lahir di kota Padang dari keturunan Sultan Paharuyung (ayahnya) pada tanggal 13 Pebruari 1917. Sejak kecil sampai dengan wafatnya beliau menetap di Jakarta. Namun demikian semasa perjuangan fisik, almarhum turut berjuang di daerah Periangan (Bandung), Yogyakarta dan Balikpapan (Kaltim). Semasa hidup, almarhum merupakan pendiri dan Presiden Direktur PT. Persari (Perseroan Artis Indonesia) yang boleh dikatakan sama dengan Union Artis di Amerika Serikat. Disamping sebagai pengusaha film, almarhum bergerak dalam dunia perdagangan seperti : Presiden Direktur Biro Teknik “Prapatak” yang bergerak dalam bidang instalasi listrik, radio, menjual kulkas, mesin-mesin ketik/hitung, serta Presiden Direktur PT. Cimalaka (suatu pabrik tenun di daerah Sumedang).
Jabatan-jabatan di pemerintahan :
1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
2. Anggota Dewan Pertimbangan Agung
3. Ketua Dewan Film Nasional
Jabatan di Perfini :
1. Ketua III Pengurus Besar N.U.
Oleh teman-temannya Djamaluddin Malik di kenal sebagai seorang dermawan. Dia ini menjadi bos atau raja Seniman Senen, yang waktu itu sebelum ada Taman Ismail Marzuki, pasar Senen dengan kedainya yang murah menjadi tempat pertemuan para seniman untuk minum kopi sambil membicarakan berbagai masalah kehidupan dari kriminalitas, kemiskinan, kesenian hingga ke masalah poitik. Ketika kesenian belum terkomersialisasi seperti sekarang ini pada umumnya para seniman hidup sangat miskin apalagi bagi para seniman pemula, yang sekarang ini banyak menjadi seniman besar.
Tetapi kreativitas mereka dalam masa sulit itu justru berkembang pesat, karena imajinasi mereka bisa berkembang secara bebas, bahkan liar.
Kepada Djamaluddin inilah mereka itu mengharapkan bantuan keuangan, baik sekadar untuk minum kopi, membeli buku, menonton sandiwara hingga memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Untuk itu ia membuka rumahnya selama 24 jam bagi siapa saja yang ingin datang. Kedermawanan tidak hanya pada orang yang di anggap miskin, KH. Saifuddin Zuhri yang waktu itu baru pindah dari Semarang untuk di promosikan menjadi pegawai tinggi di Departemen Agama Jakarta, juga pernah di beri sebuah rumah besar di kawasan Kebayoran Baru II. Apalagi pertunjukan kesenian atau tonil banyak yang dibiayai Djamaluddin Malik secara pribadi. Hal itu di maksudkan untuk memacu perkembangan seni budaya nasional yang waktu itu sedang pada tahap rintisan. Bahkan Dr. Mashudi, Sekjen Lesbumi, pengganti Hasbullah Khalid , ketika berjumpa Djamaluddin Malik di Cairo, tiba-tiba diberi uang pound sterling yang lumayan banyak, sehingga bisa ongkos naik pesawat pp dari Cairo ke Jakarta.
Sebelum terjun ke dunia seni budaya, khususnya film, putera Minang kelahiran tahun 1917 ini bekerja di sebuah maskapai palayaran Belanda (KPM), juga pernah bekerja di sebuah perusahaan dagang Belanda.
Dari pengalaman bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda tersebut dia memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kiat berdagang dan managemen perdagangan modern, dan sekaligus bisa menghimpun kekayaan dari sana. Bakat enterpreneurshipnya berkembang dengan modal finansial yang memadai, sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia menjadi saudagar yang kaya pada zamannya.
