TJUT DJALIL
NAMA YANG CUKUP BANYAK
Nama komplitnya adalah H.Tjut Djalil. Tetapi film yang dibuatnya sangat banyak menghumbar wanita, sexy dan sex dari sudut wanita. Baik film laga, tetapi tetap mengacu pada wanita sexy, film action nan sexy juga, comedi nan sexy juga, horor nan sexy juga. Semoga gelar Haji pada namanya sudah tidak membuat film begituan lagi. Karena banyak pemain dan sutradara Indonesia yang dulunya membuat film panas dan dimasa tua mereka taat beribadah. Gito Rollis contoh yang paling mudah. Tidak bisa menyalahkan mereka dalam membuat film seperti itu. Karena dasarnya mereka mencontek film Amerika.
Dan dasarnya adalah film Amerikalah yang menampilkan hal itu semua. Kenapa harus ada wanita nan sexy dalam semua gandre film. Dan kenapa harus ada adegan ranjang dalam setiap film Amerika, minimal ciuman. Dasarnya pembuat film kita mencontek film Amerika yang laku keras, sehingga mereka meniru ramuan tersebut. Tetapi entah kenapa, kalau melihat film asing nan sexy dan panas, kita sebagai orang Indonesia tidak protes, tetapi kalau kita melihat dalam film kita,...selalu protes. Ternyata kita malu berkaca pada diri kita yang sebenarnya. Malu akan kejelekan kita yang ada pada kita. Sungguhpun realitanya itu terjadi, dan di sukai oleh rakyat kita. Tapi kita malu menyatakan diri kita yang sebenarnya. Sutradara yang satu ini cukup unik juga, tetapi biar bagaimana pun film dia dilirik oleh pasar International. TJUT DJALIL, sutradara yang filmnya lima tahun lalu menghebohkan, Pembalasan Ratu Laut Selatan. "Film Indonesia sekarang sudah murni barang dagangan," kata lelaki berusia 62 tahun ini. Tjut termasuk orang film yang bicara blak-blakan. Coba dengar pendapatnya tentang film Indonesia belakangan ini. "Film Indonesia? Itulah film yang dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, tak peduli segi artistik dan alur cerita. Pokoknya, ada adegan cumbu-mencumbu, cium-mencium, polos-polosan, lalu ah-eh-oh." Ia pun tak ingin sok-sokan membuat film horor atau film laga berbumbu seks, karena harus mengeluarkan ongkos untuk adegan-adegan tipuan yang biayanya mahal. Menurut pendapatnya, dunai film Indonesia kini dikuasai oleh produser. Dulu, misalnya, pengedar masih ikut menentukan artisnya. Malah kala itu produser menyetujui saja usul pengedar. Sekarang zaman sudah berbeda, kata Tjut, "produser yang punya duit yang menentukan segalanya. Dari soal cerita sampai bintangnya...." Sutradara tinggal menjalankan apa maunya produser. "Maka, kalau mau jujur, saya membuat film semata karena urusan perut," kata ayah sembilan anak itu, yang mengaku honorariumnya sebagai sutradara kini sekitar Rp 10 juta bersih. Orang Aceh yang pernah menjadi pegawai negeri lalu menjadi wartawan di Medan ini, awal tahun 1960-an, pindah ke Jakarta. Setelah diterima menjadi asisten sutradara, tahun 1974 film pertamanya lahir, Benyamin Spion 025, sebuah film komedi satir.
