Penduduk pulau Motaro itu hidup makmur. Bunga pulau itu, Fatimah (Roekiah) menjalin cinta dengan Idris (Rd Mochtar), anak nelayan miskin. Hubungan tulus itu terganggu oleh kedatangan Ali (E. T. Effendi), yang selalu membanggakan kekayaan. Salah satu pemberian Ali kepada Fatimah, cincin, justru diserahkan oleh sang gadis kepada Idris. Cincin itulah yang membawa polisi pergi ke pulau untuk menangkap Ali, yang sebetulnya adalah kepala perampok.
Lief Java adalah orkes keroncong. Lagu-lagu dinyanyikan oleh Roekiah, Rd Mochtar, Kartolo, Louis Koch, Miss Ani Landauw.
Film ini sebenarnya meniru resep film Terang Boelan. Semua rempah-rempah dan adonannya digunakan sepersis mungkin. Saroen yang pada Terang Boelan berdiri dibelakng layar, sekarang ditarik keluar untuk menulis ceritanya. Ceritanya mirip Terang Boelan yang berlangsung disebuah pulau antah berantah bernama pulau Muntaro. Para pemainnya juga berasal dengan Terang Bolean, Miss Roekiah, Rd Mochtar, ET Effendy, dan Kartolo. Dalam panfletnya ditulis sebagai pemain yang sudah dapat sukses di seantero Indonesia dan Malaya. Pemain musiknya juga sama Lief Java. Disamping Miss Roekiah, penyanyinya ditambah dengan mengikutsertakan bintang-bintang keroncong yang sudah tenar yaitu Miss Annie Landow dan Luis Koch. Resep ini di utarakan dalam pamflet lainya penuh romance, pemandangan indah, perkelahian dan diselingi dengan lagu-lagu nyanyian Melayu yang disukai oleh penonton semua golongan. Perhitungan Tan memang jitu karean Fatima laku keras. Produksi yang dibuat dengan anggaran f 7000 dalam waktu enam bulan bisa mendapatkan f 200.000. Suatu pemasukan yang luar biasa. Kehebatan Tan kata wong dari segi pemasaran, perhatian Tan hanya difokuskan setelah film itu jadi.
Kesuksesan Terang Boelan karya Albert Balink tahun 1937, yang dirilis saat industri perfilman dalam negeri masih stagnan, mendorong Tan Bersaudara (Khoen Yauw dan Khoen Hian) mendirikan kembali rumah produksi mereka, Tan's Film. Untuk film pertamanya, Tan Bersaudara meminta bantuan Wong Bersaudara, Othniel dan Joshua, untuk menyutradarai dan menangani aktivitas harian perusahaan. Wong Bersaudara, yang sebelumnya menjadi sinematografer Terang Boelan namun menganggur setelah studionya menutup divisi film fitur, menerima tawaran tersebut. Mereka juga menangani sinematografi Fatima yang direkam menggunakan kamera hitam putih.
Wong Bersaudara memanfaatkan pemeran Terang Boelan dan beberapa anggota krunya. Penulis film sebelumnya, Saeroen, penned the story for Fatima, closely following the same formula of romance, good music, and beautiful scenery as his earlier film. Para pemeran utamanya seperti Roekiah, Rd Mochtar, dan ET Effendi, serta aktor tokoh figuran seperti Kartolo (suami Roekiah), juga bergabung Mereka digaji lebih tinggi ketimbang saat terlibat di Terang Boelan. Roekiah, misalnya, per bulannya digaji 150 gulden, sedangkan Kartolo 50 gulden lebih banyak. Jumlah tersebut dua kali lipat daripada yang ia terima sebelumnya.
Musik latar film ini ditangani Lief Java. Mereka memainkan musik keroncong (musik tradisional yang dipengaruhi bangsa Portugal). Film ini diiringi beberapa lagu yang dinyanyikan Roekiah, Mochtar, Kartolo, Louis Koch, dan Annie Landauw.
Fatima dirilis tanggal 24 April 1938. Pemasarannya ditangani Tan Bersaudara. Film ini sukses di pasaran dan menghasilkan 200.000 gulden, padahal anggaran pembuatannya hanya 7.000 gulden. Kebanyakan penontonnya adalah orang pribumi, tetapi ada juga sejumlah penonton Belanda. Ulasan di harian Bataviaasch Nieuwsblad menyebutkan bahwa meski film ini tidak dapat dinilai dengan standar Eropa, pemeranan Roekiah sangat menarik dan industri perfilman dalam negeri tampaknya "kembali ke jalan yang benar".
Tan Bersaudara menikmati kesuksesan Fatima, namun Wong Bersaudara kurang puas dengan pangsa laba yang mereka terima karena dianggap terlalu rendah. Meski begitu, mereka terus bekerja sama dengan Tan Bersaudara sampai 1940, dan pada tahun 1948, Tan dan Wong Bersaudara mendirikan rumah produksi lain. Mocthar dan Roekiah tetap menjadi bintang utama Tan's Film sampai Mochtar meninggalkan perusahaan ini tahun 1940 akibat masalah upah.
Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menyebut kesuksesan Terang Boelan, Fatima, dan Alang-Alang (1939) karya The Teng Chun berhasil membangkitkan industri film lokal. Sebagian besar film dalam negeri yang dibuat sebelum kemerdekaan Indonesia diproduksi antara tahun 1939 dan pendudukan Jepang tahun 1942.
Fatima bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.