ANDJAR ASMARA
Pada mulanya ia dikenal sebagai wartawan. Sebelum memasuki film, terlebih dahulu berkecimpung di dunia sandiwara. Tidak secara kebetulan ia tertarik bidang teater ini karena neneknya memang pemilik sebuah rombongan sandiwara. Pada masa kecil ia sudah sering menirukan permainan sandiwara bersama teman-teman sepermainan, menirukan permainan sandiwara yang ditontonnya pada malam hari.
Barangkali karena kesibukan sekolah maka Andjar tidak memasuki dunia panggung ini sejak masa mudanya. Lepas sekolah ia langsung menjadi wartawan, tapi karir ini di Jakarta tidak lancar. Ia pindah ke Padang dan menjadi wartawan dari Sinar Sumatera. Pada masa ini, sekitar tahun 1925 ia banyak memberikan saran kepada Padangsche Opera yang merubah gaya pementasan rombongan ini dari cara opera yang segalanya serba dinyanyikan atau dialognya diucapkan seperti orang berdeklamasi, menjadi bentuk toneel, seperti sandiwara sekarang, serba wajar. Naskah yang dipentaskan pun bukan lagi cerita pangeran atau mambang, melainkan kejadian sehari-hari. Antara lain mementaskan naskah Parada Harahap : Melati Van Agam.
ia seorang pembaharu teater. Kembali ke Jakarta di akhir tahun tiga puluhan, ia menjadi wartawan Bintang Timoer dan Bintang Hindia. Antara tahun 1929 sampai dengan 1932 ia memimpin majalah Doenia Film, edisi Indonesia dari majalah berbahasa Belanda Film Land. Pada masa itu ia mulai melakukan hubungan dengan para pembuat film di sini. Rupanya film saat itu belum memperlihatkan prospek yang baik baginya. Maka tahun 1933 ia terjun ke dunia sandiwara pada rombongan terkenal Dardanella. Karena selain di situ ia menjadi publicityman, juga diberi kesempatan untuk mempergunakan mesin cetak portable rombongan ini untuk mencetak naskah sandiwara.
Tapi kemudian ia lebih dikenal sebagai penulis naskah panggung dan sutradara yang banyak memperbaiki nilai pementasan rombongan ini. Dalam perlawatan Dardanella ke India sekitar tahun 1936, rombongan ini bekerjasama dengan Radha Film Coy Calcutta untuk memfilmkan naskah Andjar terkenal Dr. Samsi. Hubungan dengan film hanya sampai di situ, bahkan rombongan ini sendiri pecah di India. Kembali ke Indonesia mendirikan sandiwara Bollero. Umurnya tidak panjang. Ia kembali ke penerbitan, bekerja pada Kolf di Surabaya sebagai redaktur dari penerbitan buku saku seri cerita film Indonesia. Melalui ini ia kembali banyak berhubungan dengan kalangan film. Maka tahun 1940 ia tinggalkan Kolf untuk menjadi sutradara film di JIF (Java Industrial Film) di Jakarta.
Dengan masuknya Andjar ke dalam film, maka sebagian besar tokoh-tokoh Dardanella juga terjun ke film. Seperti Tan Tjeng Bok, Inu Perbatasari, Rd. Ismail dan lain-lain. Film pertama yang disutradarainya Kartinah. Kedatangannya ke dunia film di pandang sebagai tenaga yang bisa digantungi harapan untuk meningkatkan mutu film Indonesia masa itu. Tapi pembuatan film oleh swasta terhenti dua tahun kemudian dengan masuknya Jepang. Di jaman revolusi Andjar ikut memberikan ceramah pada grup diskusi film yang diikuti oleh Usmar Ismail dan Djajakusuma. Tahun 1948 ia kembali membuat film di Jakarta pada South Pacific Film. Djaoeh Dimata adalah film pertamanya. Sehabis perang ia menampung Usmar Ismail, yang baru keluar dari tawanan Belanda untuk menjadi asistennya dalam pembuatan Gadis Desa (1949). Tapi kemudian ia sendiri keluar dari film dan muncul kembali dengan usaha penerbitan buku serial cerita film. Terakhir ia memimpin majalah Varia sampai meninggal dalam perjalan ke Bandung.
Selama saya bekerja pada Dardanella ini, makin sehari makin besarlah keyakinan saya, bahwa tonil Melayu mempunyai harapan yang baik dimasa yang akan datang.Bagi saya sendiri arti penting tonil ialah sipatnya sebagai pendidik budi pekerti. Dan peran tonil untuk character forming itu tiada boleh kita abaikan.
