PEMBUAT FILM INDONESIA 1900-1992, Blog ini tentang pembuat film Indonesia, mulai dari Isu, peristiwa, sosok, dibalik layar, berita, bioskop, analisa, kritikus, undang-undang film, film negara, bintang film, sutradara, Cinematographer, produser, sosok yang berpengaruh, sang legend, aktor, aktris, perkembangan film Nasional, jadul, lawas, nostalgia, jaman, kejayaan, keemasan, mereka yang membuat film, penonton, situasi sosial saat itu, perjuangan, kemerdekaan, era Belanda, Jepang, fungsi film dll.
Muljono menaruh hati pada Susilowati, yang digelari si "Kebaya Fantasi",
tapi tak direstui Dahlan, ayah Susilowati. Muljono cuma sopir,
sedangkan sebagai pengusaha bengkel mobil, Dahlan ingin menantu yang
kaya pula. Dahlan telah mencalonkan si "Kebaya Fantasi" itu dengan
Darwis, anak orang kaya. Padahal Darwis ditaksir Siti, seorang
wanita-bandit. Gara-gara Siti, Darwis ditangkap polisi. Ia terlibat
perampokan yang diotaki Siti. Tak ada lagi halangan bagi Muljono untuk
mendampingi Susilowati. Apalagi ternyata Dahlan membuka usaha
bermodalkan harta Amijaya, ayah Muljono, yang selama ini dicari-carinya.
Liku, selir kesayangan Raja Daha,
meracuni permaisuri, hingga ia bisa jadi permaisuri bernama Djaganaga.
Kemudian ia merancang muslihat agar putrinya, Galuh Adjeng, bisa
dijodohkan dengan Pangeran Inu Kertapati, tunangan, Tjandra Kirana,
putri mendiang permaisuri. Hasilnya, Inu Kertapati melupakan Tjandra
Kirana.
Inu juga diperintah ayahnya, Raja Kuripan, untuk mengirim
boneka emas yang dibungkus kain buruk dan boneka perunggu yang dibungkus
kain sutra. Djaganaga mengambil boneka terbungkus sutra dan diberikan
kepada putrinya. Galuh marah ketika tahu Tjandra Kirana bermain dengan
boneka emas. Galuh berusaha merebut boneka emas itu. Raja memerintahkan
Tjandra menyerahkan boneka emasnya pada Galuh.
Tjandra
meninggalkan istana dan masuk hutan. Di sana ia mendirikan kerajaan baru
dan mengumpulkan pasukan untuk mengganggu Daha. Ia selalu mengenakan
pakaian pria dan menamakan dirinya Pandji Semirang. Raja Daha
mengirimkan pasukannya untuk membasmi pasukan Pandji Semirang yang
dibantu Inu Kertapati. Setelah mengalahkan pasukan ayahnya, Tjandra dan
Inu nikah.
Lahir Senin, 15 Desember 1919 di Blitar. Pendidikan : Lagere School.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya, Waldy berhenti sekolah dan minggat ke Klaten turut Djafar Wirjo, dengan harapan bisa ikut main sandiwara.
Pada Miss Intan's 'Ramona Opera', mula-mula ia bekerja sebagai penjaga pintu. Meskipun kedua orang tuanya adalah Pemain sekaligus pemilik rombongan Sri Permata Opera, tapi ia banyak belajar kesenian dari Djafar Wirjo, yang diakuinya sendiri sebagai gurunya yang pertama.Ketika perbuatannya itu diketahui oleh orang tuanya yang baru kembali sehabis mengadakan pertunjukan keliling Sumatra, maka dipanggilah Waldy untuk kemudian dididik menjadi cabaret leader.Tahun 1932 Waldy turut dengan Faroka Opera. Dari Rd Ismail, ia banyak belajar coal akting. Ketika bergabung dengan Grand Nooran Opera, Waldy mengembara ke Semenanjung Malaka, sampai ke Siam.Tahun 1938, mencoba mendirikan sandiwara Vaudeville tapi gagal. Dua tahun kemudian ia diajak main dalam film "Zoebaida" (1940), disamping sebagai pengarang lagu-lagu.Setelah itu tampil dalam "Lintah Darat" (1941). Dari Fabri seorang Juru Kamera dan Sutradara kebangsaan Jerman, Waldy belajar tentang Penulisan Cerita Film.Dimasa pendudukan Jepang, ia turut sandiwara Djawa Baru, kemudian memimpin sandiwara Dewi Mada. Ketika Fifi Young Toneelkunst, sempat melawat ke Palembang, dan berkenalan dengan Sofia, yang kemudian diperistrinya.Kembali dari Palembang, Waldy dan isterinya masuk Tan & Wong Bros, mula-mula sebagai Pemain. Kemudian dipercayai untuk memimpin salah sebuah unit Tan & Wong Bros yang bernama Ardjuna Film Coy merangkap sebagai Sutradara.Diantara filmnya : "Airmata Mengalir Di Tjitaroem" (1948) dengan lagu thema ciptaannya, "Bengawan Solo" (1949), "Bantam" (1950) juga lagu thema hasil karyanya, "Air Mata Penganten" (1952), "Pandji Semirang" (1953), "Senen Raja" (1954), dan "Petir Sepanjang Malam" (1967).
