27 November 1971
Korupsi di direktorat film direktorat film
Korupsi di direktorat film direktorat film
TIDAK diketahui apakah Pd Gubernur Ali Sadikin berada dibioskop pada saat beberapa film Indonesia di teriaki oleh penonton. Tapi ketjemasan Ali Sadikin jang disiarkan kantor berita Antara dua pekan jang lalu ternjata tidak sendirian. Dikantornja jang sedjuk, R.M. Sutarto kelihatan' kegerahan ketika ditanjai mengenai mutu film-film Indonesia mutachir jang disensornja. "Penggambarannja tidak bersifat Indonesia, djiplakan jang dibesar-besarkan. Mobil mewah, rumah bagus, kolam renang, bar dan nite club, semua hal fang sulit ditemukan alam kehidupan Indonesialah jang mereka gambarkan. Dan djangan lupa tempat tidur. Itu selalu digarap dengan hebat, meskipun sedikit sekali jang berhasil", kata Sutarto. Seperti orang jang tidak puas, ia melandjutkan: "Sekarang ini mulai masuk film-film impor jang bagus-bagus. Saja takut film Indonesia sebentar lagi tidak punja penonton dikota, dan di pinggiran didesak oleh film-film India. Kalau begitu, tjelaka". "Soal mutu? Kriterianja apa?" Tanja Kepala Direktorat Film H.Djohardin pada reporter Martin Aleida dart TEMPO.
Sebagai pedjabat jangpunja peran dalam pembinaan film nasional kini, Djohardin tentu sadja membela diri. "Pokoknja sampai sekarang belum ada keluhan dari masjarakat bahwa film kita merosot". Bukan hanja itu Djohatdin djuga mengatakan: "Kita djangan mengorbankan tjita rasa djutaan orang untuk melajani para pseudo-intelektuil jang memandang baik film jang tidak laku matjam Apa Jang Kau Tjari Palupi. Bagi saja perfilman nasional kita mengalami kemadjuan= pesat, artis-artis hidupnja lebih baik, demikian pula kadawannja, hal jang tidak pernah ditjapai sedjak 20 tahun silam". Karena itulah nampaknja Djohardin . heran terhadap kritik-kritik jang dianggapnja terlalu subjektip terhadap film Indonesia sekarang ini. Tidak djelas apa pengertian kritik subjektip itu, tapi barangkali jang inilah dimaksudkannja: "Mereka jang melantjarkan kritik itu djanganlah berpatokan 'pads selera diri sendiri. Lihatlah tingkat kebudajaan bangsa kita sendiri jang masih berbeda-beda, ada jang baru mengenal film, ada jang sudah madju, tapi ada djuga jang masih memakai koteka.
Djadi saja kira tjorak ragam film kita sekarang tjotjok dengan tjorak ,tingkatan kebudajaan bangsa kita". Agaknja Djohardin agak tergesa-gesa, hingga tak lupa memberikan tjontoh terhadap berbagai tjorak tingkatan kebudajaan, dan film jang sesuai dengan tingkatan itu. Misalnja, apakah Dendam Berdarah alau Insan Kesepian itu termasuk film tingkatan "pseudo intelektuil" djuga ataukah tingkatan kebudajaan koteka. Jang is katakan kepada Martin kemudian hanjalah ketidak mampuannja untuk memaksa para produser-produser untuk membuat film jang lebih baik. "Memang itu, kemampuan mereka, mau diapakan lagi". Puas. Pertanjaannja jang terachir itu menarik sekali: Mau diapakan lagi? Itulah soalnja. Suhtnja, direktur film itu sendiri sudah puas dengan jang ditjapai perfilman seka: ang. Maka diharaplah semua peminat film Indonesia sekarang ini tahu bahwa lahirnja film-film matjam La Tando, Insan Kesepian, Hidup, Tjinta dan Air Mata, memang tidak bertentangan dengan kebidjaksanaan Direktorat Film. Begitu pula lahirnja setjara mendadak banjak sutradara, lahirnja skenario-skenario jang djalan.terseret-seret dan sebagainja. Semua itu dengan mudah di mengerti sekarang. Bersamaan dengan itu kantor jang dipimpin Djohardin djuga direpotkan dengan beberapa hal. Disana ada wewenang mengeluarkan uang dari dana SK 71, ada wewenang untuk memberi rekomendasi untuk masuknja film impor. Kedua soal ini mendjadi hangat hari-hari terachir ini, meskipun soalnja sudah lama didesasdesuskan. Soal. permainan dalam hal rekomendasi impor film misalnja, konon sudah lama mendjadi bahan pembitjaraan dikalangan perfilman. Maka disebut-sebutlah nama Widia Lusia Zulia, Kepala Pembinaan dan Pengawasan dikantor Direktorat.
