JAKARTAJAKARTA
PARKIT FILMS (JAKARTA)
TROMA INC. (LOS ANGELES)
Di Sutradarai oleh
Bersama Eddy G. Bakker.
Pemain: Chris Noth, Suzee Pai, Frans Tumbuan, Zoraya Perucha
Falco (Christopher Noth), pria berkebangsaan Amerika, telah meninggalkan dinasnya di CIA. Ia punya kenangan manis dan rasa bersalah terhadap Asha (Sue Francis Pay), gadis Indonesia yang dikenalnya dalam kaitan tugasnya bekerja sama dengan kepolisian Indonesia. Falco tergiring ke Jakarta kembali dibayangi pertanyaan tentang nasib Asha. Dibantu polisi Indonesia, Jack (Frans Tumbuan), Falco memerangi sindikat narkotika internasional yang membuka jaringan di Jakarta, yang ternyata didalangi Asha.
Film ini merupakan debut dari Chris Noth (pemain Law & Order dan pemeran Mr. Big di Sex and the City) dan berlokasi di Indonesia. Setelah pembuatan film ini, kabarnya Noth sempat tinggal di Indonesia selama 1 tahun.
Film patungan antara Amerika dan Indonesia ini menceritakan tentang Chris Noth, yang berperan sebagai ex agen CIA yang tinggal di New York. Noth pernah lari dari Jakarta pada waktu melakukan investigasi terhadap perdagangan narkoba di Asia Tenggara. Dia selalu teringat akan seorang wanita (Suzee Pai) yang diduga tewas dalam baku tembak dengan pedagang narkoba pada waktu itu.
Pada suatu hari, dia ditekan oleh CIA untuk terjun kembali ke Jakarta. Dengan bantuan partner lamanya, akhirnya dia bisa menemukan bahwa wanita yang selalu diimpikannya itu ternyata masih hidup.
Walaupun dari segi cerita, film ini biasa saja, tapi pemilihan lokasi di daerah2 padat penduduk dan kejar mengejar di lokasi tersebut membuatnya cukup menarik untuk disimak. Kita bisa menyaksikan beberapa lokasi di Jakarta pada tahun 80an yang tidak lazim ditemukan di film2 Indonesia biasa.
PARKIT FILMS (JAKARTA)
TROMA INC. (LOS ANGELES)
07 Januari 1989
Menjual kekumuhan jakarta
PELURU DAN WANITA Pemain: Franz 7umbuan, Perucha, Christopher Noth, Sue Francis Pai Cerita/skenario: Deddy Armand, Charles Kauffman Kamera: Kasiyo Hadiwiloyo, Robert Chappell Artistik: Ramidi Rogodjampi, Susan Kauffman Sutradara: E.G. Bakker, Charles Kauffman Penyunting gambar: Norman Benny, Michael Spence Musik: Jay Chattaway Produser: Parkit Film DAGANGAN ini dimulai dengan gambar beberapa orang hitam membakar kertas menghangatkan diri di pinggir jalanan kumuh. Kemudian agak mengejutkan, terdengar narasi suara seorang lelaki dalam bahasa Indonesia, sementara seorang pemuda bule dikejar-kejar polisi di New York. Kalau ini sebuah film Indonesia, bukan main.
Terampil sekali Dalam tempo tinggi dengan gambar-gambar yang bagus Falco (Christopher Noth) seorang bekas agen CIA, kembali terdampar di Jakarta. Ia pernah memiliki kenangan manis yang menyakitkan karena Esha (Sue Francis Pai) -- pacarnya ketika memburu penjahat narkotik -- hilang terculik. Film ini penuh dengan sorot balik. Berkali-kali di layar nampak tulisan: masa kini dan sekian tahun yang lalu. Usaha menuntun yang agak berkelebihan, tapi jelas ditujukan kepada penonton kelas yang suka bingung. Di Jakarta Falco bertemu lagi dengan Jack (Franz Tumbuan), polisi Indonesia, partnernya di masa lalu. Dalam perjalanan ke airport, karena Falco ingin kembali ke Amerika, sekilas ia seperti melihat Esha. Luapan cinta membuat Falco meloncat mengejar, masuk ke gang dan menerobos rumah yang jebulannya tempat madat. Kita kemudian terpaksa mengikuti saja petualangan Jack dan Falco yang diburu-buru oleh para centeng. Berkejar-kejaran di atas atap. Meloncat. Berantem di tangga-tangga bambu dalam bangunan tinggi. Terjun ke kali yang butek. Kebut-kebutan mobil yang begitu edan. Kita tak peduli lagi itu Jakarta atau bukan, masuk akal atau cipoa. Pokoknya, gambar mencengkam dan mencengangkan. Yang menarik, banyak lelucon diselipkan dengan terampil. Adegan-adegan seru bersilangan dengan gelak ketawa.
