Film ini di Asisten sutradarai oleh
MOCHTAR SOEMODIMEDJO
Dan juga Co.Director untuk Indonesian.
Sewaktu saya di Belanda, saya menemukan kopi Max Havelaar, lho kok ada merk kopi ini. Lalu saya ingat buku Multatuli itu. Ternyata memang ada kopi Max Havelaar ini, walaupun harganya sedikit mahal dibandingkan kopi yang lainnya, katanya kopi Max Havelaar sedikit mahal karena dia membayar secara arif dari petani kopi di seluruh dunia ini. Dia tidak monopoli dagang kopi, dan dia juga tidak main tipu sana tipu sini untuk menekan harga beli kopi. Saya langsung terpesona....mungkin dulu atau mungkin juga sekarang masih terjalin.
Lalu apa hubungan Max Havelaar tokoh sesungguhnya ini yang di tulis dalam buku Multatuli ini? Buku ini sangat menggemparkan dunia, bahkan Pramudia sendiri mengakui buku ini. Lalu dibuat filmnya. Lalu apa hubungan dengan Mochtar Soemodimedjo ini? Film Max adalah produksi Belanda, dan Mochtar Soemodimedjo menjadi secound unit Director dalam film ini. Saya bangga dia bisa ikut dalam project film ini yang bersekala besar dan dengan crew yang handal dalam film International.
Max Havelaar (judul lengkap: Max Havelaar of de koffieveilingen der Nederlandsche handelsmaatschappij) adalah sebuah film tahun 1976 yang diangkat dari buku dengan judul yang sama, karangan Multatuli.
Film ini disutradarai oleh Fons Rademakers dan melibatkan beberapa aktris Indonesia seperti misalnya Rima Melati. Film ini relatif tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang oleh pemerintah Orde Baru beredar setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.
Sedikit tentang film ini, ini memang film baik dari novel baik dengan biaya yang baik juga. Dijudul Belandanya di tambahkan menjadi MAX HAVELAAR OF DE KOFFIEVEILINGEN DER NEDERLANDSE HANDELSMAATSCHAPPIJ SAIJAH DAN ADINDA Selain bintang dan sutradaranya orang sangat terkenal di perfilaman Belanda dan Eropha juga di Amerika, Director of photographynya juga orang terkenal sampai saat ini
yang dimana dia membuat film Basic Insting, Speed 1 & 2, Twister, Die Hard, Flatliners dan sebagainya. Diawali dari DOP sehingga menjadi Director dan DOP sekaligus. Tetapi ia cukup terkenal di Hollywood sekarang ini lewat film pertama dia Twister. Cukup beruntung bisa bekerja sama dengan mereka. Walaupun sempat mendapat protes tentang pembuatan film ini, karena dinilai menampilkan sepihak dari sudut pandang Belanda saja, dan tidak menampilkan realita yang ada saat itu.
Film ini panjanganya 170 menit.
directed by FONS RADEMAKERS
P.T. MONDIAL MOTION PICTURES
FONS RADEMAKERS PRODUCTIE BV
The Book 'Max Havelaar' is the exclamation mark of Dutch culture, and labeled 'the only Dutch contribution to world-literature'. Written in 1859 by Eduard Douwes Dekker, under the alias 'Multatuli'. Which means 'I who suffered much', a line Max (Peter Faber) uses poignantly in the film of old master Fons Rademakers. It indicates that the scenario, of Gerard Soeteman, is very good indeed. The book is much like the package Sjaalman is carrying around in the beginning of the film. The masterpiece is a tight knot document build up from loosely connected stories and essays. The novella 'Saidja & Adinda' is an autonome text in the book, which has been integrated majestically in the scenario. The brilliant parable of the Japanese stonecutter resurfaces in the film as a story told by Tine to the kids...Hated as much as it was admired in the early stages, the book is more of a political pamphlet (a 'J'Accuse' of the Dutch Emile Zola, one might say, but then on an epic scale..). The document deals with all the corruption and oppression the colonial powers of Dutch Government could muster. And boy, were they 'good' at it !
The film had much to live up to, and in 1976 it seemed quite impossible to mount such a huge production for a Dutch film.
Thanks to the superb script, the excellence of one of the most prolific directors of the Low Countries, AND not in the least to the strong co-producers from Indonesia, the film became a landmark in Dutch Film history, cast and crew excelling in every way and going beyond their own limitations for the very first time. A turning point in the film business of Holland. Most of all a superb saga with a pretty strong cast and an unbeatable story !
