07 April 1973
Hanya Ada FFI pertama,
FESTIVAL film bukan kegiatan baru bagi orang-orang film Indonesia. Ini bisa dibuktikan oleh bahan-bahan tertulis tentang festival pertama sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka. Tapi yang menarik adalah ini: catatan sejarah yang lengkap tentang festival keenam tidak kurang, namun untung festival yang kedua sampai lima tidak ditemukan. "Ya memang tidak pernah ada", kata seorang tokoh perfilman. Konon setelah festival pertama tahun 1955 di Jakarta itu, ada juga rencana untuk menyelenggarakan kegiatan yang sama tahun berikutnya di Medan. Tapi karena dunia perfilman mengalami kemerosotan, orang-orang sibuk menyelamatkan diri dan modalnya sendiri. Lima tahun tanpa festival berlalu. Memasuki tahun 1960, Indonesia yang harus mengirimkan delegasi ke Festival Film Asia ketujuh di Tokio terdesak untuk menyelenggarakan seleksi. Mula-mula festival yang di selenggarakan oleh PPFI kendati pun konon pembiayaannya ditang gung almarhum Djamaluddin Malik (Persari) -- akan disebut festival yang kedua saja, tapi karena dianggap kurang enak bahwa sesudah lama baru muncul festival kedua, maka di tentu kan saja bahwa secara imajiner tiap tahun ada festival dan dihitung dari tahun 1955, tahun 1960 ini merupa kan yang keenam. Sudah itu tidak pernah ada kabar lagi tentang nasib pesta-pesta film Indonesia yang biasanya selalu di ramaikan dengan pawai keliling, kembang api serta segala macam pesta.
Djamaludin Malik dan Elly Yunara disambut dan diiringi para sineas dan artis, memasuki gedung dimana akan dilangsungkan Festival Film I tahun 1955
Djamaluddin Malik mendampingi Ibu Negara Fatmawati Soekarno, yang meresmikan dilangsungkannya FFI-I 1955
Sejarah FFI
Tahun 1955, nasib perfilman nasional cukup mengkhawatirkan. Pertama, menghadapi persaingan cukup berat dari film Malaya (kini Malaysia). Kemudian digantikan dengan maraknya film India, yang menyedot penonton kelas menengah ke bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan dimonopoli film-film dari Amerika Serikat. Dalam suasana suram begitu, dua tokoh perfilman, masing-masing H Usmar Ismail dan H Djamaluddin Malik, mempelopri Festival Film Indonesia(FFI).
Pertama kali mereka menggelarnya di Jakarta pada 30 Maret-5 April 1955. Sebelumnya, kedua pioner perfilman nasional itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) di Manila, Filipina.
Ini yang menyebabkan Indonesia harus mengadakan FFI dan pemenangnya akan diperebutkan di FPA, yang diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya. Dalam FFA I 1955, film Lewat Jam Malam, produksi Perfini, meraih anugerah film terbaik, dengan Usmar Ismail sebagai produser. Film ini juga menempatkan AN Alcaff sebagai pemeran utama pria terbaik dan Dhalia menjadi pemeran wanita terbaik, dan aktor pembantu terbaik diraih Bambang Hermanto.
Sedangkan sutradara terbaik direbut Lilik Sudjio lewat film Tarmina, produksi Persari. Gebrak bioskop utama Setelah FFA pertama sukses, keduanya kembali saling bahu-membahu dan bergandengan tangan. Mereka menghadapi keangkuhan bioskop-bioskop kelas satu atau utama yang kala itu menolak memutar film nasional dan hanya memberi tempat bagi film-film AS. Untuk membuktikan bahwa film nasional juga bermutu dan digemari penonton kelas atas, Usmar membuat film berjudul Krisis, dibintangi Nurnaningsih. Film ini diputar selama 35 hari di Bioskop Metropole. Sebelumnya, bioskop yang kini dikenal dengan Megaria, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, hanya memutar film-film produk MGM (Metro Goldwin Mayer), perusahaan film terbesar di Hollywood, AS. Setelah itu, Asrul dengan Perfini-nya membuat film Tiga Dara, dengan pemain Mieke Widjaya, Indriati Iskak, dan Chitra Dewi. Seperti juga Krisis, film ini sukses di bioskop- bioskop kelas atas. Menurut pengamat film era 1950-an, A Rahman Latief, begitu gigihnya menampilkan film-film Indonesia di bioskop kelas satu, Usmar Ismail pernah marah besar kepada Bioskop Capitol, Jl Pintu Air, depan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pasalnya, Capitol sempat menolak memutar film Tiga Dara-nya atau Djanjiku produksi Djamaluddin Malik dari Persari.
Setelah mau memutar film-film produksi Usmar dan Djamal, Capitol ternyata sukses besar dalam meraih penonton. Kegigihan dua produser film itu mendapat respon positif dari Walikota Jakarta, Sudiro. Ia tanpa ragu-ragu mewajibkan bioskop-bioskop kelas satu untuk memutar film nasional. Masuk Lesbumi Usmar Ismail mendirikan Perfini Maret 1950, hanya beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan. Dengan kantor pusatnya di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Sedangkan Djamaluddin Malik mendirikan Persari pada 1953 dengan studionya di Polonia, Jatinegara. Bahkan dia menyediakan perumahan untuk para artis dan aktornya. Sekarang ini Persari diteruskan oleh putri Djamal, Camelia Malik dan suaminya Harry Capri. Di tengah maraknya aksi kelompok 'kiri', Usman, Djamal, Asrul Sani, Suman Jaya, dan beberapa bintang lainnya yang telah banyak menyumbang pada dunia film, dituduh sebagai antek Nekolim, kontra revolusi, dan entah apa lagi. Untuk menghadapi intrik- intrik PKI, Usman, Djamal, dan Asrul Sani bergabung dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang merupakan organ Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Djamal yang dilahirkan 1917 meninggal 1970 dalam usia 53 tahun. Setahun kemudian disusul dengan wafatnya Usmar Ismail pada 20 Maret 1971, dalam usia 50 tahun (lahir 2 Januari 1921). Kontribusi lain Usmar di perfilman nasional ialah dengan mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menghasilkan sejumlah insan film kenamaan, seperti Teguh Karya, dan Sukarno M Noer. Namanya juga diabadikan untuk sebutan gedung: Pusat Perfilman Usmar Ismail, di kawasan Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. ( alwi shahab )
Tahun 1955, nasib perfilman nasional cukup mengkhawatirkan. Pertama, menghadapi persaingan cukup berat dari film Malaya (kini Malaysia). Kemudian digantikan dengan maraknya film India, yang menyedot penonton kelas menengah ke bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan dimonopoli film-film dari Amerika Serikat. Dalam suasana suram begitu, dua tokoh perfilman, masing-masing H Usmar Ismail dan H Djamaluddin Malik, mempelopri Festival Film Indonesia(FFI).
