SOFIA WD
SOFIA
SOFIA WALDY
Lahir Senin, 12 Oktober 1925,di Bandung. Pendidikan : HIS. Dimasa pendudukan Jepang, masuk sekolah sandiwara Pimpinan Andjar Asmara. Ketika pecah revolusi turut barisan propaganda Persafi. Disamping itu menjadi pemain sandiwara Irama Mas, kemudian pindah ke Bintang Surabaya. Ketika bergabung dengan Fifi Young Taneelkunst, 1948, sempat bermain sampai ke Sumatera. Di tahun yang sama, dipercayai untuk menjadi Pemeran Utama dalam film "Air Mata Mengalir di Tjitaroem" (1948), masih menggunakan nama Sofia Waldy. Nama Sofia WD dipakai mulai tahun 1964 setelah cerai dengan S Waldy dan menikah dengan WD Mochtar. Banyak mempelajari teknik penyutradaraan, kamera dan penataan gambar (editing) dari bersaudara Yoshua dan Othniel Wong. Ketika membintangi "Djula Djuli Bintang Tiga" (1956), diberi kesempatan untuk bantu memegang kamera. Tahun 1960, pertama menyutradarai "Badai Selatan" produksi Ibukota Film, disamping menjadi Direktris perusahaan ini. Selain main dalam film, pernah mengadakan pertunjukan keliling Indonesia ditahun 1960-1969, membawa "Libra Musical Show" yang dipimpinnya, dan sering kali pula menghibur tentara di garis depan. Tahun 1970 mendirikan Libra Film dan menyutradarai produksi pertamanya "Si Bego Dari Muara Tjondet" (1970). Terpilih sebagai Ketua Umum Parfi untuk periode 1971-1974. Lewat permainannya dalam "Mutiara Dalam Lumpur" (1972), mendapat penghargaan sebagai Pemeran Pembantu Wanita Terbaik di FF1 1973. Mendirikan Dirgahayu Jaya Film, 1974, dan menyutradarai produksi perdananya "Melawan Badai" (1974), sekaligus menjadi Pimpinan Produksinya. Dari seratus lebih film-film yang sudah diselesaikannya, sebagian besar tampil sebagai Pemain, selebihnya sebagai sutradara atau pimpinan produksi. Sebuah film semi dokumenter yang disutradarainya adalah "Tanah Harapan" (1976). Tahun 1977 menyutradarai "Jangan Menangis Mama". Dalam "Christina" (1977), dia tampil sebagai Pemain merangkap Pimpinan Produksi. Pada 1978 bermain dalam "Sayang Sayangku Sayang", "Siluman Perempuan". Lalu "Remaja Tingting" (79), yang disutradarai Arizal, dll.
Usai diberlakukannya Perjanjian Renville pada Januari 1948,
Bandung yang ada dalam kontrol Negara Pasundan, situasinya agak tenang.
Kondisi seperti itu membuat penduduknya bisa melaksanakan kegiatan hidup
sehari-hari, termasuk Sofia yang fokus mengelola restoran kecil milik
sang mertua.
Menjelang keluar dari dinas ketentaraan, Sofia sejatinya pernah dekat
dengan seorang anggota FP Yogyakarta yang tengah ditugaskan di palagan
Karawang-Bekasi. Namanya Wagino Dachrin Mochtar. Namun karena Sofia
belum bisa lepas dari bayangan kematian Edi dan kondisi revolusi yang
serba tak menentu, hubungan itu pun tak berlanjut.
“Tak ada pikiran untuk menikah lagi saat itu,”ungkap Sofia kepada jurnalis Yoyo Dasrio.
Suatu hari restoran Sofia kedatangan rombongan kru Fifi Young
Taneelkunst, perusahaan pementasan sandiwara milik aktris kenamaan saat
itu. Usai menikmati hidangan masakan di restoran Sofia, para kru rupanya
cocok dan memutuskan untuk menjadikan tempat makan mereka selama
mengadakan pentas di Bandung.
Tak disangka Sofia, Nyoo Sheong Seng, suami dari Fifi Young, ternyata
mengenal dirinya dan mengajak perempuan Bandung itu untuk ikut terlibat
lagi dalam dunia akting bersama Fifi Young Taneelkunst. Gayung
bersambut. Sofia mengamini permintaan Nyoo Sheong. Maka berangkatlah dia
mengadu peruntungan ke Jakarta.