“Buku pertama yang membuka mata dunia tentang busuknya kolonialisme Hindia-Belanda, dan memberi ilham bangsa Indonesia untuk merdeka”
Tentu ungkapan yang tertulis di sampul depan buku ini tidaklah terlalu berlebihan. Novel satir berjudul Max Havelaar ini merupakan perjalanan hidup dan pergulatan batin Eduard Douwess Dekker, seorang asisten residen Lebak pada tahun 1856. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten.
Max Havelaar merupakan nama tokoh dalam roman yang sekarang menjadi bacaan di sekolah-sekolah di Belanda ini. Begitu dahsyatnya cerita yang disuguhkan oleh Douwwes Dekker, sehingga di Indonesia, karya ini sangat dihargai. Karena untuk pertama kalinya roman inilah yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah.
Max Havelaar menceritakan penderitaan rakyat Jawa. Ia diceritakan berjuang melawan tekanan terhadap penduduk pribumi dengan memperbaiki keadaan masyarakat. Ia merupakan gambaran romantisme dari Douwess Dekker sendiri yang mencoba merubah sistem.
Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun, tapi tetap saja tenggelam dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, Bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya. Kerja rodi dan tanam paksa yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan dijumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang terlalu murah. Selain itu, dalam Max Havelaar, Multatuli juga mengungkap tingkah-tingkah korup para petinggi Hindia-Belanda.
Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan oleh revolusi. Max Havelaar telah mengilhami bukan saja karya sastra Indonesia, misalnya kelompok angkatan pujangga baru, namun ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (tanam paksa atau culture stelsel) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata.
Eduard Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli yang berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘aku sudah banyak menderita’. Di sini, ‘aku’ dapat berarti Douwes Dekker sendiri atau rakyat Indonesia yang terjajah. Max Havelaar hanya ditulis dalam tempo sebulan pada tahun 1859 di sebuah losmen murah di Belgia. Buku tersebut diterbitkan tahun 1860. Hingga kini, Max Havelaar telah diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia.
Akibat dari buku ini sungguh luar biasa. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengeluarkan politik etis yang memberikan pendidikan pada orang Jawa dan menghapus tanam paksa. Dari sekolah-sekolah inilah kemudian lahir Soekarno, M Hatta, Syahrir dan tokoh-tokoh perjuangan Nasionalisme Indonesia kemudian.
Max Havelaar pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H B Jassin tahun 1972. Sangat disayangkan memang, bangsa Indonesia baru dapat membaca karya Multatuli setelah berusia satu abad lebih. Jika buku ini telah dibaca luas di tanah air ketika Belanda masih menjajah, mungkin api revolusi bisa lebih cepat menyala.
Tahun 1988, buku ini diangkat menjadi sebuah film yang berjudul sama yang disutradarai oleh Fons Rademaker dan melibatkan beberapa artis Indonesia, misalnya Rima Melati. Film ini tertahan di Badan Sensor Film (BSF) selama sepuluh tahun sebelum beredar. Film ini tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.(Fanny Yulia).
Max Havelaar adalah karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker), terbit pada tahun 1860, yang diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru.
Di Indonesia, karya ini sangat dihargai karena untuk pertama kalinya inilah karya yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten. Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.
Roman ini hanya ditulis oleh Multatuli dalam tempo sebulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1860 roman itu terbit untuk pertama kalinya.
Hermann Hesse dalam bukunya berjudul: Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya. Bahkan Max Havelaar sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda
HB Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa aslinya Belanda ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1972. Tahun 1973 buku tersebut dicetak ulang.
Pada tahun 1973 Jassin mendapat penghargaan dari yayasan Prins Bernhard. Dia diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.
Film ini pernah di tahan sensor selama 11 Tahun, lalu tanpa di sensor sedikitpun hanya perubahan judul saja dari SAIDJAH dan ADINDA menjadi MAX HAVELAAR lalu di Belandanya dengan judul MAX HAVELAAR OF DE KOFFIEVEILINGEN DER NEDERLANDSE HANDELSMAATSCHAPPIJ SAIJAH DAN ADINDA setelah menerima banyak penghargaan.
Best European Film (Bedste europæiske film) Fons Rademakers (director) Max Havelaar (1975)- Saijah dan Adinda Produksi PT Mondial Motion Picture, Fons Rademaker Productie BV
Film ditolak Badan Sensor Film pada 1 April 1977. PT Mondial Motion Pictures (Indonesia) dan Fons Rademaker BV (Belanda) diminta melakukan revisi. Revisi dilakukan, tapi Saijah dan Adinda baru lolos 10 tahun kemudian. Di luar negeri, film besutan sutradara Belanda Fons Rademaker itu justru menuai banyak penghargaan.
