Garin muncul ketika film Indonesia sudah mulai ngos-ngosan nafasnya, dan dimana semua orang memaki film Indonesia yang terlalu sex, horor, dan asal-asalan. Makna dari film sudah meyimpang jauh dari harapan penonton, film-film baik sudah tidak ada, hanya beberapa saja, dan selebihnya...yah gitulah. 1992 adalah masa yang sulit dan mulai mati surinya film Indonesia akibat, produser yang menggampangkan tema dan bikin film hanya untuk uang saja, dan yang kedua karena politik ekonomi indonesia yang sedang amburadul sehingga tukar guling tekstil dengan film Amerika kebanjiran di sini. Selain itu juga pekerja film pindah ke stasiun TV swasta ada saat itu, komersial iklan dibutuhkan, sinetron dibutuhkan, video klip di butuhkan hingga ke acara talkshow TV juga. Maka mereka pindah ke lahan itu.
Selain itu juga, gaya film yang sangat populer saat itu adalah Teguh karya dan Arifin C.Noer...masih menggunakan konsep teaterikal dalam peran-peran mereka yang baik. Cerita tentang percintaan masih terus ada. Lalu muncul suatu gaya yang dimana orang terpana melihatnya, Cinta Sepotong Roti bukan cerita tentang cinta yang pada umumnya yang ada dalam film Indonesia sebelumnya. Cinta yang unik dan tutur berceritanya juga unik, sehingga tidak heran beberapa orang kurang bisa menangkapnya...maklumlah, barang baru dan gaya baru. Begitulah orang menyebutnya. Beberapa orang bahkan menyatakan mirip film luar negeri yang pernah dibikin, apakah ini peniruan atau pengulangan? Dari jaman dulu sudah terjadi hal itu. Beberapa orang menyatakan agak sulit mencerna, mungkin format fetival film International, mulailah orang membeda-bedakan mana film komersil, mana film untuk penonton umum, mana film untuk festival dan sebagainya. Tetapi yang pasti Garin muncul dengan sesuatu hal yang lain bagi perfilman nasional, tetapi bukan bagi perfilman International. Karena beberapa orang menyatakan film seperti itu sudah banyak yang bikin dan bahkan hampir mirip persis.
Film selanjutnya Garin muncul dengan film lainnya, dan semakin sulit untuk di cerna, sampai orang menyatakan itu film art, itu film berat, itu film untuk penonton khusus dan sebagainya, sehingga semakin terkotak lagi film - penontonnya - dan festival.
Apakah Garin sering menonton film-film dalam festival international sehingga ia membuat film yang berstandart festival international? Tidak ada yang tahu, tetapi film selanjutnya Garin ada film dengan gaya yang sering ada dalam film-film festival International sehingga banyak orang menyatakan, bikin film untuk festival. Apakah ini benar atau salah, menurut orang lain ini benar, tetapi menurut saya ini salah.
Nama :Garin Nugroho
Lahir :Yogyakarta, 6 Juni 1961
Pendidikan :
Insitut Kesenian Jakarta, jurusan Film dan Televisi
Fakultas Hukum, jurusan Sosiologi Hukum Universitas Indonesia
Ia beruntung memasuki dua organisasi pendidikan, yakni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Film dan Televisi, sekaligus Fakultas Hukum pada jurusan Sosiologi Hukum Universitas Indonesia pada periode tahun 1980-–1985, sebuah masa transisi dari sistem kesenian, dimana pola sanggar menuju pendidikan pada sistem SKS (Satuan Kredit Semester). Kemudian ia mengajar di IKJ dari tahun 1982 sampai tahun 2002, suatu fase ketika materi kuliah mengacu pada sistem perguruan tinggi umum, yang sesungguhnya tidak ia setujui.
Ia juga beruntung pada periode 1980-2003, ditengah berbagai persoalan-persoalan perubahan di Indonesia, menjalankan berbagai perjalanan. Dari wilayah kangguru di Wasur (Merauke) hingga berburu ikan paus di Lamalera (Nusa Tenggara Timur), dari wilayah Takengon (Aceh) hingga penis dance di Waris (Papua) dari sungai dekat Loksado (Kalimantan Selatan) hingga wilayah Taman Laut Bunaken, dan dari wilayah konflik Aceh dan Ambon hingga Kongres Papua di Jayapura.
