John Tjasmadi adalah M.M. Johan Tjasmadi, HM Johan Tjasmadi Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N)
Lahir di Pekalongan, 1 Juni 1937.
Pendidikan : Fakultas Ekonomi (sarjana muda).
Biar banyak jabatan organisasi, namun yang akrab dipanggil "Pak John" ini adalah "orang bioskop". Manager bioskop Orion (1954) yang kemudian meninggalkan kerjanya di transportasi dan EMKL (1957-1959) dan perdagangan umum (1960-1965) ini terpilih sebagai Ketua GPBSI perwakilan Jakarta mulai 1967. Disamping jadi sekjen GPBSI Pusat 4 periode berturut (1970-1974 sampai 1987-1992) dan Ketua Umum GPBSI Pusat 1992-1997. Disamping pula aktif dalam Dewan Film Nasional (1979-1992) dan sebagai ketua Umum Panitia Tetap (Pantap) Festival Film Indonesia (1988-1992). Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), pengganti/pelanjut Dewan Film, adalah juga anggota MPR-DPR 3 masa bhakti, 1987-1992, 1992-1997 dan 1997-2002. Pemimpin Umum Majalah FILM (mulai 1987) dan penerima Hadiah "jamaludin Malik pada 1993 ini memproduksi film pula, sejak Seriti Emas (1971) dan produser pelaksana film kolosal Fatahillah (1996-1997).
SI BAGONG MUJUR | 1974 | JOHN TJASMADI | Director | |
SERITI EMAS, KIPAS SUTRA | 1971 | BAY ISBAHI | Director | |
SYAHDU | 1975 | JOHN TJASMADI | Director | |
JUARA KARATE | 1977 | JOHN TJASMADI | Director | |
TITIENKU SAYANG | 1972 | JOHN TJASMADI | Director | |
KISAH CINTA | 1976 | JOHN TJASMADI | Director | |
HARGA DIRI | 1987 | JOPI BURNAMA | Actor | |
BONI DAN NANCY | 1974 | JOHN TJASMADI | Director |
NEWS
22 September 1973
Demonstrasi si anak tiri
MELIHAT Farouk Afero berjalan dengan kepala gundul, jubah panjang dan poster pada dada dan punggung, orangorang yang lewat di jalan Merdeka Selatan siang itu tidak sedikit yang bertanya-tanya tentang nama film yang sedang dibikin di situ. Ternyata yang ada cuma kamera foto para wartawan, dan Farouk hari itu betul-betul sedang melakukan demonstrasi tunggal. "Bioskop jangan anak tirikan film nasional". begitu bunyi poster yang digendongnya menuju Balai Kota. Gagal menemui Gubernur Sadikin, Farouk melanjutkan kegiatannya .dengan serangkaian kunjungan ke berbagai bioskop dan tokoh perfilman.
Ia sediakan sebuah buku tulis yang makin penuh juga dengan pendapat orang-orang yang ditemuinya. Bioskop. Polisi memang mengangkut sang bintang film ke markasnya, tapi tidak lantaran tuduhan demonstrasi melainkan "menyelamatkan saudara dari ancaman fihak pemilik bioskop". Begitu sengitkah fihak perbioskopan terhadap tuntutan Farouk? Saya geram melihat Farouk", kata John Tjasmadi, ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Sehlruh Indonesia (GPBSI), kepada Martin Aleida dari TEMPO. Tokoh yang satu ini menolak tuduhan Farouk yang menyebut pengusaha bioskop menganak tirikan film nasional. "Soalnya banyak produser yan filmnya jelek tapi untuk prestise memaksakan agar filmnya dipertunjukkan di bioskop kelas satu", tambahnya pula. Inilah konon akibat dijadikannya tempat pemutaran pertama di Jakarta sebagai ukuran sukses bagi penentuan harga film bagi peredaran di daerah. Pendapat John ini nampaknya sejalan dengan keterangan orang-orang film macam Wim Umboh, Turino Djuneidi maupun Ratno Timur yang kelihatannya tidak melihat soal yang diributkan Farouk. "Kalau film kita baik, ya, mesti laku, toh", kata Ratno suami Tien Samatha yang lagi sibuk bikin film Naga Mas. Wim Umboh bahkan lebih jauh lagi: "Tidak kepada semua bioskop saya mau memberikan film saya, harus milih, dong", katanya. Tentang film orang lain, disebut bahwa fihll sumi ,akin Panas (lihat Film) telah pula menjadi rebutan beberapa grup bioskop di Jakarta. Tapi Farouk bukannya tanpa argumentasi. "Di daerah film Indonesia memang mendapat tempat yang bagus, tapi di Jakarta tidak", katanya pula. Dan berceritalah bintang film ini mengenal orang-orang kuat yang menguasai bioskop-bioskop kelas satu di Jakarta. "Mereka itu semua importir, dan dalam kedudukan demikian mereka sangat berkepentingan untuk lebih mendahulukan dan memberi waktu yana terbaik bagi film-film buatan luar negeri itu sambil tentu saja merugikau film-film nasional", demikian Farouk. Walhasil, kalau film-film nasional susah mendapatkan waktu pemutaran pada akhir pekan, film impor mudah.