Orang ini konon pernah diskors oleh Drs Sjumandjaja ketika jang terachir ini masih mendjadi Direktur Film. Kabarnja karena Widia - entah benar entah tidak - pernali inenggunakan nama Sjuman untuk tudjuan keuntungan pribadi. Dari sumber Persatuan Importir film dapat diketahui bahwa istri pedjabat tersebut djuga ikut dalam kegiatan impor dan distribusi film, meskipun njonja tersebut menjangkal semuanja berita itu. Ketika beberapa hari jang lalu tersiar kabar bahwa Widia dipindahkan dari djabatannja jang sekarang, tidak bisa didapatkan kabar pasti mengenai alasan pemindahan tersebut. Tapi kalangan perfilman merasa jakin bahwa hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan peranan Widia dalam apa jang mereka sebut "permainan" terdjadi di Direktorat Film. Dan TEMP0 lebih jakin lagi tentang hal itu ketika Djohardin sendiri berkata bahwa iapun mungkin tidak lama lagi duduk sebagai Direktur film, sebab dikabarkan terlalu hanihk orang jang mengingini kursi Djohardin sekarang. itu. Itu tentu bisa betul djuga alasannja. Lepas dari banjak tidaknja jang meng inginkan kursi Djohardin, ia sendiri memang disorot dari berbagai segi. Iebidjaksanaannja disekitar film Gadis Djutawan jang menghebohkan itu tjukup membuat Direktur Film itu mendjadi buah bibir achir-achir ini. Dan Wal dana SK 71, sedjak lama mernang merupakan alasan untuk selalu bertjakap sambil menjebut-njebut mama Djohardin. Dan karena banjak dipertjakapkan itulah maka desk film TEMPO berusaha mendapatkan ket6rangan untuk berbagai hal jang menarik itu. Berikut ini adalah laporan tersebut, jang dihidupkan dalam bentuk jang lebih terperintji.
27 November 1971
Perkara dana sk 71
DAN inilah perkara jang paling rumit dari segala hal jang mendjadi rumit dikantor Hadji Djohardin maupun dikantor-kantor perusahaan film Republik ini. Keluhan-keluhan mengenai kerumitan itu terdengar hampir setiap hari pada saat bertemu lebih dari i orang jang punja urusan dengan dunia film. Dan karena semua stori itu bersumber pada prosedur untuk mendapatkan sedjumlah uang jang dipindjam dari dana SK 71 (lihat TEMPO, 10 Djuli 1971), maka wartawan-wartawan TEMPO berusaha menghubungi pedjabat-pedjabat jang berwenang mengeluarkan, uang dana tersebut. Ternjata keterangan setiap pedjabat tidak selalu akur. Keterangan Fachruddin Lubis, direktur Jajasan Film berlainan dengan Widia maupun Djohardin (keduanja dari Direktorat) terutama mengenai modulasi-modulasi djumlah uang jang berbeda untuk jang telah dan jang masih tjalon anggota Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) mengenai djumlah uang jang dipotong oleh pihak Direktorat maupun jajasan film, resmi maupun di bawah medja, serta mengenai persjaratan teknis untuk mendapatkan uang pindjaman tersebut. Tidak terhindarkan untuk tiba pada kesimpulan bahwa memang ada jang tidak beres diseputar persoalan uang jang dikumpulkan melalui sumbangan wadjib setiap film impor itu.