Pertama kali mereka menggelarnya di Jakarta pada 30 Maret-5 April 1955. Sebelumnya, kedua pioner perfilman nasional itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) di Manila, Filipina.
Ini yang menyebabkan Indonesia harus mengadakan FFI dan pemenangnya akan diperebutkan di FPA, yang diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya. Dalam FFA I 1955, film Lewat Jam Malam, produksi Perfini, meraih anugerah film terbaik, dengan Usmar Ismail sebagai produser. Film ini juga menempatkan AN Alcaff sebagai pemeran utama pria terbaik dan Dhalia menjadi pemeran wanita terbaik, dan aktor pembantu terbaik diraih Bambang Hermanto.
Sedangkan sutradara terbaik direbut Lilik Sudjio lewat film Tarmina, produksi Persari. Gebrak bioskop utama Setelah FFA pertama sukses, keduanya kembali saling bahu-membahu dan bergandengan tangan. Mereka menghadapi keangkuhan bioskop-bioskop kelas satu atau utama yang kala itu menolak memutar film nasional dan hanya memberi tempat bagi film-film AS. Untuk membuktikan bahwa film nasional juga bermutu dan digemari penonton kelas atas, Usmar membuat film berjudul Krisis, dibintangi Nurnaningsih. Film ini diputar selama 35 hari di Bioskop Metropole. Sebelumnya, bioskop yang kini dikenal dengan Megaria, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, hanya memutar film-film produk MGM (Metro Goldwin Mayer), perusahaan film terbesar di Hollywood, AS. Setelah itu, Asrul dengan Perfini-nya membuat film Tiga Dara, dengan pemain Mieke Widjaya, Indriati Iskak, dan Chitra Dewi. Seperti juga Krisis, film ini sukses di bioskop- bioskop kelas atas. Menurut pengamat film era 1950-an, A Rahman Latief, begitu gigihnya menampilkan film-film Indonesia di bioskop kelas satu, Usmar Ismail pernah marah besar kepada Bioskop Capitol, Jl Pintu Air, depan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pasalnya, Capitol sempat menolak memutar film Tiga Dara-nya atau Djanjiku produksi Djamaluddin Malik dari Persari.
Setelah mau memutar film-film produksi Usmar dan Djamal, Capitol ternyata sukses besar dalam meraih penonton. Kegigihan dua produser film itu mendapat respon positif dari Walikota Jakarta, Sudiro. Ia tanpa ragu-ragu mewajibkan bioskop-bioskop kelas satu untuk memutar film nasional. Masuk Lesbumi Usmar Ismail mendirikan Perfini Maret 1950, hanya beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan. Dengan kantor pusatnya di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Sedangkan Djamaluddin Malik mendirikan Persari pada 1953 dengan studionya di Polonia, Jatinegara. Bahkan dia menyediakan perumahan untuk para artis dan aktornya. Sekarang ini Persari diteruskan oleh putri Djamal, Camelia Malik dan suaminya Harry Capri. Di tengah maraknya aksi kelompok 'kiri', Usman, Djamal, Asrul Sani, Suman Jaya, dan beberapa bintang lainnya yang telah banyak menyumbang pada dunia film, dituduh sebagai antek Nekolim, kontra revolusi, dan entah apa lagi. Untuk menghadapi intrik- intrik PKI, Usman, Djamal, dan Asrul Sani bergabung dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang merupakan organ Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Djamal yang dilahirkan 1917 meninggal 1970 dalam usia 53 tahun. Setahun kemudian disusul dengan wafatnya Usmar Ismail pada 20 Maret 1971, dalam usia 50 tahun (lahir 2 Januari 1921). Kontribusi lain Usmar di perfilman nasional ialah dengan mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menghasilkan sejumlah insan film kenamaan, seperti Teguh Karya, dan Sukarno M Noer. Namanya juga diabadikan untuk sebutan gedung: Pusat Perfilman Usmar Ismail, di kawasan Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. ( alwi shahab )
Sejarah Festival Film Indonesia
KERDEKAAN memang membawa berkah. Tapi Proklamasi 1945 juga me”lahir”kan revolusi fisik, di kala tergonjang-ganjing hingga 1949. Tidak sedikit yang hijrah ke ibu kota perjuangan, Yogyakarta, meninggalkan Jakarta yang di”kuasai” lagi oleh (bekas) penjajah Belanda. Termasuk para seniman muda yang kemudian jadi tokoh perfilman nasional, seperti Usmar, D. Djajakusuma (1918-1987), Surjosoemanto (1918-1971), dll. Mereka belajar (teori) tentang film dari para senior. Antara lain Andjar Asmara (1902-1961), R.M. Soetarto (1914-2001) dan DR. Huyung (1907-1952). Sementara Djamal pada 1947 mengumpulkan pemain 2 rombongan sandiwara miliknya, masing-masing Pantjawarna (dari Solo) pimpinan M. Budhrasa (1901-1977) dan Bintang Timur (dari Yogya) yang dipimpin Darussalam (1920-1993). Pertemuan di Solo itu mengeluarkan keputusan terbentuknya badan usaha Firma Perseroan Artis Indonesia (PERSARI), yang tujuan jangka panjangnya adalah mendirikan sebuah perusahaan film.
Djamal telah berpikir “jauh ke depan”, PERSARI berdiri pada 1951.
Di masa sebelum kemerdekaan, terdapat 3 perusahaan film Cina, yaitu Tan Khoen Yauw dan adiknya Tan Khoen Hian (TAN’s Film), Wong Bersaudara dan Java Industrial Film (JIF) yang dikelola Teng Chun bersama adik-adiknya. Sempat menikmati “masa panen” sehabis sukses Terang Boelan pada 1938.
• 1937 - 2 film
• 1938 - 3 film
• 1939 - 5 film
• 1940 - 14 film
• 1941 - 30 film
• 1942 - 3 film
Anjloknya produksi 1942, yang hanya sepersepuluh dibanding 1941, adalah disebabkan menyerahnya Belanda kepada Jepang (8 Maret 1942). Yang pertama dilakukan Jepang adalah menyita peralatan perusahaan film swasta, dan melarang swasta membikin film, cerita maupun dokumenter. Jepang lebih banyak membikin film non-cerita yang bersifat propaganda/penerangan. Beberapa film cerita juga dibikin, tapi melulu berisi propaganda (Berdjoang/1943, Ke Seberang/1944).
