JAKARTA,
PERTAMA DALAM PESTA FFI 1973
Festival Film Indonesia (FFI) pertama tahun 1973 didominasi oleh produksi Aries dan disutradarai Wim Umboh (1933-1996), Perkawinan (1972), yang memborong delapan Piala Citra untuk film, sutradara, skenario, tata suara, tata artistik, editing, sinematografi, dan ilustrasi musik. Tak dipermasalahkan. Rekor Perkawinan baru dipecahkan film garapan Teguh Karya (1933-2001), Ibunda, yang menggaet sembilan Citra pada FFI 1986.
Kemenangan tiga pemain pada FFI 1973 tidak pula jadi persoalan. Mereka adalah aktor pembantu Dicky Zulkarnaen (1939-1995) dalam Pemberang, aktris pembantu Sofia W.D. (1925-1986) dalam Mutiara dalam Lumpur, dan aktris utama Rima Melati dalam Intan Berduri (produksi Sarinande) yang digarap Turino Djunaedy.
Tapi Benyamin, yang menang sebagai aktor utama dalam Intan Berduri, kok menimbulkan "ribut-ribut"? Yang menggugat itu barangkali lupa bahwa penyanyi itu melakukan acting. Tak sedikit penyanyi yang punya kemampuan acting. Salah satu buktinya adalah biduan Amerika Frank Sinatra, yang merebut Oscar sebagai aktor pembantu dalam From Here to Eternity (1953). Nyatanya Bang Ben bisa mengimbangi Rima sehingga permainan mereka sama-sama menonjol dan barengan menggondol Citra.
Produser-sutradara Turino memilih Benyamin dan Rima Melati semula karena pertimbangan komersial. Rima (ketika itu) aktris populer, sedangkan Bang Ben adalah biduan pembawa lagu (irama) Betawi yang sedang naik daun, termasuk waktu membawakan lagu Nonton Bioskop yang kocak itu. Tapi, si "tampang kampungan" itu tak mau hanya jual tampang (mejeng), melainkan betul-betul main, dan tidak juga melawak. Intan itu lebih berat ke drama.
Apalagi bila dibandingkan dengan penampilan Bang Ben dalam film-film lain: Biang Kerok (1973), Musuh Bebuyutan (1974), Buaye Gile (1975), dan lain-lain. Dalam film-film lain itu Bang Ben adalah sosok Betawi yang hanya ngocol. Dilengkapi juga dengan hidangan lagu yang umumnya menggelitik. Ya, dalam Intan Berduri, tak ada lawakan maupun nyanyian.
Intan Berduri menampilkan Benyamin sebagai Jamal yang miskin, bersama istrinya Saleha (Rima). Pada suatu saat, bubu (alat penangkap ikan) "mengeluarkan" sebongkah intan. Lantas Jamal mendadak kaya, padahal baru menjual "seupil" batu mulia itu. Tapi uang ternyata tidak membikin hati tenteram, Jamal jadi bingung dan takut. Apalagi muncul polisi (Alwi Oslan dan A. Rafiq) ditambah pengacara (Farouk Afero, 1939-2003) yang mengatur hidup Jamal dan Saleha.
Lantas Jamal hidup bagaikan konglomerat. Tadinya melarat. Tapi Jamal tidak betah. Dia ingin bebas biarpun miskin. Sekarang katanya "senang", tapi Jamal merana karena tak diizinkan lagi ngegado jengkol. Makanan itu mengaitkan Jamal dengan Betawi. Namun, Intan Berduri bukan cerita (di) Betawi. Jamal dan para tetangganya berdialek Betawi, tapi yang terlihat adalah kehidupan rakyat kecil. Bisa saja terjadi di mana pun.
Begitu hasil penelitian menunjukkan bahwa intan penemuan Jamal itu masih mentah, tak berharga, Jamal dan Saleha lantas tak punya harga lagi di mata sang pengacara. Kontan suami-istri itu diusir. Kembali ke kampung, jadi orang miskin lagi. Mengharukan. Melihat permainan mereka, Citra itu pantas bagi Benyamin dan Rima.
