Gonjang-ganjing Perfilman Indonesia Siapa penerima Piala Citra FFI (Festival Film
Indonesia) paling banyak? Rekor Idris
Sardi (10 Piala Citra dari 19 nominasi dalam 20 FFI, 1973-1992) baru saja dipecahkan oleh Jero Wacik.
Menbudpar alias Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata itu kemarin menerima sekaligus 30 Piala Citra (2004-2006) dari para pekerja film
(kebanyakan berusia muda) yang menyebut
diri MFI (Masyarakat Film Indonesia).
Pengembalian lambang
supremasi tertinggi dalam perfilman Indonesia tersebut merupakan kelanjutan dari protes Riri Riza,
Mira Lesmana, Nia Dinata, Joko Anwar,
Hanung Bramantyo, dan seratusan pekerja film lain yang, pada 3 Januari lalu, mendeklarasikan “Surat
Pernyataan Sikap Bersama” yang ditujukan
kepada Menbudpar; Presiden RI; Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Depbudpar; Sekretaris Ditjen Nilai
Budaya, Seni, dan Film Depbudpar;
Direktur Perfilman Depbudpar; Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional; dan anggota Komisi X
DPR-RI.
Pada intinya mereka
memprotes dua hal. Pertama, penyelenggaraan FFI 2006 yang telah melahirkan Ekskul (Nayato Fio
Nuala) sebagai Film Terbaik. Dan kedua,
sistem kelembagaan perfilman Indonesia yang masih dijalankan oleh lembaga dan organisasi bentukan Deppen
(Departemen Penerangan) di masa Orde
Baru. Berkaitan dengan itu mereka menuntut Depbudpar.
Mencabut Piala Citra
Film Terbaik untuk film Ekskul karena telah melakukan pelanggaran hak cipta dalam penggunaan
ilustrasi musik.
Menghentikan segera penyelenggaraan FFI Membubarkan
lembaga-lembaga perfilman yang ada, dan membentuk lembaga-lembaga baru, secara
demokratis dan transparan Mencabut UU No. 9 Tahun 1992 tentang Perfilman dan
menggantinya dengan UU baru yang lebih mendukung kemajuan.
Membuat rancangan
yang strategis bagi perkembangan budaya dan ekonomi perfilman Indonesia dengan melibatkan para pelaku aktif
perfilman Indonesia Mengganti LSF (Lembaga Sensor Film) dengan sebuah Lembaga
Klasifikasi Film.
Apabila tuntutan
tersebut tidak dipenuhi, MFI mengancam akan memboikot penyelenggaraan FFI dan melakukan perlawanan
secara terstruktur terhadap segala
aktivitas yang mengatasnamakan “Perfilman Indonesia”. Pengembalian Piala Citra itu sendiri
merupakan tanda keseriusan mereka
terhadap tuntutan-tuntutannya.
Sejatinya, tuntutan
membatalkan kemenangan Ekskul sebagai Film Terbaik FFI 2006 cuma entry point buat masuk ke tuntutan yang
lebih hakiki: mereformasi politik
perfilman nasional warisan Orde Baru. Namun banyak pihak yang tidak setuju dengan cara itu, termasuk Garin
Nugroho dan kawan-kawan dalam
kelompoknya. “Ekskul dan Nayato tidak punya salah apa-apa,” bela Garin.
Menurut saya, wacana
“kemenangan Ekskul yang menggunakan musik jiplakan adalah bukti ketidakbecusan Dewan Juri dan Panitia
Penyelenggara FFI” memang terlampau jauh
dan salah alamat. Tugas Dewan Juri cuma menilai apakah musik dalam sebuah film fungsional.
Gampangnya, apakah musik itu bagus atau
tidak, cocok atau tidak, efektif atau tidak, buat membangun adegan atau cerita atau suasana. Dalam bahasa keren:
menilai teks sebagai teks
Di dalam kredit film
— juga formulir pendaftaran FFI — dengan jelas
disebutkan siapa orang yang bertanggung jawab sebagai Penata Musik
(di film Ekskul: Eric Dewantoro).