Di masa pendudukan Jepang, cuma Tan Bersaudara yang tetap di bidang film, sebab kedua kakak-adik itu adalah pengusaha dua bioskop di Jakarta yang bernama sama, Rialto (di Senen dan Tanah Abang). Teng Chun bikin rombongan sandiwara Djantoeng Hati, tapi tidak lama. Sedangkan Wong Bersaudara dagang kecap dan limun.
Pada 1948 Wong dan Tan bergabung dalam Tan & Wong Bros. dengan produksi pertamanya Airmata Mengalir di Tjitarum, yang menampilkan Sofia (Sofia WD, 1925-1986). Teng Chun, bekerja sama dengan teman sekolahnya Fred Young (1900-1977) bikin perusahaan baru, Bintang Surabaja, pada 1949. (Nama itu semula nama rombongan sandiwara yang dikelola Fred dari 1941 hingga 1948).
Dengan JIF-nya Teng Chun telah coba membangun usaha film sebagai industri. Namun Bintang Surabaja tak bertahan lama, tutup pada 1962, seiring lesunya produksi film dalam negeri. Sementara itu PERSARI muncul sebagai kekuatan baru. Djamal mendirikan kompleks studio yang luas di Polonia Jakarta Timur. Studio dibangun Djamal pada 1952, setahun sesudah berdirinya PERSARI. Juga mengikat sejumlah bintang yang semula adalah anggota rombongan Pantjawarna dan Bintang Timur.
Tindakan serba berani nyaris selalu muncul dari Djamal. “Big Boss” Persari itulah yang pada akhir 1954 melontarkan gagasan penyelenggaraan Festival Film Indonesia yang pertama, Maret 1955. Dengan salah satu maksudnya adalah menyeleksi film wakil Indonesia ke Festival Film Asia (Tenggara) di Singapura, Mei 1955. Sebagaimana disampaikan panitia, sehabis rapat pada 2 Pebruari 1955 :
1. sebagai pendorong bagi perbaikan mutu/tehnik film Indonesia.
2. Membikin penonton-penonton Indonesia (ber) film-minded terhadap filmnya sendiri.
3. Sebagai pemilihan terhadap film-film Indonesia yang akan dikirimkan ke Festival Film Asia Tenggara, Mei 1955, di Singapura.
4. Merapatkan hubungan kebudayaan serta silaturahmi di antara bangsa melalui film, di Asia khususnya dan di dunia umumnya.
Panitia inti adalah Djamal (Ketua), Usmar (wakil ketua), Mansur Bogok (Sekretaris) dan The Teng Hoei (bendahara). Diperkuat oleh direksi bioskop-bioskop Metropole/Megaria (Jakarta), Broadway (Surabaya), ODB (Medan), International (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin) dan Capitol (Makasar).
Kepada pemenang aktor/aktris utama dan aktor/aktris pembantu diutus menghadiri Festival Film Asia (Tenggara), yang ongkos p.p. maupun biaya-biaya lain selama di Singapura, semua ditanggung oleh panitia.
Tapi nama hadiah banyak sekali yang diajukan/disarankan, dari hadiah “Roekiah”, “Cornel Simanjuntak”, “S. Turur”, “Ronggowarsito” hingga “Dr. Huyung.” Kemudian diputuskan nama yang panjang, yaitu hadiah Festival Film Indonesia yang pertama, karena tak satupun dari calon-calon nama itu yang disepakati.
Dalam majalah Aneka No. 5 Th. V, 10 April 1955 disebutkan bahwa panitia diperkuat/disempurnakan: Djamal (Ketua), R.M. Soetarto (wakil ketua), Mansur Bogok (sekretaris), The Teng Hoei (bendahara), Usmar Ismail (formatur dewan juri), M. Panji Anom (dekorasi), The Teng Hoei (urusan booking), M. Bogok/Ong Soen Hin (Publicity) dan D. Djajakusuma (urusan hadiah).
Sedangkan Dewan Juri terdiri dari Prof.dr. Bahder Djohan (ketua kehormatan), Sitor Situmorang (wakil ketua), Oei Hoay Tjiang (sekretaris) dengan para anggota dr. Rusmali, Basuki Resobowo, Andjar Asmara, Oei Soen Tjan, Jusuf Ganda, Armijn Pane, T. Sjahril, Lodge Cunningham, Kay Mander, Sudjatmoko dan RAJ Sudjasmin.
Festival diikuti 12 film: Harimau Tjampa (Perfini), Krisis (Perfini), Lewat Djam Malam (Perfini/Persari), Tarmina (Persari), Antara Tugas dan Tjinta (PFN), Pulang (PFN), Rentjong & Surat (GAF Sang Saka), Djakarta di Waktu Malam (Tan & Wong), Burung Merpati (Canary), Rela (Garuda), Debu Revolusi (Ratu Asia) dan Belenggu Masjarakat (Raksi Seni).
Tujuh di antara film-film itu diusahakan pemutarannya serentak di 7 kota:
Jakarta (Metropole dan Cathay), Medan (Olympia), Palembang (International), Surabaya (Broadway), Makasar (Capitol) dan Banjarmasin (Kalimantan).
Pembukaan festival (di Jakarta) dimeriahkan pawai artis. Nyaris semua bintang sedia ikut. Antara lain yang ketika itu sedang popular: Rd. Mochtar, Netty Herawati, AN Alcaff, Ellya (Rosa), Ermina Zainah, Sofia Waldy (Sofia WD), Rd. Sukarno (Rendra Karno), Amran S. Mouna, Turino Djunaidi, A. Hamid Arif, S. Poniman, Nurnaningsih, Rd. Ismail, Nurhasanah, Risa Umami, Lies Noor, Mimi Mariani, Djuriah (Karno), Fifi Young, Salmah, Bambang Hermanto, Chatir Haro, S.A. Rosa, dll.
Pawai dimulai dari Gedung Olahraga (depan kantor Gubernur Jakarta-tapi sekarang telah jadi bagian dari lapangan Monas), Merdeka Selatan, Merdeka Barat, Segara (Veteran) III, Pecenongan, Krekot, Gunung Sahari/Cathay (kini pasar swalayan), Gunung Sahari/Senen, Salemba, Jalan RSCM, Metropole, Cikini, Merdeka Selatan, Gedung Olahraga. Pawai diadakan pada 30 Maret 1955, dimulai pukul 17.00. Pawai dilepas oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Prof. Moh. Yamin, SH.