Lalu, sebagai pemain (film), Benyamin melanjutkan "film-film Benyamin"-nya yang sebagian disutradarai dedengkot Betawi, Nawi Ismail (1918-1990). Misalnya Biang Kerok Beruntung (1973), Buaye Gile (1974), Samson Betawi (1975), Tarsan Pensiunan (1976), dan lain-lain. Padahal Benyamin punya potensi yang kemudian digali oleh sesama Betawi, Sjuman Djaya (1933-1985). Bang Ben dipasangkan dengan Rima Melati lagi dalam Pinangan (1976) dan Si Doel Anak Modern (1970), yang didampingi Christine Hakim, pemenang Citra dalam Cinta Pertama (1973) pada FFI 1974.
Sjuman adalah penggarap Si Doel Anak Betawi (1973) berdasar novel Aman. Yang jadi Si Doel (kecil) adalah Rano Karno, sedangkan Benyamin nongol sebentar sebagai "babe"-nya. Setelah dewasa, Si Doel yang (sok) modern adalah Bang Ben. Permainannya lebih "hidup" dibanding dalam Intan. Maklum, dia makin berpengalaman. Intan adalah film yang ke-8, sedangkan Si Doel yang ke-35.
Intan memang tampaknya tidak dimaksud sebagai cerita Betawi, tapi kebetawian amat menonjol dalam Si Doel versi 1973 maupun "sambungan"-nya pada 1976. Sementara dalam Intan (1972) tak sempat ceplas-ceplos, dalam Si Doel (1976) Benyamin amat "riuh" dan diimbangi dengan enak oleh Christine yang jadi pacarnya, Kristin alias Nonon. Hasilnya, Bang Ben meraih Citra lagi. Semacam "jawaban" bahwa kemenangannya dulu dalam Intan sebetulnya wajar-wajar saja.
07 April 1973
FFI 1973
Wim tentang wim
Wim tentang wim
TIDAK
disangkal oleh Wim Umboh 40 tahun, bahwa film terbarunya yang
memenangkan hadiah tertinggi festival film Indonesia 73 ini lahir dari
pengalarnan pahit dengan film Mama. "Penonton kita tidak suka film yang
agak berlagak", begitu Wim mengomentari kegagalan film 70 mm pertama di
Indonesia itu. Dengan meyakini anak muda sebagai penonton utama
film-film nasional, segera saja is teringat pada suksesnya dengan
Pengantin Remaja, dan lahir lab film Perkawinan, bahkan dengan team yang
sama dengan film yang memenangkan hadiah tertinggi di Festival Film se
Asia tahun 1971. Itulah Soalnya "Saya tidak boleh jauh dari penonton
saya", begitu Wim membela kebijaksanaannya membuat Perkawinan yang
mengulangi kemanisan dan kelembutan Pengantin Remaja dengan cara yang
lebih matang. Apa kah sukses-sukses yang ditelurkan oleh "kesetiaan" itu
akan terus di pertahankan? "Masyarakat penonton saya akan selalu saya
pertahankan, itu pasti", jawabnya cepat. "Tapi", Wim melanjutkan. "film
saya yang akan datang akan mengagetkan". Dan herkisahlah sutradara
merangkap difektur PT Aries Film ini tentang keasyikannya menonton The
Last Tanggo in Paris karya Bertolucci: anyak kalimat panjang digunakan
oleh Wim untuk menjelaskan tanggapannya dan kemungkinan pengaruh
sutradara muda Italia yang menghebohkan itu terhadap , dirinya, tapi
akWrnya is berkata: "Saya akan mengikuti cara Bert Nucci. Saya sekarang
.ini lain, saya ingin bikin film yang orang tidak tahu itu apa. Tapi
setelah selesai nonton baru tahu, oh", ini begini rupanya". Sambil
berkeputusan untuk mengakhiri cara bercerita film-film Indonesia yang
dianggapnya sudah terlalu verbal itu. Wim memperingatkan teman-teman
sejawatnya bahwa film "bukan hanya urutan gambar, tapi di dalamnya harus
ada mission.
Ceritanya
biasa, tapi cara mengisahkan dengan lensa, itu lab soalnya", kata Wim.