Melihat sosok Tjut, sulit membayangkan bahwa dari tangannya lahir film-film merangsang. Tjut, yang berambut lurus, bertubuh ceking, adalah haji yang rajin salat. Meski dia yang mengarahkan artis untuk membuka ini-itu, ia mengaku tak pernah tergoda. "Mending perempuan desa, asli dan sederhana, jauh dari polesan rias wajah atau manipulasi keseksian karena operasi," katanya. Ia kini menunggu saat "pensiun". Ia mengaku mengalami konflik batin tiap membuat film panas. "Saya punya anak yang bekerja sebagai guru SMA," tuturnya. Itulah salah satu yang menyebabkan konflik batin itu, dan karenanya ia ingin bisa cepat berhenti dari dunia film. RAAM SORAYA, produser yang sudah bikin 50 film, demi film Indonesia mengaku pernah langsung meminta Badan Sensor Film melonggarkan guntingnya. "Saya minta supaya ada pancingan buat penonton, supaya mereka mau masuk bioskop yang memutar film Indonesia. BSF setuju. Dan bioskop luber lagi, bioskop kelas bawah tapi," tuturnya. Raam tidak membantah, filmnya banyak menampilkan adegan seks. "Tapi itu cuma bumbu," ujarnya. Dialah produser Pembalasan Ratu Laut Selatan. Dalam sebelas hari, sebelum terjadi protes dan ia menarik film itu dari peredaran, sudah 500.000 karcis terjual. "Karena film itu diributkan, orang malah penasaran dan mencari film itu," katanya. Ada yang disayangkan Raam, bahwa film-film sekarang bebas ditonton semua umur. Mestinya itu cuma untuk orang dewasa, katanya. Bahkan film komedi Warkop, menurut dia tak cocok ditonton anak-anak, karena banyak adegan buka dada dan paha. Jebolan Institut Teknologi Surabaya ini masuk dunia film dengan menjadi distributor film di Jawa Timur, tahun 1973, terlebih dahulu. Baru tahun 1987 ia mendirikan PT Soraya Intercine Film.
HEBOH SOAL SEX DALAM WAJAH FILM INDONESIA
DUNIA perfilman Indonesia geger lagi.
Pekan silam, film Pembalasan Ratu Laut Selatan, karya Sutradara Cut Jalil ditarik Badan Sensor Film (BSF) dari peredaran. Film itu dikecam masyarakat sebagai mengeksploitir seks secara murahan.
Tahun lalu, film Ketika Musim Semi Tiba juga ditarik BSF dari peredaran setelah masyarakat menkritik adegan buka-bukaan yang ditonjolkan Sutradara Bobby Sandy secara berani dalam film tersebut. Sesudah masa tuna-adegan cium dalam film Indonesia diakhiri Sutradara Turino Djunaidi lewat film Jakarta-Hongkong-Macao (1968), sejak itu seks seolah-olah menjadi standar produksi film nasional kita.
Sejak itu media mengulas tentang itu dan terakhir minggu ini, heboh seks di layar putih kita tak kurang dari tiga kali kami jadikan Laporan Utama. Mengapa film nasional kita masih mengeksploitir seks dan sadisme? Ada apa di balik semua itu?
Mereka adalah Teguh Karya, Eros Djarot, Slamet Rahardjo, Djun Saptohadi, Sugiyanto, dan Nyonya Budiati Abiyoga. Dipandu oleh Putu Wijaya, yang pernah membintangi beberapa film nasional, antara lain Malin Kundang, diskusi kami dengan orang-orang film tersebut betul-betul blak-blakan. Hampir tak ada masalah mereka tutup-tutupi, dan hampir semua boleh dikutip. Budiati, misalnya, membeberkan "kerikil-kerikil tajam" yang dihadapi produser. Sugiyanto bercerita tentang soal perbioskopan.
Eros bicara tentang sutradara kacangan. Semua persoalan itu adalah rantai yang melilit dunia perfilman kita. Keterbukaan orang-orang film tersebut membuat diskusi tak terasa berlangsung hampir lima jam. Meski cukup banyak masukan yang kami peroleh dari diskusi, kami masih mewawancarai orang-orang film lain, baik produser, sutradara, maupun pengamat film. Tim reporter yang kami terjunkan untuk melengkapi bahan Laporan Utama dari lapangan adalah Moebanoe Moera, Budiono Darsono Tri Budianto, Muchsin Lubis, Sri Pudyastuti, Tommy Tamtomo, dan Priyono B. Sumbogo. Mereka, antara lain, berhasil mewawancarai Sutradara Cut Jalil, yang banyak dikecam masyarakat karena film Pembalasan Ratu Laut Selatan yang berbumbu seks itu. Betulkah Cut Jalil "hamba" produser? Ia menjawab semua pertanyaan kami secara blak-blakan.
