YAZMAN YAZID
Tahun 1975, Yazman meningkat menjadi astrada, tetap bersama pamannya, cuma dalam produksi PT Rapi Film, “Ateng Mata Keranjang”. Setelah berkali-kali magang sebagai astrada, baru pada tahun 1981, produser Th. A. Budi Susilo dari PT Gramedia Film mempercayainya menyutradarai “Tangan-tangan Mungil”. Karya penyutradaraannya yang kedua “Darah dan Mahkota Ronggeng” (1983) dan tahun ini, “Untukmu Kuserahkan Segalanya”. Yazman Yazid yang kini telah menjadi karyawan tetap PT Gramedia Film, lewat film terbarunya ingin mengungkapkan visi tentang anak-anak yatim piatu, tolong agar nasib mereka juga diperhatikan !
Untuk film drama, saya penggemar Sjuman Djaya. Saya salut padanya. Meski sekolah di luar negeri, saat kembali ke Indonesia dia selalu bikin film yang berlatar budaya Indonesia. Saya ingin seperti itu. Sebelum meninggal, dia pernah bikin skenario untuk saya sutradarai.
Katanya, "Kamu saya bikinin skenario, awas kalau nanti hasilnya enggak bagus." Dari skenario itu, jadilah film Masih Di Bawah Umur yang dibintangi Gladys Suwandi.
Untuk film komedi, saya suka Nya Abbas Akub karena setiap film yang disutradarainya selalu punya "sesuatu" untuk disampaikan. Jalinan ceritanya juga menarik, terutama Cintaku di Rumah Susun. Saya selalu menganggapnya sebagai guru. Kebetulan selama kuliah saya pernah jadi asistennya, sekitar tahun 70-an. Saking kagumnya, saya sampai berniat bikin versi baru Cintaku di Rumah Susun di Kemayoran.
Tema, gagasan dan tokoh tetap sama, hanya saja disesuaikan dengan kondisi sekarang. Pada versi lamanya, pemain tidak banyak diekspos karena film hanya berdurasi 1,5 jam. Sebenarnya saya ingin bikin versi baru mengekspos tokoh-tokohnya. Sayang, baru dua hari syuting sudah harus berhenti.
Soalnya, ide filmnya bagus dan menarik. Selain itu, saya juga ingin mengabadikan karya-karya para senior. Yang penting sesuai dengan visi saya. Sebagus apa pun film tersebut menurut orang, kalau tidak sesuai dengan visi saya, ya, saya tidak mau mengangkatnya.
Saya bisa bikin cerita sendiri, tapi tak ada salahnya, kan, mengangkat lagi karya orang yang besar pada zamannya dulu. Tidak sulit, kok, mendaur ulang film lawas. Asal gagasannya sudah jelas, semua pasti akan mengalir sendiri.
Saya minta Ucup (Achmad Yusuf, sutradara WahCantiknya!!!, Red.) untuk menggantikan. Film komedi ini akan bagus kalau dikerjakan Ucup. Karakternya pas. Saya bilang ke produser, kalau ingin film tetap jalan sebaiknya Ucup yang jadi sutradara. Tapi kalau masih mempertahankan saya, tunggu sampai KKJM selesai.
Dorongan dari orang tua menjadi Sutradara Dari orang tua, sih, enggak ada dorongan karena sejak kelas 1 SMP saya sudah hijrah ke Jakarta, tinggal bersama tante. Biasa, orang Padang, kan, bangga kalau anaknya pergi merantau. Kata Ayah, kalau mau nasib berubah, ya harus merantau. Kecuali kalau ingin jadi petani.
Lulus SMA, saya kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1971, jurusan sinematografi. Poppy Dharsono dulu teman kuliah saya. Dosen saya top-top semua, lho, antara lain Sjuman Djaya dan Asrul Sani. Semasa kuliah saya sudah mulai latihan bikin naskah untuk Nya Abbas Akub. Tapi tahun 1973 saya memilih keluar dari IKJ. Saya justru disuruh dosen untuk langsung praktik ke ahlinya, belajar bikin naskah dan editing.
Pertama terjun ke dunia penyutradaraan, saya justru lebih banyak menggarap film dokumenter. Lalu saya jadi asisten Chaerul Umam. Saat itu, dia dapat proyek dari Gramedia Film dan saya diminta membantunya. Itulah awal saya bergabung dengan Gramedia Film. Tahun 1978, saya diangkat menjadi karyawan perusahaan itu dengan status sutradara yang digaji bulanan. Saya bertahan di Gramedia sampai tahun 1984. Selama itu, saya sudah menghasilkan beberapa film seperti Untukmu Kuserahkan Segalanya (Rano Karno dan Lydia Kandau), Ronggeng Dukuh Paruk dan Tangan-tangan Mungil. Waktu Gramedia Film tutup tahun 1985, saya sempat ditawari bergabung ke Tabloid Bola, tapi saya tolak karena tidak sesuai dengan hati nurani. Berbeda dengan istri saya, Ace, yang sampai saat ini masih bertahan di Gramedia.