Pelopor Akan halnya pernyataan-pernyataan yang menarik dari sutradara
kelahiran Menado ini, nampaknya bukan soal baru bagi mereka yang
mengenal nya sedikit dekat. "Saya selalu ingin, mencoba", begitu sering
is tei dengar berkata. Dengan ,prinsip kepingman macam itulah pula maka
Haji Djohardin, Direktur Direktorat Film Deppep, menjuluki Wim Umboh
sebagai "pelopor" dalam perfilman nasional. Ini bukan tanpa alasan.
Adalah Wim yang memulai penggunaan sistim layar lebar (sekaligus film
silat) dalam sejarah perfilman Indonesia dengan membuat Macan Kemayoran
(1965): dia juga yang mempelopori film berwarna dengan membuat film
Sembilan (1966) dan dengan membuat film Mama, adalah Wim pula yang yang
mempelopori pembuatan film 70 mm dengan lensa panavision di Indonesia.
Lokasi di Eropa untuk film Perkawinan ini tidak pula bisa dipisahkan
dengan kepeloporannya itu. Agak sayang memang kalau kepeloporan itu
harus dikaitkan dengan orisinalitas sebab tidak selamanya Wim berjaya
menemukan keharuan. "Tapi paling tidak ia tidak meniru klise-klise kuno
yang sudah lazim dalam film kita", kata seorang anggoto juri -festival.
Dan Wim sendiri memang tidak, ngotot membela orisinahtasnya, terbukti
dengan sikapnya yang tidak menganggap berdosa membuat film Pemberang,
walaupun itu konon tidak lebih dari saduran atas film Cape Fear.
"Setelah jadi film Indonesia, soalnya akan lain sama sekali" kata Wim
pula. Kurang jelas, adalah dengan ini sutradara lepasan kursus film
Paris (1962-196) itu berhasrat membela Syuman Djaya, temannya yang
menulis skenario Pengantin Remaja, yang dinilai oleh sementara orang
sebagai suatu saduran dari karya Eric Segal. Konsentrasi Terhadap soal
sadur-menyadur ini, selama sistim kerja industri film Indonesia masih
belum beranjak dari sifat amatiran, nampaknya akan masih lama
mengongkongi film-film buatan dalam negeri. "Pada file yang berikut,
saya tidak mau tahu soal lain kecuali penyutradaraan. Saya kifi perlu
konsentrasi, tidak mengurusi uang, lampu, kamera dan segala. macam
tetek-bengek", kata Wim bagaikan orang yang baru sadar akan sistim kerja
borqngan yang selama ini dilakukannya. Untunglah bahwa sutradara yang
memulai karyanya dari bawah ini sejak lama memang telah membina suatu
team kerja dengan prang-prang yang juga beruntung menjadi karyawan utama
di bidang nya. Juru kamera terkemuka Indonesia, Lukman Hakim Nain,
sejak pertengahan tahun enam puluhan sudah meiupakan pasangan tetap Wim.
"Kalau bung Lukman masih sibuk, ya, Wim menunggu", kata seorang
karyawan Aries Film. Dan musik-musik yang mengWasi film-film buatan
Umboh yang satu ini, semua nya basil kerja Idris Sardi.
07 April 1973
Catatan-catatan seorang anggota ...
SALAH
satu dari tujuh anggota Dewan Juri Festival Film Indonesia 1973 adalah
Goenawan Mohamad dari TEMPO. Enam Yang lain: Moh. Said (tokoh Taman
Siswa, anggota Akademi Jakarta darn Badan Sensor Film), Gajus Siagiair
(pengajar kritik film di LPKJ dan anggota BSFJ, Kusnadi (pelukis,
pembikin beberapa film dokumenterJ, Ekana Siswolo (pejabat Departemen
Penerangan, dengan pengalamari di PFN dan ihistrator, majalah Kisah),
D.A.Peransi (pelukis, beberapa kali membuat film dokumenter dan
semi-dokumenter, dosen cinematografi di LPKJ, serta peniah jadi anggota
juri festival film di Eropa) dan lrawati Sudiarso (musikus, anggota
DKJJ. Catatan-catatan di bawah arti adalah pendapat Goenawan Mohamad
pribadi: SEORANG juri harus punya satu ketakutan. Ia perlu takut
kalau-kalau basil keputusannya akan dicemooh ramai-ramai oleh para
penilai cendekia di luar dewan juri. Catatan-catatan seorang anggota ...
