Tampilkan postingan dengan label SRIMULAT 1950. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SRIMULAT 1950. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Juli 2020

SRIMULAT 1950




SRIMULAT TANPA ENDING
UNTUNG ADA SRIMULAT..!
Saya penggemar Srimulat juga.
Sama Seperti Tora Sudiro dan banyak yang lainnya di era Milenium ini. Kenapa?, Karena di turunkan dari generasi ke kenerasi pelawak/komedian.
Cuma bedannya mediannya saja.
Dulu di panggung yang panas karena penuh penonton. Kini di TV.

Semua orang Film, sutradara film, mengakui sangat sulit mengangkat pamor Srimulat dengan kelucuannya di Film. Semuanya gagal. Tetapi kalau di panggung, gerrr...
Semua orang bebas mengulas Srimulat, karena dia milik Indonesia keseluruhan, bukan Jawa saja.

Bicara Srimulat, bicara yang punya, Pak Teguh.

RA. SRI MULAT
RA. SRI MULAT (Penyanyi)


Srimulat adalah kelompok lawak Indonesia yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo di Solo pada tahun 1950.

Nama Srimulat sendiri diambil dari nama istri Teguh pada saat itu.

Dalam perkembangannya, kelompok Srimulat kemudian mendirikan cabang-cabang seperti di Surabaya, Semarang, Surakarta, dan Jakarta.

Srimulat termasuk grup lawak yang cukup lama bertahan meski di tengah perjalanan karier terjadi banyak menghadapi persoalan dan bongkar pasang pemain. Hal inilah yang membuat mereka semakin matang. Jika sebelumnya hanya berpentas di gedung-gedung pertunjukan, setelah munculnya televisi swasta pada akhir 1980-an, masing-masing anggotanya mendadak menjadi selebriti. Grup ini dapat dikatakan merupakan satu-satunya grup lawak Indonesia yang memiliki anggota paling banyak.

Grup ini pertama-tama didirikan oleh Raden Ayu Srimulat dan Teguh Slamet Rahardjo dengan nama Gema Malam Srimulat. Pada awalnya Gema Malam Srimulat adalah kelompok seni keliling yang melakukan pertunjukan dari satu kota ke kota lain dari Jawa Timur sampai Jawa Tengah. Rombongan seni suara dan tari ini memulai lawakan pertama mereka pada 30 Agustus 1951 dengan menampilkan tokoh-tokoh dagelan Mataram seperti Wadino (Bandempo), Ranudikromo, Sarpin, Djuki, dan Suparni.

Perpaduan antara pertunjukan musik dan lawak kemudian menjadi suatu formula khas bagi Gema Malam Srimulat. Kehadiran dagelan Mataram dengan gaya lawakannya menjadi resep ampuh untuk menarik penggemar. Lawak dan nyanyi menjadi kesatuan yang tidak bisa terpisahkan lagi. Dengan kekuatan itulah Gema Malam Srimulat kemudian berpentas dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya, di pelbagai kota di Jawa.

Era tahun 1960, ketika Srimulat mulai mengalami kemerosotan keuangan, Teguh menemukan penyanyi cilik Yana—yang menggantikan peran Srimulat sebagai bintang panggung Gema Malam Srimulat— dan mengungkapkan gagasan untuk tampil di panggung secara menetap. Maka pada Jumat 19 Mei 1961, grup ini menancapkan kakinya kali pertama di THR Surabaya. Nama Gema Malam Srimulat pun lalu diubah lebih komersial menjadi Srimulat Review. Dimulailah perjalanan sebuah komunitas kelompok musik-komedi yang mungkin secara tidak sengaja dan berproses menjadi sebuah fenomena dan menjadi sebuah subkultur baru.

Ketika banyak pementasan sarat dengan pesan dan kritik sosial, kelompok Srimulat membebaskan diri dari patron tersebut. Srimulat hadir untuk menghibur dan kelompok ini benar-benar merupakan perwujudan sebuah subkultur Jawa.

