KRITIKUS FILM
dikritik Balik PEMBUAT FILM
Yang menarik di artikel ini adalah para kritikus film balik di kritik para pembuat film. Tetapi biasanya kritikus malah mengkritik lagi dan seterusnya tanpa ada ujung kritikan. Hal ini sama dengan mempertanyakan duluan mana, telur apa ayam? Film atau kritikus, sudah pasti film dulu baru kritikus. Kritukus adalah mewakili suara penonton dari sudut demokrasi (kebanyakan). Ia selayaknya tampil selaku dewan rakyat/penonton/suara penonton. Tapi apa jadinya kalau pembuat film Indonesia saat itu sedang lagi baru mencoba membuat film, tetapi reverensi si kritikus ini sudah banyak menonton film hollywood? Tentu lah ia habis-habisan mengkritik film Indonesia itu dari segala aspek atas reverensi film-film yang sudah maju.
Yang menarik di artikel ini adalah para kritikus film balik di kritik para pembuat film. Tetapi biasanya kritikus malah mengkritik lagi dan seterusnya tanpa ada ujung kritikan. Hal ini sama dengan mempertanyakan duluan mana, telur apa ayam? Film atau kritikus, sudah pasti film dulu baru kritikus. Kritukus adalah mewakili suara penonton dari sudut demokrasi (kebanyakan). Ia selayaknya tampil selaku dewan rakyat/penonton/suara penonton. Tapi apa jadinya kalau pembuat film Indonesia saat itu sedang lagi baru mencoba membuat film, tetapi reverensi si kritikus ini sudah banyak menonton film hollywood? Tentu lah ia habis-habisan mengkritik film Indonesia itu dari segala aspek atas reverensi film-film yang sudah maju.
Kritikus film lebih sering melakukan resensi film. Banyak juga kritikus film yang tidak nonton film, baca sipnosis saja sudah melakukan penulisannya. Lebih parah lagi saat ini kritikus film lebih arogan lagi dari sudut pandang diri dia saja dari pada penonton dan pembuat film. Saat ini juga kritikus film dan pembuat film dan penonton sudah terkotakan lagi. Pembuat film sudah mati-matian membuat film yang sudah berantem dengan produser dan segala pihak untuk membuat film ini. Kritikus tidak mau tahu, ia selayaknya pengamat film yang paling benar dan yang paling tahu, yang lebih hebat lagi penonton sebelum menonton dia membaca resensi film itu dari kritikus dulu, dari situ ia tahu layak apa tidak di tonton.
Saya jadi ingat saat film mati suri di tahun 1990'an..ketika naik sedikit demi sedikit di tahun 1997-2000, semua pembuat film saat itu sebel sama kritikus. Karena pembuat film sedang berusaha mati-matian menanamkan lagi kepercayaan penonton, dan kritikus bisa membuyarkan itu semua kalau ia tulis film itu tidak layak tonton. Dari mana pembuat film dapat kepercayaan penonton lagi, kalau penonton belum menonton film itu, hanya membaca reverensi dan kritik dari kritikus itu? Saat itu semua produser ingin di tulis dan dibahas dengan baik saja, agar penonton mau menonton lagi, mohon di dukung.
Tetapi ketika kran penonton sudah banjir kebioskop, produser lain melakukan hal sepihak dengan membuat film seenaknya saja, sehingga penonton kecewa dan sakit hati lalu malas menonton lagi.
Kritikus film seharusnya bisa membaca peta penonton ini. Karena ia adalah suara penonton. Tidak berdiri sendiri. Dia lebih suka melamun dan menulis dari pada melakukan survei sendiri. Lalu muncul permasalahan baru. Apakah seorang kritikus film berasal dari pembuat film, atau tidak sama sekali, atau memiliki wawasan tentang pembuatan film? Tidak tahu apa yang sudah ada saat ini. Tetapi Salim Said saat itu adalah masuk dalam daftar orang film walaupun dia tidak pernah membuat film, dia dari TNI, dan ini sudah pasti akan mengganggu bagi film-film yang bertentangan dengan politik saat itu. Banyak yang kesal juga dengan dia karena dia selalu mengkritik dari segala macam, mencari masalah kata yang tepatnya. Kalau cerita baik, dia mencari di aktor/aktrisnya, kalau itu juga baik dia akan mencari ke tehnisnya. Kalau pun itu baik, ia akan mencari ke dampak politik, sosial, budaya dan segalanya. Walaupun ia memiliki reverensi film yang baik dari semua film di dunia saat itu, ia membandingkan itu dengan iklim film nasional saat itu.