Selama di Jakarta, dua kali Sofia ikut menjadi pemain sandiwara dan
aktingnya banyak menuai pujian dari penonton. Saat merasa rindu kepada
anak-anaknya dan berniat kembali ke Bandung, tetiba aktor kenamaan Ramli
Rasjid mengajaknya untuk ikut bermain dalam Air Mata Mengalir di Tjitarum, sebuah film yang diproduksi oleh Tan Wong Bross dan Java Industrial Pictures.
“Melihat penampilan Sofia selama bersama Fifi Young Taneelkunst,
kedua perusahaan film itu sangat yakin dia bakal mampu menggantikan
peran Miss Rukiah yang keburu meninggal dunia,” ujar Yoyo Dasrio.
Desember 1948, Sofia mulai ikut syuting. Dalam film karya Roestam
Palindih tersebut, dia beradu akting dengan Raden Endang, sang pemeran
utama. Saat Air Mata Mengalir di Tjitarum edar tayang,
kawan-kawan seperjuangan Sofia selama di Garut banyak yang kaget
bercampur bangga. Termasuk salah satu sahabat almarhum suami pertamanya,
H.E. Rustama.
“Pak Rustama kaget waktu tahu Bu Sofia jadi bintang film dan merasa
ikut terharu karena jalan cerita Air Mata Mengalir di Tjitarum mirip
sekali dengan kisah hidup Bu Sofia dan Pak Edi,” kata Yoyo.
Jadi Sutradara
Air Mata Mengalir di Tjitarum melejitkan nama Sofia. Namanya
semakin meroket saat dia diperistri oleh S. Waldy, lelaki Indo Jerman
yang berprofesi sebagai sutradara sekaligus pelawak. Sejak itulah dia
menambah namanya menjadi Sofia Waldy dan malang melintang di jagad
perfilman nasional. Tercatat ratusan film yang sudah dibintanginya, di
antaranya: Dendang Sajang, Mutiara Dalam Lumpur dan Badai Selatan.
Tidak puas dengan hanya memiliki kemampuan berakting, Sofia merambah
ke dunia penulisan skenario, tata kamera, proses dubbing, editing film
dan penyutradaraan. Itu semua dilakukannya secara otodidak dan berhasil.
Kali pertama menjadi sutradara dijalani oleh Sofia saat dipercaya menggarap film Badai Selatan pada 1960. Hasilnya, tiga tahun kemudian Badai Selatan
berhasil menyabet penghargaan khusus bidang ketelitian penyutradaraan
di Festival Film Berlin, Jerman dan menjadikan Sofia Waldy sebagai
sutradara perempuan kedua Indonesia setelah Ratna Asmara yang membuat
film Sedap Malam pada 1950.
Badai Selatan pun ikut mempertemukan kembali Sofia dengan
Wagino Dachrin Mochtar yang ternyata terjun pula ke dunia film. Namun
karena posisi Sofia yang masih memiliki suami, hubungan mereka tak lebih
sebagai sahabat dan mitra kerja semata.
Tahun 1962, S.Waldy mangkat. Setahun kemudian, Wagino yang lebih
dikenal sebagai W.D. Mochtar, melamar mantan pacarnya tersebut dan
diterima. Sejak itulah Sofia yang memiliki dua anak menabalkan dirinya
sebagai Nyonya W.D. Mochtar atau lebih dikenal sebagai Sofia W.D.
Bersama W.D. Mochtar, Sofia lantas mendirikan Libra Musical Show
(promotor pertunjukan para penyanyi kondang ke seluruh Indonesia) dan
PT. Libra Film yang memproduksi film-film laga. Tercatat film-film yang
pernah lahir dari Rahim PT. Libra Film adalah Si Bego Dari Muara Tjondet, Singa Betina Dari Marunda dan Si Bego Menumpas Kutjing Hitam.
Tahun 1974, Libra Film berubah nama menjadi PT. Dirgahayu Film. Dari perusahaan ini diproduksi film-film seperti Menerjang Badai
yang pernah menyabet gelar aktor harapan di perhelatan The Best
Actor/Actrees yang diadakan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
Jakarta Raya Seksi Film.
Dimakamkan di Kalibata.
Kiprah Sofia sebagai sutradara dan aktris kian bersinar dari waktu ke
waktu. Ibarat kelapa, semakin tua santannya malah semakin baik. Banyak
film yang dibintanginya diganjar dengan penghargaan, salah satunya Mutiara Dalam Lumpur yang mendapat penghargaan pemain watak terbaik bagi Sofia dalam Piala Citra 1973.