Machmood (Rd Endang) dan Ali (WD Mochtar) bersahabat sejak kecil. Ayah Ali, Panglima Usman (A. Thys), mengajukan lamaran kepada Pak Guru (Bissu), agar Halimah (Sofia) jadi istri Ali. Padahal Halimah adalah kekasih Machmood. Guna menyingkirkan Machmood, Usman memerintahkannya untuk menumpas Lanun di laut (Rd Dadang Ismail). Di luar rencana, Ali menyusul. Mereka bersatu untuk menyerang. Dalam pertempuran itu Ali tewas, dan Machmood berhasil menangkap Lanun. Ketika diajukan kepada Sultan (dirangkap oleh Rd Dadang Ismail), diketahuilah, bahwa Lanun adalah adik Sultan. Lanun berbuat begitu sebagai protes atas pemerintahan tak betul dari Sultan. Insyaflah Sultan, dan berjanji akan memerintah dengan adil. Machmood dapat mempersunting Halimah.
Sugesti (Rr Sumiati) cemburu karena Rochijat (Rd Endang) mencintai adiknya, Bardini (Sri I. Uniati). Padahal, Rochijat merasa hanya bersahabat dengan Sugesti. Untuk mengatasi kekecewaannya Sugesti jadi penyanyi dalam rombongan sandiwara pimpinan Subroto (Zainal Abidin). Ia berhenti setelah menikah dengan lintah darat Surachman (S. Waldy) untuk menutupi hutang rombongan sandiwara. Bardini sendiri dikisahkan "tersesat" dan bekerja... di rumah Sugesti, yang pura-pura tak kenal dan berlaku kejam. Bardini akhirnya menikah dengan Rochijat, setelah melewati berbagai rintangan. Ketika berziarah ke makam ayahnya, Bardini jumpa dengan Sugesti yang telah jatuh miskin, karena suaminya masuk penjara.
Raja Gusti Aji Surya (Rd. Ismail) mengusir Purnama Sari (Sofia Waldy) dari Bali dan tidak diakui lagi anak, karena menolak menikah dengan Gusti Mandire (Ramli). Di pulau Jawa, Purnama Sari jatuh cinta dan menikah dengan Bunyamin (Moch. Mochtar). Di saat revolusi fisik Bunyamin gugur, tapi sempat menyerahkan foto sang isteri kepada temannya letnan Budiman (Rd Endang), dengan pesan agar menggantikan Bunyamin untuk merawat Purnama Sari. Menerima amanat itu Budiman menemui Purnama Sari, meski dia sudah punya tunangan, Gantini (Puspa Dewi). Purnama Sari yang mengalami kebutaan, diusulkan Gantini supaya dibawa ke Bandung. Suatu kesempatan bagi Gantini untuk dekat lagi dengan Budiman. Walau sudah sembuh, Purnama Sari pura-pura masih buta. Dilihatnya bahwa Budiman dan Gantini bermesraan. Purnama Sari lari, kembali ke Bali dan jumpa dengan Gusti Mandire yang mengajaknya menikah. Purnama Sari bersedia, tapi bunuh diri (dengan melompat ke telaga), begitu selesai upacara.