27 November 1971
Perkara dana sk 71
DAN inilah perkara jang paling rumit dari segala hal jang mendjadi rumit dikantor Hadji Djohardin maupun dikantor-kantor perusahaan film Republik ini. Keluhan-keluhan mengenai kerumitan itu terdengar hampir setiap hari pada saat bertemu lebih dari i orang jang punja urusan dengan dunia film. Dan karena semua stori itu bersumber pada prosedur untuk mendapatkan sedjumlah uang jang dipindjam dari dana SK 71 (lihat TEMPO, 10 Djuli 1971), maka wartawan-wartawan TEMPO berusaha menghubungi pedjabat-pedjabat jang berwenang mengeluarkan, uang dana tersebut. Ternjata keterangan setiap pedjabat tidak selalu akur. Keterangan Fachruddin Lubis, direktur Jajasan Film berlainan dengan Widia maupun Djohardin (keduanja dari Direktorat) terutama mengenai modulasi-modulasi djumlah uang jang berbeda untuk jang telah dan jang masih tjalon anggota Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) mengenai djumlah uang jang dipotong oleh pihak Direktorat maupun jajasan film, resmi maupun di bawah medja, serta mengenai persjaratan teknis untuk mendapatkan uang pindjaman tersebut. Tidak terhindarkan untuk tiba pada kesimpulan bahwa memang ada jang tidak beres diseputar persoalan uang jang dikumpulkan melalui sumbangan wadjib setiap film impor itu.
Dan seperti biasa nja, selalu sadja ada prang jang bisa memanfaatkan keadaan-keadaan matjam demikian. "Keruwetan.itu terdjadi karena persjaratan untuk mendanatkan dana itu memang tidak mempunjai dasar jang kuat", kata Asrul Sani dirumahnja pada suatu magrib sehabis buka puasa. "Dan kalau persjaratannja sudah demikian, ditambah lagi dengan prosedur jang diubah-ubah, tentu sadja keadaan tidak malah Wahju Sihombing dengan tanggapannja sendiri. "Lho, ini sadja, alas dasar itu diadakan pembedaan antara anggota dan bukan anggota PPFI? Apakah Djohardin bisa mendjamin bahwa anggota lebih baik dari pada jang belum anggota?" Setelah mengisap rokoknja dalam-dalam, menghembuskan asap, Hombing melandjutkan "Bagaimana bisa menilainja melihat rush copy 50 persen. 100 persen sadja belum tentu bisa. Lagi pula, saja sangsi, apa betul orang-orang Direktorat itu mengerti soal-soal film ini". Konjot. Tahu tidaknja Djohardin dan pembantu-pembantunja terhadap soalsoal film masih belum dibuktikan, sebab mereka memang belum diudji.
