STEVE LIEM
Pernah ketemu dengan dia di tahun 1993, maklum sebagai mahasiswa film di Ikj, kita ditugaskan membuat karya tulis wawancara dengan sutradara. Kesan saya saat itu adalah dia sangat misterius orangnya, yang paling ingat adalah merokoknya sangat kuat. Bahkan abu rokok yang panjang itu pun dia tidak buang, tertapi dia biarkan saja jatuh begitu saja. Dan juga bicaranya yang sangat sulit di cerna waktu itu, karena dia selalu memakai istilah dalam bicara, terlalu filosofi sehingga saya yang baru di semester 1 tidak dapat mencerna bicaranya. Tetapi ada beberapa bicaranya yang saya ingat dan saya mengerti maknanya ketika beberapa tahun kemudian setelah saya mendapatkan banyak pelajaran dari kampus. Dan yang paling ingat dia adalah kesendiriannya di rumah itu. Mungkin inilah sutradara yang sudah tidak produktif lagi, tetapi masih memiliki keinginan dan terus berfikir.
Terlahir dengan nama Liem Tjoan Hok, di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937, Teguh Karya yang oleh rekan terdekatnya akrab dipanggil Om Steve, adalah sutradara film pelanggan piala citra. Dia layak disebut suhu teater Indonesia yang banyak melahirkan sineas-sineas terkemuka. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman.
Beberapa aktor-aktris film Indonesia yang layak disebut sebagai bentukan Teguh, sebab mereka menjadi berjaya dan populer setelah membintangi film-film Teguh Karya, antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Rae Sahetapi, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon (Alm), George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Ninik L. Karim, dan Ayu Azhari.
Setali tiga uang, Teguh pun seakan menjadi abadi sebagai sutradara terbaik spesialis peraih Piala Citra, untuk setiap karya-karya film terbarunya. Dan bersamaan itu, film yang disutradarainya, sering pula terpilih menjadi film terbaik yang dianugerahi Piala Citra.
Sejumlah judul film karya Teguh yang berhasil mengangkat nama sutradara dan pemain bintangnya, diantaranya, Wajah Seorang Laki-Laki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan Semusim (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1983), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1986).
Film pertama karya Teguh di tahun 1968 adalah film untuk anak-anak. Film serius konsumsi dewasa untuk pertama kali dihasilkannya pada tahun 1971, dan langsung menyabet beberapa penghargaan untuk kategori akting maupun penyutradaraan terbaik.
Karir dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik penulisan skenario film-film semi dokumenter, pada Perusahaan Film Negara (kini PPFN). Saat itu, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1968-1972 ini antara lain berkesempatan bekerja pada sutradara D. Djajakusuma, Nya Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim Umboh, dan Asrul Sani, baik itu sebagai penata artistik, pemain, atau asisten sutradara.
Ketika film layar lebar bermedium pita seluloid meredup sementara waktu di awal tahun 1990-an, untuk digantikan layar kaca yang marak muncul dengan kehadiran stasiun teve baru, Teguh pun sempat mengubah medium seninya. Ia berkesempatan menghasilkan karya film sinema elektronik (sinetron) untuk televisi, seperti Pulang (1987), Arak-Arakan (1992), dan Pakaian dan Kepalsuan (1994).
Ia pertama-tama melakoni seni sebagai pemain drama, antara tahun 1957 hingga 1961. Teguh, yang waktu itu masih menggunakan nama lahir Steve Liem Tjoan Hok, sudah sering tampil di panggung dalam pementasan-pementasan yang diadakan oleh ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).
Lalu, secara akademis Teguh Karya menyelesaikan pendidikan seni di berbagai perguruan tinggi. Seperti, di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta (tahun 1954-1955), Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI, 1957-1961), kemudian ke luar negeri East West Center Honolulu, Hawai (1962-1963) untuk belajar akting atau art directing. Kemampuan akademis itu kemudian dipadukan dengan pergaulannya yang intens dengan beberapa tokoh teater dan sutradara film legendarias, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang banyak mempengaruhi proses berkeseniannya. Teguh turut aktif membidani kelahiran Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, di tahun 1962.
Sejak tahun 1968, ia mendirikan Teater Populer, yang hingga akhir hayat adalah kebanggaan sekaligus ‘kenderaan’ seni yang tetap difungsikan. Ia mendirikan sanggar seninya di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang juga rumah kediamannya. Rumah ini disulap menjadi sanggar kreatif para seniman terkemuka di Tanah Air. Melalui Teater Populer, Teguh yang masih menggunakan nama Steve Liem, berkesempatan membentuk dan melahirkan banyak aktor serta aktris kenamaan.
Dari Teater Populer, banyak sineas baru mengikuti jejak Teguh untuk serius menapaki karir di industri perfilman. Tak heran jika Teguh dijuluki pula sebagai ‘Suhu Teater Indonesia’. Di antara pementasan Teater Populer yang mendapat sambutan meriah, adalah Jayaprana, Pernikahan Darah (1971), Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973), dan Perempuan Pilihan Dewa (1974). Banyak kritikus seni menilai, beberapa lakon panggung yang disutradarai Teguh Karya berhasil mencapai puncak eksplorasi.
Walau lahir dengan nama Liem Tjoan Hok, Teguh lebih merasa sebagai orang Banten. Ia memiliki seorang nenek kelahiran Bekasi, namanya Saodah, serta seorang sahabat Mang Dulapa, sais delman yang rutin membawa Teguh pulang pergi ketika masih duduk di bangku SD Pandeglang.
Memasuki bangku SMP, Teguh pindah ke Jakarta, menumpang di rumah Engku Dek pamannya. Anak pertama dari lima bersaudara pedagang kelontong ini kemudian mewarisi kegemaran membaca dari sang paman. Teguh boleh mendapat nilai jelek untuk aljabar dan ilmu ukur, namun untuk pelajaran sejarah, menggambar, dan bahasa ia selalu unggul.
Sepulang dari studi art directing di Hawai, Teguh bekerja sebagai manajer panggung di Hotel Indonesia. Karena itu, Teater Populer yang Teguh lahirkan tahun 1968 dimaksudkan pula untuk mengisi acara-acara di Hotel Indonesia. Jadilah teater pengusung aliran realisme ini, awalnya lebih dikenal sebagai Teater Populer Hotel Indonesia. Pemain pendukungnya sebagian besar adalah mahasiswa ATNI serta para penggiat teater independen.
Identitas kelahiran Teater Popuper, salah satunya, bersemangat menggali sisi keaktoran (kesenimanan) seseorang, untuk kemudian diekspresikan sebagai medium perwujudan sebuah pencapaian artistik tertentu. Teater Populer terlihat sangat ‘akademis’ mengungkapkan gagasan-gagasan teatrikal di atas panggung. Suguhan yang formal-akademis itu untuk mengejawantahkan teori-teori realisme, yang pembawaannya dimulai oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an. Realisme itulah yang berhasil diserap Teguh saat kuliah di ATNI tahun 1957-1961.
Tentang pilihan hidupnya untuk tak menikah, Anggota Dewan Film Nasional (DFN) penerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1969), ini menyebutkan, karena di dalam dirinya ada ‘kamar-kamar’ untuk kreativitas, sahabat, negeri, dan kamar untuk lain-lain. Bicara soal perkawinan, kata Teguh, urutan kamarnya belum tentu sama untuk setiap orang. Ia mengaku sewaktu di SMA pernah beberapa kali pacaran, tetapi sang pacar selalu saja tidak tahan karena acapkali ditinggal menghadiri ceramah dan berbagai kegiatan kesenian lainnya.