Kalau film impor bisa bertahan lama, film-film buatan dalam negeri, meskipun masih ada peminatnya, dengan cepat menghilang dari bioskop kelas utama. Itu semua cerita Farouk untuk memperkuat alasan demonstasi tunggalnya. Nyonya Deliana. John Tjasmadi yanL bukan importir, tidak mau mengerti alasan Farouk. Sambil menuduh si bintang film sebagai mencari publikasi murahan, pimpinan GPBSI itu juga mengirimkan ancaman: "Kalau Farouk tidak mau minta maaf, kita akan boikot semua film yang dibintanginya. Kita tidak kesukaran, tapi dia yang akan kehilangan mata pencahariannya". Takutkah Farouk oleh ancaman itu?" Saya tidak akan minta maaf, silahkan boikot", katanya dengan tegas. Tapi posisi Farouk menjadi makin sulit ketika Persatuan Artis Film (Parfi) mengeluarkan pernyataan yang nadanya menyalahkan Farouk sebagai anggota yang "main sendiri". Kata Nyonya Deliana Alam Surawijaya kepada Salim Said dari TEMPO: "Yang kita perjuangkan sekarang adalah adanya undang-undang pokok perfilman, sedang yang dilakukan Farouk hanya sebagian kecil dari yang dikandung oleh undang-undang yang kita perjuangkan itu". Tapi kabar-kabar yang mengatakan bahwa sikap Parfi yang demikian itu ternyata lahir dari konduite Farouk sebagai anggota yang dianggap telah berkali-kali melakukan tindakan melanggar disiplin. "Jangan lupa, Farouhitu juga produser dan bookersekaligus", kata seorang tokoh Parfi. Dan dalam kedudukan rangkap yang demikian itu memang tidak mudah bagi Farouk untuk selalu menempatkan diri. Barang kali dalam kedudukan rangkap itu jugalah maka beberapa orang-orang film menilai aksi seorangan Farouk itu sebagai bagian dari kampanyenya bagi film-filmnya --Lingkaran Setan dan Ibu Sejati - yang konon tidak hegitu sukses dan mengalami kesukaran pemasaran. Tapi betulkah Farouk menggunakan kesempatan demonstrasi tersebut untuh publisitas? Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu. Bagaimanapun, cara Farouk termasuk orisinil -- sekurang-kurangnya.
12 Januari 1974
Tjasmadi tentang distribusi
INGAT zaman pengganyangan film-film AMPAI? Nah, itu waktunya dunia bioskop Indonesia mencatat hari yang murung. Sementara itu film produksi nasional tak mampu mengisi kekosongan. Di lain fihak ada nuncul film dari blok timur. "Tapi selera penonton yang terbiasa dengan film Amerika tak sendirinya bisa di paksa menonton film blok timur itu" ujar John Tjasmadi, sehari-hari Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia. Akibat dari keadaan begitu, banyak bioskop tutup. Tapi ada juga yang saling rupa sebagai gedung sandiwara wayang atau gudang beras, sehingga sisa paling banyak hanya 350 buah. Sedangkan sebelumnya menurut catatan GPBSI jumlah bioskop seluruh Indonesia mencapai 800 buah. Itu tahun 1957, dan sepuluh tahun kemudian melorot jadi 350. Di Jakarta dari 80 jadi 37 buah. Baru pada 1972 meningkat 600 dan di Jakarta tercatat 1 14 gedung. Pada Mei 1973 catatan itu menunjukkan jumlah 645 buah dan antaranya di Jakarta 119 buah. Tapi menjelang akhir 1973 terjadi penurunan sampai 587 buah seluruh Indonesia termasuk Jakarta yang masih tetap 119. Sedangkan tahun sekitar 1966-1967, saat banjirnya film impor yang nyaris mengagetkan itu, bagai membangunkan "macan tidur" maka bioskop-bioskop pun kembali mengirah sayap. Namun mereka kudu berhadapan dengan keadaan distribusi yang rada kacau plus pajak yang lumayan mencekik. Akibatnya dari 600 bioskop di seluruh Indonesia, banyak yang tak kebagian film baru, kecuali Jakarta yang bioskopnya jarang nganggur. Malah film yang antri untuk diputar. Menurut Tjasmadi, kesulitan lancarnya distribusi film ke daerah dewasa ini ialah "transportasi tak lancar, tak ada jaminan keamanan terhadap film yang dikirim" dan tentu saja cara distribusi yang tak benar. Hal yang disebut belakangan ini juga dirasakan oleh Djohardin. Seperti dikemkakannya kepada Ed Zoelverdi: "Yang sehat itu pertukaran film seminggu satu, atau tiap 4 hari sekali. Tidak satu hari satu seperti sekarang, sehingga sudah tentu perlu banyak film. Itu salah".