Kemeriahan itu berlanjut dengan pemutaran film-film (pilihan) di Metropole dan Cathay. Malam pembukaan di Metropole dibuka resmi oleh Menteri Penerangan, dr. F.L. Tobing. Kembali Metropole menunjukkan rasa kebangsaan setelah pada 1954 berani memutar KRISIS (yang ternyata laris hingga 5 minggu) padahal terikat importir asing (MGM/Amerika). Di bioskop itu pula berlangsung kongres yang melahirkan persatuan bioskop Indonesia, 10 April 1955.
Penutupan/pengumuman pemenang festival menimbulkan suara pro dan kontra. Disebabkan terpilihnya juara-bersama untuk aktor utama AN Alcaff (Lewat Djam Malam) dan A. Hadi (Tarmina); aktris utama Dhalia (Lewat Djam Malam) dan Fifi Young (Tarmina); serta aktor pembantu Bambang Hermanto dan Awaludin (bintang Persari) dalamLewat Djam Malam.
Ada yang menyambut hasil festival sebagai kemenangan Perfini. Lalu ada yang menulis bahwa penulis itu pro Perfini. Sebaliknya si penyanggah itu kemudian dituding pro Persari. Tentu tidak lepas dari peran Djamal, yang tidak cuma jadi penggagas, tapi sekaligus men”cukongi” festival. Terlihat juga dari direbutnya gelar sutradara terbaik oleh Lilik Sudjio (Tarmina), bukan oleh Usmar (Lewat Djam Malam).
Lepas dari itu terselenggaranya festival juga dimungkinkan oleh kondisi perfilman Indonesia yang memang sedang “lancar”, produksi naik dari tahun ke tahun:
• 1949 - 8 film
• 1950 - 23 film
• 1951 - 40 film
• 1952 - 50 film
• 1953 - 41 film
• 1954 - 60 film
• 1955 - 65 film
Efek festival, yang dimaksud bersifat tahunan, pada 10 Maret 1956 lahir Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), disusul berdirinya (secara resmi) PPFI yang dipimpin Djamaludin Malik pada 16 Juli 1956.
Tapi, pada 1956 tidak ada festival. Kondisi film Indonesia mulai goyah, produksi 1956 (36 film) turun dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Setelah kongres, para artis langsung ber”demo” ke presiden Sukarno. Mereka diterima di Istana. Wakil artis adalah Rd. Sukarno (Rendra Karno). “Aksi” itu didukung PPFI, menunjukkan bahwa kepentingan artis dan “boss” itu sama. Sama-sama ter”gencet” film impor (di bioskop), baik yang dari Hollywood/Barat maupun Malaya/Malaysia dan India.
Gerakan “protes” artis itu seperti tak meninggalkan bekas sama sekali. Maka, kembali Djamal bertindak berani: sebagai ketua (baru) PPFI, dia umumkan “tutup studio”, mulai 19 Maret 1957. Artinya stop produksi! Pernyataan para produser itu didukung artis. Lagi-lagi terlihat bahwa produser dan artis punya kepentingan yang sama, ingin “film Indonesia jadi tuan rumah di negeri sendiri.”
Ternyata berhasil membikin pemerintah dan parlemen (DPR) terkejut. Kenapa para artis langsung menghadap presiden Sukarno, dan mengapa produser perlu “mogok”?. Karena hingga saat itu urusan film ditangani oleh berbagai Kementerian/Departemen. Pada 1950-an itu urusan pengimporan bahan baku dan peralatan di bawah Kementrian Perdagangan, urusan film impor di bawah Perdagangan/Keuangan, sensor dibawah Pendidikan & Kebudayaan, bioskop dibawah Dalam Negeri, dan PFN dibawah Penerangan. (Peresmian pawai pada FFI 1955 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan malam pertama festival diresmikan Menteri Penerangan).
Akhirnya pemerintah menyetujui untuk mengurangi/membatasi impor film India pada khususnya, dan penjatahan (quota) film impor secara umum. Namun pelaksanaan peraturan itu baru terjadi berbulan-bulan kemudian, sehingga importir film India sempat “menimbun”. Padahal PPFI segera menghentikan “pemogokan”nya pada 26 April 1957.
Sementara itu pihak kiri/PKI memancing di air keruh. Djamal dan Usmar dikenal pula sebagai tokoh-poltik, mereka pengurus Nahdatul Ulama (NU). Hal itu membikin PKI punya alas an untuk melepaskan peluru, aksi “tutup studio” PPFI dianggap tidak tepat alasannya, karena (menurut kaum komunis) yang merusak film Indonesia adalah produksi Hollywood (Amerika yang di-cap imperialis/neo-kolonialis).
Padahal film (dari) Barat itu sulit digoyang dari bioskop “atas” di kota-kota besar. Tapi di bioskop kelas dua/bioskop rakyat, film Indonesia terengah-engah di”keroyok” film Malaya/Malaysia dan India. Tak sedikit produser Indonesia yang ikut-ikutan “menyanyi dan menari” ala Malaya/India.
Bahkan Usmar/Perfini coba berkompromi, bikin film musikal Tiga Dara (1956). Film hiburan yang (tetap) bermutu itu ternyata laris. Tapi kemudian Perfini kembali ke “jalur”, membuat Pedjuang (1960) dengan prestasi best actor untuk Bambang Hermanto (1925-1991) di festival internasional Moskwa tahun 1961. Merupakan piala pertama yang digondol pemain Indonesia di ajang internasional.
“Rame-rame” yang dipicu PKI bikin tak terselenggaranya festival pada 1956 dan 1957 maupun 1958 dan 1959. Lebih-lebih si pendorong festival, Djamal dikenai tahanan rumah (masalah politik) pada 1957, tanpa diadili hingga 2 tahun kemudian. Biar situasi produksi memprihatinkan
• 1956 - 36 film
• 1957 - 21 film
• 1958 - 16 film
Namun Djamal justru melakukan “lompatan”, bikin festival pada 21-26 Pebruari tahun 1960. Golongan kiri mulai “masuk”, karya orang “mereka” TURANG terpilih sebagai film terbaik. Formatur juri Usmar dan Asrul Sani menghasilkan dewan juri Ny. Utami Surjadarma, dr. Rusmali, Sitor Situmorang, Pak Said dan Kotot Sukardi. Hasil festival dikirim ke Festival Asia (5-9 April) 1960 di Tokyo, Suzzanna terpilih sebagai aktris cilik terbaik dalam karya Usmar Asrama Dara.