Tapi saya setuju dengan kritikus adalah suara penonton, dan ia tahu suhu film nasional dan internasional, lebih baik jika ia dekat dengan orang film (agar tahu permasalahan), lebih baik sekali kalau ia tahu sedikit cara membuat film. Dan ia juga harus memiliki pandangan jauh kedepan akan nasib film nasional.
Kadar pengetahuan film: Kritik pada Camera
Apakala seorang kritikus membuat sebuah kritik, atau namakanlah sebuah resensi, jang ia sendiri tidak mengerti seluk beluk pembuatan rentang apa jang sedang dikritiknja itu, sungguhlah berupa kerdja djahil sekali. Walau ia tetap bersitegang bahwa sebagai seorang kritikus ia hadja berpidjak pada apa jang telah ia lihat tentang sebuah kreasi, tentang bagaimana ia berpendapat tentang sebuah tjiptaan, pada kemutlakan suatu wewenang: ia berhak penuh berkata, ini bagus atau ini djelek.
Misalnja seorang kritikus melihat sebuah patung. Ia tak usah bersusah pajah memikirkan pula, dari mana itu sipemahat memperoleh batu besar bahan patungnja. Tapi sebenarnja kalau si kritikus mempunjai kadar pengetahuan bahwa tidak semua patung dibuat dari batu, atau tidak semua patung dibina dari porselein, dan sebagainja, maka akan lebih tinggilah arti penilaian jang akan ia berikan terhadap resensinja. Apalagi bila ia sendiri pandai pula memberikan penuturan mengenai djenis tanah liat, atau penuturan mengenai adonan gips ala kadarnja, akan dapatlah dirasakan objektivite tentang apa jang ia bitjarakan.
Begitu pula halnja dengan film. Film mempunjai banjak penggemarnja, mempunjai banjak audiences dari tjabang seni lain. Lebih telak lagi kalau dikatakan : film mengambil tempat jang luas dalam kehidupan manusia, dibandingkan dengan tjabang seni lain. Sibotjah jang berusia sepuluh tahun telah berani menjumpah2 terhadap film. Tak ajallah pula filmlebih banjak mempunjai kritisinja.
Karena itu kegiatan jang ditunjdjukkan oleh Perpefi untuk mengadakan pengantar ilmu cinematografi sangatlah dapat dihargakan. Kegiatan ini nantinja akan dapat memperluas pandangan para penulis resensi film. Korps kritisi film tak usah malu lagi akan dirinja, melihat ada diantara rekannja mengulas sebuah film dengan kata “latting”, istilah mana tidak ada sama sekali didalam perfilman. Djelas djuga kini, bahwa diantara para peresensi film ada kesungguhan proffesional dalam tugas mereka., hingga kerdja mereka tidak hanja berupa iseng2-sentil lagi nantinja.
Hal2 inilah pula jang menggerak hati saja mengangkat tulisan ini, hingga ia dapatlah diartikan bahan penolong bagi para pembatja dalam melihat sebuah film Kadar penolong untuk penilaian terhadap pekerdjaan seorang camera-man atau seorang sineas, jang sebagai saja sebutkan diatas hanja “kadar pengetahuan film” Memang kalau kita buka setjara luas tentang pengetahuan film seluruhnja, sudah tentu tempat dimadjalah ini tidak membiarkan. Maka itu saja coba menguraikannja setjara populair dan singkat sadja, dan saja tjoba pula memberikan skets2 untuk memudahkan pengertiannja.