Biar telah memegang kerajaan Entah Berantah, tapi sultan Darsa Alam belum punya permaisuri. Berbagai usaha dan usulan Datuk Mangkubumi selalu ditolak. Ketika suatu kali sedang di Tamansari Asmara Cinta, sultan bermimpi ketemu puteri yang berkenan di hati. Setelah terjaga, diperintahkan agar mencari puteri yang nama dan tempatnya tak diketahui itu. Setelah hampir putus asa, akhirnya sultan menemukan sendiri puteri dalam impiannya itu. Mereka menikah, punya anak yang dinamai Bahrum Alam. Kiranya puteri impian dari kerajaan di balik awan itu punya saingan, saudara perempuan sendiri. Ia terselamatkan oleh saudara perempuan lainnya lagi.
Film ini seolah terdiri dari dua bagian. Bagian pertama: polisi dipusingkan dengan ulah Djafar (Hadisjam Tahax), bekas pejuang yang jadi perampok dan pembunuh. Entah informasi dari mana, Sambas (Dolf Damora) menguntit Djafar, dan lalu minta bantuan menggrebek rumahnya. Tembak-menembak terjadi. Rumah terbakar. Anak Djafar dan adik iparnya, Jaya (Maruli Sitompul) meninggal terbakar, sementara ibunya (Marlia Hardi) diselamatkan polisi. Bagian kedua: lima tahun kemudian. Sambas yang sudah naik pangkat jadi inspektur hendak cuti ke desanya di Citando. Sebelum berangkat ia diperingatkan atasannya bahwa di desa itu ada sesuatu yang misterius. Penduduk desa menganggapnya hantu atau setan. Karena hujan, kemalaman dan masi jauh ke rumah orangtuanya, ia menginap di rumah bobrok yang dihuni seorang nenek. Nenek ini adalah ibu Djafar yang selamat. Djafar masih hidup dan dialah yang membunuh seorang polisi yang menyelidik misteri di desa itu. Misteri terkuak. Anak Sambas diculik Djafar. Sambas mengejar dan menembak mati.
Semua unsur penglaris ada dalam film ini. Lagu-lagu, penyanyi-penyanyi, banyolan, gulat, drama, air mata. Manan punya grup musik yang dibuatkan rumah tinggal. Pemain utamanya, Indra, anak bekas sri panggung yang kini jualan jamu, saling mencinta dengan anak Manan, Tati. Manan tak setuju, maka Indra angkat kaki. Tati dipaksa kawin dengan Sugandi. Ia kembali ke rumah ibunya dan berjuang sendiri bersama kawan-kawannya. Ia lalu jatuh cinta dan nikah dengan Fetty. Pertunjukan Indra selalu diganggu Sugandi. Tati masih menyimpan foto Indra. Sugandi marah dan lalu menghajar Indra, hingga keduanya ditahan polisi, karena Sugandi luka parah. Fetty juga menemukan foto Indra dan cemburu. Kebakaran datang dan rumah habis. Fetty dan ibu Indra meninggal. Di kuburan Indra jumpa dengan Tati, tapi tak mau mendekati.
Awal Januari tepat 50 tahun yang lalu, saya bersama tiga orang remaja
asal Surabaya berangkat ke Jakarta naik KA Gaya Baru. Ketiga teman saya
masing-masing Ali Bas, Untung Risa dan Hadi Baya. Kami berempat yang
rata-rata berusia antara 21- 23 tahun ini bertekad mengadu nasib di
Jakarta.
Kebetulan kami termasuk para calon artis yang terpilih di antara 50
siswa Pensitrafi (Pendidikan Seni Teater & Film ) untuk memulai
debutnya sebagai pemeran pembantu dalam flm "Minah Gadis Dusun" yang
dibintangi Titiek Puspa, Dicky Zulkarnaen, Rachmad Kartolo, Tuti S,
Farouk Afero, S. Efendy dan masih banyak lainnya. Di antaranya kami
berempat tadi. Sungguh casting yang diberikan oleh sutradara S. Waldy
(mantan suami Sofia WD ) termasuk luar biasa ketika itu. Karena siapa
pun pasti bangga bisa main film bersama artis-artis top di zamannya.