Teguh Karya, yang sepanjang hayat memilih hidup melajang, menghembuskan nafas terakhir kali di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat, pada 11 Desember 2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke menyerang otak bagian memori sejak tahun 1998. Walau hari-hari akhir dihabiskan di atas kursi roda, sesungguhnya stroke tak membuat badannya lumpuh total melainkan otak bagian memorilah yang tak lagi mampu bekerja maksimal, seperti merespon pembicaraan.
Teguh adalah pria yang selalu berpenampilan sederhana, sangat dicintai dan disayangi oleh teman-teman seprofesi, maupun para seniman lain. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman.
Sebelum meninggal dunia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, beserta istri Ny. Sinta Nuriyah, berkesempatan mengunjungi Teguh Karya, di rumah kediamannya, Kebon Kacang, Tanah Abang. Gus Dur yang pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sesuai janji datang mengunjungi sohib yang sudah lama direncanakan itu. Keduanya berbincang-bincang selama satu jam, bernostalgia.
10 Mei 1975
Lahirnya seorang sutradara
"Kita harus berontak pada produser. Jangan beri kesemptan, pada mereka untuk mendikte kita". --Teguh Karya, dalam ceramah di TIM 29 Maret 1975. *** JAUH sebelum ia mengucapkan kalimat tersebut, Teguh Karya, 37 tahun, telah menembakkan pemberontakannya ke langit film Indonesia. Sukses dengan film Cinta Pertama di tahun 1974, ia serta-merta mendapatkan tawaran dari berbagai produser. Tapi cerita yang akhirnya muncul di layar lebar adalah hasil pemberontakan sang sutradara. Kematian tetap mengakhiri film Ranjang Pengantin. Namun kematian dalam cerita itu akan tetap lebih rombengan, seandainya selera produser yang dipraktekkan Teguh. Mengikuti kehidupan perfilman sejak tahun 50-an - sebagai pemain maupun asisten sutradara--Teguh nampaknya memang orang yang pantas untuk mengobarkan sebuah "pemberontakan". Ia tahu betul sejarah film Indonesia. Dengan panjang lebar ia bisa berkisah, betapa dulu di masa itu sutradara bukan cuma didikte oleh produser yang memiliki modal, tapi juga oleh para juru kamera. Teguh yang mematangkan diri melalui teater sejak awal tahun 50-an itu melalui ASDRAFI (Yogyakarta) dan ATNI (Jakarta), menanti cukup lama untuk mulai berdiri penuh di belakang kamera. Pesangon Tentara Ketika di tahun 1972 ia memutuskan untuk melangkah ke dunia film lewat film Wajah Seorang Laki-Laki, ia bukan satu-satunya yang bertekad penuh.
Bersama dengan Teguh, sekumpulan orang juga telah siap dengan sebuah rencana baru. Mereka itu adalah seniman muda yang beberapa tahun terakhir terus-menerus bersama Teguh Karya dalam setiap kegiatan teater sang sutradara. Mereka inilah yang dulu secara teratur membina kelompok penonton teater di Hotel Indonesia, jauh sebelum Taman Ismail Maruki dibangun. Dengan menggunakan nama Teater Populer, Teguh dengan teman-temannya memang tidak berharap terlalu banyak. Mereka bertindak sebagai pembina selera penonton. Dan usaha mereka cukup berhasil, baik dalam membina penonton maupun dalam mematangkan anggota grup mereka. Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, Riantiarno, Titik Qadarsih, semuanya menemukan bentuk melalui grup ini. Bersama dengan beberapa anggota lainnya, seniman-seniman itulah yang mendampingi Teguh Karya dalam melahirkan film-filmnya. Membuat film secara bergrup seperti ini memang bukan soal lazim di Indonesia, meskipun bukan pula barang baru.
Di awal tahun lima puluhan, Usmar Ismail yang membangun Perfini, pada mulanya juga dengan cara bergrup. Dari Yogyakarta, pemuda-pemuda itu mendapatkan sejumlah uang dari pesangon mereka sebagai tentara yang diberhentikan dengan hormat. Modal yang konon jauh dari cukup itulah yang dimanfaatkan oleh almarhum Usmar Ismail, almarhum Surjosumanto, D. Djajakusuma Gayus Siagian, Soemardjono dan beberapa lainnya, untuk memulai suatu usaha film. Meskipun secara komersiil Perfini memang tidak sesukses perusahaan lainnya di masa itu, namun hanya dari Usmar dan kawan-kawanlah akhirnya lahir film-film yang betul-betul berkisah tentang manusia Indonesia dan soal-soal yang dihadapinya. "Semua itu karena kita dari semula sudah memiliki ide serta cita-cita yang sama", kata Soemardjono pada suatu kali. Dengan cita-cita serta ide yang sama, masing-masing orang memainkan peranan pada bidang yang berlainan, sembari saling isi mengisi. Kalau Gayus yang menulis skenario, Usmar yang menyutradarai, Soemardjono yang memadu gambar.
Teguh Karya yang lama menjadi murid Usmar maupun Djajakusuma, nampaknya kini memanfaatkan kembali pengalaman dari guru-gurunya. Kata Teguh Karya kepada Budiman S. Hartoyo pekan silam: "Riantiarno yang pemain, ia lebih jago menulis naskah dari saya". Karena itu Riantiarno selalu bersama Teguh menyiapkan skenario untuk film mereka. Henky Sulaiman, pemain yang juga tekun belajar penyutradaraan, oleh Teguh dianggap lebih tepat jadi produser. "Ia orang praktis", kata sang sutradara. Dan Henky sekarang memang lebih banyak sibuk mengurusi produksi. Slamet Rahardjo yang kini terkenal sebagai aktor, memenangkan piala Citra 1975 ini minggu lalu - ternyata juga punya kelebihan di bidang lain. Maka untuk produksi terbaru grup ini, Kawin Lari, Slamet bermain, tapi sekaligus juga bekerja untuk menciptakan set dekorasi. Cara kerja seperti ini tentu saja lebih praktis, efisien dan murah. Tapi lebih dari itu, team kerja macam ini lebih memungkinkan tercapainya hasil maksimal sebagai yang diinginkan oleh sang sutradara.