PICTORIAL ART
Seni bidang didalam film bolehlah dikatakan sicamera-man/sutradara melukis dengan cameranja sesuai dengan aestethika kesenian jang ada. Bidang (lajar putih) jang dibatasi oleh bingkai (frame) dengan pertolongan sinar dan bajangan didjelmakan mendjadi sebuah pigura jang indah. Film jang artistik sudah tentu teridiri dari shot2 jang bersandar pada seni bidang ini, dus teridiri dari rentetan gambar2 pigura jang imdah. Untuk menilai pekerdjaan seorang camera-man, kritisi haruslah djuga melihatnja pada seni bidang ini. Didalam film seni-bidang ini djuga mempunjai rumusan2 tertentu seperti didalam seni-lukis, jang dinamakan komposisi angle.
PANSHOT (PANORAMIC SHOTS)
Pan-shots ialah opname jang dilakukan dengan menggerakkan camera dari satu objeck ke objeck jang lain. Untuk menggambarkan seorang peran jang dojan mabuk memasuki sebuah bar misalnja, bisa dikerdjakan dengan panshot dari sebuah botol bier digerakkan kearah peran tersebut jang sedang melangkahi ambang pintu memasuki bar. Atau bisa djuga dilakukan diluaran (location), misalnja buat mendjeladjahi land-schap. Tetapi untuk sebuah panshot sekali2 djangan dilupakan : dari satu titik ke titik jang lain. Umpamanja kita mulai menggerakkan camera dari sebuah pohon achirnja diberhentikan pada sebuah gunung. Untuk memulai panshot dari pohon ke gunung itu harus ada pula pengertian rumus kesenian-bidang. Tarohlah kita mulai menggerakkan camera dari pohon ke gunung itu, kita mulai dari kanan ke kiri. Hendaklah pada shot pertama pohon itu telah berada telah berada dipinggir kanan frame (tidak ditengah atau dipinggir kiri) dan ketika berhenti pada gunung, maka gunung harus berada dipinggir kiri frame (tidak ditengah atau kanan). Lihat tjontoh gambar diatas ini. Kalau kita lihat dalam suatu film pan-shotnja tidak dikerdjakan seperti ini, maka bolehlah kita mentjap bahwa camera-mannja belum tahu apa2 sama sekali tentang seni-bidang.
PARALOX SHOT
Sebuah object dalam satu opname harus berada ditengah2 frame. Ini perlu sekali gunanja dalam meaksentuir objeck tersebut. Objeck yang berada tidak ditengah frame, djadi agak kepingir frame, itu dinamakan paralax. Paralax ini ditimbulkan mungkin kesalahan camera-man jang tidak tepat menundjukkan cameranja dengan betul, ataupun djuga adalah kesalahan technis dari alat cameranja sendiri. Tetapi seorang camera-man jang baik tentu akan mendjaga dengan hati2 sekali agar setiap shotnja djangan terjadi paralax ini. Dalam film jang terbaru jang masih kita temui paralax opname ini ialah dalam film “Harta Angker”.
HIGH & LOW ANGLE
High-angle dan low –angle jaitu opname jang diambil dari ketinggian atau rendah. Tetapi pengertian seni didalanm memberikan kedua matjam angle ini, sehendaknja harus pula ditjotjokkan dengan djalannja tjerita, djadi tidak sembarang asal high atau low-angle sadja. Perumpamaan kita mengambil dua orang lagi berbitjara berhadap2an dari komposisi, high-angle, dapatlah diartikan bahwa peran jang berada difore-ground lebih tingi deradjatnja dari peran jang seorang lagi, misalnja seorang guru dengan muridnja. Sebaliknja harus diambil low-angle, bila simurid jang berada difore-ground karena ia lebih rendah deradjatnja dari gurunja. Djadi pengertian kedua matjam komposisi ini ialah guna aksentuasi dari dua peran jang bertentangan (siperan jang pada saat djalan tjerita menguasai keadaan).