Franz Tumbuan dengan gagah mengimbangi kebrutalan Christopher Noth. Sementara itu, kemudian, Zoraya Perucha sebagai Lola, teman Esha, "berusaha keras" tampil sebagai wanita bar. Dari Lola inilah, Falco menemukan kuburan Esha. Di situ ada anggrek tanaman yang diceritakan di dalam film ini sebagai barang langka. Falco mulai curiga, karena teringat cerita anggrek itu beberapa tahun yang lalu dari mulut Esha. Ia pun mencari kembali dan menemukan Esha masih hidup. Falco berlari mengejar Esha di antara tanaman anggrek yang astaganaga ditanam seperti padi di sawah. Falco kemudian menghancurkan perkampungan yang merupakan sarang narkotik dengan sebuah mobil. Ia juga membunuh Don, dalang peristiwa itu. Tetapi ketika bertemu dengan Esha, ternyata, wanita itu sesungguhnya seekor ular betina. Falco nyaris menghunus pistol untuk membunuh wanita yang dicintainya. Tetapi penulis cerita menghendaki lain. Jack bersama rombongan polisi, yang sebenarnya kita tunggu-tunggu sejak awal cerita, baru muncul setelah semuanya beres. Jaringan narkotik itu dapat dihancurleburkan, hanya oleh satu orang: Falco. Cerita film ini memang jenis lakon sampah meskipun penulis skenario membubuhi kalimat-kalimat filosofis dengan memamerkan adegan-adegan bayangan wayang, ceritanya lupakan saja. Namun, penampilan para pemain terjaga. Gambar-gambar serta pemilihan lokasi berhasil menampilkan sudut-sudut kumuh di Jakarta.
Juru kameranya gagah berani. Editing dinamis, musik pun padu. Adegan perkelahian dan kebut-kebutannya edan. Dubbing dalam bahasa Indonesia untuk film yang aslinya memakai bahasa Inggris ini juga tidak mengganggu. Sungai yang kotor, gang-gang yang sempit berisi segala macam manusia, muncul dengan tata cahaya yang prima, membuat film ini jadi eksotik. Sesuatu yang juga terasa dalam film Saijah dan Adinda yang pada hemat saya jarang tertangkap dalam film Indonesia. Inilah sebuah hiburan dar-der-dor yang seru. Barang komoditi, dengan logika pedagang. Putu wijaya.
SLIDE SHOW FILM
07 Januari 1989
Edan-edanan dengan 2,5 milyar
FILM Indonesia Peluru dan Wanita alias Jakarta -- untuk peredaran di luar negeri -- dibuat bersama crew film dari Amerika. Duet antara semangat pribumi dan keterampilan Hollywood itu menghasilkan tontonan yang mahal biayanya dan hebring sebagai hiburan keras. Tetapi tak kurang dari wartawan kawakan Rosihan Anwar -- kemudian didukung oleh tokoh pariwisata Sam Sumakno -- menganggap film itu tak masuk akal dan bagai pisau bermata dua. Mengundang ingin tahu tentang Jakarta, sekaligus menakut-nakuti turis karena Jakarta tampak begitu kumuh. Belum sempat dilacak, berapa turis yang sudah sempat ketakutan. Lepas dari segala ramalan tentang efek barang komoditi ini terhadap pariwisata, harus diakui trick-trick yang digelar P&W memukau.
Tak heran, karena adegan-adegan khusus diambil dengan delapan hingga sepuluh kamera dari berbagai sudut pandang. Bahkan adegan biasa diakui dilayani dengan rata-rata empat kamera (Panavision) yang sengaja didatangkan dari Amerika. Ini fasilitas luar biasa untuk ukuran film Indonesia yang harus cukup puas dengan satu kamera. Menurut pengakuan produser, film ini memakan waktu dua tahun. Didukung oleh 150 tenaga ahli, mulai dari riset lapangan hingga pengambilan gambar. Melibatkan tak kurang dari seribu figuran yang diseleksi secara ketat -- termasuk para pemeran utamanya. "Bagi bintang film kita, seleksi itu mungkin akan menimbulkan rasa tidak enak. Tapi, di Amerika hal itu biasa," ujar Franz Tumbuan bintang Indonesia yang memerankan Jack. Peluru dan Wanita menelan biaya Rp2,5 milyar. Untuk ukuran film Indonesia ini edan-edanan. Sama dengan biaya pembuatan 10 buah film. Film termahal di Indonesia saat ini, antara lain Tjoet Nya' Dhien, hanya mencatat Rp 1 milyar. "Soalnya, kami ingin memproduksi film yang agak lain," kata Raam Punjabi, Produser Parkit Film, kepada Tri Budianto Soekarno dari TEMPO. Toh crew mancanegara masih bilang itu low budget. Mengapa begitu mahal? Untuk mixing agar menghasilkan effect surronding -- suara berputar -- misalnya, menyedot hampir Rp250 juta. Hasilnya, "Inilah satu-satunya film Indonesia yang memakai sistem ultradolby," tambah produser keturunan India itu menyombongkan dagangannya. Selain itu, karena sasaran pasar tak hanya Indonesia, film ini punya dua versi: Inggris dan Indonesia. Yang juga dianggap menyedot anggaran besar adalah kostum pemain. Misalnya untuk adegan di sebuah gang di kawasan Jatinegara, kostum yang dikenakan pemain dibikin sangat detail mirip suasana perkampungan kumuh di lokasi pasar-pasar. "Semua kami rancang senatural mungkin, sesuai dengan pengambilan gambar," tutur Raam lagi. Biaya set juga terasa obral. Seperti menciptakan sebuah pasar lengkap dengan segala sarananya lalu dilindas mobil hingga porak-poranda.