Panitia dan juri tentu saja mesti percaya,
dan tak perlu menjadi detektif segala (untuk memeriksa legalitas
setiap karya yang dinilai). Jika pun
juri mengetahui bahwa musik itu milik
orang lain, mereka tetap harus berasumsi baik bahwa si pemusik
(atau produsernya) sudah memenuhi
kewajiban hukumnya, termasuk membayar
royalti. Toh jika kemudian ada tuntutan dari pemegang hak cipta,
dan secara hukum terbukti ada
pelanggaran hak cipta, yang mesti membayar
ganti rugi atau dijebloskan ke penjara adalah pemusiknya (atau sutradara dan produsernya) — bukan Dewan Juri atau
Panitia Penyelenggara FFI.
Saya dan mungkin Anda juga belum tahu persis bagian mana
saja dari UU Perfilman UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang dituntut
untuk diperbarui, selain soal Sensor Film (Pasal 33 dan 34) serta Pembinaan
Perfilman (Pasal 36 dan 37).
Tuntutan membubarkan
LSF, misalnya, mungkin cuma relevan untuk film bioskop. Padahal, dalam UU tersebut, yang dianggap
film — dan dengan demikian diatur oleh
UU itu — meliputi segala bentuk rekaman audio-visual yang ditayangkan secara terbuka, termasuk film
televisi dan iklan. Sungguhkah 70%
penduduk Indonesia yang rutin menonton televisi menurut survei Nielsen Media Research sudah siap menerima
tayangan pornografi dan kekerasan tanpa
sensor? Sementara itu, birokrasi pembinaan perfilman, yang menjadi sasaran utama protes MFI,
detailnya diatur dalam sejumlah
Peraturan Pemerintah. Bukan di UU tersebut.
Menuruti
Peraturan-peraturan Pemerintah tersebut, saat ini pembinaan
perfilman Indonesia — termasuk
penyelenggaraan FFI — dilakukan oleh sebuah lembaga bernama Badan Pertimbangan Perfilman
Indonesia (BP2N). Nah, sumber rekruitmen
untuk BP2N berasal dari berbagai organisasi perfilman yang “resmi”, yaitu PPFI (Persatuan Produser Film
Indonesia), Gasfi (Gabungan Studio Film
Indonesia), GASI (Gabungan Subtitling Indonesia), Perfiki (Persatuan Film Keliling Indonesia), GPBSI
(Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia),
KFT (Karyawan Film dan Televisi), serta Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia). Ketua BP2N saat ini, Djoni
Syafruddin, sebagai contoh, adalah Ketua
Umum GPBSI. Adapun Adisoerya Abdi, Ketua Pelaksana FFI 2006, adalah Sekjen PPFI. Begitupun para
aktivis BP2N dan panitia FFI lainnya.
Persoalannya adalah,
orang-orang yang saat ini menguasasi organisasi-organisasi perfilman “resmi” itu — dan kemudian duduk di
BP2N serta menjadi panitia FFI — oleh
para pekerja film muda yang tergabung dalam MFI dianggap sebagai orang lama, yang bukan cuma sudah
tidak aktif dalam produksi-produksi film
mutakhir, tetapi juga dianggap tidak memahami
perkembangan zaman dan aspirasi terkini. Kalau dibalik: para pendukung MFI tidak ikut berperan dalam
organisasi-organisasi perfilman “resmi”
itu, sehingga tidak memiliki akses buat berkiprah dalam politik perfilman nasional. Ibaratnya, gimana mau
jadi anggota DPR jika ogah masuk parpol?