Hal utama yang dijual dalam pementasan mereka, selain materi yang lucu, adalah kekhasan para pemainnya. Itu merupakan syarat mutlak yang ditekankan oleh Teguh saat merekrut para calon anggotanya. Ciri khas yang dimaksud ada beberapa corak, di antaranya adalah penampilan, gaya bicara, dan kalimat-kalimat yang menjadi trade mark seorang pemain. Sebut saja Asmuni dengan kalimat "Hil yang mustahal" dan "Tunjep poin" (maksudnya hal yang mustahil dan to the point) sudah sangat melekat padanya. Atau ketika Timbul yang akan membuat penonton tertawa tatkala ia mengucapkan "Akan tetapi" dan "Justeru". Pelawak lain seperti Mamiek Prakoso terkenal dengan kalimat "Mak bedunduk", dan "Mak jegagik" (sekonyong-konyong, tiba-tiba). Lain lagi dengan Tarzan yang selalu berpenampilan rapi a la militer. Lelaki berperawakan tinggi besar ini kalau melucu memang jarang ikut tertawa, tidak seperti Nunung dan Basuki. Penonton juga pasti akan langsung mengenali sosok Tessy (Kabul) dengan dandanan khasnya. Sementara tokoh Pak Bendot akan menjadi lelucon ketika 'disia-siakan' oleh lawan mainnya. Untuk Gogon, di luar gaya rambut mohawk-nya, ia mempunyai sikap berdiri yang khas sambil melipat tangan serta cara duduknya yang selalu melorot.

Penonton sudah hafal satu per satu gaya mereka. Begitu mereka keluar di panggung sebenarnya kita sudah dapat menebak mulai gaya, intonasi bicara sampai kosakata yang hendak diucapkan. Namun lagi-lagi penonton tetap dibikin tertawa terbahak-bahak. Kemunculan Srimulat di panggung hiburan atau layar televisi selalu dinantikan. Tema yang paling sering diangkat dalam pementasan berpusar pada kehidupan keluarga. Ada majikan (suami dan istri), anak, dan pembantu. Mulai percintaan hingga cerita berlatar horor selalu dikemas dengan komedi. Sesekali Srimulat menampilkan bintang tamu (biasanya selebritas) untuk melakonkan salah satu peran. Secara umum ciri khas grup Srimulat terletak pada pemutarbalikan logika, dan kelihaian memperpanjang suatu bahasan yang disisipi lelucon. Dalam memerankan sebuah lakon, para anggota Srimulat tidak mengubah nama untuk karakter yang dimainkan, termasuk bintang tamu.

Kejayaan Srimulat mulai redup terutama ketika mulai bermunculan stasiun-stasiun televisi yang menawarkan program-program hiburan yang tak kalah menarik. Satu per satu personel Srimulat mulai berguguran. Pada tahun 1989, Teguh membubarkan Srimulat. Dua tahun sebelum dibubarkan serial Srimulat di TVRI sempat dihentikan. Lama berselang, kerinduan para personel untuk berkumpul kembali membuncah. Pada bulan Agustus 1995, Gogon mengusulkan reuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyak penonton. Stasiun Indosiar pun meminangnya, dan Srimulat tampil kembali di layar perak pada tahun 1995-2003. Pada tahun 2004 Srimulat kembali vakum. baru pada tahun 2006 Srimulat kembali mendapat tawaran manggung di Indosiar dalam 36 episode. Dan meskipun Srimulat benar-benar sudah bubar, para anggotanya, ketika tampil di panggung maupun televisi, tidak ada yang menggunakan bendera Srimulat, karena nama itu sepenuhnya milik Jujuk, istri Teguh.

Menjadi pemimpin dan otak dari sebuah grup lawak terkenal, dan mungkin terbesar di masanya, Srimulat, seringkali membuat Teguh Slamet Rahardjo mengalami dilema. Sendirian.

