27 November 1971
Perkara tenaga asing
MULANJA adalah dews-desus mengenai masuk-nja tenaga asing Hongkong kedalam proses pembuatan film Indonesia. Ketika makin santer, desk film TEMPO merasa perlu untuk mentjeknja. Ternjata memang benar. Kepada Herry Komar, Humas Ina Film jang bernama Darsono mengakui bahwa film jang dibuat oleh perusahaannja memang mendatangkan 2 orang jang di anggap sebagai ahli camera trick. Chan Yuen Chung dun Ho Huk Wai, demikian nama orang-orang asing itu menurut Darsono telah mendapatkan izin bekerdja dari Departemen Tenaga Kerdja, "serta masuk dengan sepengetahuan Direktorat Film. Tapi Gunardi Reksoprawiro, jang mengepalai kantor Dinas Penggunaan Tenaga Asing, merasa tidak pernah memberikan idjin kepada orang asing untuk bekerdja dibidang perfilman. Meskipun tumpukan surat idjin kerdja dibongkar semuanja oleh Gunardi, namun sampai scat Herry Komar menunggalkan kantor tersebut, sepotong nama dari kedua orang asing itupun tidak ditemukan disana. Dan itu berarti bahwa telah terdjadi pelanggaran terhadap pasal 2 ajat 1 Undang-Undang no. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing. Hongkong. Keterangan Humas Ina Film tidak seluruhnja salah, sebab Hadji Djohardin memang pernah diberitahu oleh produser jang memasukkan kedua tenaga asing tersebut.
Kata Darsono, H. Ujohardin mengatakan bahwa hal itu tidak menjimpang dari prinsip mengambil manfaat dari keahlian orang-orang asing. Djohardin tidak mendjelaskan lebih djauh, apa kah keahlian kedua prang Hongkong itu memang tidak dipunjai oleh orangorang film di Djakarta.
Tapi menurut Wahju Sihombing, soalnja bukan karena Indonesia tidak punja orang, melainkan karena' Direktorat Film tidak pernah tahu djumlah sutradara jang ada serta kemampuan mereka masing-masing. "Saja tidak keberatan orang asing itu bekerdja disini selama mereka memang kita perlukan", kata sutradara dun dosen Akademi Cinematografi LPKD itu. "Soalnja sekarang ini apa betul film-film kita sudah demikian madjunja hingga tidak bisa lagi dikerdjakan oleh tenaga-tenaga jang ada", landjutnja. Bagi Sihombing masalahnja adalah peralatan. "Kalau peralatan tjukup, di PFN dan Perfini tjukup banjak tenaga-tenaga jang raja jakin tidak kalah dengan orang-orang Hongkong". Sutradara Liliek Sudjio nampaknja sependapat dengan Sihombing. "Tidak betul kalau dikatakan bahwa kita tidak bisa menghandel alat-alat matjam jang dipunjai Ina Film. Soanja mereka itu tidak mau kontak dengan karjawan film. kita, dun tiba-tiba sadja mendatangkan orang Hongkong", kata Liliek. Dan bertjeritalah sutradara itu mengenai tenaga-tenaga Indonesia fang tidak dipakai, sementara mereka mempunjai tjukup keahlian.
Konon di PFN ada orang jang bernama Subandi mendapat pendidikan di Amerika Serikat dun bisa melajani alat film mutachir apa sadja: "Tapi Direktorat Film tidak tahu situasi lapangannja sendiri", kata Liliek pula. Sjamsu Sugito. Njonja Maria Ulfah Subadio sama sekah tidak sependapat dengan Djohardin. Bekas ketua Badan Sensor Film jang sekarang ini mendjadi ketua Dewan Film - sambil mengingat-ingat, berbitjara lambat untuk kemudian makin tjepat berkata kepada Salim Said, "Kedjadian matjam itu djuga pernah terdjadi dulu. Dan saja selalu menentang masuknja tenaga asing dibidang perfilman".
Sambil memperbaiki letak katjamatanja, Njonja Subadio melandjutkan lagi: "Tidak bisa, "tidak baik membiarkan lapangan kerdja karjawan-karjawan film kita djadi tempat tjari makan orang asing". Dan Sjamsu Sugito, Direktur Djenderal Radio, TV dun Film tjukup terkedjut mendengar berita itu. Ini Dirdjen lebih terkedjut lagi ketika mengetahui bahwa kedua tenaga using tersebut ternjata tidak hanja mendjadi pengawas camera trick, melainkan djuga ikut menjutradarai. Adalah Humas Ina Film sendiri jang mengakui bahwa film Pendekar Sumur Tudjuh jang dibikin diperUsaliaannja bakal mendjadi hebat sebab pembuatannja ditangani Chan Yuen Chung sendiri, meskipun tentu sutradara Rempo Urip selalu djuga hadir disetiap shooting. Sambil membuka katjamatanja, Sujadi jang mengurusi Persatuan Karyawan Film dan TV indonesia berkata Kepaaa Herry Komar dikantor PFN: "Nantinja semua produser jang bermaksud memakai tenaga asing harus bisa membuktikan bahwa tenaga matjam itu masih belum ada di Indonesia".
Sambil menundjuk surat edaran organisasinja kepada semua karjawan film, Sujadi menjebul adanja persetndjuan antara Direktorai Film dan Persatuan Karjawan Film jang mengatur masuknja tenaga asing dibidang perfilman.
"Mendjadi persjaratan nanti bahwa tenaga asing harus mendapatkan rekomendasi dari organisasi karjawan sebelum bekerdja disini", katanja. Dan ketentuan bersama dang dikatakan oleh sekretaris Persatuan Karjawan itu kabarnja memang telah diumumkan oleh Direktorat Film pada tanggal 1 Nopember jang lalu. Sihombing. Adakah soalnja akan mendjadi beres dengan Pengumuman 1 Nopember itu? Masih harus dilihat tentu. Tapi nampa Wahju Sihombing tidak terlalu optimis. "Selama Direktorat Film" masih begitu-begitu sadja, selama itu pula kekisruhan setiap saat bisa terdjadi", katanja. Sihombing kemudian bertanja, "Kenapa selalu harus terantuk dulu sebelum tiba pada suatu keputusan?" Dengan bersemangat ia mendjawab sendiri pertanjaannja: "Karena Direktorat Film bekerdja tidak dengan kdnsep jang baik. Karena prang-prang sana tidak tahu soal film. Dan ini sudah berkali-kali kita peringatkan kepada Djohardin". Sjahdan menurut Sihombing jang pernah duduk dalam Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), kalau sadja Djohardin mau membatja berkas-berkas saran DPFN, kantornja tidak serepot sekarang.