Baru ketika terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang pada tahun 1942, di mana semua aset dan kekuasaan Belanda di ambil alih oleh Jepang, saat itulah Djamaluddin Malik sebagai seorang patriot mulai melangkahkan kaki untuk perjuangan dengan mendirikan kelompok sandiwara Panca Warna. Kelompok ini pentas keliling hampir di seluruh kota besar Indonesia untuk membangkitkan semangat juang dan cinta tanah air, untuk menghadapi penjajahan. Atas jasanya itu ia di angkat sebagai seorang pahlawan Nasional. Seperti yang pernah di saksikan Pramoedya, drama Djamaluddin Malik Ratu Asia, yang pernah di pentaskan di Garden Hall, Jakarta itu sangat mempesona, baik ceritanya, maupun peran pemainnya. Ini membuktikan keseriusan Djamal dalam membentuk lembaga kesenian modern ini.
Pada masa kemerdekaan yakni tahun 1951 ia mempelopori berdirinya industri perfilman Indonesia dengan gaya Hollywood dengan mendirikan NV. Persari (Perseroan Artis Republik Indonesia). Studio film yang berlokasi di Polonia Jatinegara berada di areal tanah yang sangat luas dan memiliki sarana yang lengkap, baik untuk latihan, shoting dan pertunjukan film dan drama, di lengkapi pula dengan perumahan para artis, memang sejak awal Djamaluddin ingin mengangkat kehidupan para artis, yang kebanyakan baru meniti karir dalam asuhannya sendiri. Gedung ini sering di jadikan tempat pertemuan para seniman dan budayawan. Pertemuan para Ulama’ NU sering kali di adakan di sini. Studio ini sangat produktif menghasilkan film, dengan produksi rata-rata delapan film setahun, sehingga ia tampil sebagai seorang produser film pribumi terbesar saat itu. Sementara itu usaha dagangnya juga terus berkembang pesat.
Kesibukan yang luar biasa dalam dunia film dan perdagangan itu membuat Djamal merasa jauh dari agama, sehingga mengalami kekeringan dan kemiskinan rohani di tengah kekayaan materi yang melimpah. Menyadari bahwa hal itu akan membahayakan bagi keseimbangan hidupnya Djamal memutuskan untuk melakukan perjalanan fisik dan rohani ke Tanah Suci untuk mengisi kehausan rohaninya dengan menunaikan ibadah Haji, yang merupakan puncak pengalaman rohani tertinggi. Hal itu kemudian turut mengilhami lahirnya film "Tauhid" yang di produksi oleh Lesbumi.
Ketika berada di Tanah Suci itulah timbul kesadarannya bahwa dirinya harus juga mengabdikan diri kepada kepentingan masyarakat dan agama.
Maka ketika kembali ke Tanah Air tahun 1952, maka di pilhlah Nahdlatul Ulama’ (NU) untuk berkiprah, pilihan jatuh ke NU, sebab jauh sebelumnya Djamaluddin Malik sudah aktif di Gerakan Pemuda Ansor Anak cabang Kebon Sirih Jakarta Pusat. Kehadirannya kedalam pangkuan Nahdliyin sangat di butuhkan, sebab saat itu NU tengah merintis untuk menjadi sebuah partai politik tersendiri, di luar orbit Masyumi, sehingga tenaga, pikiran dan harta orang semacam dia tentu sangat di butuhkan.
Walaupun semula komitmennya diragukan namun ia bisa membuktikan bahwa niatnya ikhlas dan akhirnya berhasil menjadi tokoh NU yang tangguh dan di segani di dalam NU maupun oleh lawan politik NU. Selain itu Djamal merasa hanya dalam NU itulah kebutuhan rohaninya terpenuhi, sebab kerohanian yang ada dalam NU (sufisme) itu sangat sesuai dengan kebutuhan rohaninya. Walaupun telah aktif di NU aktivitasnya di dunia film tidaklah berhenti, justru melalui NU itulah dia ingin rintisannya itu bisa lebih berkembang, baik karena mendapat dukungan politik dan sekaligus mampu mendapatkan pemirsa. Dan tidak sedikit hasil usahanya itu yang di salurkan ke NU, dan beberapa pengurus NU daerah menghidupi aktivitas politik dan kebudayaan daerah dengan menjadi distributor film yang di buatnya bersama Usmar Ismail dan Asrul Sani. Bahkan karena pemerintahan tidak memiliki dana untuk membiayai keikutsertaan film Indonesia dalam festival film Internasional di Tokyo 1955, Djamaluddin Malik berani membiayai ongkos pergi ke festival tersebut dengan biaya sendiri.