Tawa dan keramaian anggota Srimulat nyatanya tak berhasil mengusir kegalauan Teguh untuk memperjuangkan nasib grup lawak itu hingga akhir hayat.

Eko Saputro (Anak Pak Teguh) ingat betul salah satu momen ketika ayahnya, Teguh, sedikit membuka kegalauan yang ia rasakan pada 1986 silam. Saat itu Eko masih 18 tahun dan Teguh baru saja memindahkan Aneka Ria Srimulat Solo ke Semarang karena masalah keuangan.

Pada suatu siang, Koko diminta Teguh mulai memantau Srimulat tiap Sabtu siang agar bisa belajar mengelola.

Selama 'magang', Koko berusaha sebaik mungkin mengerjakan yang biasa Teguh lakukan, mulai dari mengurusi perlengkapan, cerita, hingga memastikan kebutuhan para pemain Srimulat terpenuhi.

Namun namanya juga remaja. Kadang Koko pun bosan dengan pekerjaan menggantikan ayahnya itu. Kala senggang, Koko keluyuran. Biasanya ia pergi ke Pasaraya Sri Ratu di Jalan Pemuda yang kini sudah tutup.

Di masa itu, Pasaraya Sri Ratu baru saja berdiri dan jadi pelopor toko modern di daerah serta satu-satunya toko di Semarang yang menjual produk impor. Kebetulan, kala Koko ke sana siang itu, ada sebuah pameran parabola asal luar negeri.

Koko takjub melihat tayangan televisi yang menayangkan siaran dari luar negeri.

"Sampai rumah saya pamer ke bapak tadi ada pameran parabola, bisa nangkap siaran Malaysia, Singapura dan Thailand," kata Koko.

Teguh mencermati Koko bercerita soal 'keajaiban' berkat parabola itu. Tanpa diketahui siapa pun, esoknya ia pergi ke Sri Ratu dan membeli satu set parabola.

Benar kata Koko. Teknologi itu amat canggih. Apalagi tayangan-tayangan luar negeri juga terasa berbeda dari siaran TVRI yang di masa itu satu-satunya televisi Indonesia. TVRI sendiri merupakan salah satu sumber penghasilan utama Srimulat.

Teguh dengan mudah menggonta-ganti acara bila ia tak minat atau mulai bosan. Beda halnya dengan menonton TVRI. Tak ada pilihan lain untuk mengganti saluran. Kalau bosan, ya cari hiburan di luar rumah.

Di saat bersamaan dengan ketakjubannya melihat tayangan televisi luar negeri, Teguh merasa sedih dengan Srimulat. Ia pun hanya bisa mencurahkan kegundahannya itu kepada Koko, yang menemaninya saat itu.

"Aku sedih dengan Srimulat dan seni tradisional lain," kata Teguh, tanpa nyana. Koko menyimak mengapa ayahnya tiba-tiba jadi melankolis di tengah keasyikan menonton televisi.

"Aku khawatir kalau ada televisi swasta, satu saja di Indonesia, itu kesenian tradisional seperti wayang, ketoprak, ludruk, Srimulat akan habis," lanjut Teguh.

Koko tertegun dengan kegundahan ayahnya.

"Kamu di rumah tinggal pencet remot, acara macam-macam. Sedangkan selama ini orang mau cari hiburan harus keluar dulu. Kalau ini gampang tinggal nonton televisi, dan itu enggak terelakkan, pasti itu," kata Teguh.

"Lalu rencananya bapak apa?" tanya Koko.

Dia sadar mestinya tak melontarkan pertanyaan itu. Koko pun takut mendengar jawaban bapaknya yang suka berpikir dan bertindak sendiri.

"Enggak ada jalan lain. Srimulat harus bubar," kata Teguh, dingin.

Jawaban Teguh bak petir di siang bolong bagi Koko. Ia yang baru 18 tahun dan berusaha untuk bisa menggantikan ayahnya sebagai bos Srimulat, merasa rontok ketika Teguh memiliki ide menamatkan grup lawak itu.