Apalagi kami terpilih atas penunjukan langsung dari S. Waldy yang
saat itu merangkap sebagai direktur Pensitrafi. Pensitrafi sendiri
berdiri di pertengahan 1965 di Jalan Pemuda Surabaya ( lokasinya jadi
satu dengan SMA Tri Murti). Sehingga selepas SMA, saya yang sejak masih
SMP sudah bercita-cita menjadi sutradara film itu, langsung melangkahkan
kaki belajar acting dan penyutradaraan. Gayung pun bersambut. S. Waldy
secara khusus menularkan ilmunya ke mereka-mereka yang dinilai punya
bakat tinggi.
Tapi tak sampai lima bulan nengajar, S. Waldy yang Indo Jerman ini,
mendapat telepon untuk segera kembali ke Jakarta, karena sinopsis cerita
"Minah Gadis Dusun" yang diadopsi dari lagu hit Titiek Puspa akhir 1965
disetujui oleh I. Harun, produser "Berdikari Film" untuk diangkat ke
layar putih. Tapi tolong jangan dibayangkan fim yang akan digarap
sutradara kelahiran tahun 1919 ini berwarna plus cinemascope. Sama
sekali belum ke situ, karena film "Minah Gadis Dusun" adalah salah satu
dari empat film hitam putih terakhir diproduksi di awal tahun 1966.
Setelah itu barulah Film "Sembilan" yang disutradarai Wim Umboh,
tercatat sebagai film Indonesia berwarna pertama.
Terus terang waktu itu kami tak ada rasa menuntut mengapa main di
film hitam putih. Dapat peran sudah alhamdulillah, apalagi bukan figuran
numpang lewat. Kami semua dapat peran, ada yang berperan sebagai staf
kantor, lurah. Saya sendiri mendapat peran sopir. Lumayan sekitar 12
scene dan sudah barang tentu itu membanggakan.
Pada akhirnya setelah menunggu dua minggu dan diseling enam hari lima
malam tidur di teras studio "Tan Wong Bross" di Jalan BIdara Tjina (
kini Jalan Otto Iskandar Dinata Jatinegara ), saya pun mulai merasakan
getarnya nadi ini ketika syuting pertama kali. Bayangkan anak udik yang
baru berusia 21 tahun harus berhadapan dengan kamera untuk pertama
kalinya. Wah apalagi disaksikan bintang-bintang besar antara lain Titiek
Puspa dan Dicky Zulkarnaen. Kalau saja tidak teringat sudah mendapat
sepertiga nilai kontrak sebesar Rp.300.000 yang bakal saya terima, pasti
saya sudah retake berulang-ulang.
Memang syuting film "Minah Gadis Dusun":ini tidak cuma di seputar
Jakarta, tapi juga sampai ke Sukabumi, Pelabuhan Ratu, Tagog Apu kawasan
bukit kapur di Padalarang, Banten dan di sekitar Bandung. Tentu ini
merupakan pengalaman baru bagi kami berempat, karena jarang sekali Arek
Surabaya bisa bersama artis-artis top "tour" selama satu bulan di
kawasan Kabupaten Bandung dan sekitarnya.
Tapi di balik itu semua ternyata ada hal-hal yang kurang saya
perhitungkan. Tak bisa ditolak saya terlalu royal, mulai dari makan
sampai beli busana maunya yang lagi tren. Tak pelak lagi, uang kontrak
film mulai menipis, sehingga sering nebeng teman dan bintang. Inilah
awal dari sebuah ""bencana", ketika Hadi salah seorang teman menantang
saya, kalau berani menciumTitiek Puspa ysng ketika itu usia baru 28
tahun, maka dia akan memberi saya uang ketika itu senilai makan
selama dua hari. Pokoknya mencium pipi walaupun sekedar nempel, maka
tanpa pikir panjang saya lawan tantangannya.
Di saat Titiek lagi syuting memanen padi di kawasan Sukabumi. Bisa
dibayangkan khan, jika ada artis syuting tentu penontonnya meluber
bahkan sampai berdesak-desakan. Inilah momen yang pas kata saya dalam
hati, itu pun setelah bersiasat dengan Ali dengan janji memberinya fee.
Yang peting bisa mencium pipi bintang cantik Titiek Puspa. Nah, -setelah
satu jam action memanen, sutradara pun berteriak: Cut..ayo break..!