• Film Center
• Penghargaan
• Kegiatan
• Komunitas
Perfilman Nasional dari Masa ke Masa (2)
Ketika Rakyat Indonesia Perlu Hiburan
Oleh Hardo Sukoyo
Minggu, 27 November 2005
Selama masa pemerintahan Presiden Soeharto, lahir beberapa kebijakan perfilman yang dilakukan tujuh Menpen, yaitu; B.M. Diah (1967-1971), Boedihardjo (1971- 1975), Mashuri (1975 - 1978), Ali Moertopo (1978 - 1983), H. Harmoko (1983-1996), Hartono (1996 - 1997), dan Alwi Dahlan (1997 - 1998).
Untuk kepentingan POLEKSOSBUD saat itu, Menpen B.M. Diah (1967-1971) menempuh kebijakan di bidang politik, agar gedung bioskop tidak dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonseia (PKI) dalam melakukan agitasi. Di bidang ekonomi, dengan inflasi 600% (masuk buku Guiness Book Of Records), kegiatan produksi film jadi tidak menguntungkan, produksi berkurang. Karena itu kebutuhan film di Indonesia terus ditunjang dengan keberadaan film impor. Di bidang sosial budaya, agar rakyat Indonesia dapat melepaskan diri dari ketegangan, perlu segera diberi hiburan. Karena itu perlu diadakan pemutaran film di gedung-gedung bioskop di Indonesia.
Guna melaksanakan kebijakan memanfaatkan film impor untuk membantu tumbuhnya kembali film Indonesia, dikeluarkanlah SK Menpen No.71 tahun 1967; yang isinya antara lain; Memungut "sumbangan film impor untuk rehabilitasi film nasional", dengan ketentuan wajib setor Rp. 250.000,- untuk setiap judul film yang diimpor, dengan hanya memasukkan 2 copy film.
Pungutan itu disebut saham produksi atau dikenal dengan nama Dana SK 71 yang dikelola Yayasan Dana Film. Dan dana yang terkumpul melalui mekanisme Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), digunakan untuk memproduksi film Indonsia percontohan.
Dampak negatif dari kebijakan membuka kran impor tentu saja bertambahnya jumlah importir dan itu mengakibatkan harga film impor mahal. Dampak positifnya, jumlah gedung bioskop dan pertunjukan film bertambah di. Rakyat dapat menikmati hiburan film dengan harga murah. Kehidupan malam di sekitar bioskop menjadi marak, dan menghidupkan usaha kecil di sekitar gedung bioskop. Dihapuskannya jam malam, sehingga menimbulkan rasa aman pada masyarakat secara luas.
Di era Menpen Boediardjo (1971-1975) di bidang impor film ada dua kebijakan. Yaitu, ditetapkannya "Quota film impor" setiap tahunnya, yang membatasi jumlah film yang diimpor, tapi mengijinkan penambahan jumlah copy per judul dari 2 copy menjadi 4 copy. Dan dibentuknya Badan Koordinasi Impor Film (BKIF) sebanyak 3 buah yaitu: kelompok film Eropa Amerika, Mandarin, dan film Asia non Mandarin.
Di bidang produksi film dibuat 2 kebijakan. Yaitu, membubarkan Dewan Produksi Film Nasinal (DPFN), karena film-film percontohan yang dibuat memakan biaya banyak, namun tidak bagus dalam kualitas. Menetapkan SK Menpen tentang modifikasi dana SK 71. Yaitu, dimulainya penggunaan dana SK.71 untuk kredit produksi film, dengan ketentuan besar kredit separuh biaya produksi, maksimal Rp.7.500.000 per judul.
Dampak positif kebijakan Menpen Boediardjo adalah; adanya peluang lebih besar bagi pemasaran film Indonesia, dan memungkinkan produksi film Indonesia bertambah jumlahnya. Mengurangi jumlah importir film secara bertahap dan alamiah. Mengurangi persaingan yang tidak sehat, dan menghilangkan hal-hal negatif lainnya yang sebelumnya sering terjadi.
Dampak negatifnya, peningkatan jumlah produksi tidak diikuti peningkatan kualitas dan jumlah penonton. Akibatnya terjadilah kredit macet. Banyaknya kredit macet mengakibatkan dana tidak dapat bergulir untuk produksi film berikutnya. Effektivitas kebijakan Menpen Boediardjo pun dipertanyakan.
Kebijakan Menpen Mashuri (1975-1978) di bidang film impor diantaranya: Menghentikan ketentuan "wajib setor seham produksi" dan menghentikan dengan ketentuan "wajib produksi" untuk para importir film. Yaitu memasukkan 5 judul film dari luar negeri, importir harus terlebih dahulu memproduksi 1 judul film Indonesia.
Tahun berikutnya ketentuan "wajib produksi" diperberat, yakni 1 : 3 dan tetap membatasi jumlah film impor melalui ketentuan quota setiap tahunnya. Kemudian, membubarkan ketiga BKIF dan membentuk 4 buah Konsorsium film impor yaitu, Eropa Amerika I, Eropa Amerika II, Mandarin, dan Asia non Mandarin.
Kebijakan di bidang film Indonesia adalah diterbitkannya SK Tiga Menteri (Menpen, Mendagri, dan Mendikbud) tentang Wajib putar dan Wajib edar film Indonesia. Serta melikuidasi Yayasan Film, karena dihapuskannya wajib setor seham produksi. Sedangkan Dewan Film tidak dibubarkan, tetapi juga tidak diaktifkan.
Dampak negatif kebijakan Menpen Mashuri adalah, sebagian besar film diproduksi secara terburu-buru dan terkesan asal jadi, karena SDM dan peralatan produksi film yang tidak memadai, serta mengejar waktu agar dapat segera mengimpor film. Peningkatan jumlah produksi yang sangat besar membuat sesama film Indonesia berebut tempat pemutaran film, padahal bisokop masih lebih senang memutar film impor.
Sementara dampak positif dari kebijakan itu adalah, "wajib produksi" berhasil menaikkan jumlah produksi film Indonesia terbanyak selama Indonesia merdeka, yaitu 114 judul dalam tahun 1977. Munculnya banyak kesempatan kerja di bidang perfilman serta melahirkan tokoh-tokoh sineas yanag memiliki kualitas seperti, Wim Umboh, Teguh Karya, Wahyu Sihombing dll.
Menpen Ali Moertopo (1978-1983) yang kebijakannya menjadikan film Indonesia harus bersifat cultural edukatif itu, membubarkan keempat konsorsium Film Impor dan membentuk 3 asosiasi importir film yaitu. Asosiasi importir film Mandarin, Asosiasi importir film Asia non Mandarin, dan Asosiasi importir film Eropa Amerika.