Tapi melihat makin banjaknja film djelek dengan turut sertauja orang-orang amatir jang bikin film, prang boleh sadja setudju pada kritik Sihombing tersebut. "Kekonjolan-kekonjolan seperti jang kita lihat sekarang ini, bisa dikurangi kalau Djohardin tahu untuk apa itu uang dikumpulkan dari importir film", kata Sihombing lagi. Dan untuk membikin supaja Direktur Film itu lebih tahu tudjuan pengumpulan dana itu, konon Asrul Sani, Sihombing dan Sjumandjaja pernah duduk bersama Djohardin disuatu restoran di Kebajoran. " 3 djam kita ngomong tentang segala hal jang mendesak dan harus diatasi", kata salah seorang diantara jang 3. "Tapi ja, tetap sadja begitu keadaannja", kata Sihombing achirnja. Dari semua kerumitan itu, masih tertinggal satu hal jang tidak rumit dan semua prang sependapat. Itu adalah hal jang dikatakan oleh Widia. Kepala Dinas Pembinaan & Pengawasan dari Direktorat Film (jang sekarang sudah dipindah) kepada Martin Aleida beberapa waktu jang lalu: "Setelah menjaksikan rush copy bersama PPFI dan Gabungan Importir Dan Distributor (Giprodfin), Djohardin menentukan apakah film tersebut pantas memperoleh dana atau tidak". Djadi pada achirnja Djohardin-lah prang penting dalam urusun uang itu, meskipun jang menanda-tanganinja adalah Menteri Penerangan Budiardjo. Djika sadja Direktur Film itu menjadari kedudukannja jang begitu penting, ia tentu sadja tidak perlu mengeluh seperti ini kepada Martin: "Saja heran, mengapa saja sadja jang disorot orang kalau ada apa-apa. Harus saja djelaskan bahwa uang SK 71 tidak pernah diberikan melalui Direktorat Film.
Dan kalau ada pemotongan-pemotongan ongkos administrasi, maka itu datangnja dari PPFI dan Jajasan Film". Djohardin tentu tidak salah dengan menjebut PPFI dan Jajasan Film sebagai pihak jang melakukan pemotongan, sebab PPFI memang mendapatkan sekitar persen dari Jajasan Film djuga sekitar itu. Hal jang mungkin tidak pernah direnungkan oleh Djohardin adalah ini: bahwa birokrasi jang tidak djelas disekitar pengaturan dana itu, tjukup mentjurigakan banjak orang.
Dan ketjurigaan-jang beralasan itu memang merupakan benih bagus jang djatuh ditanah subur perfilman jang tidak pernah tenang itu. Fachruddin Lubis dari Jajasan Film memang bisa mendjadi saksi bahwa uang jang ia keluarkan dari dana jang tersimpan itu selalu sama djurnlahnja dengan jang tertulis diatas kertas jang ditanda tangani Menteri Budiardjo. Tapi apakah Djohardin selalu pertjaja bahwa semua prosedur jang menerima SK 71 selalu bisa merahasiakan proses keluarnja uang tersebut? Adalah berita jang bersumber pada sutradara Sharifuddin dan Tuty S bahwa film Lisa jang sedang diproduksi oleh Tuty Jaya Pictures ditawari SK 71 (ditolak oleh Tuty dengan alasan uang tjukup), sementara Tuti Mutia Film Production tidak menerima SK 71 sampai film itu disensor pada tanggal 3 Nopember 1971, meskipun permohonan telah mereka masukkan pada tanggal 25 Maret 1971. Bagaimana menentukan bahwa jang satu bisa ditawari, sedang jang lain harus meminta-minta? Supaja tidak berpandjang-pandjang, sebaiknja dikemukakan sadja berbagai versi dari berbagai sumber mengenai ketjurigaan terdjadinja keruwetan disekitar dana SK 71 pada kantor Direktorat Film.
Menurut Fachruddin Lubis. Orang jang mendjadi direktur pelaksana Jajasan Film ini mengaku hanja sebagai tukang bajar dan tukang tagih sadja. "Uang akan saja keluarkan djika surat resmi sudah datang dari Direktorat Film", katanja. Tidak disangkal adanja pemotongan'h persen untuk PPFI dan 1 persen untuk ongkos-ongkos Jajasan Film. Diakui djuga bahwa mulai bulan Mei jang lalu, setiap orang jang mends. patkan SK 71 mengalami pemotongan 10 persen, jakni 5 persen pada saat uang diterima (ini untuk biaja administrasi Jajasan Film, Direktorat dan PPFI), sedang 5 persen jang sisa akan dibajar oleh produser sebagai bunga setjara berangsur pada saat film mulai beredar. Apakah pernotongan itu berdasarkan sebuah surat keputusan Menteri? "Tidak. Tapi surat itu sedang dipersiapkan", kata Lubis kepada Salim Said pada suatu siang dikantor Badan Sensor .Film. Meskipun demikian, Lubis menjebut 12 film jang telah melalui prosedur jang belum dibikin.surat keputusannja itu.