Tapi
serentak dengan itu is juga harus punya semacam keberanian -- untuk
mempertanggungjawabkan hasil penilaiannya dalam pengadilan hatinya
sendiri. Dia punya kekuasaan yang lebih besar, pada saat yang singkat
itu daripada kekuasaan seorang kritikus atau penulis resensi. Sebab itu
dia di ganduli beban yang lebih berat pula, tepat di lehernya. Terutama,
bila ia seorang juri dalam sebuah festival film Indonesia di tahun
1973. Saya tak bermaksud melebih-lebihkan. Setiap festival film dalam
situasi perfilman kita dewasa ini mau tak mau akan menyangkut promosi
dagang, walaupun FFI 1973 menurut harapan bukan arena promosi, tapi
semacam kompetisi mute. Sebuah film yang terpilih jadi film terbaik
-apabila belum pernah diputar, seperti halnya Perkawinan - mengincar
sasaran box office, sebab setiap film yang kini dibuat memang membidik
sejumlah uang besar yang dinamakan "laba". Seorang aktor atau aktris
yang terpilih bisa dipastikan akan segera diminta ke sana kemari untuk
main. Artinya, uang penghasilan nya akan banyak - meskipun bakatnya bisa
jadi tercecer-cecer tak keruan karena didera produksi A, B, C, D, E, F
dan seterusnya dalam waktu yang singkat. Piala "Citra" Dengan kata lain,
setiap hasil penilaian juri setiap festival manapun dewasa ini mau tak
inau menyangkut hasib ,perdagangan sejumlah orang. la berurusan dengan
masa depan sejunilali atig - benda yang rupanya makin erkuasa kini
hingga dapat nienyebab kan manusia jadi seinacam barang kelontong. Maka,
sadar akan hal itu, seoi-ang anggota juri mau tak mau harus
niernelihara wewenangnya dari kancah komersiil itu. la ingat bahwa ia
akan ikut menentukan ke mana singgahnya sebuah piala yang namanya
"Citra", dipilih , oleh Kepala Negara Republik, dan diharapkan jadi
piala yang terhormat. Ia juga ingat bahwa betapapun belum sempurnanya
penyelenggaraan FFI 1973, iktikad baik yang terkandung dalani
penyelenggaraannya harus jadi bahan tradisi festival-festival yang akan
datang. Dengan begitu seorang juri perlu herusaha meletakkan dasar bagi
cari kerja juri juri berikutnya, dan mengakui kekurangan-kekurangan yang
telah di alaminya. Bagi saya, kalimat lazim bahwa "keputusan juri tak
bisa diganggu gugat", hanya berarti keputusan itu sudah final.
Tapi
tidak absolut. Piala dan pengliargaan yang sudah diberikan memang tak
boleh ditarik kembali, tapi harus tetap diakui bahwa penilaian'juri
bersifat nisbi. Orang lain berhak meragukan tepatnya penilaian itu,
tentu saja berdasarkan pertimbangannya sendiri yang juga nisbi. Hasil
karya film bukan prestasi atletik, yang bisa diukur dengan stop watch.