Saijah dan Adinda (Max Havelaar) Pemain: Peter Faber, Maruli Sitompul Skenario: G. Soeteman Sutradara: Fons Rademaker Produksi: PT Mondial Motion Pictures (Indonesia) dan Fons Rademaker BV (Belanda), 1977
Saijah dan Adinda mengadopsi kisah Max Havelaar yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker. Film yang bercerita tentang penderi-ta-an rakyat Keresidenan Lebak, Banten, pada 1856 itu dibuat berdasar pengalaman Dekker semasa menjadi asisten residen di tempat itu.
Persis seperti Dekker, semangat Havelaar (Peter Faber) membara saat ditugasi di pos baru di Lebak. Namun, korupsi dan kesewenang-wenangan menumpulkan daya. Pe-jabat sebelumnya mati diracun karena niatnya melakukan pembaharuan. Ketika ia mau mengadu, Gubernur Jenderal Duymaer van Twist, yang sedang bisul kaki-nya, tak mau ketemu. Havelaar pun berang di depan foto Raja Belanda Willem III. "Tiga puluh juta rakyatmu diperas, dianiaya atas namamu!"
Havelaar di film dilukiskan berhati mulia. Sementara Bupati, sebagai wakil pribumi, justru ber-lagak pilon terhadap penderitaan warga. Demang (Maruli Sitompul) perampas kerbau dan pembunuh rakyat.
Film ini menyuguhkan gambar-gambar yang indah. Dilukiskan situasi pedesaan Banten de-ngan sawah yang hijau. Salah satu adegan menarik adalah adegan perkelahian antara kerbau dan macan. Produser menyewa macan sirkus dan membuat kerbau buatan untuk adegan itu. Berbeda dari tulisan Dekker yang meledak-ledak, penuh sindiran dan kritik, film Saijah dan Adinda tampil linier dan cenderung sederhana
SEJARAH perfilman Indonesia
mencatat satu peristiwa penting: sebuah film yang terbenam 11 tahun di BSF (Badan Sensor Film) akhirnya dikeluarkan utuh hampir tanpa sensor. Tidak ada tepuk tangan untuk kemenangan ini, tidak pula ada reaksi khusus dari kalangan perfilman. Tak salah lagi, pembebasan Max Havelaar, yang dulu bernama Saidjah dan Adinda, menandai adanya kemajuan menilai dari BSF -- walau untuk itu harus menunggu 12 tahun. Dalam waktu dekat, film yang biayanya besar itu (US$ 3 juta) akan bisa dinikmati di banyak bioskop negeri ini. Kemudian baru penonton bisa ikut menilai bagus buruknya, sekaligus menimbang-nimbang adakah BSF berpikir maju atau tidak.
Satu hal pasti, Max Havelaar menjadi korban pertentangan pendapat antara BSF dan produsernya, Hiswara Darmaputra. Lewat 11 tahun, Max Havelaar versi Hiswara disetujui mayoritas BSF dan kini terurailah belenggunya. Merupakan produksi patungan Indoncsia-Belanda, dengan masa pembuatan 2 tahun (1974-1976), film ini menghabiskan 550 can bahan baku. Ini istimewa, dengan waktu pemutaran hampir tiga jam, berarti dua kali masa pemutaran film biasa.
Kisah Max Havelaar, tertuang di situ, sedikit pun tidak menyimpang dari bukunya yang berjudul serupa -- karya Douwes Dekker, yang lebih tersohor dengan nama samaran Multatuli. Roman besar dengan setting masa penjajahan di abad ke-19 ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 60 bahasa, sementara filmnya sendiri disanjung di banyak festival. Ide memfilmkan Max Havelaar datang dari Hiswara Darmaputra, 66 tahun, pemilik PT Mondial Film. Sebagai murid dr. Setia Budi, cucu Douwes Dekker, wajar bila ia dengan bangga berkata, "Kalau bicara tentang Max Havelaar-nya Douwes Dekker, barangkali saya yang mengerti betul." Tapi Hiswara membuat film itu bukan untuk memuji Douwes Dekker, sebaliknya untuk meluruskan jalannya sejarah bekas asisten residen Lebak itu. "Selama ini kita mengira, Douwes Dekker alias Multatuli tu pembela rakyat Indonesia. Kesan itu ada karena sebuah kapal perang dinamakan KRI Mukatuli, misalnya. Padahal, Multatuli tak berjuang untuk bangsa Indonesia. Yang ingin dia perbaiki adalah sikap pemerintah kolonial, setidaknya agar lebih berperi kemanusiaan," kata Hiswara. Singkatnya, lewat film itu Hiswara ingin mengoreksi sejarah. Ini untuk konsumsi dalam negeri. Adapun motivasi lainnya, agar paham humanisme bisa dikembangkan sesuai dengan cita-cita Douwes Dekker. Namun, di kepala Dekker, "tak ada cita-cita untuk menghapuskan penjajahan," ujar Hiswara tandas. Berangkat dari ide itu, bekas wartawan tiga zaman ini mencari mitra usaha ke Belanda dan bertemu Fons Rademakers, sutradara dan pemilik perusahaan film Fons Rademaker's Produktie B.V. Mengapa harus Belanda? "Karena tokoh dalam film itu orang Belanda, diperlukan sutradara yang mengerti cara berpikir Belanda," tutur Hiswara. Kerja sama terjalin, Hiswara mengeluarkan modal sepertiga -- yang kemudian diketahui US$ 3 juta. Sesampai di Indonesia, ia baru tahu tak mudah mendapat izin produksi.