Menpen Ali Moertopo juga menghapuskan ketentuan wajib produksi oleh importir film dan tetap mempertahankan ketentuan quota film impor untuk setiap tahunnya. Mengenakan pungutan untuk setiap judul film impor dengan nama "Dana Sertifikat Produksi" Rp. 2.500.000 perjudul. Sementara Dewan Film Nasioanal menyusun Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional dengan konseptornya Drs. Asrul Sani. Lembaga itu dimaksudkan sebagai sebuah landasan pembinaan dan pengembangan perfilman yang terpadu dan berkesinambungan.
Kebijakan Menpen Ali Moertopo itu pun selain berdampak positif juga berdampak negatif. Dampak negatif kebijakan Menpen Ali Moertopo di antaranya, para importir tidak lagi wajib memproduksi film Indonesia. Para importir film yang dapat menjamin supply film yang pasti dan berkualitas baik serta dapat menarik penonton ke bioskop, secara bertahap mulai mengendalikan para pengusaha bioskop. Gedung-gedung bioskop di kota-kota besar mulai diambil alih atau dibangun oleh importir film. Para produser film Indonesia semakin rendah daya saingnya menghadapi para importir film terutama dalam memperoleh waktu dan tempat di bioskop yang baik untuk pemutaran film-film produksi mereka.
Adapun dampak positif kebijakan Menpen Ali Moertopo di antaranya adalah secara drastis menurunkan hampir separuh jumlah importir film yang ada. Terkumpulnya "Dana Sertifikat Produksi" dari 3 Asosiasi importir film; yang selain untuk membiayai produksi film Indonesia juga untuk meningkatkan aprsiasi film Indonesia melalui penyelenggaraan Festival Film Indonesia.
* Penulis, wartawan senior di Jakarta.
Festival Film Indonesia (FFI) pertama tahun 1973 didominasi oleh produksi Aries dan disutradarai Wim Umboh (1933-1996), Perkawinan (1972), yang memborong delapan Piala Citra untuk film, sutradara, skenario, tata suara, tata artistik, editing, sinematografi, dan ilustrasi musik. Tak dipermasalahkan. Rekor Perkawinan baru dipecahkan film garapan Teguh Karya (1933-2001), Ibunda, yang menggaet sembilan Citra pada FFI 1986.
Kemenangan tiga pemain pada FFI 1973 tidak pula jadi persoalan. Mereka adalah aktor pembantu Dicky Zulkarnaen (1939-1995) dalam Pemberang, aktris pembantu Sofia W.D. (1925-1986) dalam Mutiara dalam Lumpur, dan aktris utama Rima Melati dalam Intan Berduri (produksi Sarinande) yang digarap Turino Djunaedy.
Tapi Benyamin, yang menang sebagai aktor utama dalam Intan Berduri, kok menimbulkan "ribut-ribut"? Yang menggugat itu barangkali lupa bahwa penyanyi itu melakukan acting. Tak sedikit penyanyi yang punya kemampuan acting. Salah satu buktinya adalah biduan Amerika Frank Sinatra, yang merebut Oscar sebagai aktor pembantu dalam From Here to Eternity (1953). Nyatanya Bang Ben bisa mengimbangi Rima sehingga permainan mereka sama-sama menonjol dan barengan menggondol Citra.
Produser-sutradara Turino memilih Benyamin dan Rima Melati semula karena pertimbangan komersial. Rima (ketika itu) aktris populer, sedangkan Bang Ben adalah biduan pembawa lagu (irama) Betawi yang sedang naik daun, termasuk waktu membawakan lagu Nonton Bioskop yang kocak itu. Tapi, si "tampang kampungan" itu tak mau hanya jual tampang (mejeng), melainkan betul-betul main, dan tidak juga melawak. Intan itu lebih berat ke drama.
Apalagi bila dibandingkan dengan penampilan Bang Ben dalam film-film lain: Biang Kerok (1973), Musuh Bebuyutan (1974), Buaye Gile (1975), dan lain-lain. Dalam film-film lain itu Bang Ben adalah sosok Betawi yang hanya ngocol. Dilengkapi juga dengan hidangan lagu yang umumnya menggelitik. Ya, dalam Intan Berduri, tak ada lawakan maupun nyanyian.
Intan Berduri menampilkan Benyamin sebagai Jamal yang miskin, bersama istrinya Saleha (Rima). Pada suatu saat, bubu (alat penangkap ikan) "mengeluarkan" sebongkah intan. Lantas Jamal mendadak kaya, padahal baru menjual "seupil" batu mulia itu. Tapi uang ternyata tidak membikin hati tenteram, Jamal jadi bingung dan takut. Apalagi muncul polisi (Alwi Oslan dan A. Rafiq) ditambah pengacara (Farouk Afero, 1939-2003) yang mengatur hidup Jamal dan Saleha.
Lantas Jamal hidup bagaikan konglomerat. Tadinya melarat. Tapi Jamal tidak betah. Dia ingin bebas biarpun miskin. Sekarang katanya "senang", tapi Jamal merana karena tak diizinkan lagi ngegado jengkol. Makanan itu mengaitkan Jamal dengan Betawi. Namun, Intan Berduri bukan cerita (di) Betawi. Jamal dan para tetangganya berdialek Betawi, tapi yang terlihat adalah kehidupan rakyat kecil. Bisa saja terjadi di mana pun.
Begitu hasil penelitian menunjukkan bahwa intan penemuan Jamal itu masih mentah, tak berharga, Jamal dan Saleha lantas tak punya harga lagi di mata sang pengacara. Kontan suami-istri itu diusir. Kembali ke kampung, jadi orang miskin lagi. Mengharukan. Melihat permainan mereka, Citra itu pantas bagi Benyamin dan Rima.
Lalu, sebagai pemain (film), Benyamin melanjutkan "film-film Benyamin"-nya yang sebagian disutradarai dedengkot Betawi, Nawi Ismail (1918-1990). Misalnya Biang Kerok Beruntung (1973), Buaye Gile (1974), Samson Betawi (1975), Tarsan Pensiunan (1976), dan lain-lain. Padahal Benyamin punya potensi yang kemudian digali oleh sesama Betawi, Sjuman Djaya (1933-1985). Bang Ben dipasangkan dengan Rima Melati lagi dalam Pinangan (1976) dan Si Doel Anak Modern (1970), yang didampingi Christine Hakim, pemenang Citra dalam Cinta Pertama (1973) pada FFI 1974.
Sjuman adalah penggarap Si Doel Anak Betawi (1973) berdasar novel Aman. Yang jadi Si Doel (kecil) adalah Rano Karno, sedangkan Benyamin nongol sebentar sebagai "babe"-nya. Setelah dewasa, Si Doel yang (sok) modern adalah Bang Ben. Permainannya lebih "hidup" dibanding dalam Intan. Maklum, dia makin berpengalaman. Intan adalah film yang ke-8, sedangkan Si Doel yang ke-35.
