Tampilkan postingan dengan label JB KRISTANTO melihat film dulu dan sekarang.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label JB KRISTANTO melihat film dulu dan sekarang.. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Agustus 2020

JB KRISTANTO, melihat film dulu dan sekarang.

JB Kristanto, kritikus film senior dan penulis Katalog Film Indonesia 1926-2007 (1995)

Sekolah film yang resmi itu dulu, kan, cuma ada satu: IKJ (Jurusan Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta). Sekarang ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta buka jurusan media rekam. ISI Solo, saya enggak yakin betul ada apa enggak. Ini yang formal-formal. Tapi juga, seingat saya, IKJ baru mulai tahun 1970-an dan baru menghasilkan alumni 5-6 setelahnya. Itu pun tidak banyak pengaruh. Artinya, ia menyumbang tenaga, teknisi. Tapi tidak banyak berpengaruh. Sistem yang lebih besar yang berlaku pada “industri” film sejak 1930 adalah magang.

Dan juga tidak berpengaruh pada industri itu sendiri. Tidak banyak yang memberi warna baru di penyutradaran. Kalau teknisinya lain. Mereka, kan, ikut aja. DOP [Director of Photography], editor, art director, tidak terlalu berpengaruh dalam memberi warna atau memberi pemikiran.

Sampai tahun 1990-an, orang belajar bikin film lewat magang, jadi asisten sutradaranya Wim [Umboh], jadi asisten sutradaranya Sjuman [Djaja], Teguh [Karya], Arifin [C. Noer]. Saya lupa ya asisten-asistennya Wim itu ada yang jadi apa enggak. Tapi dari Wim, ada beberapa: Bobby Sandy, misalnya. Dari Teguh jelas ada Slamet [Rahardjo]. Dari Sjuman ada beberapa: ada Jasso Winarto. Ada juga yang seperti Edo [Edward Pesta Sirait] yang jadi asisten beberapa sutradra: ya Sjuman, ya Wim, dan seterusnya.

Enggak seperti Jepang. Jepang itu kalau kamu sudah ikut satu sutradara, kamu akan ikut terus. Misalnya Kurosawa, sampai kamu jadi sutradara, ya kamu akan terus ikut Kurosawa. Di sini enggak seketat itu. Sjuman, kan, ganti-ganti asisten. Dia enggak punya grup. Tapi kalau Teguh Karya, dia punya sanggar: Nano [Riantiarno], Slamet Rahardjo, George Kamarullah. Jadi sistemnya seperti itu. Lalu pernah di KFT (Karyawan Film dan Televisi) dibikin semacam seleksi. Asisten yang mau jadi sutradara harus memenuhi syarat. Misalnya lima kali jadi asisten. Kalau mereka mau jadi sutradara, mereka harus bilang ke KFT: “Gue mau jadi sutradara, nih.” Lalu diuji oleh KFT. Salah satu ujiannya, tiga film yang pernah dia asisteni diputar, terus dia ditanya-tanya. Kalau boleh ya boleh. Kalau enggak ya enggak.

Ada periodenya. Tahun 1980-an kalau enggak salah. Nah, sampai tahun 1990-an, saya tidak melihat ada sumbangan dari IKJ. Lalu tiba-tiba muncul Garin (Nugroho). Garin ini kayak jadi pembatas, antara angkatan di bawahnya dan angkatan sesudahnya.

Garin enggak pernah magang. Sebelum dia bikin film cerita, dia bikin film dokumenter, bikin film pendek. Sejak awal sudah sutradara. Makanya dia jadi pembatas betul. Garin itu juga memberi warna. Bukan hanya karena sekolahnya, tapi karena orangnya, sih. Kan selalu ada yang kayak gitu. Bukan karena sistem. Setelah Garin, muncul generasi yang pernah saya tulis secara pendek: generasi yang enggak ada hubungannya lagi dengan angkatan sebelumnya. Generasi 2000, yang kira-kira mulai berkarya tahun 1995. Tradisi mereka sama sekali lepas dari angkatan sebelumnya.

Nah, kalau kembali ke soal pendidikan tadi, maka orang-orang setelah generasi Garin, seperti Mira dan Riri [Riza] juga jadi pembatas. Setelah Garin ada Riri dan Mira. Di luar mereka ini, ternyata banyak lagi yang sekolah di luar negeri. Mereka sekolah sekitar pertengahan 90-an dan generasi ini bener-bener putus dari generasi sebelumnya. Dari IKJ sekarang hampir kita enggak dengar, ya. Tapi teknisi tetap dari situ: DOP, editor, sound. Tapi sutradara enggak.

