang jadi ibu kota Republik. Iswahyudi dengan pengalaman penerbangan militer masuk jawatan penerbangan udara dan Iskak jadi kapten Angkatan Laut. Sepengakuan Hoegeng Imam Santoso dalam Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (1993: 138), Iskak ikut mengurusi bagian hiburan di radio militer ALDO (Angkatan Laoet Darat Oedara).
Iskak punya bakat seni dan bisa menggubah lagu. Salah satunya "Tanah Airku". Sementara itu, hubungan Iswahyudi dengan adik Iskak terus berlanjut. Suwarti dinikahi Iswahyudi di Purbalingga, tempat tinggal orang tua Iskak dan Suwarti.
Kemampuan terbang Iswahyudi diakui hebat. Salah satunya karena sebuah kecelakaan pesawat Cureng di Maguwo. Waktu itu, seperti ditulis Mardanus Sofwan, tanggal 14 Januari 1946, Iswahyudi menerbangkan pesawat Cureng yang ditumpangi Wiriadinata. Pesawat itu sempat mengalami masalah di udara, namun mereka bisa mendarat dengan selamat berkat kelihaian Iswahyudi (hlm. 21).
Iswahyudi pernah ditugasi memimpin Pangkalan Udara Maospati, Madiun. Setelahnya dia pernah bertugas di Bukittinggi pada 1947. Tapi nahas kemudian mendatangi Iswahyudi. Ketika dirinya bersama Abdul Halim Perdanakusuma membawa pesawat Avro Anson VH-BBY RI-003 pada 14 Desember 1947, pesawat mereka dinyatakan hilang di Tanjung Hantu akibat cuaca buruk. Setelah kematiannya, Iswahyudi dijadikan nama pangkalan udara yang pernah dipimpinnya di Maospati.
Terjun ke Dunia Film
Sementara itu, Iskak, selama beberapa tahun sempat pula bekerja di Angkatan Laut dengan pangkat terakhir kapten. Dia juga merintis pasukan katak di matra tersebut.
Setelah itu ia terjun ke dunia film sebagai sutradara. Pada 1952, Iskak menjadi sutradara film Penjelundup. Film-film Iskak yang lain adalah Krisis Achlak (1953), Harimau dan Merpati (1953) dan Bawang Merah Bawang Putih (1955). Buku Apa Siapa Orang Film Indonesia, 1926-1978 (1979) mencatat, di tahun 1961 Iskak mendirikan Gaja Rama Film (hlm. 406).
Anak-anak Iskak juga terjun ke dunia film. Boy Iskak pernah main film Masih ada Hari Esok (1961) dan Indriati terkenal lewat film Tiga Dara (1957). Tak hanya anak-anaknya, cucu-cucu Iskak pun ada yang terjun dan terkenal di dunia film, yaitu Reynaldi Iskak dan Gary Iskak.
Selain beripar dengan Iswahyudi, Iskak juga berkerabat dengan perwira AU yang lain. Putrinya yang bintang film dan sarjana psikologi Universitas Indonesia, Indriati, menikah dengan perwira Angkatan Udara bernama Moh. Makki Perdanakusuma, yang berpangkat terakhir marsekal muda. Makki tak lain adalah adik kandung Halim Perdanakusuma, yang gugur bersama Iswahyudi, paman Indriati.
DJANTUNG HATI | 1961 | R. ISKAK | Director | |
PELARIAN | 1973 | FRANS TOTOK ARS | Actor | |
BADAI REMAJA | 1973 | R. ISKAK | Director | |
PENJELUNDUP | 1952 | R. ISKAK | Director | |
WALANG KEKEK | 1974 | R. ISKAK | Director | |
DAUN EMAS | 1963 | R. ISKAK | Director | |
MASIH ADA HARI ESOK | 1961 | R. ISKAK | Director | |
MATAHARI HAMPIR TERBENAM | 1971 | R. ISKAK | Director | |
DJIWA KOLONIAL | 1964 | R. ISKAK | Director |