Intan memang tampaknya tidak dimaksud sebagai cerita Betawi, tapi kebetawian amat menonjol dalam Si Doel versi 1973 maupun "sambungan"-nya pada 1976. Sementara dalam Intan (1972) tak sempat ceplas-ceplos, dalam Si Doel (1976) Benyamin amat "riuh" dan diimbangi dengan enak oleh Christine yang jadi pacarnya, Kristin alias Nonon. Hasilnya, Bang Ben meraih Citra lagi. Semacam "jawaban" bahwa kemenangannya dulu dalam Intan sebetulnya wajar-wajar saja.
PIALA CITRA
Nama Piala Citra, Gagasan Siapa?
Festival Film Indonesia (FFI) pertama tahun 1973 didominasi oleh produksi Aries dan disutradarai Wim Umboh (1933-1996), Perkawinan (1972), yang memborong delapan Piala Citra untuk film, sutradara, skenario, tata suara, tata artistik, editing, sinematografi, dan ilustrasi musik. Tak dipermasalahkan. Rekor Perkawinan baru dipecahkan film garapan Teguh Karya (1933-2001), Ibunda, yang menggaet sembilan Citra pada FFI 1986.
Kemenangan tiga pemain pada FFI 1973 tidak pula jadi persoalan. Mereka adalah aktor pembantu Dicky Zulkarnaen (1939-1995) dalam Pemberang, aktris pembantu Sofia W.D. (1925-1986) dalam Mutiara dalam Lumpur, dan aktris utama Rima Melati dalam Intan Berduri (produksi Sarinande) yang digarap Turino Djunaedy.
Tapi Benyamin, yang menang sebagai aktor utama dalam Intan Berduri, kok menimbulkan "ribut-ribut"? Yang menggugat itu barangkali lupa bahwa penyanyi itu melakukan acting. Tak sedikit penyanyi yang punya kemampuan acting. Salah satu buktinya adalah biduan Amerika Frank Sinatra, yang merebut Oscar sebagai aktor pembantu dalam From Here to Eternity (1953). Nyatanya Bang Ben bisa mengimbangi Rima sehingga permainan mereka sama-sama menonjol dan barengan menggondol Citra.
Produser-sutradara Turino memilih Benyamin dan Rima Melati semula karena pertimbangan komersial. Rima (ketika itu) aktris populer, sedangkan Bang Ben adalah biduan pembawa lagu (irama) Betawi yang sedang naik daun, termasuk waktu membawakan lagu Nonton Bioskop yang kocak itu. Tapi, si "tampang kampungan" itu tak mau hanya jual tampang (mejeng), melainkan betul-betul main, dan tidak juga melawak. Intan itu lebih berat ke drama.
Apalagi bila dibandingkan dengan penampilan Bang Ben dalam film-film lain: Biang Kerok (1973), Musuh Bebuyutan (1974), Buaye Gile (1975), dan lain-lain. Dalam film-film lain itu Bang Ben adalah sosok Betawi yang hanya ngocol. Dilengkapi juga dengan hidangan lagu yang umumnya menggelitik. Ya, dalam Intan Berduri, tak ada lawakan maupun nyanyian.
Intan Berduri menampilkan Benyamin sebagai Jamal yang miskin, bersama istrinya Saleha (Rima). Pada suatu saat, bubu (alat penangkap ikan) "mengeluarkan" sebongkah intan. Lantas Jamal mendadak kaya, padahal baru menjual "seupil" batu mulia itu. Tapi uang ternyata tidak membikin hati tenteram, Jamal jadi bingung dan takut. Apalagi muncul polisi (Alwi Oslan dan A. Rafiq) ditambah pengacara (Farouk Afero, 1939-2003) yang mengatur hidup Jamal dan Saleha.
Lantas Jamal hidup bagaikan konglomerat. Tadinya melarat. Tapi Jamal tidak betah. Dia ingin bebas biarpun miskin. Sekarang katanya "senang", tapi Jamal merana karena tak diizinkan lagi ngegado jengkol. Makanan itu mengaitkan Jamal dengan Betawi. Namun, Intan Berduri bukan cerita (di) Betawi. Jamal dan para tetangganya berdialek Betawi, tapi yang terlihat adalah kehidupan rakyat kecil. Bisa saja terjadi di mana pun.
Begitu hasil penelitian menunjukkan bahwa intan penemuan Jamal itu masih mentah, tak berharga, Jamal dan Saleha lantas tak punya harga lagi di mata sang pengacara. Kontan suami-istri itu diusir. Kembali ke kampung, jadi orang miskin lagi. Mengharukan. Melihat permainan mereka, Citra itu pantas bagi Benyamin dan Rima.
Lalu, sebagai pemain (film), Benyamin melanjutkan "film-film Benyamin"-nya yang sebagian disutradarai dedengkot Betawi, Nawi Ismail (1918-1990). Misalnya Biang Kerok Beruntung (1973), Buaye Gile (1974), Samson Betawi (1975), Tarsan Pensiunan (1976), dan lain-lain. Padahal Benyamin punya potensi yang kemudian digali oleh sesama Betawi, Sjuman Djaya (1933-1985). Bang Ben dipasangkan dengan Rima Melati lagi dalam Pinangan (1976) dan Si Doel Anak Modern (1970), yang didampingi Christine Hakim, pemenang Citra dalam Cinta Pertama (1973) pada FFI 1974.
Sjuman adalah penggarap Si Doel Anak Betawi (1973) berdasar novel Aman. Yang jadi Si Doel (kecil) adalah Rano Karno, sedangkan Benyamin nongol sebentar sebagai "babe"-nya. Setelah dewasa, Si Doel yang (sok) modern adalah Bang Ben. Permainannya lebih "hidup" dibanding dalam Intan. Maklum, dia makin berpengalaman. Intan adalah film yang ke-8, sedangkan Si Doel yang ke-35.
Intan memang tampaknya tidak dimaksud sebagai cerita Betawi, tapi kebetawian amat menonjol dalam Si Doel versi 1973 maupun "sambungan"-nya pada 1976. Sementara dalam Intan (1972) tak sempat ceplas-ceplos, dalam Si Doel (1976) Benyamin amat "riuh" dan diimbangi dengan enak oleh Christine yang jadi pacarnya, Kristin alias Nonon. Hasilnya, Bang Ben meraih Citra lagi. Semacam "jawaban" bahwa kemenangannya dulu dalam Intan sebetulnya wajar-wajar saja.
PIALA CITRA
Nama Piala Citra, Gagasan Siapa?