Malahan mungkin justru pada sistim kerja bergrup inilah harus dicari salah satu tiang penyangga keberhasilan Teguh Karya. Pengalaman Usmar Ismail dan kawan-kawan barangkali bisa membenarkan dugaan ini. Tapi kenyataan yang ada di seputar dunia film Indonesia sekarang ini barangkali juga bisa ikut diperhitungkan. Jika soalnya cuma bakat atau ketrampilan saja, tentulah Wim Umboh atau Asrul Sani harus selalu bisa membuat film lebih baik dari Teguh. Tapi kedua sutradara itu, terutama Asrul, amat terbentur pada tiadanya kelompok kerja yang tetap. Setiap membuat film bertemu lagi dengan orang baru. Dan ini tentu memerlukan penyesuaian dengan cara kerja serta selera sejumlah besar orang yang terlibat produksi. Kasusnya akan menjadi berat jika bersamaan dengan penyesuaian itu sutradara masih pula harus ikut memikirkan segala tetek bengek produksi, sebagai yang lazim terjadi pada Wim Umboh. Turino, Niko Tentu saja harus dibedakan grup macam Teguh Karya dgan para pekerja yang secara tetap bersama Turino Djunaedi. Dari semula Teguh membentuk grupnya memang dengan tumpuan artistik dan ide-ide, sedang Turino dari dulu hingga entah kapan, melihat film terutama sebagai barang dagang. Maka selain barangkali soal bakat, Turino yang terkenal mempunyai organisasi yang rapi itu nampaknya tidak bakal membuat film seperti Teguh. Tidak serapi dan seketat grup Teguh, adalah grup yang bersama Niko Pelamonia. Sutradara didikan ATNI ini juga tergolong pembuat film yang lumayan. Dalam beberapa hal, ia mempunyai latar belakang yang tidak jauh berbeda dengan Teguh.
Pernah bersama-sama ATNI, Niko ini juga mendapatkan kesenangan tersendiri dalam membuat film yang baik. Maka selain berselera cukup tinggi, ia juga mendapatkan pendidikan khusus tekhnik film di Jerman Barat. Karena itu ia mempunyai hak untuk mengeluh sembari berkata: "Pengetahuan elementer tentang film saja belum banyak diketahui oleh 91 sutradara anggota KFT". Tapi untuk sementara Niko nampaknya masih tidak sebeba Teguh dalam membuat film, sebab grup Niko berhimpun di sekitar sebuah perusahaan. Dan itu tentu saja harus secara langsung memperhitungkan soal laba-untung. Teguh yang hidup dan bergiat pada sebuah sanggar sederhana -- dibeli dari pesangon otel Indonesia dan Honorarium main di TIM bersama teman-temannya dengan bebas bisa lebih memusatkan segalanya pada soal-soal artistik. "Kami biasa menderita. Pernah tiga bulan kosong tanpa rejeki", kata Slamet Rahardjo yang pernah jadi kasir grup itu selama 4 tahun. Terlalu menekankan keberhasilan Teguh pada kelompok kerjanya rasanya juga agak menyederhanakan persoalan. Bujangan, yag telah melewatkan dua pertiga hidupnya dalam pentas dan kemudian film itu, sesungguhnya tidak terlalu mengherankan jika sanggup menciptakan film-film sebagai yang klni dapat disaksikan. Ter kenal mula-mula sebagai aktor, Teguh yang kemudian menjadi sutradara itu ternyata mempunyai perhatian yang cukup luas. Ia seorang penata seni yang baik. Karena itu, baik pemanggungan maupun filmnya, semuanya hadir dengan rangkaian warna-warna yang serasi, dan manis. Pengalamannya yang lama di panggung itulah barangkali yang membawa Teguh pada kesimpulan ini: "Kita ini sebenarnya tidak punya tradisi menyajikan sesuatu hingga tamu betah. Kita bahkan tidak tahu bagaimana harus melakukannya".
Dengan berkata begitu pada ceramahnya di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 29 Maret yang silam, Teguh sebenarnya berbicara tentang keterampilan pembuat-pembuat film kita. Dalam hal ini ia berdiri sejajar dengan Turino Djunaidi yang juga bicara tentang "kurangnya ketrampilan", dan karena itu "perlu up grading" Alat Optik Jika ketrampilan melulu diukur dari kepandaian menggunakan peralatan yang sifatnya teknis, nampaknya pernyataan yang rendah hati itu memang benar adanya. Tapi sepanjang film tidak melulu dilihat sebagai suatu proses teknik dengan alat-alat optik serta perekaman suara, tentulah soalnya tidak dengan mudah dapat diselesaikan melalui serentetan kursus, santiaji yang kemudian dilanjutkan dengan pembelian alat-alat modern yang serba lengkap. "Dengan peralatan yang sederhana dan dengan tenaga yang ada, toh, Ranjang Pengantin bisa lebih lumayan", kata Teguh. Sambungnya pula: "Kita sering mengeluh, peralatan kita kurang. Lha Eisenstain atau Chaplin itu dulu pakai apa?". Dan kalau ditanya lebih lanjut, Teguh hanya melanjutkan: "Yang penting kan ide. Kreatifitas". Justru ide dan kreatifitas itulah yang kini langka dari dunia film Indonesia.
Orang-orang yang lihai dalam memainkan kamera ataupun memadu gambar memang tidak kurang. Tapi sepanjang pendekatan mereka memang hanya pendekatan dagang, tentu saja yang lahir hanya film-film dagang dengan segala macam resepnya. Orang macam Nawi Ismail, bukannya tidak trampil. Tapi sutradara yang satu ini betul-betul terampil sebagai tukang. Ia terampil membuat sejumlah film, berdasar suatu pola yang dianggap sedang digemari para konsumen--menurut pengamatan para produser. Ide dan kreatifitas melulu juga belum modal yang memadai untuk menjadi sutradara. Orang macam Asrul Sani atau Wahyu Sihombing kurang apa kalau diajak berembuk soal ide? Tapi mereka toh belum membikin film sebaik Teguh. Bahkan Sjuman Djaja yang sarjana film sekalipun, masih harus hormat pada Teguh, meskipun lulusan Moskow itu cukup hebat keinginannya. Yang barangkali pantas untuk disejajarkan dengan Teguh adalah Wim Umboh dan Hasmanan. Wim Umboh terampil dan mempunyai cukup ide. Tapi modalnya masih tetap kurang dari Teguh, yang secara serius menggauli seni peran dan penyutradaraan lewat akademi maupun belajar sendiri sejak lebih dari 20 tahun silam.'Kekurangan-kekurangan Wim dalam segi ide-ide, sayangnya, tidak jarang membuat sutradara mahal ini menjadi tidak otentik dalam karya-karyanya. Hasmanan adalah seorang intelektuil. Dengan sutradara dan bekas wartawan ini orang boleh bicara banyak tentang bukan cuma film. Ia tahu musik, sastra. politik dan berbagai abang seni. Ia membaca bukan cuma novel dan berhagai surat kabar, tapi juga tulisan para Cineast besar.
Tapi Hasmanan bukan pemberontak macam Teguh, meskipun sebenarnya ia juga punya kebolehan untuk itu. Maka berbicara dengan Tasmanan akan memberi kesan lain dengan apabila kita berkesempatan menonton filmnya. Ketika membuat film Hasmanan mendadak sadar, bahwa yang ia kerjakan adalah sejumlah besar uang yang dipertaruhkan produser. Dan ia pun kompromi. Soal kompromi alau tidak, dari dulu memang tema utama hubungan timbal balik sutradara-produser. Bukan cuma di Indonesia, tapi hampir di seluruh dunia. Film besar Kurosawa, Singgasana Darab, juga lahir lewat kompromi. Karya almarhum Usmar Ismail, Tiga Dara dan Asrama Dara juga hasil kompromi. Tapi kompromi dan kompromi tetap saja mempunyai banyak emas. Kompromi seorang Kurosawa terang berbeda dengan seorang Hasmanan. Kompromi seorang Usmar Ismail masih jelas lain dengan Wahyu Sihombing yang menampilkan Rudy Hartono dalam Matinya Seorang Bidadari. Dan mereka yang mengikuti kisah Teguh Karya mengenai sejarah pembuatan film Ranjang Pengantin akhirnya tahu juga bahwa Teguh pun tak luput dari kompromi. Tapi kompromi yang bagaimana dulu? Pelacur Itu Dari pengalamannya berkompromi itulah rupanya Teguh Karya kemudian berani menyalahkan para sutradara yang membuat film jelek. "Jangan salahkan produser", katanya dalam ceramahnya.