Karena kegigihannya ia pernah di tuduh bersimpati pada pemberontakan PRRI, sehingga mengakibatkan pada tahun 1958 ia di penjara, walaupun tidak sampai lama, sebab sebagai orang NU tidak mungkin ia terlibat, sebab NU secara resmi mengutuk pemberontakan yang di dalangi CIA tersebut.
Karena kecakapannya baik dalam berfikir maupun bertindak serta dedikasinya yang tinggi, maka segera ia mendapat tempat terhormat di kalangan politisi dan ulama’ NU. Kemudian ia melanjutkan pengurusan yayasan Amanat yang di rintis oleh KH. Wahid Hasyim, dari situ kemudian ia mendirikan PT. Timbul yang kemudian menerbitkan Harian Duta Masyarakat yang menjadi organ partai NU. Maka pada suatu saat itu ia juga berhasil meyakinkan para ulama NU mengenai pentingnya mendirikan sebuah lenbaga kebudayaan, baik untuk keperluan untuk menampung dan mengembangkan bakat kesenian yang tumbuh di pesantren dan NU, sebab bidang ini sangat efektif untuk sarana dakwah. Selain itu juga sangat penting sebagai sarana perjuangan melawan kedzaliman dan kemungkaran yang banyak di lakukan oleh PKI dengan lembaga kebudayaannya Lekra yang sering di anggap menodai kepercayaan Islam.
Dengan kharismanya yang besar di kalangan seniman budayawan ia berhasil menghimpun para seniman yang punya minat untuk mengembangkan kebudayaan nasional, yang tidak bergabung pada Lekra, LKN, dan sebagainya. Di situ ia berhasil mengajak Usmar Ismail, juga seorang tokoh perfilman, Asrul Sani, Anas Makruf dan juga beberapa orang pengusaha kenamaan seperti Mochtar Bina dan sebagainya. Mereka itu berhasil meyakinkan para ulama’ NU mengenai pentingnya mendirikan lembaga kebudayaan, guna membangun masa depan masyarakat, teritama masyarakat Islam.
Maka kemudian didirikanlah Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang pada konggres pertama di Bandung 1962 ia di kukuhkan sebagai ketua umum Lesbumi dengan di bantu Usmar Ismail ketua I dan Asrul Sani ketua II dan seterusnya. Pendeknya lembaga ini memiliki suport cukup kuat baik secara ide maupun finansial.
Ketika ia terpilih sebagai Ketua II PB partai NU, maka jabatan ketua umum Lesbumi di tinggalkan kemudian di ganti oleh Usmar Ismail. Karena keahliannya di bidang manajemen, maka dalam PB NU ia mendapat tugas berat yakni membenahi manajemen NU agar sesuai dengan manajemen partai modern, serta mendapat tugas pelik yaitu inventarisasi dan sertifikasi tanah-tanah wakaf milik NU yang berserakan itu. Mengingat berpolitik adalah mengabdi maka walaupun ia seorang hartawan di terima tugas berat tersebut dengan sepenuh hati. Terjadinya friksi dalam NU antara kelompok garis lunak yang di pelopori Idham Cholid dengan kelompok garis keras yang di pelopori Subhan ZE, merupakan tantangan baru bagi Djamal, sebagai seorang manager yang handal, ia berhasil menjembatani konflik antara kedua kelompok tadi, sehingga tidak merebak menjadi perpecahan, berkat kepiawian dia dalam mengatasi masalah.
Peristiwa politik bersejarah yang pernah diperankannya adalah, ketika menjadi anggota DPR GR dari partai NU, ia bersama Nuddin Lubis membuat petisi menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno di hadapan MPRS tahun 1966, yang sangat terkenal yaitu Nawaksara, sehingga Soekarno harus merevisi pidato tersebut. Barangkali melihat situasi politik yang terus memburuk saat itu, ia juga mulai sakit-sakitan, sehingga tidak bisa aktif lagi baik di bidang politik maupun kesenian, hingga akhirnya meningggal di Munich Jerman saat berobat kesana. Ia di anugerahi beberapa orang anak, yang mewarisi bakat keseniannya adalah Camelia Malik. Bagaimanapun jasa-jasa Djamaluddin Malik tidak pernah di lupakan orang, terbukti dengan dianugerahkannya Bintang Mahaputera II (Adipurna) dan pada tahun 1973 di kukuhkan sebagai pahlawan Nasional, dan dalam dunia film jasanya di ukir sebagai nama penghargaan untuk film nasional terbaik.