Hanya rasa kesal yang Koko ingat dari percakapan itu. Ia malas melihat wajah ayahnya yang keras kepala dan selalu bertindak sendiri.

Ia tahu Teguh Slamet adalah otak di balik Srimulat. Namun tidakkah Teguh Slamet ingin mempertahankan grup yang ia bangun sejak 1951 itu? Apa yang sebenarnya direncanakan Teguh Slamet?

"Terus saya harus bagaimana pak?" tanya Koko, jengkel.

"Ya kamu harus ikut perkembangan zaman. Harus belajar masuk televisi dulu. Sekarang TVRI dulu, besok kalau ada swasta, kamu masuk. Karena sistemnya pasti sama," kata Teguh datar.

"Tapi kamu jangan kasih tau ibumu," ucap Teguh sebelum Koko berani membalas ucapannya. Koko sadar ayahnya kembali ke sifat asalnya, tak membiarkan orang lain mengetahui apa yang ia rencanakan.

Koko pun bungkam atas percakapan itu, sampai ia kemudian membukanya kepada ibunya, Jujuk Juwariyah, bertahun-tahun kemudian setelah Teguh tiada.

"[Bapak] Enggak pernah [curhat ke ibu]. Bapak saya enggak pernah minta curhat ke siapa pun. Paling kalau sudah punya unek-unek terkait panggung, bapak panggil semua pemain untuk lempar pemasalahan dan meminta usul," kata Koko.

Di usia senja, 59 tahun, Teguh sebenarnya sudah melepas kendali utama Srimulat dan memilih tinggal di rumah bersama Jujuk.

Ia mempercayakan tiga cabang Srimulat kepada adik Jujuk. Grup di Surabaya dikelola Bambang Tejo sejak 1983, Jakarta dikelola Hendro sejak 1985 dan Semarang dipegang Sarjito sejak 1986.

Namun, alih-alih sukses, tiga cabang Srimulat itu rontok perlahan. Srimulat Jakarta dan Semarang terlilit hutang dan pendapatan grup Surabaya terus menurun karena sepi penonton. Hal itu disebabkan renovasi Taman Hiburan Rakyat, gedung tempat mereka biasa tampil, yang tersendat.

Teguh sesungguhnya tidak ingin terlalu ikut campur lagi, tapi ia juga tidak bisa berpangku tangan melihat Srimulat jatuh.

Akhirnya ia mulai membangkitkan Ketoprak Budoyo Jati milik Gepeng, salah satu bintang Srimulat. Ia membeli semua perlengkapan dan peralatan yang dulu ia pernah jual ke ketoprak itu. Teguh tidak bisa tidak memikirkan Srimulat ketika Ketoprak Budoyo Jati sukses.

Namun apa daya kondisi Srimulat Semarang makin parah dengan utang yang menumpuk. Akhirnya pada 6 November 1988 ia memerintahkan Sarjito untuk membubarkan Srimulat Semarang.

Setali tiga uang, nasib Srimulat Jakarta sama seperti Srimulat Semarang. Utang mereka terus membengkak meski semua pemain selalu mencoba untuk bangkit. Mereka pun bubar pada 1989. Hanya Srimulat Surabaya yang bertahan, meski kembang kempis.

Keputusan membubarkan itu memang diambil Teguh seorang diri. Di masa-masa sulit itu, Teguh Slamet juga tetap enggan membagi banyak masalah di pikirannya.

Selain soal keinginan menamatkan Srimulat, Teguh juga bertindak sendiri saat memecat Freddy Aris alias Gepeng, sang magnet penonton di atas panggung Srimulat.

Kegundahan dan dilema yang dipendam sendiri oleh Teguh ini membuatnya rentan sakit. Buku Teguh Srimulat berpacu dalam Komedi dan Melodi karya Herry Gendut Janarto mencatat Teguh memiliki penyakit darah tinggi dan diabetes.

Dua penyakit itu memburuk ketika Teguh mendengar Gepeng meninggal dunia pada 16 Juni 1988.