Begitu pula untuk membangun perkampungan heroin di kawasan Cibinong, yang kemudian dibakar dan diledakkan. Sistem kerja Hollywood juga dicoba. Orang-orang film Paman Sam itu bersikap profesional sejak awal hingga akhir. "Meskipun hanya merupakan film entertainment, pembuatannya sangat serius," kata Franz. Gara-gara terlalu serius, kaki Franz terpaksa diservis tukang pijat. Ia sempat keseleo waktu meloncat dari ketinggian tiga meter. Kepada istrinya, Rima Melati, ia mengaku, sebenarnya ngeri juga berlari-lari di atas atap. "Tapi apa boleh buat demi jangan sampai memalukan nama Indonesia dikuat-kuatkan juga," kata Rima Melati membocorkan rahasia itu kepada TEMPO. Sistem kerja itu mempengaruhi perangai awak film Indonesia yang mendukungnya. Betapa tidak, bayangkan: juru kamera, misalnya, tidak hanya punya selera artistik, tapi ia juga siap secara fisik. Dengan kamera tersangkut di pundak, ia memanjat ikatan bambu yang tinggi di sebuah gedung setengah jadi untuk mengambil adegan perkelahian. Tujuannya semata-mata untuk memperoleh ketinggian yang sesuai dengan gerakan pemain. Jelas berbahaya, tapi dia sama sekali tidak canggung. Hasilnya sebuah gambar mendebarkan, yang secara filmis berkualitas tinggi. Ketika salah satu bambu itu terlepas, sementara di salah satu ujungnya bergantung salah satu pemain yang sedang terlibat perkelahian, sebuah kamera sengaja digantung dan diputar. Hasilnya: penonton menahan napas karena seolah-olah ikut jatuh dan berputar. Membuat film jadi benar-benar menyusuri kebutuhan psikologis penonton, yang ingin segalanya senyata mungkin. Membuat film jadi terasa memeras akal. Seperti adegan dua mobil yang kejar-kejaran.
Adegan maut yang memang membahayakan pembuatannya itu dilakukan atas konsep yang matang. Crew mancanegara mengajak memperhitungkan semua kemungkinan yang terjadi. Toh, yang namanya kecelakaan tetap saja sulit dihindarkan. Dua orang crew film yang sedang mengambil adegan mobil melayang nyaris lumat jadi dendeng seandainya mobil tersebut tak terhalang sebuah tiang. "Karena itu, semua yang terlibat dalam film itu diasuransikan," kata Eddy G. Bakker, sutradara Indonesia yang mendampingi sutradara Amerika. Syukurlah, sampai film tersebut selesai, tak ada tumbal yang harus dikorbankan. Dalam urusan kebut-kebutan di jalan raya, kerja para pemain pengganti dipercayakan kepada Harsudi Stuntman'. Nah kelompok ini boleh diacungi jempol. "Mereka bekerja dengan perhitungan matang," kata Eddy G. Bakker. Semula ia tak yakin. Tapi, setelah melihat sendiri penampilan pasukan "berani mati" itu, diam-diam ia angkat topi. "Sistem kerja mereka tak kalah dengan stuntman dari luar," tambah sutradara yang mendampingi Charles Kauffman ini. Dalam Peluru dan Wanita menurut Eddy ada sekitar 50 persen adegan yang dipercayakan kepada stuntman. Mulai dari adegan mobil terbakar sampai terjun ke kali dari gedung setinggi 30 meter. Herannya, kesulitan utama pembuatan film ini ternyata bukan dari segi teknis, tapi justru dalam hal pemilihan lokasi. Beberapa lokasi ditolak Charles Kauffman. Sutradara Amerika itu menghendaki suasana yang betul-betul bisa dijual. "Dia ingin syuting di lokasi yang masih perawan dan khas Indonesia, tapi belum pernah digunakan untuk pembuatan film lain," kata Raam. Kemauan sang sutradara yang tak mengenal kompromi itu, akhirnya bisa dipenuhi di desa-desa sekitar Bogor-Puncak-Bandung sampai Tangkuban Perahu yang memang keadaannya masih asli. "Joint production" semacam ini, sudah beberapa kali dicoba. Hasilnya seperti film The Adventure in Bali dan The Virgin of Bali -- kedua-duanya dengan crew Italia. Tetapi kerja sama dalam Peluru dan Wanita inilah agaknya yang banyak memberi manfaat pengalaman kepada crew Indonesia.