Kepala sama berbulu, pendapat berlainan. Bahkan adanya semacam
pertukaran fikiran atau diskusi mengenai hasil penilaian juri akan
membantu kita utama untuk meningkatkan ketajaman dalam apresiasi film,
dan mendorong juri agar selalu bertanggungjawab. Kita tak boleh terjebak
kesembronoan. Perincian Sebab menilai sebuah film sebagai suatu
totalitas adalah satu pal. Menilai basil-basil perincian kerja film itu:
skenarionya, editingnya, bahkan permainan aktor dan aktrisnya,, adalah
pal lain. Sarnpai berapa jauh suatu skenario tidak diubah oleh sutradara
dalam proses pembikinan film? Sebuah buku pernah diterbitkan tentang
dua versi Guillette de l'esprit dari Fellini: satu versi adalah skenario
sebelum shooting, satu versi adalah rekaman kembali dari film -- dan
nyata benar bedanya. Itu satu contoh, yang umum diketahui orang film,
tapi yang menyebabkan seorang penonton-termasuk juri -- cuma sampai
batas tertentu saja bisa menilai suatu skenario sebagai suatu elemen
yang berdiri sendiri, terpisah dari tangan sutradara. D.A.Peransi, yang
punya pengalaman sebagai juri festival film internasional di Negeri
Belanda dan di Jerman, pernah mngatakan pada saya bahwa sebaiknya juri
diberi kesempatan membaca skenario suatu film yang dinilai: dari sini
bukan saja bisa dilihat mutu skenario itu sendiri, tapi kreativitas
penyutradaraan dan editor.
Tapi
sudah tentu saran yang baik ini mustahil untuk dilaksanakan. Juri FFI
1973 harus bekerja dalam 11 hari (dari jam 15.30 hingga malam) untuk
menonton 36 film, termasuk 6 film dokumenter dan 1 film "tamu" yang tak
ikut dinilai, Panji Tengkorak. Dan di samping soal waktu yang pendek
itu, siapa tahu ada film yang tanpa skenario. Laki-Laki Tak Bernama Wim
Umboh konon salah satu contohnya. Kesulitan yang sama juga terdapat
dalam persoalan acting. Konsistensi mutu permainan seorang aktor
Indonsia kini masih amat meragukan, dan mungkin sekali tergantung pada
siapa si sutradara dan bagaimana skenario dan malah juga hasil dubbing
suaranya di studio. Sophaan Sophiaan dalam Cintaku Jauh di Pulau berada
sekian derajat di bawah Sophaan Sophiaan dalam Pemberang. Widyawaty
dalam PerkaDin bermain bagus sekali, tapi dalam Si Bongkok ia
paling-paling cuma tampak cantik. Fifi Young dalam Malin Kundang baik,
dalam Pengantin Tiga Kali mencapekkan. Sentot, pemain baru yang berasal
sebagai penari, lebih menonjol di Mutiara Dalam Lumpur tapi berabe dalam
Kabut di Kintamani -- di mana ia tertawa keras-keras, tanpa kita tahu
ada kah ketawa itu hasil karyanya, atau hasil pengisian suara. Benyamin S
yang memperoleh angka terbanyak untuk FFI 1973 -- suatu "surprise"
--menonjol lantaran peranannya dalam komedi seperti Intan Perduri,
sebagai orang kampung di udik Jakarta yang melarat. Tapi untuk peran
lain, misalnya sebuah film cinta kota besar, mungkin ia bakal bumpet
seperti kalau Roy Rogers harus berhenti jadi koboi dan main dalam film
sejarah Mesir. "Aktor" Atau "Permainan" Semua contoh tadi menimbulkan
problim: sampai berapa jauh totalitas sebuah karya film bisa dimulai
dalam elemen-elemen produksinya untuk kemudian masing-masing elemen
dinilai secara adil? Mungkin kita belum berani mempelopori suatu
pendekatan baru dalam penilaian film, yang berheda sama sekali dari
tradisi yang sudah ada, baik di Hollywood maupun Hongkong. Saya kira
pada suatu ketika nanti perlu ada semacam metode Ganzheit dalam
penilaian itu, sehingga yang dinilai cuma film terbaik, tanpa
embel-embel editing, pengarahan artistik, ilustrasi musik, teknik suara
dan lainlaim Dengan demikian karya film sebagai hasil kerja-sama
beberapa unsur akan lebih jelas.