Hambatan pertama: Departemen Penerangan menolak D.A. Peransi sebagai sutradara untuk mendampingi Fons Rademakers. Alasannya, Peransi tidak memiliki rekomendasi KFT-organisasi yang mewisuda sutradara. Deppen menyodorkan beberapa nama, lalu terpilihlah Mochtar Soemodimedjo. Hambatan kedua, terjadi ketidakcocokan antara Mochtar di satu pihak dan Hiswara dengan Rademakers.
Mochtar menginginkan film itu film perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan, sesuai dengan judul Saidjah dan Adinda yang disetujui Deppen. Pokoknya, film yang heroik. Hiswara, yang ikut membuat skenario, keberatan. "Film ini seratus persen dari buku Max Havelaar. Ini bukan film perjuangan, ini film humanisme," kata Hiswara. "Kalau saya ingin membuat film perjuangan, saya tak akan membuat Max Havelaar." Mochtar mundur. Barulah pembuatan film dengan mengambil lokasi terbesar di Banten itu -- juga di bekas rumah Douw.es Dekker di Rangkasbitung -- berjalan mulus.
Sesudah rampung, film memasuki tahap yang paling pelik: penyensoran. BSF, sebagai lembaga yang berwenang, menolak Saidjah dan Adinda. Alasan BSF: film ini terlalu meremehkan rakyat Banten, yang digambarkan sama sekali tak berkutik terhadap penjajah. Persis seperti keinginan Mochtar, BSF menghendaki revisi dengan menambahkan adegan yang memberi semangat perjuangan. Bahkan, waktu itu BSF menyarankan agar versi yang sudah jadi diperuntukkan peredaran luar negeri atau versi Belanda. Sedang versi Indonesia diperkaya adegan perlawanan rakyat Banten, tapi cerita tetap pada tokoh sentral Saidjah dan Adinda. "Saya tak setuju, bisa-bisa kita diketawakan," kata Hiswara. Akhirnya satu copy film dibawa Rademakers -- yang memang tak perlu berurusan dengan BSF -- satu copy tertahan di BSF, dicarikan pemecahannya. Pada tahap ini, Mochtar Soemodimedjo muncul lagi. Sutradara yang melahirkan beberapa film perjuangan ini, antara lain Kereta Api Terakhir, masih memegang "Pernyataan Persetujuan Kerja Sama di Bidang Penyutradaraan" bertanggal 28 Mei 1975. Surat penting yang ditandatangani Produser, Sutradara, dan Direktur Film Deppen H. Johardin ini dijadikan alasan ikut bertanggung jawab terhadap film itu. Mochtar pun menyatakan siap merevisi film Saidjah dan Adinda sementara Hiswara menunggu. Mochtar kemudian membuat 12 sekuen. Apa yang dibuatnya? "Mencari keseimbangan peran Saidjah dan Adinda dengan Max Havelaar. Soalnya, di Indonesia 'kan lebih terkenal Saidjah dan Adinda?" kata Mochtar.