NON-EXIT FRAME
Sudah saja sebutkan diatas tadi bahwa setiap shot itu hendaknja dikerdjakan se-sempurna2 sekali hingga ia berupa pigura jang indah dipandang mata, dan setiap objeck itu haruslah berada ditengah2 frame (ketentuan ini untuk shot jang statis tidak bergerak; djadi berlainan dengan ketika tuan bahwa sesuatu objeck itu haruslah berada ditengah2 frame; maka haruslah diperhatikan lagi is-pan-opname). Selain dari ketentilah jang dinamakan nonexit-frame artinja setiap objeck jang sedang kita opname itu sudah dilingkari oleh bingkai jang segi-empat , maka haruslah pula semua objeck untuk memperindah penggambaran dilingkungi (dilingkari). Pelingkaran objeck ini bila dalam pengambilan distudio (intern opname), dilakukan dengan lighting lampu2; dan bila opname luaran (extern) dengan pertolongan props lain atau background setting alam. Sineas2 Djepang sangat memperhatikan betul akan hal non-exit-frame ini. Umumnya buat mengopname gunung Fuji mereka menutup lagi bidang jang terluang didalam frame mereka dengan setangkai kembang sakura, dan sebagaina. Bila opname didalam studio dengan memakai lampu2, mereka djaga betul disekeliling frame empat-segi itu terdapat berupa shadow, hingga tidak ada dalam suatu gambar seakan2 lightingnja melompat keluar frame. Camera-man Indonesia boleh dikata tidak memperhatikan sama sekali hal non-exit frame ini.
EFFEK-DRAMATIS
1. Lighting : Untuk mentjapai effek jang baik dalam tjerita terutama effek dramatisnja selain dari penggambaran gerak dan mimik peran, djuga dengan pertolongan pemberian lighting pada muka/wadjah siperan, ataupun dengan pertolongan background decorsetting; sangatlah memperkuat setiap adegan jang sedang berdjalan itu. Pemberian warna jang kontras pada wadjah sang peran, sebelah terang sebelah gelap, sangat membantu akan effek2 jang diingini. Tetapi hal ini sebaiknja dikerdjakan waktu climax dari tjerita sadja, karena bila mulai dari awal film sampai achirnja warna contras ini diberikan, akan mengakibatkan lambannja djalan tjerita. (Hal seperti ini sekali lagi kita beri tjontoh film “Harta Angker” jang sedjak semula sudah dipreteli dengan kekontrasan lighting jang sebenarnja belum dibutuhkan melihat djalannja tjerita).
2. Decorsetting: Telah merupakan ketentuan pula dalam film bahwa beeld jang mempunjai garis2 diagonaal adalah merangsangkan suasana jang ritjuh (dramatis), sedangkan sebaliknjagaris2 lurus pada background akan mengesankan suasana jang aman tenteram. Tarohlah kita akan menggambarkan seorang maling dikedjar polisi, atau orang sedang berkelahi , dan sebagainja, hal ini tidak akan begitu kena kesannja bila kita lakukan pada sebuah background atau decorsetting jang bersuasana tenteram, pada djalanan lurus misalnja, tetapi effeknja akan lebih mendalam dirasakan bila diberi background jang bergaris2 mentjong, umpamanja didjalanan jang berliku2 atau ditempat berapa drum2 jang bergaris2 bundar porak poranda letaknja.
Tjontoh sebuah shot jang artistik : George Stevens dengan filmnja ‘A Place in the Sun’ telah memberikan tjontoh sebuah opname jang sangat artistik. Jaitu adegan dimana Monty Clift sedang bertjumbu2an didalam kamar Shelley Winters. Kedua perannja ini diletakkan dalam frame oleh Stevens disebelah kiri tanpa disinari sama sekali. Sedang ditengah dekat djendela jang terbuka terletak sebuah radio jang memantjarkan musik jang mengasikkan. Kemudian disebelah kanan frame terdapat sebuah tempat tidur. Lighting disetumpukan sekuat2nja oleh Stevens keatas tempat tidur ini (praktis tempat tidur inilah jang disinari seterang2nja) seakan2 objek2 lainnja kurang penting nampaknya. Tetapi karena itu aspakah jang dapat kita tangkap kemudian ? Peran Winters ditjeritakan sesudah itu-olah tempat tidur – telah berbadan dua.Inilah kesenian bidang pictorial art dalam film.