Inilah saya mulai action juga, apalagi penonton semakin berdesakan di
pematang, sehingga jalannya Titiek terhadang. Saya yang juga bertugas
rangkap menjadi pengatur penonton juga sibuk. Sementara teman yang
berjanji membantu saya supaya bisa mencium sang artis Titiek sudah mulai
bersiap siap, satu..dua ..tiga, tiba-tiba tangan teman saya serasa
sangat kuat mendorong punggung saya.
Ya..ampun bukan pipi Titiek yang saya cium "sak nyuk-an" tapi
kondenya. Benar saya mencium konde Titiek. Tak pelak lagi konde pemeran
utama film yang menghabiskan masa syuting tiga bulan ini jadi agak
berantakan. " Piye toh iki..arek Surabaya iki...!!, ujarnya agak
cemberut.
Saya pun langsung minta maaf. Begitulah belakangan si teman yang saya
tugasi mendorong pelan di saat suasana penonton berdesakan, mengaku, di
detik detik persis akan mendorong, tiba tiba kakinya terperosok. Jadi
kebablasan. Sial sungguh memang, sudah gagal mencium pipi seklebatan,
bibir pun tergores tusuk konde. TENTANG MINAH GADIS DUSUN. Sekitar tahun 1960 an Titik Puspa punya cerita tentang
seorang gadis dusun yang datang ke kota jakarta dan terkagum-kagum
kepada kemegahan kota Jakarta, kekaguman seorang gadis lugu itu
dibuatkan dalam sebuah lirik lagu dan diberi judul MINAH GADIS DUSUN,
liriknya seperti dibawah ini :
Inginkah kawan tahu
Siapa daku
Minah gadis dari
Dusun di gunung
Jauh daku berjalan menuruninya
hanya ingin menjenguk indahnya kota
Amboi indah dah megah
Kotamu kawan
Rasa daku mimpi
Didalam surga
Jejaka dan gadisnya tampan dan cantik
Gedung tugu dan mobil oh amboi-amboi
Tapi maaf kawan, daku tak tinggal lama
Kekasih hatiku rindu menanti
Tunggu saja kiriman
Hasil panenku
Daku orang dusun
pandai bertani
Hanya pesanku kawan
Jaga negerimu
Sampai berjumpa lagi
Salam manisku, salam manisku
Andaikata Minah datang kembali hari ini ke Jakarta, apakah dia masih
terkagum-kagum atau mungkin jauh lebih kagum dibanding 50 tahun yang
lalu, atau bisa jadi malah sebaliknya Minah semakin prihatin.
Dia mungkin makin kagum dengan makin banyaknya gedung-gedung tinggi,
tapi dibalik kekagumannya bisa jadi dia prihatin, gedung yang menjulang
tinggi-tinggi tapi bila musim hujan tiba jalan-jalan yang melingkari dan
melewati gedung-gedung itu digenangi air tinggi-tinggi alias banjir,
sehingga penghuni gedung bisa jadi untuk beberapa hari tidak bisa
beraktivitas. Makin prihatin lagi, bila dia melihat dibalik gedung
yang tinggi masih terlihat deretan rumah-rumah kumuh, becek, sesak dan
bau sampah yang menyengat.
Minah mungkin semakin bingung, begitu
makin banyaknya mobil- mobil mewah berseliweran, memacetkan lalu lintas
dan asap knalpon bisa membuat napas sesak, dan dia merasa miris
ditengah-tengah kemacetan lalu lintas, berseliweran lah tukang
minta-minta menengadahkan tangan meminta belas kasih kepada para
pengendara mobil, dengan pakaian compang camping beda jauh dengan pakain
yang dikenakan orang-orang yang ada dalam mobil-mobil sedan itu.
Masya Allah, gadis dan jejakanya memang cantik dan tampan, tapi mereka
bukan suami isteri bebas berpelukan ditenah keramaian, bahkan dari
balik kaca restaurant sepasang muda-mudi asyik berciuman, oh
amboi-amboi.... apakah ini serasa di surga atau neraka.
50 tahun
yang lalu memang dari segi phisik kota jakarta jauh lebih megah, tetapi
50 tahun yang lalu berita tentang jakarta banjir nyaris tidak ada,
udara juga masih segar, hanya ada satu dua peminta-minta dan pemulung,
gadis dan jejakanya masih cukup sopan berprilaku di jalan dan tidak ada
cerita macet, dimana dari Pancoran Kota ke Kebayoran Baru yang asri
waktu itu bisa ditempuh dalam bilang menit, sekarang bukan tidak mungkin
harus ditempuh dalam hitungan jam.