Dalam adegan percintaan, Mochtar misalnya, menampilkan bagaimana Adinda setiap bulan purnama menunggu Saidjah. Romeo dan Juliet versi Indonesia, begitu menurut Mochtar. Lalu yang penting Mochtar membuat adegan perlawanan rakyat Banten dalam bentuk kilas balik (flashback). Adegan tambahan versi Mochtar ini, bisa juga masuk ke BSF untuk melengkapi film yang sudah ada. Padahal, Hiswara, menolaknya. Bahkan kemudian Hiswara lebih tegar bersikap: tidak melakukan kompromi apa pun. Dengan demikian, Saidjah dan Adinda terbenam di gudang BSF. Sementara itu, copy yang dibawa Rademakers dibicarakan di mana-mana. Di lima kota besar (Los Angeles, San Francisco, Hong Kong, Johannesburg, dan Teheran) mendapatkan penghargaan. Rima Melati, yang bermain sebagai istri Slotering (asisten residen yang digantikan Max Havelaar), sempat mewakili film ini menerima hadiah di Teheran. "Film yang bagus sekali, sampai-sampai anak saya yang lahir kemudian saya beri nama Adinda," kata Rima pekan lalu. Tahun 1978 film ini dipuji PBB sebagai "film terbaik yang dibuat negara ketiga". Memang, selain tokoh Max Havelaar, istri, dan stafnya, film ini dibintangi orang-orang pribumi, di antaranya Maruli Sitompul dan Sofia W.D.Banyak negara sudah membeli hak edarnya. Di Australia film ini dijadikan topik diskusi dengan dua kali masa putar di televisi. Video yang beredar di Jakarta bersumber dari sini. Pujian tak cuma datang dari luar negeri. Kritikus sastra H.B. Jassin memuji sebagai "film yang secara keseluruhan tidak menyimpang dari cerita aslinya." Interpretasi sutradara, sangat tepat. "Tapi begitulah nasib Max Havelaar. Ketika bukunya pertama kali terbit, pemerintah Belanda melarang. Sekarang berbalik, buku itu malah menjadi kebanggaan Belanda," kata Jassin, yang kini sedang merampungkan biografi Multatuli. "Inilah kekuatan film dan sastra. Kalau dia kuat, akan mencari jalannya sendiri." Dan Jassin benar.
Max Havelaar sudah menemukan jalannya. Dari 36 anggota BSF, 22 Orang meloloskannya setelah mengubah (tepatnya: mengembalikan) judulnya menjadi Max Havelaar. Peristiwa penting itu terjadi pada sidang pleno BSF 13 Juli 1987. Ada revisi? "Tidak ada," kata Hiswara, dengan senyum kemenangan. "Sebenarnya, adegan kebaktian di sebuah gereja di Belanda, pada reel satu, dipotong. Kemudian reel terakhir, Saidjah ditusuk bayonet, juga dipotong. Lainnya tidak, karena sudah sesuai dengan kriteria," kata Sekretaris BSF, Budi Sampurno. Hiswara tidak keberatan, walau kurang setuju pemotongan adegan di gereja. "Karena gereja di masa itu dipakai untuk tujuan politik," alasannya. Lalu di mana 12 sekuen yang dibuat Mochtar Soemodimedjo itu? "Saya kecewa sekali adegan itu hilang," kata Mochtar (lihat Box). Pihak BSF pun tak mau menjelaskan secara terinci bagaimana sesungguhnya mereka memperlakukan film ini. Sebelas tahun memang bukan waktu yang pendek untuk menilai lolos tidaknya sebuah film. Putu Setia, Muchsin Lubis & Tri Budianto S. (Jakarta)
Saidja, tidak untuk kita
Badan sensor film melarang beredar film saidja dan adinda karena tidak menggambarkan kolonialisme belanda yang sebenarnya. penindasan rakyat digambarkan oleh bupati.
FILM Saidja dan Adinda -- dari cerita Multatuli yang sering disanjung para nasionalis tempo dulu - dilarang beredar oleh sensor yang memeriksa film itu tanggal 1 April yang lalu. Lelucon April? Ternyata tidak. "Film itu menghina bangsa Indonesia," kata Mohammad Said, tokoh Taman Siswa dan anggota Badan Sensor Film (BSF). "Kalau film itu untuk ditonton oleh sejumlah kecil kaum terpelajar, barangkali tidak jadi soal. Tapi bagi rakyat banyak film itu bisa membangkitkan permusuhan kepada Belanda" Mohammad Said menambahkan.
Film Saidja dan Adinda yang diangkat dari novel Max Havelaar diproduksi bersama oleh PT Mondial Film (Indonesia) dan Fons Rademakers Productie BV (Belanda). Kelihatannya film ini memang diliputi oleh nasib buruk. Terbukti dengan terjadinya keributan sejak rencana pembuatan, pada masa pemotretan maupun pada saat film telah rampung.
Ribut tidak saja terjadi antara kalangan karyawan - pertentangan sutradara Belanda, Rademakers, dengan Sutradara Indonesia Mochtar Soemodimedjo. Konflik juga antara produser Indonesia dengan produser Belanda - mengenai tempat modal yang ditanamkan. Malah ada pertikaian di kalangan PT Mondial sendiri. Sebuah sumber malah menyebut bahwa PT Mondial yang dilanda pertentangan itu hingga kini masih juga berhutang pada Hotel Aryaduta sejumlah tujuh juta rupiah.