Pada 1993, Teguh juga terserang stroke seperti yang tercatat dalam buku Tionghoa Dalam Indonesia Peran dan Kontribusi Bagi pembangunan Bangsa.

Teguh Slamet Rahardjo pun menghembuskan nafas terakhir pada 22 September 1996 dan membawa seluruh pemikirannya ke dalam pelukan ibu pertiwi.

Dia tak sempat melihat reuni Srimulat yang kemudian berujung pada era keemasan kedua di televisi, pada medio 1990-an. Televisi swasta yang sempat dianggap Teguh akan membunuh Srimulat justru juga sempat jadi tongkat penyelamat.





TAKTIIK

"Untung ada saya," kata pria tersebut setelah melontarkan banyak kata-kata. Penonton pun tertawa.

Pria dengan slogan khas melegenda itu adalah Freddy Aris, atau yang akrab dikenal sebagai Gepeng. Nama tenarnya langsung diberikan oleh Teguh Slamet Rahardjo, bos sekaligus otak dari Srimulat.

Gepeng memang andal memainkan peran pembantu rumah tangga alias batur di Aneka Ria Srimulat. Padahal ini bukan peran yang mudah karena mesti memecah suasana ketika pelawak lain buntu. Tak sembarangan orang dipercayai memerankannya.

Terkenal sebagai salah satu jagoan Srimulat dan pelawak kenamaan Indonesia pada 1980-an, perjalanan karier Gepeng tidak mudah. Anak sulung Teguh Slamet dan Jujuk Juwariyah, Eko 'Koko' Saputro masih ingat betul awal kiprahnya.

Semula Gepeng adalah pemain kendang (pengrawit) dalam Ketoprak Cokrojiyo, cabang Aneka Ria Srimulat, yang bermarkas di Bale Kambang, Solo, Jawa Tengah. Sejak awal, Gepeng bersama bapak dan adik-adiknya memang melamar sebagai pengrawit dan diterima setelah melewati proses seleksi.

Mereka baru bekerja memainkan kendang ketika pentas lakon rehat di sela-sela pertunjukan. Namun harus siap sedia bila sewaktu-waktu dibutuhkan.

Tapi Gepeng memang tak bisa diam. Seringkali ia menyeletuk ketika pelawak seperti Matang dan Subur yang kala itu termasuk senior, tampil. Penonton pun dibuatnya terbahak-bahak.

"Sutradara Rustamhaji bingung kenapa penonton ketawa, dari belakang panggung ada celah untuk melihat ke penonton," kata Koko saat berbincang di Solo, beberapa waktu lalu. Rustam langsung melapor ke Teguh soal kelakuan Gepeng.

Teguh tak langsung percaya. Ia pun menyamar menjadi penonton untuk melihat sendiri. Faktanya, saat Gepeng usil menyeletuk, ia kepalang lucu.

Teguh lalu kembali ke belakang. Ketika esok jelang pentas, Teguh 'memutasi' Gepeng.

"Sudah, kamu mulai nanti malam enggak usah jadi pengrawit. Main ketoprak jadi dagelan," kata Koko menirukan perkataan Teguh kepada Gepeng.

Namun di panggung pertamanya, Gepeng justru mati kutu. Ia tak berkutik ketika Mantang dan Subur mengeroyok dirinya dengan lelucon yang jauh lebih lucu. Gepeng sadar tampil di atas panggung memang beda dengan asal nyeletuk.

Teguh tak puas dengan penampilan gagal Gepeng dan kemudian memindahkannya ke panggung Aneka Ria Srimulat Solo, yang juga dibintangi Mantang dan Subur.

Gepeng kembali mati kutu. Ia tak sanggup lagi 'dikeroyok' oleh dua seniornya itu demi memenuhi tantangan dari Teguh.

Di saat-saat inilah Gepeng kemudian mengadu kepada pelawak senior yang dijuluki Mbah Panggung. Beruntungnya, Gepeng dibela.