Kendati sudah malang melintang di dunia film, tidak menjadikan Sofia
melupakan masa-masa perjuangan revolusi yang pernah dilaluinya. Bahkan
pada 1986, dia pernah berencana membuat film Gong Tengah Malam yang
berkisah tentang masa-masa perjuangannya dahulu selama di Garut.
Sayangnya, seniman pejuang itu keburu menghembuskan nafas terakhirnya
akibat serangan jantung pada 22 Juli 1986.
Dunia perfilman Indonesia pun berduka. Banyak yang kaget sekaligus bersedih saat mendengar bahwa Sofia W.D. telah mangkat. Buana Minggu
edisi 27 Juli 1986 melukiskan bagaimana para handai tolan, rekan dan
orang-orang yang bersimpati kepada Sofia berduyun-duyun mengantarkan
jenazah sang seniman pejuang itu menuju persemayaman terakhir di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
“Tante Sofia harus dicatat sebagai tokoh perempuan yang memberikan
andil besar dalam perkembangan perfilman nasional,” ujar aktor sekaligus
pelawak Benyamin Sueb.
KISAH LAIN.
BINTANG film, Sofia WD (62) meninggal dunia di RS Cikini Selasa Malam, pukul
21.25, akibat tekanan darah tinggi yang mengakibatkan perdarahan di
otak. Ia meninggal ditunggui oleh WD Mochtar suaminya, anak, menantu,
cucu dan keluarga dekatnya. Sekitar pukul 23.45, jenazahnya diantar ke
rumah duka Jln. Otista Raya Gg. H.A. Rachman Nomor 17 Jakarta Timur.
Sebelumnya Sofia WD mengalami pingsan ketika menghadiri acara
silaturahmi Lembaga Seni Tari di Pete’s Club, Jln. Gatot Subroto,
Jakarta, 8 Juli, lalu dibawa ke rumah sakit. Saat itu pula WD Mochtar
cemas merasa akan ditinggal oleh Sofi. “Saya punya insting demikian.
Tapi saya tetap berusaha berdoa agar Sofi diberikan umur panjang. Saya
memberikan semangat kepada Sofi. Sofi begitu sayang kepada saya, seperti
dia menyayangi ibunya. Inilah yang membuat saya selalu terkenang keada
Sofi. Meskipun Sofi lebih tua empat tahun dari saya, tapi itu bukan
masalah. Dia adalah seorang istri yang baik,” ungkap WD Mochtar.
Pesan terakhir Sofia kepada suaminya agar WD Mochtar menjaga ibu dan
merawatnya baik-baik. “Sofi begitu cinta dan penuh perhatian kepada ibu.
Pesan Sofi akan saya laksanakan dengan baik. Saya sudah ikhlas, karena
dia pergi dengan wajah tenang,” kata WD Mochtar kepada BM Rabu pagi itu
pukul 01.00.
WD Mochtar mengenang hidup bersama Sofi dalam karir dan profesi tidak
ada gap. Tetap harmonis, tercipta rasa saling pengertian yang tinggi.
“Terkadang Sofi merasa kesepian kalau saya tinggal Shooting. Seharusnya
kalau saya shooting, dia juga ikut shooting” kata WD Mochtar mengenang
masa indahnya dengan air mata berkaca-kaca.
Sofia juga berpesan kepada anak-anaknya yang menunggui, agar menjaga
dan memperhatikan WD Mochtar. “Pesan terakhir kepada anak-anak itu yang
membuat saya tidak tahan. Anak-anak dipesan supaya menjaga dan
memperhatikan saya. Saya sudah ikhlas merelakan kepergian Sofi,” ucap WD
Mochtar dengan air mata berlinang tak tertahan.
Eks Pejuang
Sofia dilahirkan di Bandung 12 Oktober 1924. Pada usia 17 tahun sudah
menunjukkan darah seninya. Kemudian kerja pada bagian kesenian jepang
di Jakarta dalam masa kependudukan jepang di Indonesia tahun 1942.
Menjadi wanita ulet dan pekerja keras karena Sofia menempa diri dalam
pengalaman pergolakan perang kemerdekaan di Limbangan haruman Jawa
Barat.