Kalau betul hutang itu ada maka yang jelas harus menanggungnya bukanlah fihak Belanda. Fihak di sana itu bukan cuma tidak menanggung hutang, sebaliknya malah telah memungut keuntungan. Setelah diputar dalam festival film di Iran - dan kabarnya mendapat perhatian -- tahun silam, Saidjadan Adinda diputar di sebagian besar negara-negara Eropa Barat. Hasil pemutaran itu masuk kantong Rademakers semua, sesual dengan kontrak. Pihak Indonesia akan mendapat hasil pemasukan peredaran di Indonesia dan Asia. Tapi dengan pelarangan untuk beredar di Indonesia, maka secara hukum hilang pula hak beredar film itu di Asia.
Kolonialisme Baik?
Apakah keputusan sensor itu harga mati? "Mati ya tidak mati. Sebab kita tidak menutup kemungkinan bagi pemilik film itu untuk merevisi filmnya sebelum disensorkan kembali," kata Soemamlo, ketua pelaksana BSF.
Yang jadi soal, Pr Mondial kini dalam keadaan pecah dan BSF tidak bisa menentukan pihak mana yang lebih berhak. Jika suatu kali PT Mondial mencapai kesepakatan ke dalam dan berniat melakukan revisi (hal yang nampaknya sulit, sebab Rademakers sebagai sutradara tentulah tidak sepakat), bagian mana sajakah yang terpaksa harus direvisi?
Tidak memberikan jawaban yang panjang lebar, Haji Abdul Karim, sekretaris BSF cwlla menyodorkan alasan alasan BSF menolak fihn tersebut. Secara aklanlasi para pemeriksa film itu menolak pengedaran Saidja dan Adida dengan alasan: Film ini menggambarkan seakan-akan kolonialisme itu baik penindasan terhadap rakyat Banten, bukan dilakukan oleh Belanda, tapi digambarkan sebagai dilakukan oleh Bupati penggambaran cultuur stelsel tidak jelas, seakan-akan pihak Belanda waktu itu tidak melakukan paksaan kepada rakyat.
Bertentangankah cerita film itu dengan buku aslinya? "Bertentangan juga tidak, tapi penekanan yang berlebihan pada tempat yang tidak tepat yang telah terjadi," kata Mohammad Said yang menyatakan bahwa ia telah membaca Max Havelaar. Konon pemerintah Indonesia (Direktorat Bina Film Deppen) telah memperingatkan produser film itu agar melakukan perubahan pada skenarionya sebelum memulai melakukan pemotretan di Indonesia tahun silam. Rademakers kabarnya mengabaikan peringatan tersebut. Ia bahkan menolak saran sutradara Indonesia yang bekerja bersama dia. Karena itulah maka terjadi cekcok antara Fons dan Mochtar. Yang terakhir ini - karena merasa tidak mendapat dukungan produser - mengundurkan diri ketika film masih dalam taraf pembuatan (TEMPO, 26 Maret 1977). Nah, mundurnya Mochtar itulah yang kini jadi kambing hitam bagi terjadinya kekeliruan yang berakibat fatal bagi film ini - meskipun itu mungkin tidak adil, sebab selain Mochtar 'kan ada produser Indonesia?
Termakan Lagi
Adil tidak adil pokoknya untuk kesekian kalinya pihak Indonesia yang terlibat dalam produksi bersama pembuatan film termakan lagi oleh pasangan mereka di negeri sana. Kisah tragik yang sama sudah terjadi di negeri ini sejak almarhum Haji Usmar Ismail di tahun enam puluhan kena tipu oleh produser Italia yang membawa lari negatif film Adventure in Bali. Sampai saat ini kabar berita film itu tidak kunjung terdengar. Film-film yang dibuat dengan cara yang sama - dengan orang Italia, Hongkong atau Taiwan -- selalu saja mengalami nasib yang serupa. Kalau bukan negatifnya yang dilarikan, ceritanya yang dibetot ebagai yang terjadi dengan film Panji Tengkorak dan Kalas Dendam. Dua film yang terakhir ini sebenarnya tidak lebih dari film silat Cina yang meminjam pulau Bali sebagai latar belakang.
Nah, soal latar belakang ini ada pula hubungannya dengan film Saidja dan Adinda. Beberapa saat setelah film itu beredar dan mendapat sambutan hangat di negeri Belanda, biro perjalanan di sana tidak menyia-nyiakan, kesempatan untuk menarik keuntungan. Kampanyenya: "Bukukanlah perjalanan anda sekarang juga ke daerah-daerah opname Max Havelaar." Sayang hingga kini belum ada keterangan resmi dari' pihak pariwisata maupun imigrasi mengenai besarnya kenaikan arus'turis dari negeri Belanda sejak kampanye itu mulai.