Pada
gilirannya ini akan merangsang keutuhan kerja yang seimbang dalam suatu
proses produksi. Kalaupun ada elemen yang perlu dinilai, maka
barangkali itu hanya pilihan cerita atau thema atau alur cerita -- dan
bukan skenario. Tentang penilaian terhadap satu pemegang peran - utama
atau pembantu untuk satu festiva pengertiannya agaknya juga harus lebih
sederhana. Para juri FFI 1973 telah berusaha mengambil jalan tengah yang
sulit untuk memilih pengertian "aktor terbaik" dengan "permainan atau
acting terbaik". Tapi para juri FFI yang akan datang barangkali perlu
membatasi diri pada penilaian "permainan" atau "acting" terbaik saja dan
tidak memilih "aktor" atau "aktris" terbaik. Sebab bagi saya dua
pengertian itu berbeda. Seorang "aktor" terbaik dalam tahun tertentu
harus dinilai berdasarkan konsistensi mutu permainannya dalam pelbagai
macam film dan pelbagai macam peran selama satu tahun. Kalau dia baik
terus selama itu, dia berhak memperoleh gelar tersebut. Dan sebaiknya
penilaian hal ini dilakukan oleh kritisi film atau wartawan film yang
harus mengikuti perkembangan para bintang selama suatu masa tertentu. Di
situlah sebetulnya fungsi yang bisa dipegang oleh PWI Seksi Film:
menurut saya, dalam menirai aktor dan aktris terbaik wartawan film perlu
mengikuti cara para wartawan olahraga di SIWO dalam memutuskan siapa
olahragawan terbaik untuk satu tahun. Seperti halnya kiper Ronny Paslah
tak hanya dinilai prestasinya dalam satu pertandingan, juga Sukarno
M.Noor akan lebih mantap mutunya sebagai aktor bila dinilai berdasarkan
sejumlah filmnya. Batas Juri Dengan begitu terdapat semacam isimengisi
antara dua macam penilaian. Tanpa mengadakan semacam festival lain,
karena wartawan & kritisi film seharusnya sudah mengikuti
perkembangan seorang bintang secara kontinyu, penilaian mereka dengan
cara itu akan lebih punya bobot dalam memilih "aktor terbaik" di suatu
tahun. Dan sementara itu penilaian juri dalam satu Festival Film
mendapatkan peluang untuk lebih berendah-hati: juri suatu Festival hanya
menilai permainan terbaik seorang bintang -- yang belum tentu aktor
atau aktris terbaik untuk satu tahun - dari salah satu film yang
difestivalkan. Dan memang di. situlah batas observasi seorang juri
festival.
Ia
hanya mengambil keputusan berdasarkan bahan yang ada. Bahkan dalam
memilih peran utama terbaik, para juri FFI 1973 terpaksa memakai daftar
"calon" yang di ajukan produser, yang kadang-kadang kurang praktis:
untuk film Mama, misalnya, yang disebut "peran utama" adalah sederet
nama--Sukarno M. Noor, Andy Auric, W.D. Mochtar, Rima Melati dan
lain-lain -- hingga juri terpaksa memilih salah satu saja untuk mereka
nilai. Yang lain terbuang. Nampaknya dalam pencantuman nama macam itu
ada kekaburan pengertian antara "bintang terkenal" dengan "peran utama"
-- suatu hal yang kali ini terpaksa ditelan dengan seret oleh dewan
juri. Kelak agaknya hal ini perlu diperbaiki. Perbaikan lain yang
mungkin perlu diadakan, seperti pernah disebutkan dalam suatu percakapan
oleh D.A Peransi ialah pentingnya diskusi antara juri mengenai sejumlah
film dan pemain yang terpilih, agar diperoleh suatu hasil yang telah
diuji validitasnya. Prosedur ini dalam dewan juri FFI 1973 praktis tidak
ada: rembugan antar juri terbatas pada teknik penilaian dan
penghitungan. Agaknya secara ekstrim bisa dikatakan, bahwa yang
berlangsung dalam penjurian FFI 1973 adalah kombinasi angkaangka, dan
bukan komunikasi apresiasi dan ideide. Untunglah, perbedaan angka-angka
penilaian antara para juri pada umumnya ternyata tak banyak berbeda.
Tapi prosedur demikian menyebabkan setiap juri pada hakikatnya bekerja
sendiri-sendiri. Betapapun, ada semangat kerjasama yang tinggi, bukan
saja antar juri, tapi dengan panitia, yang dengan teguh menjaga otonomi
juri. Tradisi ini tentunya patut dipertahankan.