Dan itu pula sebabnya pengadaan film dewasa ini rada pontang-panting. Namun begitu seandainya toh film impor di kurangi, menurut Tjasmadi kepada reporter Mansur Amin "bagi pengusaha bioskop tak ada persoalan". Ia mengingatkan: "Yang penting menjaga keseimbangan antara supply film dengan tuntutan selera penonton". Tak dijelaskannya secara terperinci apa itu "tuntutan selera penonton", kecuali ditekankannya "dan juga film Indonesia harus mampu mengisi kekosongan akibat penurunan impor itu". Ditambah- kannya: Disamping jumlah tentu juga mutunya, jangan latah-latahan. Misalnya jika film macam Ratapan Anak Tiri laku, maka berduyun-duyun mereka membuat yang serupa". Satu hal yang masih kurang menggembirakan dari produksi nasional ini menurut Tjasmadi "tak bisa tahan lebih dari setahun". Bukan lantaran mutu, "tapi perawatan terhadap copy yang tak baik". Menanggapi adanya macam kekecewaan yang menimpa perfilman nasional, Tjasmadi menyodorkan resep peninjauan kembali sistim per-pajakan terhadap bea masuk dari film-film impor maupun bahan baku produksi nasional. Kemudian menghidupkan kembali tata cara peredaran film yang baik. Adanya jaminan transportasi plus keamanan yang mantap jika film itu dikirim ke daerah-daerah. Akhirnya fasilitas perbankan terhadap perfilman nasional. Di mata Tjasmadi maka perfilman nasional itu ditunjang oleh 4 faktor: produser plus karyawan dan artis importir film dan bahan baku, distributor serta pemilik bioskop. Berkata begitu akhirnya diakuinya: "Kalaupun ada timbul ekses disektor-sektor tersebut, itu hanya lantaran ada rasa tak puas pada keadaan, yang tak tahu kemana harus dilemparkan".
12 Januari 1974
"film indonesia untuk indonesia"
MALAM tahun baru yang dingin dan sedikit sepi dengan gaya yang sombong dan mahal melintasi kota Jakarta. Bersama dengan redup lilin yang menerangi acara tirakatan sekelompok mahasiswa yang prihatin, redup pula cahaya dari puluhan klab malam. Juga tempat hiburan yang membuka diri bagi mereka yang senang bersantai sambil menyalami tahun baru yang tentu saja dibebani banyak harapan. Tapi dalam cahaya yang tidak stabil, berkumpul pula ribuan penduduk ibu kota melepas tahun lama dengan berbagai macam cerita yang tcrsuguhkan via layar putih. Harga karcisnya tentu sepuluh sampai dua puluh kali lipat. Dan hanya dari belasan film yang terputar, cuma satu film buatan orang Indonesia: Flamboyan. Yang terakhir ini memang tidak menjadi alasan bagi Kelompok Generasi Muda Perfilman Indonesia Untuk Indonesia, meskipun mereka merasa perlu mengirimkan delegasi menemui Menteri Penerangan. Tapi lantaran kegiatan mereka bergerak sejajar dengan tahun 1973 yang menutup diri kesedihan bagi tersisihnya film-film Indonesia di malam tahun baru boleh disimpulkan oleh mereka yang tahu tentang resolusi tujuh orang yang mendatangi kantor Departemen Penerangan tanggal 28 Desember yang lalu. "Kami kelompok generasi muda perfilman Indonesia untuk Indonesia dengan ini hanya mendesak kepada pemerintah, untuk dapat secepatnya menurunkan atau mengurangi jumlah film asing yang masuk dalam setahunnya", begitu tertulis pada kertas stensilan yang diserahkan kepada Haji Djohardin, Direktur Film Deppen. "Setuju" Meskipun bergerak dengan impian menjadikan film Indonesia "tuan di rumahnya sendiri", tapi anak-anak muda yang datang ke kantor bertingkat di Merdeka Barat itu -- kemudian juga mendatangi kantor persatuan pembuat film -- tidak cuma tergoda oleh semangat patriotis.