Citra, engkaulah bayangan
Waktu Subuh mendatang
Citra, kau gelisah malam
Dalam kabut suram
Kau dekap malam kelam
Pelukan penghabisan
Kau singkap tirai kabut
Dan selubung
Tenggelam kau jumpai
Di dalam rimba malam
Kau buka pagi baru
Senja nyawamu
Citra, kau bayang abadi
Dalam kabut fajar
LAGU "Citra" ciptaan Cornel Simanjuntak berdasarkan lirik H. Usmar Ismail itu selalu berkumandang saat berlangsungnya puncak penghargaan Piala Citra untuk Film Terbaik di acara Festival Film Indonesia (FFI). Lagu tersebut, menjadi ilustrasi film "Bayangan di Waktu Fajar" karya Usmar Ismail, produksi tahun lima puluhan, yang dibintangi Nurbani Yusuf. Visualisasi adegannya hampir sama persis dengan lirik lagunya.
Pada awal-awal diselenggarakannya FFI, piala penghargaannya tidak menggunakan nama Piala Citra. Lalu siapa yang pertama kali mengusulkan nama Citra untuk piala penghargaan FFI itu?
Saya menemukan jawabannya setelah membaca buku Kenang-kenangan Orang Bandel, sebuah memoar H. Misbach Yusa Biran. Seminggu yang lalu, Pak Misbach mengirimkan buku tersebut dan saya langsung membacanya. Tepat seperti apa yang diungkapkan oleh sahabat Pak Misbach, sastrawan Ajip Rosidi, "Memoar yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran ini sangat menarik dan penting. Menarik karena cara mengisahkannya yang gesit dan bernada mengejek diri (walaupun ada rasa bangga di dalamnya). Penting karena dalam memoar ini bukan saja terungkap latar belakang kehidupannya sebagai orang Banten, tetapi juga tentang situasi perfilman Indonesia sejak tahun 1950-an sampai tahun 1990-an".
Ceritanya, Soemardjono, Dekan Akademi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Fakultas Film Institut Kesenian Jakarta), Ketua Karyawan Film & Televisi, juga editor terkemuka, ngotot ingin menyelenggarakan FFI di berbagai daerah walaupun dananya masih belum bisa terbayangkan. Ketika itu, rencananya FFI akan berlangsung di Surabaya. Soemardjono dengan ditemani Misbach Yusa Biran (Wakil Ketua KFT/Dosen Akademi Sinematografi), hendak bertemu dengan Gubernur Jatim saat itu, Moh. Noer. Keduanya bermalam di sebuah penginapan kecil di pinggir Kota Surabaya. Biaya penginapan mendapat bantuan dari orang tua salah seorang mahasiswa akademi sinematografi. Karena tidak memiliki uang yang banyak, untuk makan, mencari di luar agar lebih murah. Pak Soemardjono dan Pak Misbach naik becak mencari tempat makan yang murah.
"Di perjalanan berbecak itu Soemardjono tanya saya, apa saya ingat lagu Citra, karya Cornel Simanjuntak. Saya ingat. Lagu itu syairnya dibuat oleh guru kami, Usmar Ismail, dan memang merupakan salah satu lagu jenis seriosa yang saya suka. Saya nyanyikan lagu itu, banyak bagian syairnya yang masih saya ingat. Soemardjono menimpali. Spontan saja kami sama-sama setuju agar nama piala yang diberikan pada FFI nanti adalah Citra. Pemilihan nama itu bukan saja terselip pengabdian kami atas karya guru kami, tetapi juga kata citra enak disebut, seperti oscar. Lagi pula pengertiannya sesuai. Citra berarti image. Lagu "Citra" kemudian nanti ditetapkan juga sebagai lagu tema (theme song) FFI. Kami menyanyi-nyanyi gembira sekali di atas becak. Padahal, FFI-nya sendiri masih akan kami bicarakan dengan Gubernur Jatim besok" (hal. 279).
Tokoh yang berjasa membangkitkan kembali FFI, terutama dua orang itu, Soemardjono dan Misbach, keduanya sama-sama "didikan" NV Perfini, sebuah perusahaan film milik pelopor film nasional H. Usmar Ismail. FFI pertama diselenggarakan tahun 1955, yang kedua tahun 1960. Sejak itu, FFI tidak diselenggarakan lagi. Soemardjono dan Misbach berkeras hati untuk menghidupkan kembali FFI.
Panitia dibentuk dengan ketua bukan dari KFT. Cara demikian ditempuh dengan harapan agar organisasi lain tidak menganggap ambisi KFT saja. Namun, panitia kemudian menyerah. Mereka tidak tahu bagaimana menyediakan biaya FFI yang begitu besar. Saat itu, diperkirakan perlu dana 12.500.000, jumlah yang bisa membiayai pembuatan dua film hitam putih atau satu film berwarna. Jalan keluarnya dipecahkan oleh Johan Tjasmadi, Ketua GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) Jakarta. Melalui dukungan pengusaha-pengusaha bioskop Jakarta, FFI tahun 1973 berjalan dengan selamat. (Hal. 278).
Kini seiring dengan perkembangan teknologi, FFI diselenggarakan selaras dengan gemerlapnya dunia film. Megah bertabur bintang dengan atraksi beragam mode pakaian, menggunakan karpet merah tempat berjalannya para artis, semarak dengan hiburan menampilkan grup band dan penyanyi ternama.
Padahal, jika mencoba menyimak jauh ke belakang, seperti yang terungkap dalam memoar Misbach Yusa Biran, mereka yang berjuang menghidupkan kembali FFI benar-benar berjuang tanpa pamrih. Mereka adalah orang-orang idealis yang tidak menakar untung rugi sebab kalau ukurannya siapa yang untung melalui FFI, pasti bukan karyawan, melainkan produser dan artis. Mereka tidak berpikir tentang siapa yang diuntungkan, tetapi bagaimana mereka bisa ikut membangun perfilman nasional.
Semboyan "Bangkit Menuju Citra Baru", tentu dengan bekal semangat pengabdian para pendahulunya sehingga orang-orang film benar-benar bisa menghargai keberadaan FFI yang diperjuangkan oleh anak bangsa yang sepenuhnya mengabdi kepada dunia perfilman nasional. Piala Citra, semoga melambangkan semangat Usmar Ismail dalam memajukan film Indonesia yang berwajah Indonesia dan melambangkan semangat para tokoh film yang telah berjuang tanpa pamrih untuk meningkatkan kembali citra FFI.***
Eddy D. Iskandar
Ketua Umum FFB, penulis novel/skenario, Pemred SKM Galura, Ketua Panitia Pelaksana Daerah FFI 2008