Pemilik hotel dan toko barang kesenian boleh senang menikmati uang gulden dari Holland, tapi PT Mondial nampaknya masih tetap akan dipusingkan oleh film mereka, bahkan seandainya revisi dilakukan. Lewat telepon, ketua BSF Soemamlo, pekan silam menyebut sebuah pelanggaran besar yang dilakukan oleh produser film ini terhadap ketentuan yang berlaku di Indonesia. "Menurut ketentuan itu. sebelum film ini beredar, ia harus disensor dulu di Jakarta. Yang terjadi adalah sebaliknya," begitu Soemarmo.
Kurang jelas sanksi apa yang bisa dijatuhkan kepada pemilik film ini nantinya. Yang terang adalah publik Indonesia masih akan lama menanti sebelum sempat -- jika sempat - menyaksikan film yang diangkat dari karya Multatuli yang dulu tersohor sebagai pengecam kolonialisme dan (harap ingat) feodalisme itu.
Sensor Film dan "Moral Rights"
MENGILAS balik penyensoran terhadap film atau umumnya sinema Indonesia, saya mencatat setidaknya ada empat macam sensor, yakni sensor administratif, sensor ideologis, sensor moral, dan sensor komunal. Saat Eros Djarot hendak menyutradarai Tjoet Nja` Dhien (1988), dia harus memenuhi sebarisan persyaratan administratif, antara lain: pernah beberapa kali menjadi asisten sutradara dalam produksi film, dan Eros tak memenuhi itu, sehingga banyak rintangan menghadangnya, termasuk ancaman tak mendapat izin memproduksi. Hal senada dialami Garin Nugroho saat membesut Cinta dalam Sepotong Roti (1991) dan kemudian Surat untuk Bidadari (1992) yang ketika judul kedua ini memenangi penghargaan dalam festival film di luar negeri segera disambut media massa bahwa itu film plagiat.
Sensor ideologis diberlakukan bagi film yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara, atau yang dirasa bakal menggoyah kekuasaan partai politik yang menyangga dan disangga pemerintah, atau yang mempertanyakan secara kritis kebijakan pembangunan dan/atau "success story" pembangunan rezim Orde Baru. Contoh-contohnya, antara lain: Matahari-Matahari (Arifin C Noer, 1985), Di Bawah Lindungan Ka`bah (Asrul Sani, 1981), Bung Kecil (Sophan Sophiaan, 1983), Yang Muda yang Bercinta (Sjuman Djaya, 1977), Koruptor-Koruptor (Arifin C No¬er, 1978), dan Kanan-Kiri OK (Yasman Yazid, 1989).
Dalam kisahnya, Mataha¬ri-Matahari, Yang Muda yang Bercinta, dan Koruptor-Koruptor antara lain digambarkan adanya petinggi negeri yang korup, tokoh tua yang feodal dan hipokrit, serta ada banyak masyarakat yang tetap tersiasia karena dampak pembangunan (isme). Itu sebabnya, agar bisa lolos sensor, Ma¬tahari-Matahari perlu "disimpan" dalam laci lembaga sensor kecuali jika sutradaranya mau mempermak beberapa adegan agak kontras sosial itu tak tegas-tegas amat. Sama dan sebangun dengan Koruptor-Koruptor, yang juga harus mengubah judulnya menjadi Petualang-Petualang.
Bahwa ada adegan Poppy Dharsono mandi bareng Rudy Salam dalam sebuah telaga dan itu mengasosiasi pada sensualitas, bahkan seksualitas toh yang jadi pertimbangan utama penyensoran adalah cerita rekaan Umar Kayam yang intinya adalah perbedaan generasi, selain isi sajak-sajak yang disuarakan penyajak Rendra (pemeran Sonny) yang kala itu memang terbilang menyengat penguasa. Itu sebabnya, tanda lolos sensor pada tengah April 1978 itu hanya berumur satu bulan, karena film ini dinilai punya anasir propaganda, agitasi, dan menghasut masya¬rakat, terutama generasi muda. Butuh belasan tahun untuk memendam film ini sebelum akhirnya boleh diedarkan.
Sementara Di Bawah Lindungan Ka`bah awalnya adalah novel karya Hamka harus memikirkan judulnya menjadi Para Perintis Kemerdekaan, lantaran kabah adalah simbol sebuah par¬tai politik yang bisa menjadi an¬caman partai pemerintah: Golongan Karya. Akan halnya film dagelan Kanan-Kiri OK, apa pula lambaran ideologisnya? Kata fan` mengacu pada ideologi kekiri-kirian yang bisa berarti marxisme-leninisme-komunisme. Itu musababnya, daripada film yang awalnya dijuduli Kiri-Kanan OK itu diganyang, atas rekomendasi lembaga sensor judulnya dibalik menjadi Kanan-Kiri OK.