Dalam resolusi terbaca pula alasan-alasan komersiil bagi tuntut pengurangan film buatan luar negeri tersebut. Dari segi ekonomi dan perdagangan, film import tidak mendatangkan keuntungan bagi negara, tapi justru merugikan. Dengan adanya pengeluaran devisa film impor merebut pasaran dalam negeri sambil juga tidak memberi lapangan kerja bagi karyawan dan artis dalam negeri. Dan film-film impor tidak memberi pendidikan maupun contoh kebudayaan yang baik, kalau tidak malahan bisa menimbulkan efek negatif. "Setuju, itu kita sudah paralel", sahut Djohardin kepada delegasi yang gagal menemui Menteri Penerangan Mashuri. Penurunan jumlah film impor itu sudah kita niatkan, bahkan sudah pula dijalankan". Tapi sambung Djohardin pula, "namun penurunan itu harus sejalan dengan perkembangan produksi dalam negeri" Kepada reporter TEMPO, Martin Aleida, yang menemui Djohardin beberapa hari kemudian, direktur film itu menjelaskan: "Kalaupun kehendak mengurangi film impor itu dilaksanakan, tidak pula secara otomatis meningkatkan film-film nasional. Yang benar, kalau produksi film nasional ber- kembang, maka film-film impor menurun". Pendapat Djohardin dengan segera mendapat persetujuan beberapa importir dan produser film. "Tidak betul bahwa film impor men-desak film-film nasional", kata pemilik PT Rapi Film yang berkantor di jalan Gondangdia. Yunandar dari PT Isa Film -- salah satu importir film yang besar -- malahan makin merasakan menurunnya impor film lantaran desakan produksi dalam negeri. "Karena itu rencana kami untuk mengalihkan modal ke bidang pembuatan film akhir-akhir ini makin difikirkan" tambahnya pula. Mulut Manis Nah, rencana pengalihan modal ini memang keinginan Djohardin ataupun Turino Djuneidi dan para kerabat orang film lainnya. Tapi ini juga bukan soal mudah. "Keadaan seperti itu bisa saja menghasilkan film-film asal jadi", kata Samtani dari PT Artis Jaya Film.
Maka orang inipun berkisah tentang dunia film yang penuh akal-akalan, sehingga jika sang produser hanya tahu soal untung rugi tanpa memperhitungkan cara mencapainya "bisa saja terperosok oleh mulut manis para petualang", sambut seorang sutradara muda. "Soalnya memang tidak mudah", kata Turino di kantornya yang sejuk. Mudah atau rumit, Djohardin merasa punya cukup bukti tentang tindakan pemerintah yang tidak menganak-tirikan film nasional sambil menganakemaskan film-film impor. "Lihat saja angka-angka ini: tahun 1971 film impor mencapai jumlah 700 judul pada saat film Indonesia naik menjadi 60 judul, film impor kita kurangi menjadi hanya 600 judul, dan hal itu bertahan hingga tahun 1973". Dan jika menunjuk pada tahun 1966, ketika hampir tidak ada film Indonesia lahir, film impor yang merajai pasaran dengan segera dikurangi jumlahnya ketika orang-orang Indonesia mulai bikin jenis tontonan tersebut. Maka terhadap alasan-alasan Djohardin ini tampillah lampiran resolusi para Kelompok Generasi Muda Perfilman . . . " tersebut. Berdasarkan catatan yang ada, seluruh bioskop yang ada di Indonesia ada 500 buah. Sistim di Indonesia, setiap sebuah copy film dapat dipergunakan untuk dua gedung bioskop sekaligus dalam waktu bersamaan. Maka untuk 500 gedung tersebut dalam peredaran semalamnya dibutuhkan hanya 250 copy", begitu jalan fikiran pembuat resolusi itu. Dan setelah dihitung-hitung, mereka pulang juga ke angka 250 sebagai jumlah maksimal film asing yang harus diimpor dalam satu tahunnya. Maka berkatalah Farouk Afero "Dulu bioskop lebih banyak, film kurang, tapi juga cukup untuk konsumsi gedung-gedung tontonan yang tersebar di seluruh Indonesia itu, sekarang malahan sebaliknya yang terjadi". Perbandingan yang disebut Farouk Afero ini ditangkap oleh Djohardin sebagai memperhadapkan masa AMPAI (sebelum Gestapu/PKI) dengan masa Orde Baru.