Lahir di Banda Aceh, 11 Oktober 1932. Masuk ke dunia film pada tahun 1964, sebagai penulis skenario. Tahun 1954-1963, Tjut Djalil aktif dalam kegiatan drama, penulis cerpen di Meda. Dengan pendidikan Kursus Elementer Sinematografi, Tjut Djalil bermula menjadi asisten sutradara pada tahun 1966. Dan tahun 1974, dia menjadi sutradara penuh. Film-film yang pernah digarapnya : Ira Maya, Kakek Ateng, Leak, Jaka Sembung dan Bajing Ireng, dan Permainan Tabu. Dan film “Jaka Sembung dan Bajing Ireng” turut ke dalam 12 pilihan Komite Seleksi FFI 1984 Yogyakarta.
Sutradara yang sempat menghebohkan ini dengan pola ramuan, komedi, sexy, sex, dan pertarungan juga sempat menjadi perbincangan banyak orang. Tapi toh dia berhasil mampu dalam mendatangkan penonton dan menambah uang kantong produsernya. Dia adalah sutradara yang paham betul apa mau produser, yaitu rauk keuntungan sebanyak-banyaknya. Bagaimana biar bisa itu terjadi?, yah,..pakai bumbu. Kita harus tau apa kemauan penonton. Kita ikuti trend yang ada pada masa itu, apa yang sedang digandrungi film-film Amerika. Kita bikin dengan versi kita. Untungnya masyarakat Indonesia senang bila tokoh Indonesianya sama persis seperti tokoh yang ada dalam film Amerika itu. Artinya tidak kalah. Begitu juga untuk urusan, bumbunya.
NAMA YANG CUKUP BANYAK
Nama komplitnya adalah H.Tjut Djalil. Tetapi film yang dibuatnya sangat banyak menghumbar wanita, sexy dan sex dari sudut wanita. Baik film laga, tetapi tetap mengacu pada wanita sexy, film action nan sexy juga, comedi nan sexy juga, horor nan sexy juga. Semoga gelar Haji pada namanya sudah tidak membuat film begituan lagi. Karena banyak pemain dan sutradara Indonesia yang dulunya membuat film panas dan dimasa tua mereka taat beribadah. Gito Rollis contoh yang paling mudah. Tidak bisa menyalahkan mereka dalam membuat film seperti itu. Karena dasarnya mereka mencontek film Amerika.
Dan dasarnya adalah film Amerikalah yang menampilkan hal itu semua. Kenapa harus ada wanita nan sexy dalam semua gandre film. Dan kenapa harus ada adegan ranjang dalam setiap film Amerika, minimal ciuman. Dasarnya pembuat film kita mencontek film Amerika yang laku keras, sehingga mereka meniru ramuan tersebut. Tetapi entah kenapa, kalau melihat film asing nan sexy dan panas, kita sebagai orang Indonesia tidak protes, tetapi kalau kita melihat dalam film kita,...selalu protes. Ternyata kita malu berkaca pada diri kita yang sebenarnya. Malu akan kejelekan kita yang ada pada kita. Sungguhpun realitanya itu terjadi, dan di sukai oleh rakyat kita. Tapi kita malu menyatakan diri kita yang sebenarnya. Sutradara yang satu ini cukup unik juga, tetapi biar bagaimana pun film dia dilirik oleh pasar International. TJUT DJALIL, sutradara yang filmnya lima tahun lalu menghebohkan, Pembalasan Ratu Laut Selatan. "Film Indonesia sekarang sudah murni barang dagangan," kata lelaki berusia 62 tahun ini. Tjut termasuk orang film yang bicara blak-blakan. Coba dengar pendapatnya tentang film Indonesia belakangan ini. "Film Indonesia? Itulah film yang dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, tak