Pada peristiwa Bandung Lautan Api, 1946 Sofia menyandang pangkat
sersan yang bersama suaminya, Kapten Eddy Endang menjadi anggota FP
(Field Preparation). Ketika itu mereka menyingkir ke Garut dan bertempur
untuk menghadang tentara Belanda yang hendak menerobos Garut dari
Bandung. Sofia kala itu tetap tinggal di markas FP, sementara kapten
Eddy suaminya terdesak dan mundur ke gunung untuk bergerilya.
Suaminya yang pertama itu tidak ketahuan rimbanya, diculik oleh
gerombolan DI/TII yang menamakan diri Laskar Sabilillah, pada 23 Oktober
1947.
“Suami saya seorang perwira yang pertama menjadi korban keganasan DI/TII” katanya kepada BM empat tahun lalu.
Kehilangan suami tercinta dalam kancah perjuangan mengobarkan
semangat dan keyakinan dalam perjuangan. Sofia bangkit lagi meneruskan
gerilya melawan Belanda dan menumpas gerombolan DI/TII. Pada peristiwa
Bandung Lautan Api, ayah dan keluarga mengungsi ke Jakarta. Sofia pernah
menceritakan pada Buana Minggu, untuk masuk kota Bandung ia pernah
menyamar sebagai istri tukang minyak. Ia pergi ke Bandung untuk
memberitahukan kepada mertuanya bahwa suaminya telah gugur dibunuh oleh
DI/TII. Di rumah mertua itu akhirnya Sofia membuka warung nasi.
Usai perang kemerdekaan timbul kerinduan pada ayahnya. Ia mencari dan
menemukan ayahnya di Jakarta. Hidup di Jakarta membawanya berkenalan
dengan kamer film, di test dan lulus. Kebetulan pula ia diminta
menggantikan Rukiah (Ibu Rachmat Kartolo) aktris tenar masa itu karena
Rukiah meninggal dunia. Ia berhasil.
“Air Mata Mengalir ke Tjitarum” film pertama yang dibintanginya
(1948) produksi Wong Brother. “Badai Selatan” (1960) Produksi ibukota
Film garapan Sofia WD selaku sutradara wanita pertama di Indonesia.
Tahun 1970 Sofia menangani “Si Bego Dari Muara Tjondet)produksi Libra
Film yang didirikannya sendiri. Skenario dan pimpinan produksi juga
ditanganinya sendiri. Kemudian menyutradarai “Halimun”.
Flm terakhir yang dibintangi oleh Sofia WD “Yang Kukuh dan Yang
Runtuh” (Wahab Abdi) bersama Soraya Perucha (1986) produksi Virgo Film,
baru saja lolos sensor. Sedangkan film terakhir yang disutradarainya
“Bermain Drama” produksi Kofina (1985).
Sama-Sama Pejuang
Pertemuannya dengan WD Mochtar sendiri merupakan rangkaian yang tidak
bisa terpisahkan dalam perjuangan Perang kemerdekaan. Kala itu WD
Mochtar anggota FP dari Yogyakarta yang bertugas di Kerawang dan
Bekasi. Sedang Sofia anggota FP yang bergerilya di daerah Garut. Dalam
masa pergolakan itulah Sofia menambatkan hatinya kepada WD Mochtar.
Namun sekian lama Sofia masih dicekam perasaan ingin tahu di mana kubur
Kapten Eddy suaminya, yang tak pernah ia temukan jua.
Menurut beberapa sumber kalangan pejuang di Jawa Barat, kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai.
Sementara itu perjumpaan dengan WD Mochtar tinggal kenangan, karena
Sofia sudah menempuh jalan menjadi bintang film dan sandiwara di
Jakarta. Sofia pernah pula dikenal sebagai Sofia Waldy karena menikah
dengan sutradara film Waldy (almarhum). Banyak film yang dibintanginya
dengan penyutradaraan Waldy.
Rupa-rupanya WD Mochtar juga tertarik ke dunia film. Langkah ini
mempertemukannya dengan Sofia lagi. Cinta membara yang terpendam di masa
perjuangan, kenangan yang tak lekang dilanda gelora jaman, membuat
mereka tak terpisahkanlagi. Mereka menikah ketika membuat film “Badai
Selatan” (1961). Pernikahan mereka tidak dikaruniai anak namun mereka
membentuk keluarga terdiri dari anak-anak yang mereka bawa dari
perkawinan masing-masing terdahulu.