Tapi maksud saya begini: Pergaulan antara orang film dan orang sastra juga enggak ada. Padahal dari sejak zaman Usmar [Ismail, 1921-1971], sejak zaman Nyak Abbas Acup [1932-1991], sejak zaman Sjuman [1934-1985], dua komunitas itu akrab. Nyak Abbas itu nongkrongnya di TIM. Sjuman memang sastrawan juga sebelum jadi orang film. Dia termasuk seniman Senen. Misbach [Yusan Biran, 1933-2012]… Asrul [Sani, 1927-2004]… Ini kan orang-orang Perfini semua. Dikumpulin sama Usmar. Generasi yang paling baru ini kayaknya sudah lepas dari sastra dan teater. Bagaimanapun sastra dan teater itu, bukan hanya harus difilmkan, tapi kamu juga bisa menimba estetikanya. Kalau kamu akrab dengan itu, itu akan berpengaruh dalam diri kamu. Itu yang saya maksud. Saya enggak yakin generasi filmmaker sekarang juga baca. Karena kalau baca, kok, enggak ada baunya, ya? Tapi secara pergaulan juga enggak. Garin orang terakhir yang pergaulannya masih luas. Dia ambil tradisi tari ke film, dia bergaul dengan filsuf-filsuf Indonesia. Tapi di luar Garin, kan, enggak ada. Kita boleh enggak suka dengan film Garin. Saya juga belum tentu suka semua film Garin. Tapi, kan, kelihatan ada pemikiran dan apa yang ada di balik filmnya.

Betul. Jadi televisi itu bersisian dengan film. Tahun 1988 stasiun tivi swasta lahir. Waktu itu masih pakai dekoder. Terus tahun 1993, SCTV, TPI, dan seterusnya muncul bareng. Ini yang bikin orang-orang film pindah. Terus ada juga jaringan bioskop XXI, yang kalau enggak salah berdiri tahun 1986, tapi mulai mencengkeram kuat tahun 1990-an. Bersamaan dengan itu pada 1991, 1992, produksi film drop dan membuat orang-orang film pindah ke televisi. Pada waktu yang sama, XXI mulai mencengkeram. Ia mulai dengan monopoli distribusi film impor. Dengan monopoli itu ia bisa mendikte: “Lu mau ikut gue apa enggak?” Lama-lama bioskop-bioskop daerah mulai rontok. Apalagi di XXI, ada kualifikasi tertentu, kursinya harus kayak gini, layarnya harus kayak gini, dan seterusnya. Sehingga bioskop-bioskop di kota kabupaten (Dati II), yang tidak bisa memenuhi syarat-syarat itu, gulung tikar. Padahal di situlah wilayah pasarnya film Indonesia. Jadi itu semua saling pengaruh. Lucunya, sekarang ini semuanya jadi terbalik. Orang-orang yang lari ke tivi sekarang balik ke film. Sebabnya, orang-orang di televisi bikin in-house production sendiri. Multivision, MD, Starvision dulu raja sinetron. Sekarang malah mereka yang menguasai film. Karena mereka sudah enggak punya ladang lagi di televisi. RCTI dan SCTV, misalnya, bikin anak perusahaan yang mensuplai sinetronnya sendiri. Ini yang menurut saya menarik. Karena waktu mereka jadi supplier televisi, mereka dipaksa menjadi industri, frame of thingking-nya, sistem kerjanya. Penulis skenario dikontrak untuk sekian tahun, sekian judul. Supaya produksinya secure. Kalau enggak, nanti di tengah jalan sinetronnya bubar. Keterbiasaan mereka dengan industri sekarang diterapkan ke film. Tadinya film itu kayak industri rumahan. Setahun produksi 1, 2, atau 3 film. Sekarang, Starvision bisa (produksi) sepuluh film per tahun. Jadi meskipun pelopor kembalinya film indonesia itu Mira [Lesmana], tapi yang berjaya ya bukan Mira.

Karena dipaksa. Dan mereka enggak tahu pilihan lainnya. Tahunya cara begini yang bener. Kalau saya lihat data-data penonton, Parwez (Chand Parwez Servia, pemilik Stravision) yang paling produktif, setahun bisa delapan atau sepuluh, kadang-kadang 100 ribu, 200 ribu penonton, tapi tiba-tiba Cek Toko Sebelah dapat 2,5 juta penonton. Nah, itu berarti jackpot-nya dapet. Resepnya Parwez begini: Asal lu produksi kontinyu, lu enggak rugi secara keseluruhan. Jangan lihat judul per judul. Karena kalau dapat 200 ribu penonton, paling cuma dapat Rp3 milyar. Tapi kalau pun dia dapat tiga milyar dari tiket di bioskop, dengan 200 ribu penonton, dia masih punya hak jual untuk stasiun televisi. Itu sekitar satu milyar.