peduli segi artistik dan alur cerita. Pokoknya, ada adegan cumbu-mencumbu, cium-mencium, polos-polosan, lalu ah-eh-oh." Ia pun tak ingin sok-sokan membuat film horor atau film laga berbumbu seks, karena harus mengeluarkan ongkos untuk adegan-adegan tipuan yang biayanya mahal. Menurut pendapatnya, dunai film Indonesia kini dikuasai oleh produser. Dulu, misalnya, pengedar masih ikut menentukan artisnya. Malah kala itu produser menyetujui saja usul pengedar. Sekarang zaman sudah berbeda, kata Tjut, "produser yang punya duit yang menentukan segalanya. Dari soal cerita sampai bintangnya...." Sutradara tinggal menjalankan apa maunya produser. "Maka, kalau mau jujur, saya membuat film semata karena urusan perut," kata ayah sembilan anak itu, yang mengaku honorariumnya sebagai sutradara kini sekitar Rp 10 juta bersih. Orang Aceh yang pernah menjadi pegawai negeri lalu menjadi wartawan di Medan ini, awal tahun 1960-an, pindah ke Jakarta. Setelah diterima menjadi asisten sutradara, tahun 1974 film pertamanya lahir, Benyamin Spion 025, sebuah film komedi satir.
Melihat sosok Tjut, sulit membayangkan bahwa dari tangannya lahir film-film merangsang. Tjut, yang berambut lurus, bertubuh ceking, adalah haji yang rajin salat. Meski dia yang mengarahkan artis untuk membuka ini-itu, ia mengaku tak pernah tergoda. "Mending perempuan desa, asli dan sederhana, jauh dari polesan rias wajah atau manipulasi keseksian karena operasi," katanya. Ia kini menunggu saat "pensiun". Ia mengaku mengalami konflik batin tiap membuat film panas. "Saya punya anak yang bekerja sebagai guru SMA," tuturnya. Itulah salah satu yang menyebabkan konflik batin itu, dan karenanya ia ingin bisa cepat berhenti dari dunia film. RAAM SORAYA, produser yang sudah bikin 50 film, demi film Indonesia mengaku pernah langsung meminta Badan Sensor Film melonggarkan guntingnya. "Saya minta supaya ada pancingan buat penonton, supaya mereka mau masuk bioskop yang memutar film Indonesia. BSF setuju. Dan bioskop luber lagi, bioskop kelas bawah tapi," tuturnya. Raam tidak membantah, filmnya banyak menampilkan adegan seks. "Tapi itu cuma bumbu," ujarnya. Dialah produser Pembalasan Ratu Laut Selatan. Dalam sebelas hari, sebelum terjadi protes dan ia menarik film itu dari peredaran, sudah 500.000 karcis terjual. "Karena film itu diributkan, orang malah penasaran dan mencari film itu," katanya. Ada yang disayangkan Raam, bahwa film-film sekarang bebas ditonton semua umur. Mestinya itu cuma untuk orang dewasa, katanya. Bahkan film komedi Warkop, menurut dia tak cocok ditonton anak-anak, karena banyak adegan buka dada dan paha. Jebolan Institut Teknologi Surabaya ini masuk dunia film dengan menjadi distributor film di Jawa Timur, tahun 1973, terlebih dahulu. Baru tahun 1987 ia mendirikan PT Soraya Intercine Film.
HEBOH SOAL SEX DALAM WAJAH FILM INDONESIA
DUNIA perfilman Indonesia geger lagi.
Pekan silam, film Pembalasan Ratu Laut Selatan, karya Sutradara Cut Jalil ditarik Badan Sensor Film (BSF) dari peredaran. Film itu dikecam masyarakat sebagai mengeksploitir seks secara murahan.
