Kisah
salah seorang pahlawan kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Wolter
Monginsidi (Roy Marten) dilukiskan sebagai pemuda yang flamboyan, berani
terkadang nekat, agak emosional. Ia dan pasukannya selalu mengganggu
Belanda, dan diburu-buru, sampai akhirnya tertangkap. Ayahnya meminta ia
menandatangani permohonan grasi, padahal itu salah satu tipu muslihat
Belanda. Ia mati dihukum tembak.
Robert
Wolter Mongisidi (bukan Monginsidi-red) adalah pemuda Minahasa dari
suku Bantik yang ikut mengelorakan perlawanan terhadap penjajah Belanda
pada waktu itu. Belanda menghukumnya dengan tembak mati di usianya yang
sangat muda, 24 tahun pada tahun 1949.
Setiap tahunnya,
warga Suku Bantik yang tersebar di 11 pemukiman di Manado merayakan
Festival Seni Budaya Bantik yang puncaknya jatuh pada 5 September yang
merupakan hari di mana Mongisidi dihukum mati.
film
yang diproduksi pada tahun 1982 itu. "Tapak-tapak Kaki Wolter
Monginsidi" adalah film yang menceritakan kisah perjuangan pahlawan
nasional asal Sulawesi Utara tersebut.
"Wolter Mongisidi merupakan tokoh yang luar biasa dan patut menjadi teladan.
Wolter
Mongisidi menjadi merupakan salah satu tokoh penting yang sangat
disanjung oleh warga Suku Bantik, Ketika jenasah Mongisidi diambil oleh
keluarganya, dari balik Alkitab yang diapitnya ketika ditembak, terselip
sebuah kertas yang bertulis tangan, "Setia Hingga Akhir dalam
Keyakinan". Kini kalimat itu menjadi kalimat heroik warga Bantik.
Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Meski dilahirkan di Malala yang sekarang bagian dari Kota Manado Sulawesi Utara, namun ia memulai perjuangannya melawan penjajah Belanda di Makassar.
Anak dari pasangan Petrus Mongisidi dan Lina Suawa ini memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Mongisidi lalu dididik sebagai guru bahasa Jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Mongisidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Mongisidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.
Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Meski dilahirkan di Malala yang sekarang bagian dari Kota Manado Sulawesi Utara, namun ia memulai perjuangannya melawan penjajah Belanda di Makassar.
Anak dari pasangan Petrus Mongisidi dan Lina Suawa ini memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Mongisidi lalu dididik sebagai guru bahasa Jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Mongisidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Mongisidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Mongisidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan dan menyarang posisi Belanda.
Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Mongisidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Monginsidi meninggal di Pacinang pada usia yang terbilang masih muda, yakni 24 tahun.
Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950. Pemerintah Indonesia kemudian memberinya penghargaan Pahlawan Nasional yang diwakilkan kepada ayahnya, Petrus yang sat itu berusia 80 tahun.
Nama Monginsidi saat ini diabadikan sebagai nama jalan dan sebuah sekolah dasar di Makassar. Namanya juga diabadikan sebagai nama bandara di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara dan salah satu kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi serta nama kesatuan Yonif 720/Wolter Monginsidi.
Nama Monginsidi kembali santer setelah pemerintah memproduksi sebuah film berjudul “Tapak Tapak Kaki Wolter Monginsidi” pada tahun 1982 yang dibintangi Roy Marten