"Nanti saya ngomong ke sutradara. Saat kamu keluar [untuk pentas], aku juga minta dikeluarkan, biar ngikut. Aku pengin ngerti si Mantang sama Subur seberapa [lucu] sih," kata Mbah Panggung, sebagaimana dituturkan Koko.

Mbah Panggung bak balas dendam atas nama Gepeng. Mantang dan Subur tak berkutik. Sejak saat itu, Gepeng jadi anak didik Mbah Panggung. Perlahan tapi pasti, Gepeng semakin mahir melawak.

Ke Jakarta Tuk Meroket

Kemahiran Gepeng melawak masih belum membuat Teguh puas. Ia kemudian meminta Gepeng bergabung dengan Aneka Ria Srimulat Jakarta yang pentas di Taman Ria Senayan pada pertengahan 1981.

Jakarta nyatanya jadi rezeki Gepeng. Namanya meroket. Bahkan, ia mendadak jadi salah satu pelawak terlucu di masa itu. Saking lucunya, penonton sudah tertawa saat Gepeng yang tampil cepak belum berbicara.

Gepeng pun menuai massa penggemar yang besar dan jadi penyumbang penonton tertinggi Srimulat. Kepiawaiannya mengocok perut penonton menghasilkan pundi-pundi uang bagi Srimulat Jakarta.

Bahkan pernah suatu kali, seorang penggemar perempuan melemparkan kunci mobil ke arah Gepeng yang sedang mentas.

Biasanya, penonton melempar benda ke panggung sebagai bentuk apresiasi. Benda yang dilempar juga biasanya hanya rokok atau uang yang diremas.

"Kunci mobil dikembalikan, akhirnya jadi kenal kan penggemar ini. Penggemar mengajak makan Gepeng sama keluarganya, akhirnya jadi kenal dekat dan baik," kata Koko.

Tawaran mendulang uang terus datang kepada Gepeng melalui film. Semasa hidup, Gepeng pernah bermain dalam empat film yang bertajuk Gaya Merayu (1980), Untung Ada Saya (1982), Gepeng Mencari Untung (1983) dan Gepeng Bayar Korban (1983).

Gepeng menuai banyak uang dari proyek film. Jumlah yang tak pernah ia bayangkan dalam hidupnya. Gepeng mendadak jadi orang kaya.

Semakin lama ketenaran Gepeng makin di atas angin dan semakin sering menerima tawaran di luar panggung Srimulat. Teguh pun mengizinkan. Namun kadang Gepeng kerap nakal mengambil tawaran tak seizin Teguh.

Catatan Herry 'Gendut' Janarto dalam buku Teguh Srimulat Berpacu dalam Komedi dan Melodi menulis Gepeng pernah menerima pekerjaan 'liar' di Banjarmasin.

Pada 6 Januari 1986, sebuah keputusan Teguh menjadi mimpi buruk bagi Gepeng. Teguh memecat pelawak paling tenar itu dari Srimulat. Keputusan yang terbilang mengejutkan mengingat Gepeng adalah 'magnet' penonton bagi Srimulat, meski sering ambil tawaran di luar panggung.

Koko menyebut Teguh punya sejumlah pemikiran mendalam di balik keputusan itu. Alasan pertama, Gepeng dipecat karena sudah terlalu kaya dan bahkan sempat menyandang predikat pelawak terkaya pada masanya. Teguh ingin nama pelawak lain juga terangkat naik dan menambah pundi-pundi pribadi.

Alasan kedua, Gepeng telalu terkenal. Teguh khawatir ketenaran Gepeng membuat Srimulat tenggelam.

Ketiga, Teguh ingin Gepeng mengelola Ketoprak Cokroiyo. Ia merasa pelawak itu punya kemampuan jadi dalang dan sutradara.

"Aku kepengin ketoprakku ini dipegang oleh orang yang benar. Aku pilih kamu yang pegang," kata Teguh kepada Gepeng, dituturkan kembali oleh Koko.