Sensor komunal berlaku untuk Max Havelaar (Fons Rademakers & Mochtar Soemadimedjo, 1976), yang dikhawatirkan memancing reaksi keras masyarakat Banten, lantaran dalam film ini digambarkan Bupati Lebak yang memeras rakyatnya; atau Damarwulan (L Sudjio, 1983), yang berkisah perihal Damarwulan sebagai sosok hero, yang bagi ma¬syarakat Banyuwangi justru merupakan musuh Minakjingga, so¬sok pahlawan masyarakat ujung timur Pulau Jawa.
Sensor jenis keempat, sensor moral, kaitannya dengan adegan yang dianggap sensual, yang da¬lam terminologi lembaga sensor dan umumnya masyarakat secara gampangan disebut pornografis. Contohnya, yang dicuplikkan Lembaga Sensor Film (LSF) saat mengundang para pemimpin keagamaan ke kantornya pada Selasa, 16 Januari 2007; yang juga diulang-kembali pada Rabu, 6 Februari 2008. Tampaknya atas nama sensor moral pula LSF benar-benar memenggal judul sinema-televisi Matinya Seorang Penari Telanjang menjadi Penari dan jabaran moral itu hanyalah: dilarang pakai kosakata telanjang.
Tentu, pelbagai ragam sensor itu tak jalan sendiri-sendiri. LSF bisa memberlakukan dua di antaranya atau malah ketiganya minus sensor administratif yang setara litsus (penelitian khusus) alias screening itu, karena relatif sudah tak ada macam saat me¬menggal visualisasi foto sepasang ayah-ibu berkopiah-berkerudung dalam Cerita Jogja (Upi, 2007) (bagian dari Perempuan Punya Cerita/Chants of Lotus) yang menggabungkan sensor ideologis dan sensor moral; selain juga terhadap film "asing" Schindler`s List (Steven Spielberg, 1993) yang argumentasi penahanan peredaran dan penyensoran diatasnamakan untuk membuang adegan kekerasan dan pornografi, selain khawatir akan kemungkinan terbangkitnya "kontroversi dalam masyarakat karena propaganda Yahudi".
Atas nama kewenangan lem¬baga sensor yang diberi mandat menggunting adegan dengan pel¬bagai argumentasi yang bisa saja sangat tidak argumentative jadinya tiada lagi peluang dan ke¬mungkinan untuk memperdebatkan bahwa "pornografi" yang dimaksudkan dalam Schindler`s List adalah gambaran orang-orang Yahudi yang menderita bahkan pakaian pun tak tersedia, atau foto ayah-ibu dalam kamar yang sedang dipakai having sex remaja-Yogya merupakan keniscayaan bagi gambaran betapa orangtua cuma dijadikan pajangan; dan seterusnya.
Kendati ragam sensor itu di¬pakai dasar pemenggalan adegan, terkesan kuat bahwa yang disensor LSF adalah yang berkait dengan moral. Itu sebabnya, wacana yang muncul bagi adanya tuntutan pembubaran lembaga sensor sama artinya dengan membiarkan moral jadi terkacaukan dan kebebasan ekspresi sama artinya dengan menabrak-nabrak dan melabrak etika, moral, dan norma keagamaan. Padahal, karya sinema tidak berhenti sebagai semata ekspresi seni belaka; karya sinema sebagaimana karya fiksi dan non-fiksi umumnya merupakan sebuah tawaran ide, bahkan ideologi. Tentu, yang dimaksudkan dengan ideologi di sini tidak haras dalam jabaran yang serba besar macam ideologi marxisme, kapitalisme, Pancasila, dan sebangsanya. Dia bisa "sekadar" ide sineas mengenai kehidupan remaja, ide mengenai kontroversi aborsi, atau tafsir atas tafsir perihal poligami, dan seterusnya.
Dalam pemahaman karya kreatif termasuk film sebagai ujud tawaran suatu ide, memenggal adegan atau memangkas judul, atau apa pun sebagaimana yang selama ini LSF lakukan, sama maknanya dengan memenggal atau menghalang-halangi keutuhan sebuah ide atau ideologi. Jadinya, LSF menjadi kepanjangan tangan negara atau penguasa atau kelompok tertentu untuk menindas kemungkinan beragamnya ide, ideologi, pendapat, wacana, dan tata nilai.
Memenggal, memangkas, dan semacamnya atas karya kreatif sinema sama artinya dengan mencorat-coret sebuah lukisan, atau bahkan menambah dan mengganti warna lukisan; dan itu sama artinya dengan menerabas moral rights. Perusakan terhadap moral rights harusnya ada aturan hukumnya. (VEVEN SP WARDHANA, Senior Advisor di German Technical Cooperation (GTZ), Program Good Governance in Population Administration)