Disekitar tahun 70-an, almarhum mendapat sakit yang cukup parah, sehingga memerlukan perawatan dokter. Selanjutnya dirawat di Rumah Skit Fatmawati, kemudian atas pertimbangan serta nasehat dari para dokter yang merawat, almarhum diharuskan berobat di Munchen (Munich – Jerman Barat). Dalam istilah kedokteran, almarhum menderita sakit yang macam-macam (konflikasi) sehingga sukar untuk diobati dengan secepat mungkin.
Disekitar tahun 70-an, almarhum mendapat sakit yang cukup parah, sehingga memerlukan perawatan dokter. Selanjutnya dirawat di Rumah Skit Fatmawati, kemudian atas pertimbangan serta nasehat dari para dokter yang merawat, almarhum diharuskan berobat di Munchen (Munich – Jerman Barat). Dalam istilah kedokteran, almarhum menderita sakit yang macam-macam (konflikasi) sehingga sukar untuk diobati dengan secepat mungkin.
Akhirnya pada tanggal 8 Juni 1970, H. Djamaluddin Malik menghembuskan nafasnya yang terakhir. Turut mendampingi almarhum sewaktu menghembuskan nafasnya : Zainal Malik (sekarang di Amerika Serikat), Camelia Malik, Yudha Asmara Malik, Lailasari Malik. Jenazah almarhum diterbangkan dari kota Munchen ke Jakarta, dan disemayamkan di Pekuburan Karet Jakarta sesuai dengan permintaan beliau menjelang wafatnya.
Setelah wafatnya almarhum H. Djamaluddin Malik, beliau diangkat sebagai Tokoh Perfilman Nasional bersama-sama dengan H. Usmar Ismail. Disamping itu pula atas Keputusan Presiden Republik Indonesia pada tahun 1973, di Istana Negara telah dikukuhkan/ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional R.I. dengan mendapat Bintang Mahaputra Kelas II / Adipradhana, yang diterima oleh istri almarhum, Ny. Elly Yunara Djamaluddin Malik.
Dengan adanya pengukuhan dari Presiden Republik Indonesia tersebut, maka tidaklah salah apabila dalam Festival Film Indonesia, nama almarhum dicantumkan sebagai salah satu kehormatan untuk Piala Citra. Begitu pula dalam The Best Actor & Actrees, nama beliaupun mendapat kehormatan (berupa piala).
Selanjutnya sebagai penerus cita-cita almarhum, Ny, Elly Yunara Djamaluddin Malik, meneruskan cita-cita tersebut sesuai dengan batas kemampuan yang ada pada dirinya, PT. Remaja Ellynda Film yang berkantor di Jalan Cianjur No. 18 Jakarta adalah salah satu usaha Ny. Elly Yunara Djamaluddin Malik. Dua prosuksi film yang telah ditelorkan/dihasilkan adalah : Malin Kundang dan Jemabatan Merah.
Djamaludin Malik sendiri yang mengawasi jalannya syuting film produksi Persari
Jamaluddin Malik adalah ayah dari artis Camelia Malik. Beliau sebagai pelopor industri film nasional juga sebagai produser, tidak sedikit bintang dan karyawan yang lahir dan berkembang dalam perusahaan yang dipimpinnya. Lewat perusahaan Persarinya yang terletak di Polonia, yang sangat luas Jamaluddin Malik telah membuat 3 film berwarna yaitu Rodrigo de Villa (1952), Leilani (1953) dan Tabu (1953) yang seluruhnya dilaksanakan di Pilipina. Bekerjasama dengan Sampuguita tahun 1962 membuat film berwarna yang berjudul Holiday In Pilipina yang menggunakan 3 bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Tagalog dan Inggris padahal film tata warna Indonesia baru lahir tahun 1968. Berbicara tentang Jamaluddin Malik pasti ada keterkaitan dengan Usmar Ismail. Mereka merupakan Dwi Tunggal tokoh film Nasional sesudah lahirnya Republik Indonesia, dan keduanya adalah pelopor dalam bidangnya masing-masing.