Bukan hanya memberikan grup Ketoprak, Teguh juga disebut memodali puluhan juta rupiah untuk pengelolaannya. Meski begitu, tetap Gepeng merengek kepada Teguh karena dipecat dari Srimulat.

Namun Teguh bersikukuh. Suami Jujuk itu bahkan memberikan uang sebesar Rp400 juta kepada Gepeng, tabungan dari upah Gepeng menerima tawaran di luar Srimulat.

Teguh memang kerap menyisihkan pendapatan pemainnya untuk tabungan mereka di kemudian hari.

Usai diusir Teguh, Gepeng berusaha mengelola Ketoprak Cokroiyo. Namun apa daya, ia tak seandal mentornya. Grup itu pun bangkrut. Bahkan memiliki utang.

Ketika mendengar kabar itu, Teguh kecewa berat. Ia menyesal memberikan uang tunai kepada Gepeng yang gampang menghamburkan uang.

Dari pelawak terkaya, Gepeng terperosok dan tak punya apa-apa. Bahkan, kata Koko, Gepeng tak sanggup membayar kontrakan di Jakarta yang berada di dekat rumah Teguh di Slipi, Jakarta Barat.

Gepeng memberanikan diri untuk kembali ke Srimulat dengan mendatangi Teguh, walau ia amat malu. Ia sempat ragu bertamu ke rumah Teguh dan hanya menunggu di warung. Sampai akhirnya Koko yang masih remaja memergoki Gepeng.

"Karena saya tahu banget watak bapak saya kayak apa, enggak mau ketemu pemain yang sudah dikeluarkan," kata Koko.

"Saya cuma ngomong (pada Teguh) 'pak dicariin itu lho'. Setelah Gepeng masuk, saya disuruh pergi. Tapi saya menguping."

Teguh sebenarnya senang Gepeng datang karena ingin sang bintang kembali ke panggung. Utang Gepeng senilai Rp5 juta pada dirinya pun tak terlalu dihitung-hitung.

Gepeng berbinar mendapatkan tawaran tersebut. Ia dijadwalkan tampil di Srimulat Jakarta tiga hari, di Semarang selama dua hari, dan Surabaya pada dua hari -- sebagai cara membayar utang.

Di akhir perbincangan, Teguh memanggil Koko yang asyik menguping di balik pintu. Teguh lalu meminta putranya itu mengantar Gepeng ke dealer penjualan mobil keesokan harinya.

Setelah mengantar Gepeng membeli mobil Mitsubishi Galant hijau di keesokan hari, Koko melihat Teguh sudah menunggunya di rumah dengan mata berkaca-kaca. Suatu hal yang tak pernah Koko alami sebelumnya.

"Saya mau nanya enggak berani," kata Koko.

"Akhirnya saya pura-pura makan di dekat ruang makan. Bapak saya lagi duduk baca koran. Terus bapak saya ngomong lagi ke saya, 'udah dianterin? Udah dikasihkan?'"

Sembari keheranan Koko bertanya kepada ayahnya, mengapa ia mau memanjakan anak buahnya. Kebiasaan itu memang jarang dilakukan Teguh.

"Jawabannya cuma satu dan itu saya enggak bisa tanya apa-apa lagi. 'Umurnya enggak panjang'," kata Koko menirukan ucapan Teguh soal Gepeng.

Ramalan itu jadi kenyataan. Freddy Aris alias Gepeng meninggal dunia pada 16 Juni 1988, hanya lima bulan setelah ia manggung kembali dengan Srimulat. Disebutkan, ia meninggal karena penyakit liver.

Dalam masa lima bulan itu, Gepeng kembali menjadi magnet bagi penonton Srimulat. Saat ia manggung gedung selalu ramai. Dalam tujuh kali penampilan, 90 persen lebih kursi penonton selalu terisi.

Mantra 'untung ada saya' ternyata mustajab hingga akhir hayatnya.