Tuan sendiri tentu tahu. bahwa apabila kita telah amat lama membaca atau mendengar sesuatu cerita, seringlah kita lupa segala seluk beluk cerita itu, tetapi yang tinggal melekat dl kalbu kita hanyalah ingatan tentang sari cerita itu, baik buruknya sesuatu hal, sesuatu perbuatan yang terlukis dalam cerita itu.
Dengan tonilpun demikian halnya. Dalam tiap-tiap lakon senantiasa saya gambarkan sesuatu perjuangan antara baik dan buruk, antara nafsu dan keinsafan akan yang benar dan baik.
Ambillah cerita “Dr. Samsi”, lihat cerita “Rentjong Atjeh”. Dalam “Dr. Samsi” digambarkan bagaimana perbuatan yang dilangsungkan dengan tiada dipikir masak-masak waktu muda, dapat membawa kesudahan yang amat panjang dan banyak mengandung kesedihan. Dalam “Rentjong Atjeh” digambarkan sipat ksateria, sipat knighthood.
Menurut pikiran saya, ini seni tonil gaya baru, seni yang masih amat muda. la bukan wayang. bukan ketoprak dll. Tonil gaya baru ini hendak melingkungi segala penduduk kepulauan ini.
Dengan kemidi bangsawan amat banyak perbedaannya, sehingga payah kita hendak mengatakan, bahwa tonil ini sambungan kemidi bangsawan. Bagi saya sendiri, kemidi bangsawan itu telah mati di tengah jalan dan tonil gaya baru ini timbul sebagai barang baru memakai ramuan, element baru pula. Tonil gaya baru ini terjadi dari pada budi, jiwa Timur dengan teknik Barat.
Dalam kemidi Stamboel tiap pemain amat bebas memilih perkataan yang dipakainya. Pada tonil yang baru dituliskankah sekalian tekst dahulu seperti pada tonil Barat.
Mula-mula saya karang sebuah cerita. Saya tuliskan sekalian cara percakapan. Tentulah waktu saya mengarang saya ingat akan kecakapan yang akan memainkannya kelak. Tiap-tiap peran saya buat sedapat-dapatnya sesuai benar dengan orangnya. Setelah selesai saya karang. maka saya panggillah sekalian yang akan memainkannya. Saya ceritakan cerita itu panjang lebar.
Setelah selesai, maka saya berikanlah kepada masing-masing, tekst yang berhubung dengan perannya. Kepada masing-masing saya ceritakan pula lebih lanjut bagaimana sipat-sipat, pekerti, gaya dan sebagainya orang yang akan dimainkannya itu. Pendeknya mereka harus dapat merasakan benar-benar peran yang tertunjuk kepada mereka itu. Apabila mereka telah paham akan sekaliannya itu, maka diadakan repetition beberapa kali. Disitulah saya dapat melihat, apa yang baik dan apa yang kurang baik. Seperlunya diubah apa yang patut diubah.
Barulah dipertunjukkan dimuka orang banyak. Waktu pertunjukan mula mula masih sering juga mereka itu dibantu, sebab boleh jadi mereka lupa akan apa yang harus mereka katakan.
Ya, boleh dikatakan segala pemain itu terikat kepada perkataan yang telah ditetapkan. Tetapi waktu repetition tentulah mereka boleh juga mengubah tekst, apabila menurut pikiran mereka kurang kena, kurang baik. Tentang itu kami bermupakat.
Sementara perkataan yang kecil-kecil yang tiada pentinglah, kadang-kadang tiada mengapa kalau mereka ubah sedikit, waktu permainan itu sedang ‘asyik. Sebab tuan jangan lupa, sebahagian darl pada pemain kami berasal dari pada kemidi Stamboel. Tentulah bagi mereka yang biasa bebas itu amat payah hendak mengikat dirinya kepada perkataan yang sudah ada.
Tentang anak tonil Dardamella umumnya saya senantiasa amat sukacita atas kecakapan mereka. Astaman misalnya luar biasa aanlegnya, pada tiap-tiap permainan yang baru. Saya sendiri merasa heran akan permainannya. Pada hal kalau kita pikirkan, ia hanya seorang yang keluar sekolah kelas dua.
Di antara mereka ada yang terpelajar, tetapi ada juga yang tiada. Miss Dja pun bukan orang yang terpelajar, tetapi ia belum dirusakkan oleh kemidi Stamboel. Sejak dari semula ia bekerja pada kami.