Untuk memeriahkan hari kelahiran ke 250 komponis dunia Wolfgang Amadeus Mozart pada November 2006, Garin membuat film yang berjudul Opera Jawa yang diputar Di Wina, Austria. Film in sempat menuai protes keras dari WHYO (World Hindu Youth Organization) yang berhubungan dengan figur yang ada dalam Kitab Suci Ramayana seperti Bima, Rama, Shinta, Laksamana, Rahwana, Hanoman, yang divisualisasikan melenceng dari naskah dan teks Kitab Suci Ramayana’. Kisah Ramayana yang teks aslinya dirangkum oleh Maharesi Valmiki, yang merupakan kejadian nyata dan bukan sebatas legenda atau epos.
Lantas apa kata Garin Nugroho, menyikapi protes keras WHYO ? “Saya tidak sedikitpun punya maksud untuk melecehkan agama lain. Karena kami tidak mengangkat kisah Ramayana yang merupakan kisah suci dalam agama Hindu”. Tetapi adalah Opera Jawa’ mengangkat lakon yang diinspirasikan dari kisah Shinta Obong. “Lagi pula, film itu tidak mengisahkan sosok Rama, Rahwana ataupun Hanoman dalam Ramayana versi agama Hindu. Melainkan mengisahkan sosok Siti (Artika Sari Dewi), Setyo (Miroto) dan Ludiro (Eko Supriyantro)’,” jelas Garin.
“Ketiga sosok itu”, kata sutradara berbakat, dan peraih berbagai penghargaan internasional untuk karya-karya filmnya itu, “Bukanlah interpretasi dari sosok Rama, Shinta atau pun Rahwana. Namun mereka hanyalah pemain sosok Rama, Shinta dan Rahwana dalam Wayang Orang Jawa,” katanya, Bagi Garin, alih-alih memicu konflik agama, Opera Jawa justru berniat membawa pesan keagamaan. “Kami menghargai perbedaan, karenanya film ini mengusung tema perdamaian dan anti kekerasan,”’ ujarnya.
Pesan-pesan dalam Opera Jawa itu juga mengandung kedamaian dan anti ekstrimisme seperti yang saat ini terjadi. Belum lagi para pemainnya yang berasal dari berbagai kalangan penganut agama.
Selain itu juga, gaya film yang sangat populer saat itu adalah Teguh karya dan Arifin C.Noer...masih menggunakan konsep teaterikal dalam peran-peran mereka yang baik. Cerita tentang percintaan masih terus ada. Lalu muncul suatu gaya yang dimana orang terpana melihatnya, Cinta Sepotong Roti bukan cerita tentang cinta yang pada umumnya yang ada dalam film Indonesia sebelumnya. Cinta yang unik dan tutur berceritanya juga unik, sehingga tidak heran beberapa orang kurang bisa menangkapnya...maklumlah, barang baru dan gaya baru. Begitulah orang menyebutnya. Beberapa orang bahkan menyatakan mirip film luar negeri yang pernah dibikin, apakah ini peniruan atau pengulangan? Dari jaman dulu sudah terjadi hal itu. Beberapa orang menyatakan agak sulit mencerna, mungkin format fetival film International, mulailah orang membeda-bedakan mana film komersil, mana film untuk penonton umum, mana film untuk festival dan sebagainya. Tetapi yang pasti Garin muncul dengan sesuatu hal yang lain bagi perfilman nasional, tetapi bukan bagi perfilman International. Karena beberapa orang menyatakan film seperti itu sudah banyak yang bikin dan bahkan hampir mirip persis.
Film selanjutnya Garin muncul dengan film lainnya, dan semakin sulit untuk di cerna, sampai orang menyatakan itu film art, itu film berat, itu film untuk penonton khusus dan sebagainya, sehingga semakin terkotak lagi film - penontonnya - dan festival.
Apakah Garin sering menonton film-film dalam festival international sehingga ia membuat film yang berstandart festival international? Tidak ada yang tahu, tetapi film selanjutnya Garin ada film dengan gaya yang sering ada dalam film-film festival International sehingga banyak orang menyatakan, bikin film untuk festival. Apakah ini benar atau salah, menurut orang lain ini benar, tetapi menurut saya ini salah.
Nama :Garin Nugroho
Lahir :Yogyakarta, 6 Juni 1961
Pendidikan :
Insitut Kesenian Jakarta, jurusan Film dan Televisi
Fakultas Hukum, jurusan Sosiologi Hukum Universitas Indonesia
Ia beruntung memasuki dua organisasi pendidikan, yakni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Film dan Televisi, sekaligus Fakultas Hukum pada jurusan Sosiologi Hukum Universitas Indonesia pada periode tahun 1980-–1985, sebuah masa transisi dari sistem kesenian, dimana pola sanggar menuju pendidikan pada sistem SKS (Satuan Kredit Semester). Kemudian ia mengajar di IKJ dari tahun 1982 sampai tahun 2002, suatu fase ketika materi kuliah mengacu pada sistem perguruan tinggi umum, yang sesungguhnya tidak ia setujui.