Dan untuk pernyataan yang nadanya membela produser, Teguh punya alasan. Pada kesempatan yang sama, ia mengisahkan pula bagaimana ia dengan cara yang cukup dingin mengajak seorang produser ke suatu restoran. Di sana. Kepada seorang pelayan wanita, yang harus bekerja karena harus menghidupi sejumlah anak, Teguh mengemukakan pertanyaan: "Kenapa anda tidak jadi pelacur saja?" Tentu saja sang pelayan jadi mendadak marah. Reaksi pelayan itu cukup bagi Teguh untuk membuktikan betapa tidak mudahnya seorang itu menjadi pelacur, meskipun bebannya berat. "Tokoh film saya, akhirnya tidak jadi pelacur", kata Teguh mengakhiri kisahnya. Bagi Teguh, para produser itu tidak tahu apa-apa tentang film. "Mereka cuma punya uang, lalu melihat film sebagai tempat yang menguntungkan". katanya. Karena itu, Teguh menaruh sebagian besar tanggungjawab pada pundak para sutradara. Sayangnya pundak hampir seluruh sutradara film Indonesia tidak semua mampu memikul beban yang mestinya mereka pikul. "A .B. film saja belum diketahui oleh banyak sutradara film kita", kata Teguh pula. Nah, kalau yang dasar saja belum becus, bagaimana pula harus bicara macam Teguh mengenai ritme, kesatuan dramatik, atau kondisi sosial? Teguh Karya bahkan berkata: "Seorang sutradara harus menguasai seni sastra, falsafah ilmu jiwa, seni rupa dan sejarah kebudayaan". Kalau begini, masih lama baru ada sutradara yang berkebolehan. "Sepuluh tahun iagi, pasti ada", kata Wim yang masih kelihatan optimis. Tak berarti kini tidak boleh dicoba Hanya jangan lupa: selama struktur kehidupan film Indonesia masih seperti sekarang, tak akan lahir sutradara besar. Selama kekuasaan modal dan campur tangan birokrasi terlalu banyak, kreatifitas itu akan tetap kurang nafas.
Modestas Seorang Teguh Karya
Seorang yang terlahir dengan nama Liem Tjoan Hok pada tanggal 22 September 1937 di Maja, 6 Km dari Pandeglang, Jawa Barat.
Beliau mengaku sebelum menggarap film sungguhan, film pertama yang "dimainkan" adalah proses kelahirannya yang diceritakan kembali kepadanya oleh sang nenek. Waktu itu badan dan lehernya membiru karena terlilit oleh ari-ari, dan setelah ari-ari dilepas, tiba-tiba dukun bayi yang menangani mengalami kesurupan, ari-ari yang teronggok juga mendadak hilang lantaran semua orang sibuk menangani sang dukun dan bayi yang baru saja lahir. Ada yang bilang, seekor kucing telah masuk ke kamar dan menggondol ari-ari maestro teater dan film Indonesia ini.pada dekade 80-an untuk dunia film layar lebar di Indonesia, Teguh Karya memang sedang bersinar, dalam artikel yang ditulis Jeremy Allan, seorang kanada, menulis judul Indonesia's Grandfather Of Film untuk koran AsianWall Street Journal. Artikel itu

membahas kemenangan film Doea Tanda Mata di Asia Pacific Film Festival 1985, Teguh Karya sebagai sutradara film tersebut memberikan komentar yang cukup berani sekaligus kerendahan hati yang menyertai. “Memang film-film saya adalah yang terbaik, tapi hanya terbaik dari yang terburuk”, begitulah ujar pak Teguh yang juga kerap disapa Steve (nama baptis), bagi penulis artikelnya, pernyataan pak Teguh memang dibenarkan mengingat film-film Indonesia saat itu memiliki elemen kombinasi akut seperti akting yang kaku, irama yang lamban, penulisan skrip yang tidak hidup dan inkompetensi teknis.
Bagi seseorang yang pernah menempuh pendidikan di Akademi Seni Drama dan Film Yogyakarta ini (saat ini akademi tersebut sudah ditutup), film bukanlah semata-mata barang dagangan,tapi beliau juga tidak menganggap berdagang itu salah, melainkan isi daripada yang diperdagangkan itu yang terus menerus dicermati pak Teguh.Dari kedekatanya dengan D. Djajakusuma yang sudah dianggap abang, Asrul Sani yang terus-menerus mendorong supaya lebih pintar, Usmar Ismail yang melarangnya untuk memadamkan idealisme dan harus tetap menjalaninya dengan realistis,
Teguh Karya mulai meniti jalan dramanya dengan mendirikan Teater Populer di sebuah panggung kecil milik Hotel Indonesia, setelah sebelumnya mendapatkan bea siswa Art-Directing di East West Centre Hawaii. Beliau pernah mengutarakan bahwa kegiatan memproduksi sebuah film merupakan bentuk analogi dari apa yang disebutnya sebagai upacara bersama, upacara bagi pemerintah sebagai pemberi kebijakan, bagi pemodal, pembuat dan tentunya penonton yang merepresentasikan reaksi. Baginya apabila ketimpangan visi terjadi pada salah satu elemen tersebut maka sebuah film tidak akan dapat diterima sebagai film yang utuh, film yang berhasil, atau film yang hadir.
Pada kasus film-film pak Teguh kita dapat melihat kebersamaan itu, bagaimana penataan artistik mengisi ruang-ruang set realis, bagaimana karakter yang diperankan begitu dekat dengan penontonnya, alunan musik yang harmonis, tata busana yang membumi, kamera yang di tata-letakkan secara sederhana, dan tata lampu yang logis, semua disuguhkan secara detil. Totalitas yang disuguhkan pak Teguh dalam berkarya pada jalur film, membuatnya tidak hanya menjadi seorang sineas, tapi beliau juga tercatat sebagai penulis makalah yang untungnya media massa bisa dibilang rajin dalam menerbitkan butir-butir pemikirannya. Makalah pak Teguh yang paling mengena pada diri saya sebagai seorang yang sedang menyerap ilmu tentang film adalah “Kreatifitas Syarat Pertama Pembuat Film”, didalamnya ada sebuah cerita ketika Teguh Karya ditawari oleh seorang pemodal yang menggebu untuk membuat film yang setaraf dengan Godfather (Francis Ford Coppola). Setelah pemodal telah menontonnya selama tiga kali, ia mengutarakan kesederhanaan dan kewajaran Godfather –lah yang mampu membuatnya senang.