Ketika Djamaluddin Malik, Pres. Direktur Persari mengadakan perjalanan ke Singapura, Hongkong dan Manila, oleh kaum artis Malaya diadakan penyambutan di kota tersebut. Nampak Djamaluddin Malik di tengah bintang-bintang Show Bros seperti P. Ramlee, Mariam, Omar Rojik dll.
Djamaluddin Malik tidak dapat mengikuti Festival Film di Tokyo dikarenakan pencekalan dirinya sehingga tidak dapat menghadiri festival tersebut yang telah direncanakan keberangkatannya bersama para tokoh perfilman Indonesia. Tokoh-tokoh yang sudah dijadwalkan untuk hadir dalam Festival Film di Tokyo antara lain Oei Tiang Tjay, Turino Djunaedi, dan Usmar Ismail. Tidak dijelaskan alasan pencekalan terhadap Djamaluddin Malik padahal festival tersebut sangat penting artinya bagi para insan dalam dunia perfilman di Indonesia. Kunjungan ke Festival Film Tokyo di tersebut diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman baru dalam dunia film yang berguna bagi perkembangan film di Indonesia.
Djamaluddin Malik dikenal sebagai tokoh perfilman nasional, dermawan, bos dan raja seniman Senen. Sebelum terjun ke dunia film, ia pernah bekerja diperusahaan-perusahaan Belanda yang membuatnya memiliki pengetahuan tentang kiat berdagang dan manajemen perdagangan modern sekaligus menghimpun kekayaan. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional berkat jasanya membangkitkan semangat juang dan cinta Tanah Air lewat kelompok sandiwara Panca Warna yang pentas keliling hampir di seluruh kota besar Indonesia. Ia juga mempelopori berdirinya industri perfilman Indonesia bergaya Hollywood lewat NV Persari, untuk mengangkat kehidupan para artis asuhannya. Nahdlatul Ulama (NU) di pilihnya untuk kiprah pengadian dirinya kepada kepentingan masyarakat dan agama, dan ia berhasil meyakinkan para ulama NU mengenai pentingnya sebuah lembaga kebudayaan untuk menampung dang mengembangkan bakat kesenian di pesantren dan NU juga sangat efektif untuk sarana dakwah kemudian melahirkan Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia)
Kepergian Jamaluddin Malik bagi artis film dan seni budaya Indonesia merupakan suatu schok mental yang cukup kuat bagi dunia perfilman Indonesia. Menoleh kebelakang tentang Jamaluddin Malik, yang humoris, walaupun dalam keadaan sakit ia masih sempat bercanda dengan artis dan kawan kerabatnya, seolah-olah dia tidak mau merasakan penyakit yang dideritanya. Sebagai pejuang besar dunia perfilman Indonesia yang banyak menghasilkan kurang lebih 60 buah film. Jamaluddin tidak saja ulet dalam memperjuangankan produksi film , tapi dia juga seorang pejuang dalam memperhatikan nasib para artisnya dan membangun suatu komplek perumahan sederhana bagi artis film dan crewnya di daerah Kebayoran Baru. Tanggal 8 Juni, jam 03.00 berita kesedihan itu datang begitu mendadak, Jamaluddin Malik meninggal dunia. Dalam hari pemakamannya di Karet berlangsung dengan upacara kebesaran militer, dimana Jamaluddin Malik ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sehubungan akan diterbitkannya "Majalah Film" pernah dikemukakan antara lain : 1 Ditampilkannya tulisan dengan judul "In memorium H. Naziruddin Naib" salah seorang tokoh perfilman nasional yang telah meninggal; 2. Majalah ini hendaknya mengadakan rubrik khusus suka duka para importir film dan para penguasa bioskop; 3. Pengusaha film dalam negeri hendaknya tidak membuat film sex dan tidak memasukan agar perfilman kita untuk tidak lagi memasukkan film porno; 4. Akan mewawancarai Jamaluddin Malik sekitar kemajuan nya yang telah