Mobil mewah banyak, tapi
yang berhimpitan di bus kota tidak kalah banyak pula. Tahun 60 an
Minah naik bis kota merk ROBUR tidah harus berhimpitan dan tidak ada
kemacetan seperti sekarang, Minah masih bingung, apakah ini yang namanya
tanda-tanda kemajuan atau tanda-tanda kehancuran.
Akh, Minah
tak perlu waktu berlama-lama di Jakarta, dia berpikir sebaiknya
cepat-cepat pulang kedesa, disana masih ada ketenangan.
Tapi Minah tetap Minah, dibalik keprihatinannya dia masih bisa berpesan seperti 50 tahun yang lalu :"Jaga negerimu kawan".
Produksi daerah (Palembang) ini merasa perlu "pasang nama" bintang-bintang Jakarta, seperti Sofia Waldy (W.D.),dan lain-lain. DIAN adalah singkatan dari Dharma Ikatan Artis Nasional.
Cerita di masa gerilya/revolusi fisik ini digambarkan dalam kilas-balik. Melibatkan dua sahabat Rustam (Hanafi RA) dan Guscik (ZS Azlia). Sebagai anggota ABRI, tugas keduanya masih berlanjut sesudah Indonesia berdaulat penuh (1950). Mereka berhasil menggulung komplotan subversif (di pulau Burung) pimpinan Aman (AD Mano).
Seorang murid (Arfandi) amat tertekan, lebih-lebih karena dia "anak haram" (judul asli cerita Pramoedya Ananta Toer). Hanya salah seorang gurunya (Frans Harahap) yang mau mengerti dan membantunya.
Digarap oleh penulis-sutradara Waldemar Caerel Hunter alias S Waldy.
Para pemain yang terlibat adalah Sofia WD, A Hamid Arief, Arfandi, Wahab
Abdi, Piet Pello, WD Mochtar, Pala Manroe BA, Rr Sumiati, Entjen
Fatimah, Ellya Chandra, Iskandar Muda, Maya Dewi, Dedeh Rosmawaty, dan F
Harahap. Produksi dilakukna oleh Jajasan (Yayasan) Usaha Artis Film
atau disingkat JUFA.
Naskahnya diadaptasi dari cerita pendek Pram berjudul Anak Haram, yang terbit dalam buku Cerita dari Blora (1952).
Biola berkisah tentang seorang bocah lelaki yang sangat tertekan,
terutama karena orang-orang menyebutnya anak haram, yang lahir di luar
pernikahan. Hanya sedikit orang yang masih menaruh perhatian kepadanya.
Salah satunya adalah seorang guru di sekolah.
Ismail (Amran S. Mouna) meninggalkan isterinya Sutrisni (Ellya Rosa) di Bekasi untuk pergi mencari nafkah di Jakarta. Biar abangnya, Iskandar (Sukarno M. Noor) mengajak jalan yang melawan hukum, Ismail tetap berusaha di jalan yang benar. Karena uang kiriman Ismail tidak disampaikan oleh Iskandar, Sutrisni pergi menyusul suaminya. Kesulitan saling ketemu menyebabkan Ismail berjumpa dengan Sutrisni telah jadi... isteri Pak Wongso (S. Waldy). Salah paham ini bisa diatasi dan akhirnya Ismail dan Sutrisni kembali bersatu.
Kisah diawali dengan pesta pertunangan Hidayat dan Irawani (Rr Sumiati). Diceritakan oleh Irawani tentang Irawan (Rd Endang) dan Sunarti (Sofia Waldy), orangtuanya, yang susah hidupnya. Irawan pergi ke Betawi untuk cari kerja dengan meninggalkan anak-istri. Irawan lupa diri setelah berhasil, padahal ia bekerja pada RM Sunarno, ayah Sunarti alias istrinya. Setelah dewasa Irawani jadi penyanyi dan penari yang digilai Irawan. Hal ini membuat istri barunya mengusir Irawan dari rumah. Irawan kembali jadi pengemis, seperti ketika pertama kali datang ke Jakarta.