Begitu pak Teguh menanyakan jumlah dana yang disediakan, pemodal bilang Rp. 50 juta, dengan tegas pak Teguh bilang tidak bisa, meski pada saat itu jumlah dana Rp. 48 juta adalah biaya maksimal pembuatan sebuah film di Indonesia pada dekade ‘70an. “Mungkin tapi tidak setaraf”, begitu pernyataan beliau ke pemodal, jika diukur dengan kelayakan dana, pembuatan film di Indonesia tidak akan mampu mengejar keutuhan film-film Holywood, kesederhanaan dan kewajaran Godfather yang diinginkakan tidaklah sesederhana itu menurut pak Teguh, Kain-kain putih yang menutupi seluruh kebun tomat tempat Marlon Brando (sang Godfather) mati, pertemuan Al Pacino dengan istrinya di Sisilia yang memakan 5 buah set, sejumlah properti dan pemain tambahan yang kemudian berlanjut pada adegan perkawinan di depan gereja, jelas ini memerlukan biaya yang besar, dan scene-scene tersebut diciptakan demi sebuah keutuhan, keutuhan seperti inilah yang mampu membuat pemodal menonton Godfather sampai tiga kali. Menurutnya, jika elemen keutuhan yang sudah tersebut sebagai contoh tidak ada, bisa dibilang itu adalah film yang belum jadi, dan jika film-film seperti ini yang akan kita buat sampai mati maka tidak usah kita membicarakan kreatifitas apalagi mendiskusikannya.
Sebagai penggambaran tentang totalitasnya, beberapa cerita dari kolega pak Teguh dibawah ini mungkin mampu membuat sebuah garis besar figur seorang Teguh Karya.“Steve itu panjang akalnya, kadang-kadang kami jadi sangat tergantung kepadanya”-Tatik Maliyati Sihombing-“Dia adalah orang yang tidak ingin menyakiti hati orang lain, dia orang yang benar-benar baik”-WS Rendra-“Teguh Karya dan Teater Populer –lah yang memperkenalkan kepada saya film as a knowledge”-Christine Hakim-“Pak Teguh tidak memberi umpan, tetapi ia mengajak sama-sama untuk kita bisa menangkap apa yang kita mau”-Alex Komang-“Tidak jelas mana batasan Teater Populer, Teguh Karya, Saudara-Saudara saya ataupun mimpi-mimpi kami”-Nanik L. Karim-“Ketelitianya membuatku menarik nafas untuk tidak protes”-Titi Qadarsih-“Setelah akrab denganya, saya tidak canggung memanggilnya Steve saja”-Hengky Solaiman-“Kegandrunganku akan seni teater semakin menebal ketika aku memperhatikan sikap dan cara kerjanya yang serius dan intensif dalam melatih”-Slamet Rahardjo Djarot-Disamping itu, kenekatan berkarya beliau tampak pada saat dirinya menggarap film Wajah Seorang Laki-laki, ia malah tak tahu bahwa aba-aba Action!, harus diakhiri dengan Cut!, maka ketika roll film terus berputar dan kamerawan Tantra Suryadi bertanya perlahan “Ini sudah apa belum?” kontan aktris utama Rima Melati berteriak “Cut! Cut!” Rima pun meminta maaf setelah kejadian “Sorry, ya Steve, soalnya jij ga bilang Cut! sih…”Begitulah sosok almarhum berkarya, setuju bila dikatakan perfilman Indonesia sekarang membutuhkan sekali keteguhan berkarya seperti yang pernah dilakukan sosok Teguh Karya. Selamat hari Natal.
`Mainan Baru` Teguh Karya 1997
Teguh Karya berpendapat sebagai sebuah bangsa yang memiliki berbagai ragam seni, kita harus mencari cara bagaimana mengemas kesenian tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Teguh Karya menghadirkan telesinema baru di TPI yang berjudul Mainan Dari Gelas yang diadaptasi dari karya Tennesse Williams. Sinetron ini akan ditayangkan mulai 29 Januari 1997 dan bercerita tentang kenangan dan impian. Tiga pemeran utamanya berada di antara gambaran yang paling riang dalam seluruh kejadian, yaitu Paquita Wijaya, Eko Noerhariyatno dan Sylvia A. Widiantono. Teguh Karya berharap melalui telesinema dapat mendekati masyarakat agar tidak terpisah dengan penonton, karena menurutnya televisi adalah tempat berbagi cerita, ide dan pendapat.
Teguh Karya : "Kekurangan Saya Tak Dilihat" 1977
Dalam proses pembuatan film, ide dan pikiran Teguh Karya berkembang terlalu cepat dan ingin segalanya dibuat secara sempurna dan selengkap mungkin. Tetapi walaupun begitu, Teguh Karya selalu terbuka menerima kritik dan usul dari siapapun, termasuk dari orang terbawah. Contohnya hal yang telah dibuat tetapi kemudian ada yang mengatakan agak janggal, didiskusikan dan dipikirkannya sehingga apabila hal itu betul Teguh Karya tidak akan malu mengakuinya dan kemudian diturutinya. Bagi Teguh Karya, masih banyak hal-hal yang kurang dan bisa diperbaiki dan yang membuatnya kesal adalah kritik yang terlalu mempersoalkan hal-hal yang kecil dan tidak berarti tetapi tidak melihat suatu kesalahan besar yang dibuatnya yaitu kelebihan ide.
26 Oktober 1980.
Ungkapan Teguh Karya dalam buku pengantar produksi film “November 1828”, yang berbunyi “KELANSUNGAN hidup media film akan berhenti jika andalannya hanya ada kemahiran teknis dan kesempurnaan artistik dari tema yang itu ke itu saja. Keadaannya akan kering dan dijauhi masyarakat jika tidak diciptakan tema-tema baru yang kekayaannya tidak terbatas. Atas alasan ini “November 1828” buat saya merupakan suatu keharusan“. Agaknya Teguh memang tidak pernah berhenti pada suatu sukses, baik sukses komersil maupun sukses film sebagai sebuah karya seni.
1996. Layonsari Jayaprana memang nama yang indah. Tapi gara-gara yang indah itu, teguh Karya, 59 tahun, uring-uringan. Sutradara ternama dengan sederet prestasi besar itu rupanya tak senang namanya disangkut-pautkan dalam pementasan Layonsari jayaprana di Pusat Kebudayaan Belanda Eramus Huis, Jakarta.
Menurut Teguh, Nawir Hamzah, pimpinan teater sendiri yang mementaskan lakon tadi, telah mencatut namanya, dengan cara mencantumkan nama Teguh sebagai pengarang cerita.
Nawir sendiri tampaknya memaklumi kemarahan Teguh. Tadinya ia memang mau mementaskan Layonsari versi Teguh Karya, tetapi karena yang bersangkutan tak bersedia, akhirnya Nawir mengambilnya dari naskah asli. Ditambah naskah dari drama Gong Bali.
Teguh Karya : Dicari! Film Nasional Yg. Se-mata2 Bukan Barang Dagangan 1981
Film Indonesia pertama lahir dari tangan pedagang dan hampir tidak memiliki sejarah kesenimanan. Dari dunia perdagangan inilah lahir peniruan-peniruan dan jiplakan-jiplakan. Film Nasional saat ini hampir berusia 60 tahun dan tidak ada perubahan dalam sikap dan arah memandang media film lebih jauh dari sekedar barang dagangan. Kenyataan ini telah begitu lama tertanam dan memunculkan konvensi dalam pemikiran dan cara kerja orang-orang film, terutama dalam hal ini para produser. Konflik dan kesimpangsiuran yang terjadi antara orang-orang film disebabkan oleh kesimpangsiuran pengertian berfilm sebagai seni cinematografi dan berfilm sebagai orang dagang.