Fachruddin Lubis tidak tahu apakah ada permainan atau tidak antara fihak Direktorat dengan produser film jang minta SK 71. Lubis hanja mengatakan bahwa pegawainja sering mendapat perlakuan kasar dari beberapa orang produser jang merasa bahwa pelajanan Jajasan Film kurang sesuai dengan selera mereka. "Dan dalam keadaan dongkol itulah sering para produser itu mentjeritakan bahwa mereka telah. mengeluarkan sedjumlah uang untuk melantjarkan SK '71 di Direktorat Film" kata Fachruddin. Berapa djumlah jang mereka keluarkan di Direktoiat Film? "Saja tidak pernah tanja", djawab Lubis. Ketjurigaan terdjadinja permainan djuga bisa timbul oleh tjata para produser itu menguangkan dana jang mereka peroleh.
Pengalaman Lubis sebagai pendanda-tangan tjek menundjukkan bahwa hampir semua tjek diminta oleh produser supaja diberikan dalam petjahan-petjahan antara lain 2 djuta, 4 djuta, beberaps lembar seratusan ribu dan sebagainja. Dan konon seorang produser memang pernah bertjerita demikian dikantor Jajasan Film. Tapi jang sangat pasti dari tjerita Lubis adalah mengenai Sandy Suardi. Ketika menerima uang SK 71 buat film Rakit, Sandy dengan dongkol mengisahkan proses pengurusannja di Direktorat Film. Menurut Lubis, Sandy berkata begini : "3 minggu saja seperti pegawai negeri, pagi masuk, sore pulang, baru achirnja saja diladeni. Dan kalau saja dari mula diberi tahu kemauan mereka, 'kan tidak perlu mendjadi lama menunggu".
Tapi kali inipun Lubis tidak menanjakan berapa banjak jang harus dikeluarkan Sandy untuk mendapatkan dana SK 71. Menurut Njonja Malidar Hadijuwono. Reporter TEMPO HarunMusawa jang menemui Njonja Malidar Hadijuwono dirumah jang sekaligus djuga mendjadi kantor Dewi Film, melaporkan bahwa Njonja itu rupanja telah mendengar banjak mengenai adanja keritjuhan disekitar uang SK 71. "Saja tidak dapat memberi bukti kongkrit", katanja kepada Ha run. Tapi direktris. Dewi Film itu tahu bahwa Tuty S maupun Sandy memang menjogok untuk mendapatkan SK 71. "Sajangnja saja tak tabu djumlah jang mereka keluarkan, sebab mereka selalu menolak kalau saja tanja". Sebagai produser film, Njonja Malidar tidak hanj a menj alahkan pihak Direktorat Film, sebab "jang njogok toch kita-kita djuga para produser. Maka sebaiknja tidak usah ngomonglah. Malah tambah ribut". Tentang perbedaan djumlah, uang jang diterima djuga membingungkan produser film Si Pitung ini.
"Selain perbedaan tjalon atau anggota PPFI, saja tidak tahu", katanja. Kemudian is menambahkan lagi "Seperti Sandy, tjalon anggota, tapi mendapat 7h djuta. Taty & Son, ketika itu belum djadi anggota, tapi dapat 7 djuta djuga, Allied Film nrendapat 7 djuta djuga, meskipun tidak pakai xekomendasi PPFI, sementara Rapi Film jang mernenuhi persjaratan, hanja dapat 6 djuta. Djadi simpang siur kebidjaksanaan itu". Menurut Sutarto. Ketua Badan Sensor Film R.M. Sutarto djuga punja tjerita.