Tentu pendidikan berpengaruh banyak dalam permainannya di tonil. Orang yang terpelajar tentulah akan lebih mudah mengerti akan sesuatu, seperti kata pepatah bahasa Belanda: Een gud verstaander heeft maar een half woord noodig.
Mereka akan lebih mudah memperhalus dan mempertinggi darajat permainan mereka. Berhubung dengan inilah amat besar harapan saya bagi pemuda kita di masa yang akan datang. Pemuda kita yang pernah duduk di sekolah mempunyai tukomst yang balk di dalam dunia tonil. Hal itu dapat saya katakan berdasarkan pengalaman saya sendiri.
Pengalaman selama perjalanan mengedari seluruh kepulauan ini, saya amat senang melihat buah pekerjaan saya. Di mana-mana minat dan penghargaan orang amat besar. Terutama sekali minat dan penghargaan darl kaum terpelajar membesarkan hati.
Jangan tuan sangka, bahwa penghargaan di kota kecil itu kurang dari di kota besar. Sering adalah sebaliknya. Di kota besar, publiknya telah banyak percampurannya, tiada jarang kita mendengar ucapan yang kasar dari pihak penonton.
Saya hendak menunjukkan sebuah contoh kepada tuan. Kota Idi ialah kota kecil, hanya terdiri dari sebuah jalan saja. Tetapi waktu pertunjukan, terang kelihatan kepada kita, bahwa penonton sesungguhnya hendak merasakan ni’mat cerita yang dipertunjukkan dihadapan mereka. Makin kebelakang, kekelas yang dinamakan “kelas kambing,” makin besar minat orang. Tiap-tiap perkataan selaku hendak didengar dengan teliti. Dan kalau ada yang berani berbicara atau mengatakan sesuatu yang tiada layak, maka ia mendapat amarah dari semua penonton….
Nama :Abisin Abbas (Andjar Asmara)
Lahir :Alahan Panjang, Sumatera Barat,26 Februari 1902
Wafat :Cipanas, Jawa Barat 20 Oktober 1961
Pendidikan :Sekolah Melayu,Pendidikan Bahasa Belanda,OSVIA,MULO
Profesi :Sutradara, Penulis, Wartawan
Lahir :Alahan Panjang, Sumatera Barat,26 Februari 1902
Wafat :Cipanas, Jawa Barat 20 Oktober 1961
Pendidikan :Sekolah Melayu,Pendidikan Bahasa Belanda,OSVIA,MULO
Profesi :Sutradara, Penulis, Wartawan
Pada mulanya ia dikenal sebagai wartawan. Sebelum memasuki film, terlebih dahulu berkecimpung di dunia sandiwara. Tidak secara kebetulan ia tertarik bidang teater ini karena neneknya memang pemilik sebuah rombongan sandiwara. Pada masa kecil ia sudah sering menirukan permainan sandiwara bersama teman-teman sepermainan, menirukan permainan sandiwara yang ditontonnya pada malam hari.
Barangkali karena kesibukan sekolah maka Andjar tidak memasuki dunia panggung ini sejak masa mudanya. Lepas sekolah ia langsung menjadi wartawan, tapi karir ini di Jakarta tidak lancar. Ia pindah ke Padang dan menjadi wartawan dari Sinar Sumatera. Pada masa ini, sekitar tahun 1925 ia banyak memberikan saran kepada Padangsche Opera yang merubah gaya pementasan rombongan ini dari cara opera yang segalanya serba dinyanyikan atau dialognya diucapkan seperti orang berdeklamasi, menjadi bentuk toneel, seperti sandiwara sekarang, serba wajar. Naskah yang dipentaskan pun bukan lagi cerita pangeran atau mambang, melainkan kejadian sehari-hari. Antara lain mementaskan naskah Parada Harahap : Melati Van Agam.
ia seorang pembaharu teater. Kembali ke Jakarta di akhir tahun tiga puluhan, ia menjadi wartawan Bintang Timoer dan Bintang Hindia. Antara tahun 1929 sampai dengan 1932 ia memimpin majalah Doenia Film, edisi Indonesia dari majalah berbahasa Belanda Film Land. Pada masa itu ia mulai melakukan hubungan dengan para pembuat film di sini. Rupanya film saat itu belum memperlihatkan prospek yang baik baginya. Maka tahun 1933 ia terjun ke dunia sandiwara pada rombongan terkenal Dardanella. Karena selain di situ ia menjadi publicityman, juga diberi kesempatan untuk mempergunakan mesin cetak portable rombongan ini untuk mencetak naskah sandiwara.