Teguh Karya : Film Standar Tak Bisa Jadi Panutan 1991
Kecenderungan memproduksi film asal jadi yang sifatnya tidak mendidik sama sekali tampaknya masih merupakan sasaran utama para produser dan sutradara kita. Menurut Teguh Karya, untuk menghindari kemunduran kualitas film di tahun 1991 ini harus ada suatu lembaga penilai yang benar-benar kritis, berani, apresiatif, intelektualis dan kreatif. Selama ini sejarah perfilman nasional tidak memiliki cermin yang patut dijadikan acuan kreatif untuk pengembangan prestasi, kalau pun ada tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan konsisten penuh. LIPI, BSF, Dewan Film dan para kritisi merupakan "pencambuk" perfilman nasional utama, sehingga mereka harus memahami serta menguasi dunia sinematografi, berwawasan luas dan mampu memberikan alternatif yang positif. Teguh Karya lebih lanjut mengemukakan bahwa mulai tahun 1991 masyarakat film harus benar-benar memperkaya tema, skill dan wawasan seluas mungkin agar dapat melahirkan sinematografi kontekstual.
Teguh Karya : Filosofi Pohon Pisang 1993
Teguh Karya pada saat peluncuran buku yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan, dalam sambutannya beberapa kali menyebut kata "Pohon Pisang". Dalam sambutannya Teguh Karya mengatakan bahwa ia menanam pisang tidak dari jantungnya tetapi dari anak pisang, maknanya adalah ia akan merasa sangat bangga jika anggota Teater Populer dapat membentuk kelompok lain. Baginya kalau sudah merasa berhasil di Teater Populer segeralah membentuk kelompok baru.
Teguh Karya : harus berani koreksi 1992
Ekonomi pasar terbuka dimana film Amerika dibolehkan masuk ke Indonesia akibatnya industri film Indonesia mengalami kelesuan, karena kalah bersaing. Kelesuan yang menimpa film-film Indonesia bukan semata-mata karena pengaruh film impor Amerika. Artinya harus dilihat lebih jauh ke dalam diri sendiri dan produser film Indonesia harus berani koreksi diri kedalam, jangan hanya berani menyalahkan.
Teguh Karya : Jangan Terpancing Bikin Film Yang Spekulatif 1996
Teguh Karya berpendapat film dengan tema-tema sederhana dan membumi yang akan bisa membangkitkan kembali film nasional dan ia sudah siap dengan konsep pembuatan film yang akan disukai oleh masyarakat. Apabila sebuah film sudah selesai maka dibutuhkan banyak prasarana lain, kemudahan-kemudahan dan juga pemasarannya agar jangan sampai film tersebut hanya menumpuk di gudang tanpa beredar di layar bioskop. Teguh juga mengatakan sebaiknya di Jakarta dan kota besar lainnya diperlukan bioskop khusus untuk menayangkan film nasional. Dalam membuat sebuah film, sebaiknya orang film tidak terpancing dengan membuat film yang diinginkan oleh masyarakat apalagi dengan menyodorkan tema yang sekedar coba-coba dan spekulatif. Apabila orang film mau belajar, menambah isi dan wawasan, para sineas bisa melihat contoh-contoh film yang dekat dengan masyarakat sehingga diterima dan menjadi film yang laris dan apabila para sineas sudah memiliki persamaan persepsi tentang bagaimana cara membangkitkan film nasional, tinggal didukung dan dibantu oleh sektor-sektor lainnya.
Teguh Karya : Kita Hadapi Persoalan Dengan Kearifan 1991
Film adalah sebuah citra yang bisa membentuk masyarakat Indonesia sesuai apa yang diharapkan, maka film harus dilindungi meskipun kepentingan ekonomi juga harus dilindungi. Dalam kasus Kehadiran Motion Picture Export Association (MPEAA), Teguh Karya berpendapat bahwa harapan Amerika adalah harapan materialisme dan harapan Indonesia adalah harapan idealisme, sedangkan Teguh Karya adalah orang yang memperjuangkan alat budaya yang namanya film. Dengan kejadian ini diharapkan bisa menjadi cambuk bagi dunia perfilman dan jalan keluar yang harus ditempuh adalah dengan menggunakan kearifan. Bahkan Teguh Karya merasa tertantang untuk menciptakan film yang lebih bagus dari film asing, dalam kasus MPEAA tersebut bahkan Teguh Karya juga menolak syarat yang diberikan oleh MPEAA tersebut.
Teguh Karya dan Karya Sutradara Muda 1988
Teguh Karya berharap dalam Festival Film Indonesia (FFI) para sutradara muda berperan dan berprestasi dalam perfilman nasional. Dalam Festival Film Indonesia, Teguh Karya berhasil meraih delapan piala Citra dalam film "Pacar Ketinggalan Kereta" dan termasuk dalam film yang terbaik FFI. Teguh Karya juga menyebutkan nama Jady Soebroto dan Buce Malawau yang menggarap film "Nyoman dan Merah Putih" dan "Tragedi Bintaro" dan ia menilai film ini mengetengahkan misi kemanusiaan yang pantas direnungkan. Keberhasilan film Pacar Ketinggalan Kereta menunjukkan bahwa Teguh Karya yang terbaik tapi bukan berarti hanya dia satu-satunya sutradara yang berkualitas. Keberhasilan dalam memperoleh piala Citra bukanlah hal utama bagi Teguh Karya, karena ia lebih suka berbicara tentang konteks dunia perfilman secara lebih luas, mutu secara umum dan perjalanan kreatif seorang pembuat film.
Teguh Karya Tak Akan Bikin Film "Cabo" 1989
Film "Pacar Ketinggalan Kereta" karya Teguh Karya dituduh masuk dalam jaring komersialisme karena banyak menggunakan artis-artis beken, bahkan isi film dianggap ringan-ringan saja walaupun ada warna lain dari segi thema film dan unsur-unsur lain yang membuat film tersebut seperti opera. Teguh Karya juga akan membuat film mengenai dunia anak muda tetapi tidak akan membuat film seperti "Catatan Si Boy" atau film remaja lainnya. Bahkan Teguh mencontohkan banyak anak muda mempunyai gagasan yang cemerlang dan bertanggung jawab, tetapi di sisi lain juga ada kesedihan tentang anak muda.
Teguh Karya tentang Film Fatahillah 1997
Teguh Karya berharap dengan pembuatan Film Fatahillah bisa menjadi penyebab bangkitnya film Indonesia, bukan hanya untuk pengembalian kemajuan film Indonesia tetapi juga semangat baru yang harus ditumbuhkan dari dalam diri. Film-film yang dibuat Teguh Karya selalu baru, selalu ada usaha, attitude dan sikap mental baru dalam menghadapi film Indonesia. Pada film Fatahillah ini dilibatkan dua orang sutradara dan menurut Teguh Karya film ini memang patut dikerjakan oleh lebih dari satu sutradara agar ada ahli riset dan ahli-ahli lainnya. Fatahillah, menurut Teguh Karya, adalah sebuah tema dan sebuah cerita yang sulit, bahkan risetnya harus dilakukan oleh beberapa orang.