Ya. Kita dulu sama-sama kerja di Gramedia Film, tapi dia di bagian iklan. Kami sudah kenal sejak tahun 1980, tapi baru menikah sembilan tahun kemudian. Lama, ya? Soalnya, waktu itu saya belum berani mengambil keputusan untuk menikah. Sekarang kami dikaruniai dua anak lelaki, Ario dan Yogi. Kayaknya, mereka enggak mewarisi bakat ayahnya di bidang seni. Ke tempat syuting saja mereka ogah. Mereka masih suka protes kalau saya jarang di rumah. Beruntung saya enggak ada jadwal syuting di akhir pekan. Kalau istri, sih, enggak pernah karena sudah paham cara kerja saya.
Mungkin juga, karena Ayah saya adalah seorang pemusik. Sedangkan Ibu adalah ibu rumah tangga. Lahir di Batu Sangkar (Sumbar) 15 Januari 1952, sejak kecil saya sudah bisa main gitar dan piano. Sampai SMP bahkan masih aktif main band. Saya pernah bercita-cita jadi pemusik, lho. Tapi saya lebih tertarik mendalami dunia film karena lebih menantang. Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, saya memang agak nyeleneh. Hanya saya yang terjun ke dunia film.
Yazman saat membuat sinetron Kecil-kecil Jadi Manten, dampak dari lesunya film saat itu sehingga semua orang film lari ke TV.
Lahir di Batusangkar, 15 Januari 1952. Pendidikan cuma dua tahun di Akademi Sinematografi LPKJ. Kariernya diawali dari Pencatat Skrip dalam film “Bing Slamet Setan Jalanan” (1972). Menyusul produksi-produksi PT Safari Sinar Sakti Film lainnya yang disutradarai oleh Hasmanan. Tidak heran karena sebenarnya Yazman Yazid adalah keponakan Hasmanan.
Tahun 1975, Yazman meningkat menjadi astrada, tetap bersama pamannya, cuma dalam produksi PT Rapi Film, “Ateng Mata Keranjang”. Setelah berkali-kali magang sebagai astrada, baru pada tahun 1981, produser Th. A. Budi Susilo dari PT Gramedia Film mempercayainya menyutradarai “Tangan-tangan Mungil”. Karya penyutradaraannya yang kedua “Darah dan Mahkota Ronggeng” (1983) dan tahun ini, “Untukmu Kuserahkan Segalanya”. Yazman Yazid yang kini telah menjadi karyawan tetap PT Gramedia Film, lewat film terbarunya ingin mengungkapkan visi tentang anak-anak yatim piatu, tolong agar nasib mereka juga diperhatikan !
Untuk film drama, saya penggemar Sjuman Djaya. Saya salut padanya. Meski sekolah di luar negeri, saat kembali ke Indonesia dia selalu bikin film yang berlatar budaya Indonesia. Saya ingin seperti itu. Sebelum meninggal, dia pernah bikin skenario untuk saya sutradarai.
Katanya, "Kamu saya bikinin skenario, awas kalau nanti hasilnya enggak bagus." Dari skenario itu, jadilah film Masih Di Bawah Umur yang dibintangi Gladys Suwandi.
Untuk film komedi, saya suka Nya Abbas Akub karena setiap film yang disutradarainya selalu punya "sesuatu" untuk disampaikan. Jalinan ceritanya juga menarik, terutama Cintaku di Rumah Susun. Saya selalu menganggapnya sebagai guru. Kebetulan selama kuliah saya pernah jadi asistennya, sekitar tahun 70-an. Saking kagumnya, saya sampai berniat bikin versi baru Cintaku di Rumah Susun di Kemayoran.
Tema, gagasan dan tokoh tetap sama, hanya saja disesuaikan dengan kondisi sekarang. Pada versi lamanya, pemain tidak banyak diekspos karena film hanya berdurasi 1,5 jam. Sebenarnya saya ingin bikin versi baru mengekspos tokoh-tokohnya. Sayang, baru dua hari syuting sudah harus berhenti.
Soalnya, ide filmnya bagus dan menarik. Selain itu, saya juga ingin mengabadikan karya-karya para senior. Yang penting sesuai dengan visi saya. Sebagus apa pun film tersebut menurut orang, kalau tidak sesuai dengan visi saya, ya, saya tidak mau mengangkatnya.
Saya bisa bikin cerita sendiri, tapi tak ada salahnya, kan, mengangkat lagi karya orang yang besar pada zamannya dulu. Tidak sulit, kok, mendaur ulang film lawas. Asal gagasannya sudah jelas, semua pasti akan mengalir sendiri.
Saya minta Ucup (Achmad Yusuf, sutradara WahCantiknya!!!, Red.) untuk menggantikan. Film komedi ini akan bagus kalau dikerjakan Ucup. Karakternya pas. Saya bilang ke produser, kalau ingin film tetap jalan sebaiknya Ucup yang jadi sutradara. Tapi kalau masih mempertahankan saya, tunggu sampai KKJM selesai.