Tidak mudah memantjing keterangan dari orang tua jang sebagian besar hidupnja dihabisi untuk mengurusi film itu. Tetapi setelah mengetahui bahwa bukan dirinja sadja jang tahu spa jang dirahasiakannja, iapun bersedia diinterview oleh Salim Said. "Memang saja dengar sendiri banjak produser jang filmnja saja sensor, disini, bertjerita, mengenai hal itu", katanja memulai. Disebutlah antara lain. nama Lie Sun Bok, sutradara Dendam Berdarah. Jang terachir ini mentjeritakan sendiri kepada Sutarto bagaimana ia harus mengorbankan sedjumlah 10 persen dari pindjamannja supaja,uang itu bisa keluar. Tapi jang paling menarik adalah kisah Sandy Suardi dan Tuty S. Kedua orang ini pernah berusaha menjogok Sutarto supaja filmnja bisa lolos tanpa banjak berurusan dengan gunting sensor. Pada tanggal 18 Djuni 1971 pukul 12 siang. Sandy menjerahkan 2 lembar biljet giro (masing-masing berharga 100 ribu rupiah, dengan nomer: 22194 A/C no: 671 dan 22195 A/C 671. dari PT Bank Permata Sari Djakarta) selembar tjek (seharga 300 ribu rupiah, dengan nomer 167418 A/C 671 jang djuga dari PT Bank Permata Sari). Ketiga lembar kertas jang bernilai setengah djuta itu ditahan semalam oleh Sutarto. Setelah berunding dengan anggota-anggota sensor Asrul Sani dan Abdul Karim, besoknja Sandy diterima diruang kerdja ketua BSF. "Tjek dan biljet giro itu saja kembalikan kepada Sandy setelah mentjatat nomer-nomernja.
Ketika menjerahkan kertas-kertas berharga itu saja katakan kepadanja bahwa norner-nomernja sudah saja tjatat untuk saja laporkan kepada polisi, sebab saja merasa dihina dengan pertjobaan untuk menjogok itu", kata Sutarto.
Maka Sandypun dikisahkan sebagai minta maaf kepada bapak Ketua BSF. "Saja hanja bersedia memaafkan saudara kalau saudara tjeritakan siapa sadja jang saudara perlakukan seperti saja, sebab tentu bukan hanja saja jang saudara perlakukan demikian", kata Sutarto pula. Lalu katanja melandjutkan: "Dari situlah saja jakin mengenai adanja permainan di Direktorat". Usaha Tuty S. djdga tidak berhasil. Uang kontan dalarn amplop jang diantar oleh sutradara film Tiada Maaf Bagimu, Sharifudin, ditolak oleh Sutarto, sehingga film pertama Tuty Jaya Pictures tidak sempat membawa adeganadegan jang komersil kedepan rnata pe. nonton. Tidak dikisahkan dleh Sutarto, adakah djuga is memeias informasi dari Tuty ataupun Sharifudin, tapi tjerita lain ia dengar dari Fachruddin Lubis. Dalam pembitjaraan bertiga antara Sutarto, Lubis dan Asrul Sani, Lubis dikutip sebagai mengatakan bahwa sebelum dilakukan modulasi terachir terhadap pemotongan dari pindjaman dana SK 71, Djohardin memang pernah melakukan pemotongan sebanjak 5 persen. Terhadap siapa, kapan,,berapa kali dan untuk siapa uang itu, Lubis hanja mengatakan:. "Urusan Djohardinlah itu". Tentang film jang Djatuh Di Kaki lelaki, jang tidak mendapat uang SK 71 sarnpai film tersebut selesai disensor, Sutarto rnengaku mendengar dari Lubis tentang dibekukannja surat permohonan direktris perusahaan film tersebut jang diadjukannja kepada Djohardin. Surat itu bertanggal 25 Maret 1971, dengan lampiran surat rekomendasi PPFI ter-. tanggal 20 Djuli 1971.