Ia juga beruntung pada periode 1980-2003, ditengah berbagai persoalan-persoalan perubahan di Indonesia, menjalankan berbagai perjalanan. Dari wilayah kangguru di Wasur (Merauke) hingga berburu ikan paus di Lamalera (Nusa Tenggara Timur), dari wilayah Takengon (Aceh) hingga penis dance di Waris (Papua) dari sungai dekat Loksado (Kalimantan Selatan) hingga wilayah Taman Laut Bunaken, dan dari wilayah konflik Aceh dan Ambon hingga Kongres Papua di Jayapura.
Untuk memeriahkan hari kelahiran ke 250 komponis dunia Wolfgang Amadeus Mozart pada November 2006, Garin membuat film yang berjudul Opera Jawa yang diputar Di Wina, Austria. Film in sempat menuai protes keras dari WHYO (World Hindu Youth Organization) yang berhubungan dengan figur yang ada dalam Kitab Suci Ramayana seperti Bima, Rama, Shinta, Laksamana, Rahwana, Hanoman, yang divisualisasikan melenceng dari naskah dan teks Kitab Suci Ramayana’. Kisah Ramayana yang teks aslinya dirangkum oleh Maharesi Valmiki, yang merupakan kejadian nyata dan bukan sebatas legenda atau epos.
Lantas apa kata Garin Nugroho, menyikapi protes keras WHYO ? “Saya tidak sedikitpun punya maksud untuk melecehkan agama lain. Karena kami tidak mengangkat kisah Ramayana yang merupakan kisah suci dalam agama Hindu”. Tetapi adalah Opera Jawa’ mengangkat lakon yang diinspirasikan dari kisah Shinta Obong. “Lagi pula, film itu tidak mengisahkan sosok Rama, Rahwana ataupun Hanoman dalam Ramayana versi agama Hindu. Melainkan mengisahkan sosok Siti (Artika Sari Dewi), Setyo (Miroto) dan Ludiro (Eko Supriyantro)’,” jelas Garin.
“Ketiga sosok itu”, kata sutradara berbakat, dan peraih berbagai penghargaan internasional untuk karya-karya filmnya itu, “Bukanlah interpretasi dari sosok Rama, Shinta atau pun Rahwana. Namun mereka hanyalah pemain sosok Rama, Shinta dan Rahwana dalam Wayang Orang Jawa,” katanya, Bagi Garin, alih-alih memicu konflik agama, Opera Jawa justru berniat membawa pesan keagamaan. “Kami menghargai perbedaan, karenanya film ini mengusung tema perdamaian dan anti kekerasan,”’ ujarnya.
Pesan-pesan dalam Opera Jawa itu juga mengandung kedamaian dan anti ekstrimisme seperti yang saat ini terjadi. Belum lagi para pemainnya yang berasal dari berbagai kalangan penganut agama.
Dari berbagai perjalanan hidupnya selama ini, muncul sebuah pertanyaan yang sederhana dalam benaknya : apa yang harus dicatat dari berbagai pengalaman perjalanan tersebut ?
PUISI TAK TERKUBURKAN | 2001 | GARIN NUGROHO | Director | |
AKUINGIN MENCIUMMU SEKALI SALA | 2003 | GARIN NUGROHO | Drama | Director |
DONGENG KANCIL UNTUK KEMERDEKAAN | 1995 | GARIN NUGROHO | Documentary | Director |
SOEGIJA | 2012 | GARIN NUGROHO | Drama | Director |
RINDU KAMI PADAMU | 2005 | GARIN NUGROHO | Drama | Director |
BULAN TERTUSUK ILALANG | 1994 | GARIN NUGROHO | Director | |
MY FAMILY, MY FILMS AND MY NATION | 1998 | GARIN NUGROHO | Documentary | Director |
OPERA JAWA | 2006 | GARIN NUGROHO | Musical | Director |
CINTA DALAM SEPOTONG ROTI | 1990 | GARIN NUGROHO | Director | |
DAUN DI ATAS BANTAL | 1998 | GARIN NUGROHO | Director | |
SERAMBI | 2006 | GARIN NUGROHO | Documentary | Director |
DIBAWAH POHON | 2008 | GARIN NUGROHO | Drama | Director |
SURAT UNTUK BIDADARI | 1992 | GARIN NUGROHO | Director |