Teguh Karya, Naik Ojek Main Telesinema 1997
Teguh Karya adalah seorang seniman yang tidak manja dan tidak gengsi, karena pada saat dia diundang untuk menghadiri sebuah seminar yang diadakan oleh TPI di Hotel Le Meridien, Teguh Karya memilih naik ojek sepeda motor dari rumahnya karena mobil pribadinya sedang dibawa oleh orang kepercayaannya. Tukang ojek yang membawanya dan masyarakat yang bertemu tidak mengenal Teguh Karya. Dalam seminar itu, Teguh Karya menyampaikan unek-uneknya tentang siaran televisi di tanah air, karena banyak telenovela yang dialognya banyak disulih-suara dalam bahasa Indonesia. Menurutnya penonton harus dibiasakan dengan tontonan yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada saat yang bersamaan Teguh Karya memang tengah menggalakkan istilah telesinema baru yang berjudul Mainan Dari Gelas yang akan ditayangkan stasiun TV swasta bulan Februari. Telesinema ini menceritakan tentang kenangan dan impian-impian juga mengungkapkan kejujuran dan keriangan yang pahit
Teguh Karya: Perfilman Nasional Butuh “Orang Gila” Seperti Wim Umboh Dan Nyoo Han Siang 1997
Sutradara Wim Umboh dan salah satu perusahaan laboratorium film yang ikut didirikannya, PT Inter Pratama Studio, Minggu 26 Maret 1995 merayakan ulang tahun bersama. Wim, peraih 10 piala Citra FFI dan tiga piala FFA (sebagai sutradara dan penyuting) merayakan ulang tahun ke-62, sedangkan Interstudio yang didirikannya bersama Nyoo Han SIang (almarhum) berulang tahun ke -19.
Teguh Karya: Saya Ini Orang Kampung 1997
TAK banyak yang tahu, kalau sutradara senior Teguh Karya, Senin malam lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-64 di rumahnya di kawasan Kebon Pala, Tanah Abang Jakarta Pusat. Teguh memang tidak menyebar undangan. Bahkan, ide membuat acara ini pun datangnya dari adik-adiknya.
Jadi wajar saja kalau dilongok dari luar rumahnya yang asri itu, seperti tak terjadi apa-apa di dalam. Sebab para tamu yang hadir selain keluarga Teguh, hanya kerabat-kerabat dekatnya seperti Nini L Karim, Nano Riantiarno, Ayu Azhari dan tentu saja kalangan Teater Populer, yang keseluruhan-nya tak sampai seratus orang.
Untuk Penyutradaraan Terbaik Teguh Karya Memegang Rekor : mereka yang berhasil meraih piala “Citra”.1980
Selama tujuh tahun terakhir ini, perfilman nasional kita ternyata hanya mampu melahirkan empat orang sutradara yang baik. Titik tolak kita untuk mengukur hal itu, didasarkan pada penganugrahan Piala “ Citra” bagi Sutradara Terbaik dalam setiap penyelenggaraan FFI., sejak 1973. Empat orang Sutradara itu terdiri dari Wim Umboh, Teguh Karya, Nico Pelamonia dan Ami Priyono.
Empat orang itulah kekayaan utama perfilman nasional. Lewat mereka lah kita dapat menilai sejauh mana dunia perfilman kita telah melangkah dalam segi kualitas. Di antara ke empat orang itu, tak syak lagi Teguh Karya lah yang paling menonjol dalam dunia penyutradaraan film ia termasuk orang baru. Ia mulai pada tahun 1971dengan menangani film “Wajah Seorang Laki-laki” yang cerita dan skenarionya ia tulis sendiri. Ia mengalami kegagalan untuk film itu, baik dari segi kualitas maupun dari segi pemasaran. Namun setelah itu, film-film yang ditangannya mampu berhasil dari segala segi. Namanya tampil sebagai “ jaminan mutu” dalam perfilman nasional. Namun keberhasilan itu, tidak membuatnya serakah. Ia merasa cukup untuk membuat film sekali dalam setahun. Tetapi film-film yang dihasilkannya senantiasa memberi warna dan corak baru dalam perkembangan perfilman nasional kita.
26 Desember 2001
Sang Gladiator Mohon Diri
Di suatu siang, tujuh tahun silam, di bawah naungan bayang-bayang dedaunan tumbuhan Kebonpala, Teguh Karya bergumam, "Saya ingin membuat film, satu, layar lebar. Yang bercerita tentang rasa kangen. Kamu ada cerita?" Ditanya begitu oleh seorang empu film, saya setengah gugup menjawab, "Di sana-sini, tersimpan di komputer dan belum layak terbit...." Teguh Karya, saat itu sudah mencapai 60 tahun, tengah menyelesaikan-dengan agak terengah-engah-film televisi Perkawinan Zubaedah, yang dibiayai oleh Universitas John Hopkins. "Gua nggak percaya kalau belum layak. Coba ceritakan satu saja." Saya menceritakan satu kisah yang memang terinspirasi dari rumah Teguh Karya yang luas, teduh, dan penuh pepohonan. Seorang aktor tua yang gemar mengelus piala kejayaannya. Seorang tetangga waria. Seorang tetangga pemain lotere..., dan mereka semua kembali ke dalam sebuah masa lalu melalui sekelabatan mimpi-mimpi.... "Saya juga sudah lama ingin bikin film seperti itu. Seorang tua yang bermimpi tentang masa lalunya. Tapi gua lebih suka fokus sama satu orang. Dan saya lebih setuju jika peran utamanya seorang aktris. Jangan aktor," katanya bersemangat. "Kenapa mesti perempuan?" "Karena perempuan selalu lebih banyak memiliki tantangan, banyak problem dan tuntutan dari masyarakat. Menjadi primadona di dunia film jauh lebih pedih daripada menjadi aktor lelaki," katanya seraya duduk di depan saya. Saya menggaruk kepala sembari merasa tak yakin. Mosok, sih? Saya membayangkan para primadona alumni "tangan" Teguh Karya yang dahsyat-dahsyat langganan pemegang Piala Citra: Tuti Indra Malaon, Christine Hakim, Ninik L. Karim. Apa mereka pedih? Pembicaraan tak berlanjut. Teguh kembali memotongi daun tumbuhannya sembari berceloteh soal mobilnya yang hilang dicuri dan saya sibuk mencatat hasil wawancara saya untuk harian Media Indonesia, tempat saya berlabuh saat majalah ini dibredel.
Hanya beberapa saat setelah itu, Teguh meminta salah seorang anak buahnya menelepon saya. Ia menyatakan sudah lama ia memikirkan cerita film itu dan bahkan ia sudah menyiapkan judulnya, Layar Perak yang Terkoyak.