Sofia WD dan suaminya belakangan ini mengelola PT Dirgahayu Jaya
Film dan Produksi Pertamanya “Memburu Makelar Mayat” dengan para bintang
pendukungnya D’Bodors, Lydia Kandau dan kwartet Tom Tam . Selain itu
Sofia aktif membina Taman kanak-Kanak Citra Pagina.
Dalam perjumpaannya dengan Buana Minggu empat tahun lalu, suami-istri
Mochtar-Sofia mengaku bahwa selaku bekas pejuang 45 mereka sama-sama
menerima pensiun dari pemerintah. Bukan jumlahnya yang penting, tapi
kebanggaan pernah ikut berjuang, menegakkan kemerdekaan itu yang utama.
Banyak artis terkejut tatkala mendengar Tante Sofi
(panggilan akrab Sofia diantara artis untuk almarhumah), tutup usia.
Segera mereka datang pada kesempatan pertama, melayat ke rumah duka.
Justru kepergian Tante Sofi bertepatan dengan kegiatan insan perfilman
sedang menghadapi puncak Festival film tahun ini. Jenazah almarhumah
dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta dengan upacara militer yang dihadiri
oleh para artis, pejabat pemerintah , handai taulan dan lain-lain.
Kesan Sesama Rekan
Tiga minggu sebelumnya Tante Sofi tutup usia, Eddy Sud Koordinator
Artis Safari pernah dikunjunginya dan di rumahnya di Pulo Mas. “Tante
Sofi banyak bicara kepada saya. Juga bicara tentang produksinya,
“Memburu Makelar Mayat” yang mendapat sambutan hangat publik itu. Saya
juga berpesan kepada Tante Sofi, kalau film-nya mendapat keuntungan,
para pemainnya diberi imbalan lagi yang sepantasnya. Selain itu juga,
tante Sofi pernah bicara tentang Om WD Mochtar yang bisa nyanyi.
Pesannya akan saya laksanakan. Om WD akan saya rekam suaranya dalam
waktu dekat ini,” kata Eddy Sud yang ketika Sofi Anvaal di restorant
milik Rima Melati itu, sapu tangannya buat mengusap keringat Tante Sofi.
Benyamin S berkomentar “Tante Sofi adalah sutrafara film wanita
pertama di Indonesia. Paling tidak Tante Sofi perlu dicatat dalam
sejarah film Indonesia sebagai tokoh wanita yang banyak andil dalam
dunia perfilm-an nasional,” kata Benyamin yang saat itu sedang shooting
film “Haji Mabrur”.
Tokoh Parfi Bandung, Rachmat Hidayat berkesan: “Dengan kematian Tante
Sofi kita kehilangan seorang tokoh perfilman, khususnya dalam dunia
artis film. Tokoh yang bisa menjembatani antaraa artis senior dan
yunior. Padahal saat ini kita membutuhkan tokoh seperti Tante Sofi. Kita
kehilangan betul seorang tokoh wanita dalam dunia perfilman nasional
yang punya andil besar,” kata Rachmat hidayat yang setia menunggu dari
sakitnya Sofia WD sampai meninggal dunia.
HM Damsyik, Sekjend PARFI mengenang almarhumah: “Dulu Tante Sofi
Ketua Umum PB PARFI . Kepemimpinannya patut dijadikan suri tauladan bagi
kita semuanya, khususnya artis film. Meskipun Tante Sofi tidak aktif
lagi di PARFI tapi masih memberikan saran dan pendapat buat kemajuan
PARFI. Kita kehilangan sesepuh dalam dunia perfilm-an nasional,” kata
HIM Damsjik.
Sementara itu Us Us pimpinan kelompok lawak D’Bodor yang juga
bintang film berkesan: “ketika mau membuat film Memburu Makelar Mayat,
Tante Sofi hunting ke Bandung dan mampir ke rumah saya. Dia sangat
kecewa karena rencananya yang jadi tokoh dalam film tersebut Yan Asmi,
tapi pilihannya jatuh pada Mang Kus. Di rumah saya, Tante sofi makan
hidangan yang kami sajikan,” kata Us Us yang main juga dalam “Memburu
Makelar Maya”.
Kwartet Tomtam yang terdiri dari Kimung, Ogut, Firman dan Komar
mengatakan: “Ketika pembuatan film “Makelar Mayat”, Tante Sofi sangat
memperhatikan seluruh pemain, baik yang senior maupun yang yunior. Tante
Sofi tidak membeda-bedakan pemain,” kata Firman mewakili tiga rekannya.