diperolehnya sejak bergerak di bidang swasta, di bidang politik, maupun di bidang lembaga legislatif dan lembaga kenegaraan, dengan tidak melupakan jasanya sebagai seorang tokoh perfilman nasional dan sebagai pendiri PERSARI. Pembicaraan tersebut diatas terjadi hanya beberapa hari sebelum kita di Indonesia, dikejutkan oleh meninggalnya Jamaluddin Malik di Muenchen Jerman Barat. Semasa hidupnya Jamaluddin Malik merupakan seorang yang rendah hati dan tetap mau berbuat baik. Penghormatan dan penghargaan yang telah diberikan pemerintah, telah dimakamkan almarhum dengan upacara kebesaran negara dan untuk mengenang jasanya Guberbnur DKI Jakarta, Ali Sadikin memberikan piala bergilir bagi pemenang Festival Film Asia dengan disebut piala Jamaluddin Malik (Jamaluddin Malik Award). Jenazah almarhum H. Djamaluddin Malik akan dipindahkan dari pemakaman umum Karet ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Rabu, 23 April 1975. Almarhum terakhir menjabat anggota DPA dan salah seorang Ketua PB Nahdathul Ulama, juga dikenal pula sebagai tokoh Perfilman Nasional.
Jenazah almarhum Haji Jamaluddin Malik, Rabu besok di pindahkan dari Pemakaman Karet ke Taman Makan Pahlawan Kalibata. Jamaluddin Malik meninggal dunia di Muenchen, Jerman Barat pada tanggal 7 Juni 1970. Semasa hidupnya dikenal sebagai tokoh perfilman yang aktif dan memimpin lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbumi). Dimasa revolusi fisik aktif dalam barisan merah putih dan pernah menjadi penasehat delegasi RI di PBB, juga menjabat sebagai anggota DPRGR/MPRS, anggota Dewan Pertimbangan Agung dari bulan Januari 1969 sampai wafatnya 1970. Ia menerima Bintang Mahaputra Adipradana II secara anumerta tahun 1973.
Elly Yunara mantan artis di era tahun 1930-an merupakan seorang salah seorang artis yang diorbitkan oleh Persari. Film yang pernah dibintangi oleh Elly Yunara adalah Tjiung Wanara dan Ayah Berdosa. Elly Yunara dinikahi oleh Djamaluddin Malik yang merupakan seorang produser dan pemimpin perusahaan Persari merupakan sosok istri yang selalu mendukung kegiatan dunia film suaminya sampaidi akhir hayatnya. Setelah Djamaluddin Malik meninggal dunia Elly Yunara menjadi produser film Malin Kundang dan Halimun yang merupakan menjadi karya terakhirnya.
Kita mengenalnya sebagai tokoh perfilman nasional. Oleh teman-temannya, Djamaluddin Malik dikenal sebagai seorang dermawan. Dia ini menjadi bos atau raja seniman Senen, pasar Senen waktu itu menjadi tempat kencan para seniman untuk membicarakan aneka problem bangsa. Kepada Djamaluddin inilah, para seniman yang saat itu jauh dari kehidupan glamor mengharapkan bantuan keuangan, baik sekadar untuk minum kopi, membeli buku, menonton sandiwara, hingga memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Ia membuka rumahnya selama 24 jam bagi siapa saja yang ingin datang.
Kedermawanan tidak hanya pada orang yang dianggap miskin. Pertunjukan kesenian atau tonil banyak yang dibiayai Djamaluddin Malik secara pribadi. Hal itu di maksudkan untuk memacu perkembangan seni budaya nasional yang waktu itu sedang pada tahap rintisan. Sebelum terjun ke dunia seni budaya, khususnya film, putera Minang kelahiran tahun 1917 ini bekerja di sebuah maskapai palayaran Belanda. Ia juga pernah bekerja di sebuah perusahaan dagang Belanda. Dari pengalaman bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda tersebut, dia memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kiat berdagang dan manajemen perdagangan modern, dan sekaligus bisa menghimpun kekayaan.