Yang ganjil buat
saya, MFI bermaksud mereformasi alias mengubah konstelasi politik perfilman nasional dengan meminjam
tangan pemerintah. Alih-alih mengubah
dengan tangan sendiri, mereka malah menuntut pemerintah melakukan ini dan itu. Kenapa jika tidak
percaya pemerintah (jangan lagi ikut
campur tangan seperti Deppen di masa Orde Baru) malah meminta tolong pemerintah untuk mewujudkan
aspirasinya? Lepas dari itu, menurut
saya sangat keterlaluan jika pemerintah, yang seharusnya cuma
menjadi regulator dan berdiri di atas
semua kepentingan, mau “dipinjam
tangannya”.
Para pendukung MFI
sendiri kelihatan enggan — atau memang tidak bisa? — melakukan kerja politik. Yang mereka lakukan
(mengembalikan Piala Citra, memboikot
FFI, dan sebagainya) sama nilainya dengan sekadar demonstrasi. Dengan kata lain, mereka mau
mengubah dunia cuma dengan berdemo.
Saya yakin akan lebih
legitimate sekaligus terhormat jika para pekerja film yang tergabung dalam MFI mau melakukan kerja
politik buat merebut kekuasan dari para
“dinosaurus” yang kini menguasai BP2N dan kepanitiaan FFI.
Yang paling mudah
adalah ramai-ramai masuk ke dalam organisasi-organisasi perfilman “resmi” itu, lantas merebut
kekuasan secara legal dan elegan. Mira
Lesmana, Shanty Harmayn, dan Nia Dinata jadi pengurus PPFI. Riri Riza, Joko Anwar, Hanung Bramantyo, Yudi
Datau, dan lain-lain berkuasa di KFT.
Tora Sudiro, Nicholas Saputra, dan Dian Sastro aktif dalam kepengurusan Parfi. Dengan begitu, mereka bisa
mudah menguasai BP2N dan kepanitiaan
FFI. Mira Lesmana jadi Ketua BP2N, Shanty Harmayn jadi Ketua Pelaksana FFI, Riri Riza dan para pendukung
MFI lain menjadi Dewan Juri FFI.
Dijamin, film Ekskul dan Nayato Fio Nuala sampai kiamat tak bakal bisa mendapat Piala Citra lagi, karena
pemenang FFI selalu diborong film-film
para pendukung MFI. Hahaha….
Jika sudah terlanjur
alergi (atau mungkin tak mampu merebut kepercayaan anggota lama yang masih menguasai)
organisasi-organisasi perfilman “resmi”
itu, mereka bisa mendirikan organisasi-organisasi baru, lantas mendesak pemerintah untuk mengakuinya.
Presedennya ada: AJI (Aliansi Jurnalis
Independen) kini telah diakui sebagai stakeholder Dewan Pers, sejajar dengan PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) bentukan Orde Baru.
Berbarengan dengan
itu, mereka sudah harus mulai menyusun draft UU Perfilman baru yang menurut mereka ideal — berikut berbagai
rancangan pelaksanaannya — untuk segera
diserahkan kepada DPR dan pemerintah. Lantas melakukan berbagai lobi politik — bukan berdemo terus
:-) — buat memuluskan dan mempercepat
pengesahannya.
Eloknya memang semua
komponen perfilman — yang lama maupun baru, yang tua maupun muda — tetap duduk bersama mengurusi
perfilman Indonesia. Tak perlu ada pihak
yang merasa lebih penting dan berhak, apalagi sampai saling mengancam. Jika para pekerja film muda
itu benar-benar memboikot FFI, apakah
mereka sudah siap jika ada komponen lain yang melakukan hal serupa, misalnya GPBSI memboikot pemutaran
film-film pendukung MFI di semua
bioskop?
Duh. Saya kok jadi
semakin yakin, warisan terburuk Orde Baru sebetulnya bukanlah kesanggupan mereka mengerdilkan
kehidupan politik di negeri ini, tetapi
justru keberhasilannya menciptakan generasi baru bangsa yang apolitis: naif dan mau serba instan. Kepingin
apa-apa tinggal menadahkan tangan pada
pemerintah. Dan satu-satunya cara berpolitik yang dikenal cuma berdemo, alias unjuk rasa
sembari mengancam….