Menurut Lubis, Dirdjen Radio, TV dan Film, Sjamsu Sugito sangat terkedjut setelah diberitahu bahwa permohonan itu sudah masuk sedjak 8 bulan jang lalu. Untuk itu Djohardin punja alasan terserndiri. Asrul Sini dan Sutarto boleh senang dengan film jang disutradarai oleh Nico Pelamonia itu, tapi Djohardin berhak mempunjai pendapat lain. Kepada Martin Aleida, Direktur Film itu berkata seperti berikut: "Sekalipun ada rekomendasi PPFI, belum berarti bahwa dana SK 71 otomatis keluar. Direktorat filmlah jang berwewenang menjampai kan rekomendasi kepada Menteri tentang bisa tidaknja sebuah film diberi pindjaman. Tapi sebuah film itu harus kita lihat dulu apakah mengemban tri-fungsi film, sebagai alat hiburan, pendidikan dan penerangan. Kalau tidak, tentu kita tolak": Apakah film Jang Djatub itu bertentangan dengan tri-fungsi film? Paling tidak tentu demikian menurut Djohardin, sebab ia-tidak merekomendir film tersebut untuk diberi pindjaman, meski pun selalu ia berkata "minggu depan", kalau petugas Tuti Mutia Film datang menghadap kekantor Direktorat. "Kalau memang demikian adasan penolakan SK nja film itu", kata Asrul Sand dengan sedikit emosiorul didepan Sjamsu Sugito, "saja ingin tanja pada direktorat, apakah film bendam Berdarah itu lebih memenuhi tri-fungsi dari pada film punja Tuti, Mutia itu". Sjamsu Sugito hanja diam, tapi- beberapa hard kemudian TEMPO diberitahu oleh Nico Pelamorua bahwa dana SK 71 batu tiba-tiba dikeluarkan pada tanggal 5 Nopember, tapi ditolak oleh Tuti Mutia. "Film sudah selesai, dan kits tidak perlu'hutang lagi", katanja. Menurut Turino Djunaidy. "Hampir semua jang mendapat SK 71 mengalanu pemotongan", kata direktur Sarinande Film itu.
"Tapi untuk membuktikannja hitam diatas putih, ja, memang susah". Dan kepada Salim Said ia membenarkan apa jang disebut sebagai penjuapan oleh Sandy dan Tuty S. "Kalau itu pasti, tjuma saja tidak tahu djumlahnja". Apakah Turino sebagai ketua PPFI tidak pemah berusaha njampaikan kekisruhan itu kepada Menteri Penerangan? "Sudah kita tjoba berkali-kali, tapi Djohardin selalu hadir kalaa kita menghadap Menteri, hdngga kita sukar ngomong "djawab Turino dengan tjepat. Pembitjaraan terpotong sebentar karena dering telepon. Ketika ia kembali duduk setelah meletakkan gagang teleponnja, Turino melandjutkan: "Saja djuga heran, mengapa Menteri Penerangan terlalu pertjaja kepada Djohardin". Tjerita Lubis tentang pemotongan 5 persen oleh Djohardin ternjata dialami oleh Turino. "Saja menolak, karena itu terdjadi sedikit ketegangan antara kami", katanja. Kedjadian itu mendorong di kirimnja surat PPFI nomor 168/DP/PPFI /X/71,tertangga111 Oktober 1971 kepada pihak Departemen Penerangan. Isinja: setudju dengan pemotongan 5 persen untuk ongkosongkos Direktorat Film, Jajasan Film dan PPFI, tapi dengan tjatatan supaja uangsegera dddrop segera setelah disetudjui. Dan mereka jang menerima SK dengan gaja ini diwadjib kan membajar bunga 1 persen 5 bulan setelah tanggal pendropan. Apabila di lunasi dalam masa 5 bulan itu, tidak ada bunga 1 persen.