Ceritanya sendiri tak pernah saya ketahui perkembangannya. Pembicaraan itu hanya menjadi pembicaraan, seperti halnya banyak ide Teguh Karya yang lain yang belum sempat terwujud karena sang tubuh digerus usia. Setahun kemudian, Teguh terserang stroke, dan saya tak tahu apakah ia sempat mewujudkan ide itu menjadi sebuah skenario, seperti halnya saya tak tahu seberapa banyak ia bisa mengingat kami, para wartawan, di tahun 2001, ketika sudah hidup di dalam dunianya yang sunyi. Ketika akhirnya ia tidur untuk selamanya pada 11 Desember silam, ia bukan hanya menyiapkan sebuah judul, tetapi juga sebuah "rumah abadi" bagi dirinya, yakni di dalam sebuah guci yang menyimpan abu kremasi tubuhnya yang kemudian diletakkan oleh Slamet Rahardjo-murid, aktor, sutradara "alumni" tangannya-di sebuah lubang sedalam tiga meter yang sudah dipersiapkan lima tahun silam. Lahir di Pandeglang, Banten, 22 September 1937 dengan nama Lim Tjoan Hok-dengan nama baptis Steve Lim-sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Teguh Karya adalah salah satu pilar perfilman Indonesia (seperti juga Arifin C. Noer) yang berangkat dari dunia teater. Setelah lulus dari Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan bekerja sebagai manajer panggung di Hotel Indonesia, Teguh dengan Teater Populer mementaskan 27 drama sejak tahun 1968 hingga 1991. "Saya ingat sampai sekarang cara dia mendidik kami, sangat keras. Jadi, bertahun-tahun kami dianggap sebagai gladiator. Jadi, nyaris tidak boleh berpikir lain selain teater dan ke-senian. Jadi, 24 jam itu betul-betul pikiran kita, energi kita, digedor hanya untuk memikirkan itu," tutur N. Riantiarno. "Kami" di sini tentu saja para cikal bakal pilar teater (dan film) modern Indonesia: Slamet Rahardjo, N. Riantiarno, Tuti Indra Malaon, Franky Rorimpandey, Sylvia Widiantono, Henky Solaiman, George Kamarullah, Dewi Sawitri, dan seterusnya. Dan istilah "gladiator" itu juga digunakan Slamet Rahardjo ketika menggambarkan Teguh Karya. "Dia gladiator yang tak kenal lelah. Ia pekerja keras yang seharusnya lahir di Sparta," kata Slamet Rahardjo, murid kesayangan Teguh yang dipercaya almarhum untuk mengurus abu kremasinya. Menjadi murid dan kawan Teguh Karya memang merupakan bagian dari keluarga besar Teater Populer.
Pada tahun 1970-an hingga akhir 1980-an, Gang Pala, sebuah rumah tua luas yang teduh, rimbun, dan inspiratif-dan lokasi yang sering digunakan untuk syuting film-film Teguh-adalah sebuah padepokan tempat seniman teater dan film berguru. Tak semuanya terus-menerus bercokol di situ.
Tapi toh mereka tetap merasa seperti satu keluarga besar. Itu terlihat terutama justru ketika Teguh Karya sudah jatuh sakit hingga meninggal dunia, maka keluarga Teguh terdiri dari saudara-saudaranya dan kelompok Teater Populer. Setelah mendirikan Teater Koma-seperti juga alumni Teater Populer lainnya-Riantiarno mengaku bahwa "apa yang ditanamkannya menjadi dasar dari pekerjaan kami sekarang". Ketika teater di Indonesia mulai berpaling memilih paradigma baru-dengan bereksperimen kepada keragaman ekspresi bahasa yang membuat teater tak hanya bisa digolongkan pada suatu aliran tertentu-Teguh Karya dengan Teater Populer (dan juga Studi Teater Bandung) tetap "bersetia" kepada bentuk tradisional dengan mengadaptasi drama-drama Barat kepada randai atau Bali. Menurut penyair Goenawan Mohamad, yang perlu diperhatikan dari konsistensi Teguh Karya adalah "kemungkinannya untuk mengembangkan seni peran, sesuatu yang tenggelam di pentas Indonesia akhir-akhir ini." Di dunia film, Teguh Karya adalah empu artistik. Dari Wajah Seorang Laki-Laki, Cinta Pertama, Ranjang Pengantin, Kawin Lari, Badai Pasti Berlalu, November 1828, Di Balik Kelambu, hingga Doea Tanda Mata, Teguh lazim menjadi pemborong piala Festival Film Indonesia. Dari tangannya lahir aktris tangguh macam Christine Hakim, Ninik L. Karim, Tuti Indra Malaon, dan aktor/sutradara serius seperti Slamet Rahardjo, yang hingga kini masih setia menyiram dan memberi pupuk pada dunia film yang kering-kerontang itu. "Dia terlahir untuk memberi," kata Ninik L. Karim terharu. "Kemarin saya buka lemarinya. Saya menangis karena hanya menemukan beberapa lembar hem batik dan beberapa kaus. Tidak ada yang menonjol," kata Ninik.
Kesederhanaan Teguh tidak berarti ia tidak cukup selera yang subtil dan teliti dengan berbagai pernik, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menentukan film. "Memperlihatkan orang kaya dengan Mercedes itu ide karatan," kata Teguh suatu hari kepada TEMPO, "seperti halnya ibu-ibu kaya yang selalu diperlihatkan dengan kalung berlian dan bahasa Indonesia aksen Jawa yang feodal. Karatan!" Pernah pula dia cekikikan geli ketika Festival Film Indonesia menampilkan piala film terbaik yang digotong puluhan dara cantik berpakaian Jawa dengan upacara yang luar biasa lamban dan membosankan. "Sampai kapan Indonesia tenggelam dalam feodalisme seperti ini, ya," katanya sembari meletakkan piala itu di lantai dengan gaya santai. Gang Pala akan tetap menjadi sebuah padepokan kesenian. Itu dipastikan oleh Slamet Rahardjo, "Karena Steve ingin kesenian terus berjalan, meski ia sudah tak ada," katanya. Slamet berkisah, bahkan ketika mereka mendirikan yayasan, Teguh menolak ketika ada yang mengusulkan menamakan yayasan itu sebagai Yayasan Teguh Karya. "Dia tak ingin dikultuskan," kata Slamet. Mudah-mudahan, Slamet dan kawan-kawannya dari Teater Populer bisa meniupkan napas gladiator di rumah itu, yang pernah dengan begitu fantastik melahirkan banyak karya. Di kebun samping rumah itu, di bawah naungan pohon kesayangannya, abu sang gladiator bersemayam untuk menemani mereka. Leila S. Chudori, Kurniawan, Leanika Tanjung.
DOEA TANDA MATA |
1984 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
NOPEMBER 1828 |
1978 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
IBUNDA |
1986 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
SECANGKIR KOPI PAHIT |
1984 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
KAWIN LARI |
1974 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
PERKAWINAN DALAM SEMUSIM |
1976 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
RANJANG PENGANTIN |
1975 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
MAK TJOMBLANG |
1960 |
D. DJAJAKUSUMA |
|
Actor |
BADAI PASTI BERLALU |
1977 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
DI BALIK KELAMBU |
1983 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
CINTA PERTAMA |
1974 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
PACAR KETINGGALAN KERETA |
1988 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
PACAR SEORANG PERJAKA |
1978 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
PACARF KETINGGALAN KERETA |
1989 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
PONIRAH TERPIDANA |
1983 |
SLAMET RAHARDJO |
|
Actor |
SEMBILAN |
1967 |
WIM UMBOH |
|
Actor |
KIPAS AKAR WANGI |
1981 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
USIA 18 |
1980 |
TEGUH KARYA |
|
Director |
PROCESSION, THE |
1992 |
TEGUH KARYA |
Television film |
Director |
DJENDRAI KANTJIL |
1958 |
NYA ABBAS AKUP |
|
Actor |
WADJAH SEORANG LAKILAKI |
1971 |
TEGUH KARYA |
|
Director |