Tapi kemudian ia lebih dikenal sebagai penulis naskah panggung dan sutradara yang banyak memperbaiki nilai pementasan rombongan ini. Dalam perlawatan Dardanella ke India sekitar tahun 1936, rombongan ini bekerjasama dengan Radha Film Coy Calcutta untuk memfilmkan naskah Andjar terkenal Dr. Samsi. Hubungan dengan film hanya sampai di situ, bahkan rombongan ini sendiri pecah di India. Kembali ke Indonesia mendirikan sandiwara Bollero. Umurnya tidak panjang. Ia kembali ke penerbitan, bekerja pada Kolf di Surabaya sebagai redaktur dari penerbitan buku saku seri cerita film Indonesia. Melalui ini ia kembali banyak berhubungan dengan kalangan film. Maka tahun 1940 ia tinggalkan Kolf untuk menjadi sutradara film di JIF (Java Industrial Film) di Jakarta.
Dengan masuknya Andjar ke dalam film, maka sebagian besar tokoh-tokoh Dardanella juga terjun ke film. Seperti Tan Tjeng Bok, Inu Perbatasari, Rd. Ismail dan lain-lain. Film pertama yang disutradarainya Kartinah. Kedatangannya ke dunia film di pandang sebagai tenaga yang bisa digantungi harapan untuk meningkatkan mutu film Indonesia masa itu. Tapi pembuatan film oleh swasta terhenti dua tahun kemudian dengan masuknya Jepang. Di jaman revolusi Andjar ikut memberikan ceramah pada grup diskusi film yang diikuti oleh Usmar Ismail dan Djajakusuma. Tahun 1948 ia kembali membuat film di Jakarta pada South Pacific Film. Djaoeh Dimata adalah film pertamanya. Sehabis perang ia menampung Usmar Ismail, yang baru keluar dari tawanan Belanda untuk menjadi asistennya dalam pembuatan Gadis Desa (1949). Tapi kemudian ia sendiri keluar dari film dan muncul kembali dengan usaha penerbitan buku serial cerita film. Terakhir ia memimpin majalah Varia sampai meninggal dalam perjalan ke Bandung.
Selama saya bekerja pada Dardanella ini, makin sehari makin besarlah keyakinan saya, bahwa tonil Melayu mempunyai harapan yang baik dimasa yang akan datang.Bagi saya sendiri arti penting tonil ialah sipatnya sebagai pendidik budi pekerti. Dan peran tonil untuk character forming itu tiada boleh kita abaikan.
Tuan sendiri tentu tahu. bahwa apabila kita telah amat lama membaca atau mendengar sesuatu cerita, seringlah kita lupa segala seluk beluk cerita itu, tetapi yang tinggal melekat dl kalbu kita hanyalah ingatan tentang sari cerita itu, baik buruknya sesuatu hal, sesuatu perbuatan yang terlukis dalam cerita itu.
Dengan tonilpun demikian halnya. Dalam tiap-tiap lakon senantiasa saya gambarkan sesuatu perjuangan antara baik dan buruk, antara nafsu dan keinsafan akan yang benar dan baik.
Ambillah cerita “Dr. Samsi”, lihat cerita “Rentjong Atjeh”. Dalam “Dr. Samsi” digambarkan bagaimana perbuatan yang dilangsungkan dengan tiada dipikir masak-masak waktu muda, dapat membawa kesudahan yang amat panjang dan banyak mengandung kesedihan. Dalam “Rentjong Atjeh” digambarkan sipat ksateria, sipat knighthood.
Menurut pikiran saya, ini seni tonil gaya baru, seni yang masih amat muda. la bukan wayang. bukan ketoprak dll. Tonil gaya baru ini hendak melingkungi segala penduduk kepulauan ini.
Dengan kemidi bangsawan amat banyak perbedaannya, sehingga payah kita hendak mengatakan, bahwa tonil ini sambungan kemidi bangsawan. Bagi saya sendiri, kemidi bangsawan itu telah mati di tengah jalan dan tonil gaya baru ini timbul sebagai barang baru memakai ramuan, element baru pula. Tonil gaya baru ini terjadi dari pada budi, jiwa Timur dengan teknik Barat.
Dalam kemidi Stamboel tiap pemain amat bebas memilih perkataan yang dipakainya. Pada tonil yang baru dituliskankah sekalian tekst dahulu seperti pada tonil Barat.
Mula-mula saya karang sebuah cerita. Saya tuliskan sekalian cara percakapan. Tentulah waktu saya mengarang saya ingat akan kecakapan yang akan memainkannya kelak. Tiap-tiap peran saya buat sedapat-dapatnya sesuai benar dengan orangnya. Setelah selesai saya karang. maka saya panggillah sekalian yang akan memainkannya. Saya ceritakan cerita itu panjang lebar.