Bakat entrepreneurshipnya berkembang dengan modal finansial yang memadai, sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia menjadi saudagar yang kaya pada zamannya. Ketika terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang pada tahun 1942, di mana semua aset dan kekuasaan Belanda di ambil alih oleh Jepang, Djamaluddin mulai melangkahkan kaki untuk perjuangan dengan mendirikan kelompok sandiwara Panca Warna. Kelompok ini pentas keliling hampir di seluruh kota besar Indonesia untuk membangkitkan semangat juang dan cinta Tanah Air, untuk menghadapi penjajahan. Atas jasanya inilah ia diangkat sebagai seorang pahlawan Nasional.
Drama Djamaluddin berjudul Ratu Asia, pernah di pentaskan di Garden Hall, Jakarta. Pada masa kemerdekaan yakni tahun 1951. Ia mempelopori berdirinya industri perfilman Indonesia dengan gaya Hollywood dengan mendirikan NV Persari (Perseroan Artis Republik Indonesia). Studio film yang berlokasi di bilangan Polonia, Jatinegara berada di areal tanah yang sangat luas dan memiliki sarana yang lengkap, baik untuk latihan, shooting, dan pertunjukan film dan drama. Studio ini juga dilengkapi pula dengan perumahan para artis. Sejak awal ia memang ingin mengangkat kehidupan para artis, yang kebanyakan baru meniti karir dalam asuhannya sendiri. Gedung ini sering dijadikan tempat pertemuan para seniman dan budayawan. Pertemuan para ulama NU juga sering kali diadakan di sini.
Studio ini sangat produktif menghasilkan film, dengan produksi rata-rata delapan film setahun, sehingga ia tampil sebagai seorang produser film pribumi terbesar saat itu. Sementara itu usaha dagangnya juga terus berkembang pesat. Kesibukan yang luar biasa dalam dunia film dan perdagangan itu membuat Djamal merasa jauh dari agama, sehingga mengalami kekeringan dan kemiskinan rohani di tengah kekayaan materi yang melimpah. Menyadari bahwa hal itu akan membahayakan bagi keseimbangan hidupnya Djamal memutuskan untuk melakukan perjalanan fisik dan rohani ke Tanah Suci untuk mengisi kehausan rohaninya dengan menunaikan ibadah haji. Hal itu kemudian turut mengilhami lahirnya film Tauhid yang diproduksinya.
Ketika berada di Tanah Suci itulah timbul kesadarannya bahwa dirinya harus juga mengabdikan diri kepada kepentingan masyarakat dan agama. Maka ketika kembali ke Tanah Air tahun 1952, ia memilih Nahdlatul Ulamauntuk berkiprah. Walaupun telah aktif di NU aktivitasnya di dunia film tidaklah berhenti. Justru melalui NU itulah dia ingin rintisannya itu bisa lebih berkembang, dan beberapa pengurus NU daerah menghidupi aktivitas politik dan kebudayaan organisasinya dengan menjadi distributor film yang dibuatnya. Aktivitasnya di bidang politik berujung pada tuduhan ia bersimpati pada pemberontakan PRRI, sehingga mengakibatkannya dipenjara pada tahun 1958. Namun tak lama ia mendekam di hotel prodeo, karena secara logika, tak mungkin sebagai orang NU ia terlibat, sebab NU secara resmi mengutuk pemberontakan tersebut.
“Kesenian sangat penting sebagai sarana perjuangan melawan kezaliman dan kemungkaran yang banyak di lakukan oleh PKI dengan lembaga kebudayaannya.” Katanya. Maka berdirilah Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang pada konggres pertama di Bandung 1962 ia dikukuhkan sebagai ketua umum Lesbumi dengan dibantu Usmar Ismail sebagai ketua I dan Asrul Sani ketua II. Ketika ia terpilih sebagai Ketua II PB partai NU, maka jabatan ketua umum Lesbumi ditinggalkan kemudian di ganti oleh Usmar Ismail. Djamaludin meninggal tak lama setelah itu di Munich, Jerman, saat berobat kesana. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera II (Adipurna) dan pada tahun 1973 dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.