Komentar direktur film itu: "Itulah akibat buka kran pada zaman Dirjen Film, TV & RRI Umar Kayam. Untuk menghindari banyak gedung bioskop menjadi gudang dan tempat main wayang, dilakukanlah kebijaksanaan memasukkan film impor sebanyak-banyaknya. Orang-orang yang tadinya tak berminat ngurus film, melihat kebijak-sanaan yang begini, cepat-cepat mengalihkan modal mereka ke bidang impor film. Keterkejutan macam begini memang tidak memberi waktu untuk mengatur peredaran film yang banyak sehingga film yang mestinya bisa bertahan empat atau lima hari, akhirnya cuma bertahan satu hari saja". Kita Sudah Tahu Semua itu nampaknya memang sudah disadari oleh pemerintah. Dengan yakin Djohardin berkata: 'Tidak usah orang lain mengajari kita, kita sudah tahu. Sekarang ini dibutuhkan 700 film pertahun -- impor atau produksi dalam negeri. Tinggal mengaturnya saja, kalau produksi dalam negeri naik, impor berangsur-angsur kita kurangi". Tapi pengurangan saja ternyata juga belum bisa dianggap menye-lesaikan soal. "Kalau cara melakukan distribusi masih saja seperti sekarang, ya terus ruwet", tambah Djohardin pula. (lihat: Tjasmadi tentang distibusi). Konon sukses perfilman di zaman AMPAI itu bersumber pada distribusi inilah. "Kalau distribusi sekarang ini baik seperti zaman AMPAI itu, sebenarnya film yang kita butuhkan sekarang ini cuma 400 judul pertahunnya", kata Djohardin pula. Mengingat-ingat zaman AMPAI yang menyenangkan juga bagi banyak penggemar film-film Amerika di Indonesia, ternyata hubungannya tidak cuma dengan distribusi. "Impor film sekarang ini semacam beli gandeng", Turino menjelaskan. "Klau kita mau beli sebuah film bermutu, maka kita terpaksa juga membei beberapa film lainnya sebagai gandet film yang kita pilih itu", tambahnya.
Dengan penjelasan ini, Turino, sang produser, nampaknya berusaha obyektif dengan tidak melulu menyalahkan para importir yang bukannya tanpa selera kalau memasukkan film. Tapi karena selera dan jenis cerita film-film kita ditentukan oleh arus film asing, sementara film asing yang lebih banyak yang kurang baik, bisa di-mengerti kalau lahir film-film Indonesia yang asal jadi", kata Turino pula. Dan dengan jalan fikiran inilah Turino Djuneidi mengaku mendukung desakan untuk mengurangi film-film impor. Sebab "semakin sedikit film yang diimpor, semakin baik pula pilihan yang dilakukan oleh importir". Suatu hal yang disetujui sepenuh-nya oleh Yunandar dari Isae Film. Mudah-mudahan tidak akan terjadi tapi tekanan dari dalam negeri yang jelas tidak bisa dimengerti oleh penjual film di luar negeri, bukan tidak mungkin suatu hari bakal menggiring juga para importir untuk mengirimkan delegasi ke kantor Djohardin. Fikiran inilah rupanya yang juga mengganggu pimpinan Deppen sehingga mereka terlalu berhati-hati dalam mengatur film impor yang diributkan oleh beberapa orang itu. "Mereka itu importir, bukan produser. Dua pekerjaan itu amat berbeda dan kita tidak bisa memaksa mereka ganti profesi", kata Djohardin pula. Keluhan orang film mengenai importir film yang tidak menggunakan tenaga karya-wan, artis serta menghabiskan devisa negara, dijawab dengan gampang oleh Djohardin: "Dari mereka kita tarik banyak uang yang kemudian dipergunakan untuk pembinaan film nasional". (lihat: Mengejar lima ratus judul). Dan sebagian besar dari uang hasil sumbangan para importir itu ternyata masih juga beredar di tnan para prodaser film nasional yang entah kapan mereka sempat mengembalikannya.