Dorongan dari orang tua menjadi Sutradara Dari orang tua, sih, enggak ada dorongan karena sejak kelas 1 SMP saya sudah hijrah ke Jakarta, tinggal bersama tante. Biasa, orang Padang, kan, bangga kalau anaknya pergi merantau. Kata Ayah, kalau mau nasib berubah, ya harus merantau. Kecuali kalau ingin jadi petani.
Lulus SMA, saya kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1971, jurusan sinematografi. Poppy Dharsono dulu teman kuliah saya. Dosen saya top-top semua, lho, antara lain Sjuman Djaya dan Asrul Sani. Semasa kuliah saya sudah mulai latihan bikin naskah untuk Nya Abbas Akub. Tapi tahun 1973 saya memilih keluar dari IKJ. Saya justru disuruh dosen untuk langsung praktik ke ahlinya, belajar bikin naskah dan editing.
Pertama terjun ke dunia penyutradaraan, saya justru lebih banyak menggarap film dokumenter. Lalu saya jadi asisten Chaerul Umam. Saat itu, dia dapat proyek dari Gramedia Film dan saya diminta membantunya. Itulah awal saya bergabung dengan Gramedia Film. Tahun 1978, saya diangkat menjadi karyawan perusahaan itu dengan status sutradara yang digaji bulanan. Saya bertahan di Gramedia sampai tahun 1984. Selama itu, saya sudah menghasilkan beberapa film seperti Untukmu Kuserahkan Segalanya (Rano Karno dan Lydia Kandau), Ronggeng Dukuh Paruk dan Tangan-tangan Mungil. Waktu Gramedia Film tutup tahun 1985, saya sempat ditawari bergabung ke Tabloid Bola, tapi saya tolak karena tidak sesuai dengan hati nurani. Berbeda dengan istri saya, Ace, yang sampai saat ini masih bertahan di Gramedia.
Ya. Kita dulu sama-sama kerja di Gramedia Film, tapi dia di bagian iklan. Kami sudah kenal sejak tahun 1980, tapi baru menikah sembilan tahun kemudian. Lama, ya? Soalnya, waktu itu saya belum berani mengambil keputusan untuk menikah. Sekarang kami dikaruniai dua anak lelaki, Ario dan Yogi. Kayaknya, mereka enggak mewarisi bakat ayahnya di bidang seni. Ke tempat syuting saja mereka ogah. Mereka masih suka protes kalau saya jarang di rumah. Beruntung saya enggak ada jadwal syuting di akhir pekan. Kalau istri, sih, enggak pernah karena sudah paham cara kerja saya.
Mungkin juga, karena Ayah saya adalah seorang pemusik. Sedangkan Ibu adalah ibu rumah tangga. Lahir di Batu Sangkar (Sumbar) 15 Januari 1952, sejak kecil saya sudah bisa main gitar dan piano. Sampai SMP bahkan masih aktif main band. Saya pernah bercita-cita jadi pemusik, lho. Tapi saya lebih tertarik mendalami dunia film karena lebih menantang. Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, saya memang agak nyeleneh. Hanya saya yang terjun ke dunia film.
Yazman saat membuat sinetron Kecil-kecil Jadi Manten, dampak dari lesunya film saat itu sehingga semua orang film lari ke TV.
DARAH DAN MAHKOTA RONGGENG | 1983 | YAZMAN YAZID | Director | |
ANAK-ANAK MALAM | 1986 | YAZMAN YAZID | Director | |
PERNIKAHAN DINI | 1987 | YAZMAN YAZID | Director | |
PINTAR-PINTARAN | 1992 | YAZMAN YAZID | Director | |
PLIN PLAN | 1992 | YAZMAN YAZID | Director | |
DORCE SOK AKRAB | 1989 | YAZMAN YAZID | Director | |
GILIRAN SAYA MANA | 1989 | YAZMAN YAZID | Director | |
NONA MANIS | 1990 | YAZMAN YAZID | Director | |
UNTUKMU KUSERAHKAN SEGALANYA | 1984 | YAZMAN YAZID | Director | |
YANG MASIH DI BAWAH UMUR | 1985 | YAZMAN YAZID | Director | |
LENONG RUMPI II | 1992 | YAZMAN YAZID | Director | |
LENONG RUMPI | 1991 | YAZMAN YAZID | Director | |
KANAN KIRI OK II | 1989 | YAZMAN YAZID | Director | |
KANAN KIRI OK III | 1990 | YAZMAN YAZID | Director | |
KANAN KIRI O.K. | 1989 | YAZMAN YAZID | Director | |
BUKAN MAIN | 1991 | YAZMAN YAZID | Director | |
TANGAN-TANGAN MUNGIL | 1981 | YAZMAN YAZID | Director | |
BOLEH DONG UNTUNG TERUS | 1992 | YAZMAN YAZID | Director | |
CINTA YANG TERJUAL | 1986 | YAZMAN YAZID | Director | |
GAMPANG-GAMPANG SUSAH | 1990 | YAZMAN YAZID | Director |