07 April 1973
PEMENANGNYA ADALAH...
PEMENANGNYA ADALAH...
DARI
hasil penilaian juri Festival Film Indonesia (FFI) 1973 terdapat
hal-hal yang sudah bisa diperkirakan dan ada juga yang mengejutkam
Sebagai film terbaik -- berdasarkan angka-angka yang dikumpulkan dari
pelbagai elemen produksi -- adalah Perk winan karya Wim Umboh, yang
telah diresensikan Salim Said dalam TEMPO (24 Maret) sebagai "satu lagi
pencapaian yang menggembirakan bagi film-film nasional". Film kedua
terbaik adalah Pemberang, yang disutradarai Rasmana, juga sudah ditulis
di TEMPO (3 Maret) sebagai "film tegang Indonesia terbaik hingga
sekarang". Yang agak kontroversial mungkin dipilihnya penyanyi Benyamin
S. sebagai pemain yang terbaik. Tapi tentang Rima Melati (terpilih oleh
PWI 1971 sebagai aktns terbaik) dan Fifi Young -- masing-masing sebagai
aktris terbaik pertama dan kedua -- agaknya tak akan banyak
keterkejutan, walaupun di kalangan pengamat film ada banyak yang
mencatat bahwa Widyawati dalarn Perkawinan menunjukkan puncak
perrnainannya-meskipun dalam film lain dia tak seberapa. Tentang Dicky
Zulkarnaen (sebagai aktor terbaik kedua), Tanty Josepha dan Arman
Effendi (masing-masing selagai aktris dan aktor harapan), serta Dewi dan
Andy Carol (pemain kanak-kanak terbaik), kita belum dengar komentar.
Yang
harus dicatat tentulah bahwa penilaian juri betapapun juga adalah
sesuatu yang nisbi, tergantung dari apresiasi mereka dan bahan yang ada
pada mereka. Tentang persoalan-persoalan penjurian, dalam nomor ini
Goenawan Mohamad (yang pernah menjadi desk film TEMPO dan bekas anggota
Badan Sensor Film serta termasuk sebagai salah satu juri dalam Festival
Film 1973 ini) menuliskan saran-sarannya mengenai penilaian film untuk
masamasa yang akan datang, berdasarkan kekurangan-kekurangan yang
terdapat dalam FFI 1973. Di dalam tulisannya juga dikemukakan, bagaimana
sebenarnya penilaian tentang aktor dan aktris terbaik yang dilakukan
PWI Jaya selama ini, dengan disem,urnakan arah dan sistemnya, bisa
berhubungan saling si-mengisi dengan penilaian segi ucting oleh sebuah
dewan juri dalam satu festival. Dengan demikian, konflik yang terjadi
secara diam-diam atau terbuka antara PWI Jaya dengan FFI 1973 sebenarnya
tak perlu terjadi dan diperpanjang -- kalau kedua belah fihak memang
tidak mau terjebak dalam vested-interest. Tentang konflik itu sendiri
dikemukakan oleh laporan yang disusun Salim Said dan dibantu sepenuhnya
oleh Martin Aleida.
Melihat
bahwa dalam suatu festival di Indonesia di waktu yang I ampau terdapat
film lewat Jarn Malam sebagai film terbaik (juga dikemukakan dalam box
tersendiri dalam laporan utama ini), satu kesimpulan bisa diambil
agaknya: bahwa dulu, ketika pembuatan film masih sederhana tekniknya,
ternyata terdapat kemauan untuk membuat film yang pada dasarnya tidak
mengincar keuntungan komersiil belaka, seperti halnya film Lewat Jam
Malam itu. Dewasa ini, keberanian itu makin jarang, kecuali mungkin
sedikit dengan film produksi Sarinande Wajah Seorang Laki-Laki
(dikerjakan bersama Teater Populer). Agaknya perubahan institusionil
dalam kehidupan perfilman kita perlu diadakan, agar karyawan film kita
tak cuma terpaksa harus diburu-buru untuk produksi-produksi yang
berlaba, tapi juga menyempatkan waktunya untuk membikin film yang
merupakan karya seni, meskipun kalau perlu tak laku.