Setelah selesai, maka saya berikanlah kepada masing-masing, tekst yang berhubung dengan perannya. Kepada masing-masing saya ceritakan pula lebih lanjut bagaimana sipat-sipat, pekerti, gaya dan sebagainya orang yang akan dimainkannya itu. Pendeknya mereka harus dapat merasakan benar-benar peran yang tertunjuk kepada mereka itu. Apabila mereka telah paham akan sekaliannya itu, maka diadakan repetition beberapa kali. Disitulah saya dapat melihat, apa yang baik dan apa yang kurang baik. Seperlunya diubah apa yang patut diubah.
Barulah dipertunjukkan dimuka orang banyak. Waktu pertunjukan mula mula masih sering juga mereka itu dibantu, sebab boleh jadi mereka lupa akan apa yang harus mereka katakan.
Ya, boleh dikatakan segala pemain itu terikat kepada perkataan yang telah ditetapkan. Tetapi waktu repetition tentulah mereka boleh juga mengubah tekst, apabila menurut pikiran mereka kurang kena, kurang baik. Tentang itu kami bermupakat.
Sementara perkataan yang kecil-kecil yang tiada pentinglah, kadang-kadang tiada mengapa kalau mereka ubah sedikit, waktu permainan itu sedang ‘asyik. Sebab tuan jangan lupa, sebahagian darl pada pemain kami berasal dari pada kemidi Stamboel. Tentulah bagi mereka yang biasa bebas itu amat payah hendak mengikat dirinya kepada perkataan yang sudah ada.
Tentang anak tonil Dardamella umumnya saya senantiasa amat sukacita atas kecakapan mereka. Astaman misalnya luar biasa aanlegnya, pada tiap-tiap permainan yang baru. Saya sendiri merasa heran akan permainannya. Pada hal kalau kita pikirkan, ia hanya seorang yang keluar sekolah kelas dua.
Di antara mereka ada yang terpelajar, tetapi ada juga yang tiada. Miss Dja pun bukan orang yang terpelajar, tetapi ia belum dirusakkan oleh kemidi Stamboel. Sejak dari semula ia bekerja pada kami.
Tentu pendidikan berpengaruh banyak dalam permainannya di tonil. Orang yang terpelajar tentulah akan lebih mudah mengerti akan sesuatu, seperti kata pepatah bahasa Belanda: Een gud verstaander heeft maar een half woord noodig.
Mereka akan lebih mudah memperhalus dan mempertinggi darajat permainan mereka. Berhubung dengan inilah amat besar harapan saya bagi pemuda kita di masa yang akan datang. Pemuda kita yang pernah duduk di sekolah mempunyai tukomst yang balk di dalam dunia tonil. Hal itu dapat saya katakan berdasarkan pengalaman saya sendiri.
Pengalaman selama perjalanan mengedari seluruh kepulauan ini, saya amat senang melihat buah pekerjaan saya. Di mana-mana minat dan penghargaan orang amat besar. Terutama sekali minat dan penghargaan darl kaum terpelajar membesarkan hati.
Jangan tuan sangka, bahwa penghargaan di kota kecil itu kurang dari di kota besar. Sering adalah sebaliknya. Di kota besar, publiknya telah banyak percampurannya, tiada jarang kita mendengar ucapan yang kasar dari pihak penonton.
Saya hendak menunjukkan sebuah contoh kepada tuan. Kota Idi ialah kota kecil, hanya terdiri dari sebuah jalan saja. Tetapi waktu pertunjukan, terang kelihatan kepada kita, bahwa penonton sesungguhnya hendak merasakan ni’mat cerita yang dipertunjukkan dihadapan mereka. Makin kebelakang, kekelas yang dinamakan “kelas kambing,” makin besar minat orang. Tiap-tiap perkataan selaku hendak didengar dengan teliti. Dan kalau ada yang berani berbicara atau mengatakan sesuatu yang tiada layak, maka ia mendapat amarah dari semua penonton….
ANGGREK BULAN | 1948 | ANDJAR ASMARA | Director | |
DJAUH DIMATA | 1948 | ANDJAR ASMARA | Director | |
KARTINAH | 1940 | ANDJAR ASMARA | Director | |
NOESA PENIDA | 1941 | ANDJAR ASMARA | Director | |
GADIS DESA | 1949 | ANDJAR ASMARA | Director |