Tahun lalu, film Ketika Musim Semi Tiba juga ditarik BSF dari peredaran setelah masyarakat menkritik adegan buka-bukaan yang ditonjolkan Sutradara Bobby Sandy secara berani dalam film tersebut. Sesudah masa tuna-adegan cium dalam film Indonesia diakhiri Sutradara Turino Djunaidi lewat film Jakarta-Hongkong-Macao (1968), sejak itu seks seolah-olah menjadi standar produksi film nasional kita.
Sejak itu media mengulas tentang itu dan terakhir minggu ini, heboh seks di layar putih kita tak kurang dari tiga kali kami jadikan Laporan Utama. Mengapa film nasional kita masih mengeksploitir seks dan sadisme? Ada apa di balik semua itu?
Mereka adalah Teguh Karya, Eros Djarot, Slamet Rahardjo, Djun Saptohadi, Sugiyanto, dan Nyonya Budiati Abiyoga. Dipandu oleh Putu Wijaya, yang pernah membintangi beberapa film nasional, antara lain Malin Kundang, diskusi kami dengan orang-orang film tersebut betul-betul blak-blakan. Hampir tak ada masalah mereka tutup-tutupi, dan hampir semua boleh dikutip. Budiati, misalnya, membeberkan "kerikil-kerikil tajam" yang dihadapi produser. Sugiyanto bercerita tentang soal perbioskopan.
Eros bicara tentang sutradara kacangan. Semua persoalan itu adalah rantai yang melilit dunia perfilman kita. Keterbukaan orang-orang film tersebut membuat diskusi tak terasa berlangsung hampir lima jam. Meski cukup banyak masukan yang kami peroleh dari diskusi, kami masih mewawancarai orang-orang film lain, baik produser, sutradara, maupun pengamat film. Tim reporter yang kami terjunkan untuk melengkapi bahan Laporan Utama dari lapangan adalah Moebanoe Moera, Budiono Darsono Tri Budianto, Muchsin Lubis, Sri Pudyastuti, Tommy Tamtomo, dan Priyono B. Sumbogo. Mereka, antara lain, berhasil mewawancarai Sutradara Cut Jalil, yang banyak dikecam masyarakat karena film Pembalasan Ratu Laut Selatan yang berbumbu seks itu. Betulkah Cut Jalil "hamba" produser? Ia menjawab semua pertanyaan kami secara blak-blakan.
BEBAS ATURAN MAIN | 1993 | TJUT DJALIL | Director | |
SKANDAL IBLIS | 1992 | TJUT DJALIL | Director | |
DEPAN BISA BELAKANG BISA | 1987 | TJUT DJALIL | Director | |
MISTRI JANDA KEMBANG | 1991 | TJUT DJALIL | Director | |
BURONAN | 1989 | TJUT DJALIL | Director | |
RANJANG SETAN | 1986 | TJUT DJALIL | Director | |
PEMBALASAN RATU LAUT SELATAN | 1988 | TJUT DJALIL | Director | |
JAKA SEMBUNG DAN BAJING IRENG | 1983 | TJUT DJALIL | Director | |
ATAS BOLEH BAWAH BOLEH | 1986 | TJUT DJALIL | Director | |
WANITA DALAM GAIRAH | 1994 | TJUT DJALIL | Director | |
PERMAINAN TABU | 1984 | TJUT DJALIL | Director | |
LUPA ATURAN MAIN | 1990 | TJUT DJALIL | Director | |
RATU BUAYA PUTIH | 1988 | TJUT DJALIL | Director | |
SELIR ADIPATI GENDRA SAKTI | 1991 | TJUT DJALIL | Director | |
MISTIK | 1981 | TJUT DJALIL | Director | |
MENUMPAS PETUALANG CINTA | 1989 | TJUT DJALIL | Director | |
GAUN MERAH | 1994 | TJUT DJALIL | Director | |
BENYAMIN SPION 025 | 1974 | TJUT DJALIL | Director | |
IRA MAYA DAN KATEK ATENG | 1979 | TJUT DJALIL | Director | |
BERCINTA DENGAN MAUT | 1992 | TJUT DJALIL | Director | |
BAGI-BAGI DONG | 1993 | TJUT DJALIL | Director |